Senin, 06 April 2020

POLITIK, PEMERINTAHAN PENDUDUKAN JEPANG DAN KEBIJAKAN-KEBIJAKAN JEPANG



Senin, 6 April 2020

POLITIK, PEMERINTAHAN PENDUDUKAN JEPANG  DAN KEBIJAKAN-KEBIJAKAN JEPANG

Pemerintahan Sementara
Dengan penyerahan tanpa syarat oleh Letnan Jenderal H. Ter Poorten, panglima Angkatan Perang Hindia Belanda atas nama Angkatan Perang Serikat di Indonesia kepada tentara ekspedisi Jepang di bawah pimpinan Letnan Jenderal Hitoshi Immamura pada tanggal 8 Maret 1942, berakhirlah pemerintahan Hindia Belanda di Indonesia dan dengan dengan resmi ditegakkan kekuatan Kemaharajaan Jepang. Indonesia memasuki suatu periode baru, yaitu periode pendudukan militer Jeang. Pada Jaman Jepang terdapat tiga pemerintahan militer pendudukan, yaitu (Poesponegoro, 1992 : 5) :
1
Pemerintahan militer Angkatan Darat (Tentara Keduapuluh lima) untuk Sumatra dengan pusatnya di Bukittinggi;
2
Pemerintah militer Angkatan Darat (Tentara Keenambelas) untuk Jawa-Madura dengan pusatnya di Jakarta;
3
Pemerintahan militer Angkatan Laut (Armada Selatan Kedua) untuk daerah yang meliputi Sulawesi, Kalimantan dan Maluku dengan pusatnya di Makasar.
Dengan berhasil didudukinya Indonesia oleh tentara Jepang, maka mula-mula diadakan pemerintahan pendudukan militer di pulau Jawa yang sifatnya adalah sementara. Hal ini adalah sesuai dengan Osamu Seirei (Undang-undang yang dikeluarkan oleh Panglima Tentara Keenambelas) No. 1 pasal 1 yang dikeluarkan oleh Panglima Tentara Keenambelas pada tanggal 7 Maret 1942. Undang-undang ini menjadi pokok dari peraturan-peraturan tata negara pada waktu pendudukan Jepang. Undang-undang ini berisi antara lain (Poesponegoro, 1992 : 5-6):
Pasal 1 : Balatentara Nippon melangsungkan pemerintahan milter sementara waktu di daerah-daerah yang telah ditempat agar supaya mendatangkan keamanan yang sentosa dengan segera;
Pasal 2 : Pembesar balatentara memegang kekuasaan pemerintah militer yang tertinggi dan juga segala kekuaaan yang dahulu berada di tangan Gubernur Jenderal Hindia Belanda;
Pasal 3 : Semua badan-badan pemerintah dan kekuasaan hukum dan undang-undang dari pemerintah yang dahulu tetap diakui sah untuk sementara waktu, asal saja tidak bertentangan dengan aturan pemerintah militer;
Pasal 4 : Bahwa balatentara Jepang akan menghormati kedudukan dan kekuasaan pegawai-pegawai yang setia pada Jepang.
Susunan pemerintahan militer Jepang terdiri atas (Poesponegoro, 1992 : 6-7):
Pucuk Pimpinan
Gunshireikan (Panglima tentara), kemudian disebut Saiko Shikikan (Panglima tertinggi).
Kepala pemerintah militer
Gunseikan
Yang dirangkap oleh kepala staf Tentara. Gunseikan menetapkan peraturan yang dikeluarkan oleh Gunseikan, yang dikenal dengan Osamu Kanrei. Peraturan-peraturan tersebut diumumkan dalam kan po (berita Pemerintah), sebuah penerbitan resmi yang dikeluarkan oleh Gunseikanbu.
Koordinator pemerintahan militer setempat
Gunseibu.
Pada setiap Gunseibu ditempatkan beberapa komandan militer setempat. Mereka ditugaskan untuk memulihkan ketertiban dan keamanan serta menanamkan kekuasaan yang sementara ini lowong. Disamping itu mereka diberi wewenang untuk memecat  para pegawai bangsa Belanda serta membentuk pemerintahan setempat.
Jepang mengalami kekurangan tenaga pemerintahan yang sebenarnya telah dikirimkan tetapi kapalnya tenggelam kena torpedo Serikat, sehingga dengan demikian terpaksa diangkat pegawai-pegawai bangsa Indonesia. Hal itu (tanpa dikehendaki oleh pihak Jepang pada waktu itu) menguntungkan pihak Indonesia yang dengan demikian memperoleh pengalaman pemerintahan (Poesponegoro, 1992 : 7).
            Dengan diangkatnya pegawai-pegawai Indonesia, maka pada tanggal 1 April 1942 pemerintah pendudukan Jepang mengeluarkan undang-undang tentang peraturan gaji pegawai negeri dan lokal. Untuk sementara waktu gaji pegawai-pegawai bangsa Indonesia yang dahulu di bawah f. 100,- sebulan akan ditetap dibayarkan seperti sediakala. Tetapi bagi mereka yang dahulu gajinya melebihi f.100,- akan dibayar menurut aturan dimana  pegawai-pegawai Indonesia yang gajinya melebih dari f. 100,- terkena potongan yang cukup besar. Disamping itu di tetapkan pula untuk tidak memberi gaji kepada pegawai Indonesia melebihi dari f. 500,-. (Poesponegoro, 1992 : 8-9).
Peraturan lainnya yang sifatnya men- “Jepangkan” Indonesia adalah seperti yang dimuat dalam undang-undang No. 4 yakni bahwa hanya bendera Jepang yang boleh dipasang pada hari-hari besar. Lagu kebangsaan yang boleh diperdengarkan hanyalah lagu Kimigayo. Selanjutnya mulai tanggal 1 April 1942, waktu (jam) Jepanglah yang harus dipakai (perbedaan antara waktu Jepang - waktu Tokyo dan waktu di Jawa, pada jaman pendudukan adalah 90 menit). Sejak saat itu waktu lama yakni jam pada jaman Hindia Belanda yang sama dengan WIB yang sekarang tidak dipakai lagi. Mulai tanggal 29 April 1942 tarikh yang harus dipakai adalah tarikh Sumera dan tahun Masehi adalah sama dengan tahun 2602 Sumera. Demikian pula sejak itu setiap tahun rakyat Indonesia di wajibkan merayakan hari raya Tencosetsu, yakni hari lahirnya Kaesar Hirohito (Poesponegoro, 1992 : 9).
Dalam soal keuangan, menurut undang-undang No. 2 tertanggal 8 Maret 1942 ditetapkan bahwa untuk kepentingan jual beli dan pembayaran lainnya, mata uang yang berlaku adalah uang Rupiah Hindia Belanda. Pemakaian mata uang lain dilarang keras (Poesponegoro, 1992 : 9-10).

Kebijakan-Kebijakan Jepang di Bidang Politik (Isnaeni dan Apit, 2008 : 30-36) :
1.
Melarang semua rapat dan kegiatan politik, dengan dikeluarkannya peraturan yang membubarkan semua organisasi politik dan semua bentuk perkumpulan pada tanggal 20 Maret 1942. Pada tanggal 8 September 1942 Jepang mengeluarkan UU No. 2 yang inti isinya bahwa Jepang mengendalikan seluruh organisasi nasional.
2.
Membentuk organisasi propaganda ataupun organisasi masa yang melibatkan orang-orang Indonesia seperti: membentuk Gerakan Tiga A (Jepang Pemimpin Asia, Jepang Cahaya Aisa dan Jepang Pelindung Asia). Gerakan ini tidak efektif karena Jepang sendiri berperilaku sangat kejam. Untuk itu dibentuklah Putera (Pusat Tenaga Rakyat) pada tanggal 16 April 1943 dan dipimpin oleh Empat Serangkai yaitu Soekarno, Hatta, Ki Hajar Dewantoro dan Kyai Haji Mas Mansyur. Tujuan Putera adalah untuk membujuk kaum Nasionalis dan intelektual untuk mengabdikan pikiran dan tenaganya demi untuk kepentingan perang melawan Sekutu dan diharapkan dengan adanya orang Indonesia, maka rakyat akan mendukung penuh kegiatan ini.
3.
Jepang membentuk Dinas Polisi Rahasia yang disebut Kempetai bertugas mengawasi dan menghukum pelanggaran terhadap pemerintah Jepang.
4.
Diskriminasi politik tentara pendudukan juga diterapkan, untuk membedakan wilayah Jawa dengan luar Jawa. Untuk Jawa Jepang bersikap lebih lunak karena pertimbangan jauh dari Sekutu, sementara untuk luar Jawa menggunakan kontrol dan pengawasan yang sangat ketat.
5.
Jepang juga menerapkan sistem Autarki : daerah harus memenuhi kebutuhannya sendiri dan kebutuhan perang.
6.
Daerah Hindia Belanda di bagi menjadi 3 pemerintahan militer:
Daerah bagian tengah meliputi Jawa dan Madura dikuasai oleh tentara keenambelas dengan pusat di Jakarta.
Daerah bagian barat meliputi Sumatera dengan kantor pusat di Bukittinggi dikuasai oleh tentara Kedua puluh lima.
Daerah bagian Timur meliputi Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Irian Barat di bawah kekuasaan armada Selatan kedua dengan pusatnya di Makasar.
7.
Untuk mempermudah pengawasan dibentuk tiga pemerintahan militer:
Pembentukan Angkatan Darat (Gunseibu), membawahi Jawa dan Madura dengan Jakarta sebagai pusat dan dikenal dengan tentara keenambelas dipimpin oleh Hitoshi Imamura.
Pembentukan Angkatan Darat (Rikugun) yang membawahi Sumatra dengan pusat di Bukittinggi, Sumatera Barat dikenal dengan tentara keduapuluh lima dipimpin oleh Jenderal Tanabe.
Pembentukan Angkatan laut (Kaigun), yang membawahi Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Irian dengan pusatnya Makasar yang dikenal dengan Armada Selatan kedua dengan nama Minseifu dipimpin oleh Laksamana Maeda.
8.
Jabatan Gubernur Jenderal dihapus dan langsung dipegang penguasa militer di Jawa.
9.
Status pegawai dan pemerintahan sipil masa Hidia belanda tetap diakui kedudukannya asal memiliki kesetiaan terhadap Jepang. Status badan pemerintahan dan UU di masa Belanda tetap diakui sah untuk sementara, asal tidak bertetangan dengan aturan kesetiaan tentara Jepang.
Struktur pemerintahan Militer Jepang  (Poesponegoro, 1992 : 7) :
GUNHIREIKAN
Panglima Tentara, Panglima Tertinggi, Saiko, Shikikan Hitosihi Imamura
GUNBAIKAN
Kepala Pemerintahan Militer, Kepala Staf tentara, Mayjen Seizaburo Okasaki.
GUNSEIKANBU
Staf Pemerintahan Militer Pusat:
Somubu – Departemen urusan Umum.
Zaimubu – Departemen Keuangan.
Sangyobu – Departemen perusahaan, Industri, Kerajinan Tangan, dan ekonomi.
Kotsubu – Departemen Lalu lintas.
Shihobu -  Departemen kehakiman.
GUNSEIBU
Koordinator Pemerintahan Militer Setempat, Gubernur terdiri :
Jawa Barat berkedudukan di Bandung.
Jawa Tengah berkedudukan di Semarang.
Jawa Timur berkedudukan di Surabaya.

Di samping itu dibentuk dua daerah istimewa (Koci) Surakarta dan Yogyakarta.
Struktur Pemerintahan Sipil:
Daerah
Kota
Syu - Karisidenan
Syi (Pemerintahan kota)
Si – Kotapraja /   Ken – Kabupaten
Syucokan  (pimpinan Residen)
Gun - Kawedanan
Tokubetsusyi (Daerah Istimewa)
Son (Asisten/Kecamatan)
Si – Co (Walikota)
Ku (Desa / Kelurahan)
Bunken (sub Kabupaten)
Aza (Dusun)

Gumi (Rukun Tetangga)

Dengan diangkatnya pegawai-pegawai Indonesia, maka pada tanggal 1 April 1942 pemerintah pendudukan Jepang mengeluarkan UU tentang pengaturan gaji pegawai negeri dan lokal. Untuk sementara waktu gaji pegawai-pegawai bangsa Indonesia yang dahulu di bawah f. 100 sebulan akan tetap dibayarkan seperti sediakala. Tapi bagi mereka yang dahulu gajinya melebihi f. 100 akan dibayar menurut aturan tersendiri, yang pada intinya mereka mendapat potongan yang cukup besar. Disamping itu ditetapkan pula untuk tidak memberikan gaji kepada pegawai Indonesia melebihi dari f. 500 (saat itu harga beras f. 0,12). Peraturan lain yang sifatnya men-Jepangkan Indonesia adalah seperti yang dimuat di dalam UU No. 4 yakni bahwa hanya bendera Jepang yang boleh dipasang pada hari-hari besar. Dan lagu kebangsaan yang boleh diperdengarkan hanyalah lagu Kimigayo. Selanjutnya mulai tanggal 1 April 1942, waktu (jam) Jepanglah yang harus dipakai. Perbedaan antara waktu Jepang (waktu Tokyo) dan waktu Jawa, pada jaman pendudukan adalah 90 menit. Sejak saat itu waktu lama yakni jam pada jaman Hindia Belanda yang sama dengan WIB yang sekarang tidak dipakai lagi. Mulai tanggal 29 Apri 1942 tarikh yang harus dipakai ialah tarikh Sumera dan tahun Masehi adalah sama dengan tahun 2602 Sumera. Demikian pula sejak itu setiap tahun rakyat Indonesia di wajibkan merayakan hari raya Tencosetsu, yakni hari lahirnya Kaisar Hirohito. Dalam soal keuangan, menurut UU No. 2 tertanggal 8 Maret 1942 ditetapkan bahwa untuk kepentingan jual beli dan pembayaran lainnya, mata uang yang berlaku adalah uang Rupiah Hindia Belanda (Poesponegoro, 1992 : 8-10).

Struktur Pemerintah Pendudukan
Bulan Agustus 1942 usaha pemerintah militer Jepang meningkat dengan dikeluarkannya UU No. 27 tentang aturan  pemerintah daerah dan UU NO. 28 tentang aturan pemerintahan Syu dan Tokubetsu syi yang menunjukkan berakhirnya masa pemerintahan sementara. Kedua UU tersebut merupakan pelaksanaan dari pada struktur pemerintahan setelah datangnya tenaga pemerintahan sipil Jepang di pulau Jawa. Mereka mulai dipekerjakan pada badan-badan pemerintah guna melaksanakan tujuan reorganisasi Jepang yang hendak menjadikan pulau Jawa sebagai sumber perbekalan perangnya di wilayah Selatan. Menurut UU No. 27 (UU tentang perubahan tata pemerintahan daerah) seluruh pulau Jawa dan Madura, kecuali kedua Koci Surakarta dan Yogyakarta, dibagi atas Syu, Syi , Ken, Gun, Son dan Ku. Daerah Syu sama dengan karisidenan  yang terbagi dalam Syi dan Ken. Daerah Syi sama dengan kotapraja sekarang. Daerah Ken sama dengan Kabupaten, daerah Gun sama dengan kawedanan. Son sama dengan Kecamatan sedangkan Ku sama dengan Kelurahan atau desa. Masing-masing diangkat kepala daerah dengan nama Syico, kenco, Gunco, Sonco dan Kuco. Pada tanggal 8 Agustus 1942 ditetapkan daerah pemerintahan yang tertinggi ialah Syu. Jumlahnya di pulau Jawa ada 17 : Banten, Batavia, Bogor, Priangan, Cirebon, Pekalongan, Semarang, Banyumas, Pati, Kedu, Surabaya, Bojonegoro, Madiun, Kediri, Malang, Besuki dan Madura. Di dalam melaksanakan tugasnya Shucokan dibantu oleh Cokankanbo (majelis permusayawaratan) yang terdiri dari 3 Bu (bagian) yaitu : Naiseibu (bagian pemerintahan umum), Keizaibu (bagian ekonomi), Keisatsubu (bagian kepolisian). Para Shucokan secara resmi dilantik oleh Gunseikan pada bulan September 1942. Pelantikan tersebut merupakan awal daripada pelaksanaan organisasi pemerintahan daerah, dan penyingkiran pegawai-pegawai Indonesia yang pernah digunakan untuk sementara waktu dari kedudukan yang tinggi (Poesponegoro, 1992 : 10-11).
Di Sumatra pemerintah militer di bawah Panglima Tentara keduapuluhlima membentuk 10 karesidenan (syu) yang terdiri atas bunsyu (sub karisidenan). Gun dan Son. Jabatan tertinggi di pegang oleh orang Jepang. Kesepuluh syu yang dibentuk itu adalah : Aceh, Sumatra Timur, Sumatra Utara, Sumatra Barat, Bengkulu, Jambi, Palembang, Lampung dan Bangka Belitong. Setiap Syu dipimpin oleh seorang Shucokan. Disamping pemerintahan militer (gunsei) oleh Angkatan Darat, maka suatu pemerintahan telah pula dibentuk oleh Armada Selatan ke dua dengan nama Minseifu, dengan pusat di Makasar. Kantor bawahannya yang disebut Minseibu terdapat di tiga tempat yakni Kalimantan, Sulawesi dan Seram. Daerah bawahannya meliputi syu, ken, bunken (sub kabupaten), gun dan son. Sama halnya dengan di pulau Jawa dan Sumatra, maka tak lama setelah pendaratan tentara Jepang, orang Indonesia untuk sementara mendapat jabatan-jabatan yang tinggi. Setelah bulan Agustus 1942 jabatan yang disediakan untuk bangsa kita hanya terbatas sampai gunco dan sonco. Sedangkan jabatan sebagai walikota di Makasar, Menado, Banjarmasin dan Pontianak dipangku oleh orang Jepang (Poesponegoro, 1992 : 12-13).
Guna menahan ofensif Serikat yang semakin dahsyat, Jepang mengubah sikapnya terhadap negeri-negeri yang didudukinya. Di depan sidang istimewa ke 82 Parlemen di Tokyo, dikemukakan oleh Perdana Menteri Tojo di dalam pidatonya pada tanggal 16 Juni 1943 tentang keputusan pemerintah mengenai pemberian kesempatan kepada orang Indonesia untuk turut mengambil bagian dalam pemerintahan negara. Menyusullah pada tanggal 1 Agustus 1943 pengumuman Saiko Shikikan tentang garis-garis besar rencana pengambilan bagian dalam pemerintahan negara yang dijanjikan itu, yakni meliputi badan-badan  pertimbangan di daerah dan di pusat serta jabatan-jabatan tinggi untuk orang-orang Indonesia sebagai penasehat pada pemerintah militer (Poesponegoro, 1992 : 13).
Pengangkatan orang Indonesia untuk kedudukan tinggi tersebut dimulai dengan pengangkatan Prof. Dr. Husein Djajadiningrat sebagai kepala Departemen Urusan Agama pada 1 Oktober 1943. Pada 10 November 1943 Mas Sutardjo Kartohadikusumo dan R.M.T.A. Surio masing-masing diangkat menjadi shucokan di Jakarta dan Bojonegoro. Pengangkatan 7 penasehat bangsa Indonesia pada pemerintah militer dilakukan pertengahan bulan September 1943. Mereka dikenal dengan Sanyo yang dipilih untuk 6 bu (departemen) : Ir. Soekarno (somubu- Departermen Urusan Umum), Mr. Suwandi dan dr. Abdul Rasyid (Naimubu bunkyoku – biro pendidikan dan kebudayaan departemen dalam negeri), Prof. Dr.Mr. Supomo (Shihobu- departemen kehakiman), Mochtar bin Prabu Mangkunegoro (Katsubu- departemen lalu lintas), Mr. Muh. Yamin (sendenbu-departemen propaganda), dan Prawoto Sumodilogo (sangyobu- departemen ekonomi) (Poesponegoro, 1992 : 13).
Mengenai pembentukan Badan Pertimbangan Pusat (Cuo Sangi In) dimuat dalam Osamu sirei No. 36/ 1943. Sedangkan mengenai Badan Pertimbangan di Karesidenan dan Kotaraja Istimewa (Syu dan Tokubetsu Syu Sangi Kai) dimuat dalam osamu sirei No. 37 /1943 untuk kemudian dijelaskan dalam Osamu Kanrei No. 8 / 1943 (Poesponegoro, 1992 : 13-14).

Daftar Pustaka
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. 1992. SEJARAH NASIONAL INDONESIA VI. Jakarta : Balai Pustaka
Isnaeni, Hendri F. dan Apid. 2008. ROMUSA SEJARAH YANG TERLUPAKAN. Yogyakarta : Ombak



Bersambung. . . .


Tidak ada komentar:

Posting Komentar