Kondisi Sosial
Masyarakat Indonesia Saat Pendudukan Jepang
Kondisi Indonesia pada umumnya sebelum
Jepang sampai ke Jawa adalah penguasa Hindia Belanda tidak mengetahui situasi
peperangan yang sebenarnya. Seperti yang terjadi di Karesidenan Pekalongan.
Tatkala terjadi pendaratan Jepang di Jawa, penguasa Kolonial berusaha
melaksanakan rencana sabotase yang dipersiapkan secara tergesa-gesa atas
gudang, jembatan, instalasi pelabuhan di sekitar Tegal, teramasuk tangki penyulingan
minyak BPM (Bataafsche Petroleum
Maatschappij) juga dihancurkan. Di Pekalongan, Belanda memerintahkan agar
semua mesin pabrik gula, pemintalan, dan tenun dipreteli. Sampai rantai sepeda
harus dibuang dari sepedanya ke sungai agar tidak dapat digunakan musuh. Wedana
Wiradesa yang wilayahnya berpantai itu diperintahkan mengawasi langsung
penenggelaman perahu-perahu kecil penangkap ikan, tetapi dia memerintahkan
menyembunyikan perahu itu dengan menariknya ke hulu sungai mengingat perahu
adalah alat vital bagi kehidupan nelayan (Lucas, 2019: 48).
Atas perintah sebuah badan baru yang
bernama Dinas Perlindungan Serangan Udara (Luchtbescherming
Dienst) rakyat menggali lubang perlindungan yang cukup luas bagi setiap
keluarga yang bertempat tinggal disekitar pabrik. Sampai-sampai orang sering
bercanda, “Bila bom jatuh tidak perlu
lagi digali lubang kubur, karena sudah tersedia”. Dengan jatuhnya kekuasaan
Belanda, pangreh praja di karisidenan itu bagaikan kehilangan tulang punggung
kekuasaannya. Berbagai milisi ciptaan Belanda membubarkan diri. Pangreh praja
hanya bisa menunggu tanpa daya sambil menyaksikan adanya perampokan yang
menyebar cepat dari kecamatan yang satu ke kecamatan lainnya. Toko-toko milik Tionghoa,
rumah-rumah gadai, dan penggilingan padi di kebanyakan daerah menjadi
sasaran utama. Pangreh praja sendiri
kadang kala hampir tidak menghindari serangan dan sering kali menjadi obyek
intimidasi masa yang bangkit kemarahannya. Polisi tampak bingung untuk
memaksakan kewenangannya (Lucas, 2019: 49).
Jepang sendiri untuk menyapu bersih
pasukan-pasukan Belanda dan Sekutu serta pengambilalihan pemerintahan
memerlukan waktu berbulan-bulan. Kekuatan militer Belanda tumbang, hanya
segelintir gerombolan tentara yang masih tetap bertahan di beberapa daerah yang
terpencil. Kebanyakan rakyat Indonesia tidak memberi bantuan kepada mereka. Di
beberapa daerah orang Indonesia menyerang serdadu-serdadu dan warga sipil
Belanda, sehingga satu-satunya cara untuk menyelamatkan diri ialah menyerah
kepada pihak Jepang. Setahun lebih telah berlalu sebelum hampir semua ditawan.
Perkiraan-perkiraan tentang jumlah terakhir seluruh tawanan adalah sekitar
170.000 orang, 65.000 orang diantaranya adalah tentara Belanda, 25.000 orang
adalah serdadu-serdadu Sekutu lainnya dan 80.000 orang adalah warga sipil
(termasuk 60.000 wanita dan anak-anak). Kondisi di kamp-kamp tawanan sangat
buruk. Kurang lebih 20 persen tawanan militer Belanda, 13 persen warga sipil
wanita, dan 10 persen anak-anak meninggal dunia. Jumlah tertinggi orang yang
meninggal dunia terdapat di kamp-kamp sipil pria, yaitu 40 persen meninggal
dunia (Ricklefs, 2005: 298).
Salah satu tugas pertama pihak Jepang
adalah menghentikan revolusi-revolusi yang mengancam akan menyertai upaya
penaklukan mereka. Serangan-serangan terhadap orang-orang Eropa dan perampokan
terhadap rumah-rumah mereka di Banten, Cirebon, Surakarta, dan daerah-daerah
lainnya tampak akan menjurus ke suatu gelombang revolusi (Ricklefs, 2005: 298).
Pada bulan-bulan pertama masuknya
Jepang, Jepang mendapatkan sambutan yang baik dari penduduk setempat, tak pelak
para tokoh Nasional mau bekerjasama dengan pihak Jepang. Faktor-faktor yang
menyebabkan adanya kerjasama itu adalah pertama kali kebangkitan bangsa- bangsa
Timur. Faktor lain adalah ramalan Joyoboyo yang hidup di kalangan rakyat.
Diramalkan bahwa akan datang orang-orang kate
yang akan menguasai Indonesia selama umur jagung dan sesudahnya kemerdekaan
akan tercapai. Juga ada faktor di perkenalkannya pendidikan Barat kepada
orang-orang pribumi yang dibutuhkan pemerintah Hindia Belanda pada masa
jajahannya guna mengisi kekurangan tenaga-tenaga terlatih dan terdidik.
Sedangkan faktor luar yang mempengaruhi adalah kemenangan Jepang atas Rusia
pada tahun 1905. Perjanjian perdamaian Portsmouth
pada tahun itu telah membawa Jepang kepada suatu posisi yang setingkat
dengan negara-negara Barat. Orang Timur memandang kemenangan Jepang sebagai
suatu kemenangan Asia atas Eropa. Selain
itu bahwa sebelum Perang Dunia II diantara tokoh Nasionalis sudah ada yang
berhubungan dengan pihak Jepang. Sebut saja Gatot Mangkupraja dan Hatta.
Sesudah kunjungannya ke Jepang pada akhir tahun 1933, Gatot mempunyai keyakinan
bahwa Jepang dengan gerakan Pan-Asianya mendukung pergerakan nasional Indonesia
(Poesponegoro, 1992 :14-15).
Pada tahap selanjutnya, untuk memusnahkan
pengaruh Barat, pihak Jepang mengkampanyekan progapaganda yang intensif dimulai
untuk meyakinkan rakyat Indonesia bahwa mereka dan bangsa Jepang adalah saudara
seperjuangan dalam perang yang luhur untuk membentuk suatu tatanan baru di
Asia. Para petani pun diberi pesan ini melalui pengeras-pengeras suara radio
yang dipasang pada tiang-tiang di desa-desa mereka. Akan tetapi upaya
propaganda ini sering mengalami kegagalan karena adanya kenyataan-kenyataan
pendudukan Jepang seperti kekacauan ekonomi, teror polisi Militer (kempetai), kerja paksa dan penyerahan
wajib beras, kesombongan dan kekejaman orang-orang Jepang pada umumnya,
pemukulan- pemukulan dan pemerkosaan-pemerkosaan, serta kewajiban memberi
hormat kepada setiap orang Jepang. Orang-orang yang telah menyambut baik orang-orang
Jepang sebagai pembebas sering kali dengan cepat menjadi kecil hati.
Bagaimanapun juga, kampanye anti Barat ini benar-benar mempertajam sentimen-sentimen
anti Belanda di kalangan seluruh masyarakat Indonesia dan mendorong penyebaran
konsepsi Indonesia di kalangan rakyat (Ricklefs, 2005: 301-302).
Setelah berkuasa penuh di Indonesia, Jepang
berusaha men Jepangkan Indonesia dengan mengeluarkan beberapa peraturan.
Seperti yang dimuat didalam Undangn-Undang No. 4 yakni bahwa hanya bendera Jepang yang boleh
dipasang pada hari-hari besar. Lagu kebangsaan yang boleh diperdengarkan
hanyalah Kimigayo. Pada tanggal 1
April 1942 waktu (jam) Jepanglah yang harus dipakai. Perbedaan antara waktu
Jepang (waktu Tokyo) dan waktu di Jawa, pada jaman pendudukan adalah 90 menit.
Sejak saat itu waktu lama yakni jam pada jaman Hindia Belanda, yang sama dengan
WIB yang sekarang tidak dipakai lagi. Mulai tanggal 29 April 1942 tarikh yang harus dipakai ialah tarikh Sumera dan tahun Masehi adalah sama dengan tahun 2602 Sumera. Demikian pula sejak itu setiap
tahun rakyat Indonesia di wajibkan merayakan hari raya Tencosetsu, yakni hari lahirnya Kaesar Hirohito (Poesponegoro, 1992 : 9).
Salah satu senjata Jepang untuk
merangkul dan memobilisasi masyarakat Indonesia adalah dengan propaganda. Pada
dasarnya propaganda Jepang ditunjukkan untuk dua hal, yaitu untuk keperluan
propaganda Jepang dalam usaha perangnya dan untuk men Jepangkan jiwa rakyat
Indonesia. Selama masa pemerintahan, setidaknya ada tiga kali perubahan
propaganda Jepang yaitu periode pertama antara 8 Maret 1942 sampai 8 Desember
1942 merupakan periode propaganda Jepang yang memanfaatkan para pemuka bangsa
Indonesia untuk mendukung Jepang dengan gerakan 3 A ( Nippon Pemimpin Asia, Nippon
Pelindung Asia, dan Nippon Cahaya
Asia). Periode kedua antara 8 Desmeber 1942 sampai Maret 1944 merupakan periode
pembangunan beberapa organisasi baru untuk memusatkan seluruh rakyat Indonesia
dalam usaha kepentingan peperangan Jepang, dan periode ketiga antara Juni 1944
sampai berakhirnya pemerintahan militer mulai diserukan semboyan baru yaitu “segenap penduduk berlengkapkan sendjata!”
kemudian disusul dengan “Janji kemerdekaan
Indonesia di kelak kemudian hari” (Restu S., 2018 : 57-58).
Gerakan propaganda dikirim dari pusat ke
daerah-daerah untuk menerangkan secara serentak beberapa soal yang sama. Ini
dinamakan Hosi atau gerakan serentak.
Hosi pertama digerakkan untuk menerangkan
bahwa Jepang datang ke Indonesia dengan
maksud baik. Hosi kedua untuk
menerangkan bahwa bangsa Indonesia wajib membantu peperangan dengan propaganda
perang suci (Restu S., 2018 : 58).
Ada beberapa tindakan masyarakat yang
harus dilakukan apabila ada tanda dari pihak pemerintahan militer Jepang.
Seperti bila ada sirine berbunyi
masyarakat akan bergegas menutup pintu dan jendela rumah mereka kemudian berlai
menuju gua. Bagi mereka, gua ini dianggap lebih aman untuk bersembunyi
dibandingkan dalam rumah karena rumah mereka mudah terbakar jika terkena bom.
Apabila salah satu dari rumah warga terbakar akibat terkena serangan bom,
masyarakat akan bergegas mengambil tanah dan pasir kering yang mereka simpan
untuk memadamkan api tersebut. Pada saat itu masyarakat diwajibkan menyimpan
pasir dan tanah kering untuk berjaga-jaga apabila ada kebakaran akibat serangan
udara (Restu S., 2018 : 66).
Untuk mengurangi resiko bahaya udara,
masyarakat diminta menyalakan lampu senthir
atau lampu dengan cahaya seminim mungkin agar tidak menarik perhatian Sekutu.
Menyalakan lampu maupun senthir
diijinkan dengan syarat harus ditutup menggunakan kertas atau kain agar cahayanya
mengarah ke bawah. Apabila ada serangan udara masyarakat harus bersembunyi di
dalam gua. Anak-anak disuruh untuk menutup telinga menggunakan kapas untuk
meredamkan suara pesawat. Selain itu mereka juga harus menggigit karet yang
sudah digantung pada seutas tali kemudian dikalungkan di leher mereka (Restu
S., 2018 : 67).
Krisis pangan memang terjadi dimana-mana,
bahkan saat saat itu sering terjadi tawuran antara kampung. Tawuran ini memang
sengaja direncanakan oleh mereka dengan tujuan ditahan agar mendapatkan
makanan. Menjelang akhir tahun 1943 hingga 1945 di Yogyakarta terdapat banyak
pembegalan akibat dampak dari krisis pangan ini. Masyarakat dihimbau agar tidak
berjalan sendiri di atas jam malam. Masyarakat yang terpaksa harus keluar rumah
diatas jam 20.00 malam harus berjalan di tengah-tengah jalan dan berbincang
bincang atau bernyanyi untuk menunjukkan bahwa mereka berjalan bersama-sama.
Hal ini karena apabila ada yang berjalan sendirian di pinggir jalan, orang itu
akan ditarik dan dibegal (Restu S., 2018 : 74).
Begal, kelaparan, dan penyakit memang
menjadi pemandangan biasa pada periode ini. Ketika terserang penyakit, mereka
memilih untuk mengobatinya secara tradisional dari pada berobat kerumah sakit.
Wabah penyakit yang sedang mewabah saat itu adalah penyakit pes. Apabila belum
parah, masyarakat banyak yang sembuh
dengan meminum minyak tanah (Restu S., 2018 : 75). Masyarakat yang terserang
pes, misalnya pagi hari kondisinya sudah parah, maka tidak bisa diobati lagi
karena sorenya akan meninggal. Walaupun banyak masyarakat yang terserang pes
akibat tikus, akan tetapi masyarakat juga tetap mengkonsumsi tikus. Kondisi
pangan yang buruk saat itu memang mau tidak mau memaksa masyarakat untuk
mengkonsumsi apa saja yang bisa dimakan. Bisa dikatakan bahwa pada masa
pendudukan Jepang kondisi kesehatan sangatlah buruk. Selain wabah pes dimasyarakat,
para Romusha banyak yang terkena malaria. Ada beberapa penyakit yang dialami
masyarakat secara umum seperti pes, liver, dan busung lapar (Restu S., 2018 :
75-76).
Di dunia permainan anak saat pendudukan
Jepang terlihat kekaguman kepada balatentara Jepang yang berhasil memukul
mundur pemerintah kolonial. Anak-anak banyak melakukan permainan dengan meniru
yang dilatihkan oleh Jepang seperti baris-berbaris dan perang- perangan (gaputotai). Mereka bersama-sama membuat
senjata mainan dari kayu dan pelepah pisang. Ada juga sebagian dari anak-anak
membuat senjata dari glagah atau
kembang tebu yang dipaku kemudian diberi karet. Anak-anak mendapatkan glagah
dari hasil mencuri di perkebunan tebu daerah tempat tinggal mereka. Walaupun
kondisi saaat itu serba terbatas namun segelintir orang (bangsawan) ada yang
mau mengeluarkan uang untuk membeli seragam militer dengan tujuan supaya anak-anak
mereka menyerupai militer Jepang ketika digunakan saat bermain perang-perangan.
Saat anak-anak melintasi wilayah yang terdapat pos militer Jepang mereka harus
berhenti dan memberi hormat kepada tentara Jepang. Apabila mereka tidak memberi
hormat, anak-anak akan dipukul di bagian kepala atau mereka biasa menyebutnya dismangat (Restu S., 2018 : 105-109).
Pemerintah Pendudukan Balatentara Dai
Nippon atau Jepang menghidupkan kembali Wijk
en Passenstelsel VOC (surat jalan dan bertempat tinggal). Bedanya kalau stelsel ini oleh VOC hanya dikenakan
pada penduduk Tionghoa, Jepang mengenakanya pada seluruh rakyat di Jawa. Orang
harus punya keterangan penduduk. Untuk bepergian keluar daerahnya harus ada
surat keterangan khusus. Menginap di luar domisili harus melapor pada pejabat
setempat. Semua ini diawasi oleh tonarigumi
(rukun tetangga) yang harus ada di setiap kampung (Ananta Toer, 2001 : 11).
Sandang dan pangan merupakan sumber
derita yang berkepanjangan untuk dapat makan sepiring nasi dalam sehari, jalan
yang harus ditempuh sangat panjang dan berliku. Setiap hari orang
bergelimpangan mati kelaparan di pinggir jalan, di pasar, di bawah jembatan. Di
desa-desa petani tidak berhak atas panen. Mereka malah terkena kerja paska di
luar desanya. Lebih tiga perempat juga diantaranya tidak pernah bisa kembali
kepada keluarganya karena tewas di rantau, didaratan dan kepulauan Asia
Tenggara. Para pelajar di kota-kota hampir tidak sempat belajar di sekolah
masing-masing. Taiso (gerak badan), kyoren (latihan baris berbaris) dan Kinrohooshi (kerjabakti) menyita sebagian
besar jam pelajaran. Orang-orang melakukan semua itu dalam keadaan kurang makan
dan lapar. Bila seorang pelajar jatuh pingsan karena tubuhnya terlalu lemah,
orang Jepang atau pelatih atau kepala rombongan orang Indonesia, menyadarkannya
dengan tamparan bertubi-tubi. Tentang penanganan kesehatan, tidak ada obat-obatan
di apotek juga pakaian yang lekat pada tubuh tidak jarang hanya satu satunya
(Ananta Toer, 2011 : 4-5).
Seluruh lapisan masyarakat hidup dalam
kekurangan, kelaparan, dan kemiskinan. Benda- benda yang masih dapat dijual akhirnya
jatuh ke tangan pedagang. Memang hanya golongan pedagang yang dapat hidup baik
dari kemiskinan dan kelaparan itu. Pada waktu itulah lahir istilah baru yang
dikenal dengan catut. Para pedagang
mencatut rejeki penjual pada satu pihak dan mencatut rejeki pembeli pada lain
pihak. Maka mereka dinamai pencatut
(Ananta Toer, 2011 : 5).
Dalam kondisi seperti ini terdengar
secara sayup dari kekuasaan tertinggi di Jawa pada waktu itu pemerintahan
Balatentara Pendudukan Dai Nippon tentang janji memberi kesempatan belajar pada
para pemuda dan pemudi Indonesia ke Tokyo dan Shonanto (Singapura). Sebuah berita
yang kurang jelas. Untuk pertama kalinya terdengar pada tahun 1943 (Ananta
Toer, 2011 : 5). Janji ini tidak
disiarkan melalui harian atau cetakan lain. Namun disampaikan dari mulut
kemulut. Pekerjaan ini ditangani oleh Sendenbu
(Jawatan propaganda-1943). Janji ini disampaikan dari Sendenbu ke pada para pangreh Praja. Para Bupati meneruskannya pada
para Camat. Camat pada Lurah. Lurah pada perangkat desa dan penduduk. Semua dalam
pengawasan Kempetai (Ananta Toer,
2001 : 7-8). Dalam janji itu disebutkan di dalam usaha mempersiapkan rakyat
Indonesia kearah kemerdekaan nanti sesuai dengan kehendak Nippon, generasi muda
Indonesia dididik supaya bisa mengabdikan diri dalam kemerdekaan. Janji ini
tersiar pada tahun 1944. Di lain tempat janji itu berbunyi akan memberikan
kesempatan belajar sebagai bidan atau juru rawat. Yang dikehendaki Jepang
adalah para perawan berumur antara 13 – 17 tahun, sebagian besar baru lulus
sekolah dasar (Ananta Toer, 2001 : 8).
Bahwa sejak 1943 itu mereka mulai
mengangkuti para perawan dengan tujuan Tokyo dan Shonanto. Tidak jelas berapa
kali Jepang melakukan pengangkutan. Juga tidak jelas berapa puluh ribu perawan
remaja yang telah diangkutnya sampai pada akhir kekuasaannya di Jawa (Ananta
Toer, 2001 : 15). Para perawan remaja ini dibawa oleh pihak Jepang kesebuah
tempat yang dipagari bambu anyaman tinggi agar tidak kelihatan dari luar.
Sehari dua hari mereka dilayani seperti gadis-gadis asrama biasa, diberi
petunjuk kesehatan sedikit. Seminggu kemudian
mereka harus melayani kebutuhan seks para serdadu Jepang yang sedang
beristirahat di garis belakang. Ancaman dengan kekerasan bukanlah sesuatu yang
luar biasa. Wanita Jepang yang ada disitu sebagi ibu asrama selau memberikan
hiburan pada mereka agar tetap dapat melakukan “pekerjaan” dengan baik (Ananta
Toer, 2001 : 38-39). Ternyata janji Jepang yang akan menyekolahkan pemudi
Indonesia adalah bohong belaka. Karena mereka di kirim ke kamp-kamp Jepang
sebagai penghibur tentara-tentara Jepang dan melepaskan mereka begitu saja
tanpa dikembalikan ke daerahnya setelah perang berakhir.
Bersambung. . . . .
Daftar Pustaka
Ananta
Tour, Pramoedya. 2001. PERAWAN REMAJA
DALAM CENGKERAMAN MILITER. Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia
Lucas,
Anton. 2019. PERISTIWA TIGA DAERAH.
Yogyakarta : Media Pressindo
Poesponegoro,
Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. 1992. SEJARAH NASIONAL INDONESIA VII. Jakarta : Balai Pustaka
Restu
S., Alfrida. 2018. Di Bawah Bendera
Fasisme Kehidupan Anak-Anak di Yogyakarta Pada Masa Pendudukan Jepang 1942-1945.
Yogyakarta : Dialog Pustaka
Ricklefs,
M.C. 2005. SEJARAH INDONESIA MODERN.
Yogyakarta : Gadjah Mada University Press
Tidak ada komentar:
Posting Komentar