Senin, 06 April 2020

KONDISI SOSIAL MASYARAKAT INDONESIA SAAT PENDUDUKAN JEPANG



Kondisi Sosial Masyarakat Indonesia Saat Pendudukan Jepang

Kondisi Indonesia pada umumnya sebelum Jepang sampai ke Jawa adalah penguasa Hindia Belanda tidak mengetahui situasi peperangan yang sebenarnya. Seperti yang terjadi di Karesidenan Pekalongan. Tatkala terjadi pendaratan Jepang di Jawa, penguasa Kolonial berusaha melaksanakan rencana sabotase yang dipersiapkan secara tergesa-gesa atas gudang, jembatan, instalasi pelabuhan di sekitar Tegal, teramasuk tangki penyulingan minyak BPM (Bataafsche Petroleum Maatschappij) juga dihancurkan. Di Pekalongan, Belanda memerintahkan agar semua mesin pabrik gula, pemintalan, dan tenun dipreteli. Sampai rantai sepeda harus dibuang dari sepedanya ke sungai agar tidak dapat digunakan musuh. Wedana Wiradesa yang wilayahnya berpantai itu diperintahkan mengawasi langsung penenggelaman perahu-perahu kecil penangkap ikan, tetapi dia memerintahkan menyembunyikan perahu itu dengan menariknya ke hulu sungai mengingat perahu adalah alat vital bagi kehidupan nelayan (Lucas, 2019: 48).
Atas perintah sebuah badan baru yang bernama Dinas Perlindungan Serangan Udara (Luchtbescherming Dienst) rakyat menggali lubang perlindungan yang cukup luas bagi setiap keluarga yang bertempat tinggal disekitar pabrik. Sampai-sampai orang sering bercanda, “Bila bom jatuh tidak perlu lagi digali lubang kubur, karena sudah tersedia”. Dengan jatuhnya kekuasaan Belanda, pangreh praja di karisidenan itu bagaikan kehilangan tulang punggung kekuasaannya. Berbagai milisi ciptaan Belanda membubarkan diri. Pangreh praja hanya bisa menunggu tanpa daya sambil menyaksikan adanya perampokan yang menyebar cepat dari kecamatan yang satu ke kecamatan lainnya. Toko-toko milik Tionghoa, rumah-rumah gadai, dan penggilingan padi di kebanyakan daerah menjadi sasaran  utama. Pangreh praja sendiri kadang kala hampir tidak menghindari serangan dan sering kali menjadi obyek intimidasi masa yang bangkit kemarahannya. Polisi tampak bingung untuk memaksakan kewenangannya (Lucas, 2019: 49).
Jepang sendiri untuk menyapu bersih pasukan-pasukan Belanda dan Sekutu serta pengambilalihan pemerintahan memerlukan waktu berbulan-bulan. Kekuatan militer Belanda tumbang, hanya segelintir gerombolan tentara yang masih tetap bertahan di beberapa daerah yang terpencil. Kebanyakan rakyat Indonesia tidak memberi bantuan kepada mereka. Di beberapa daerah orang Indonesia menyerang serdadu-serdadu dan warga sipil Belanda, sehingga satu-satunya cara untuk menyelamatkan diri ialah menyerah kepada pihak Jepang. Setahun lebih telah berlalu sebelum hampir semua ditawan. Perkiraan-perkiraan tentang jumlah terakhir seluruh tawanan adalah sekitar 170.000 orang, 65.000 orang diantaranya adalah tentara Belanda, 25.000 orang adalah serdadu-serdadu Sekutu lainnya dan 80.000 orang adalah warga sipil (termasuk 60.000 wanita dan anak-anak). Kondisi di kamp-kamp tawanan sangat buruk. Kurang lebih 20 persen tawanan militer Belanda, 13 persen warga sipil wanita, dan 10 persen anak-anak meninggal dunia. Jumlah tertinggi orang yang meninggal dunia terdapat di kamp-kamp sipil pria, yaitu 40 persen meninggal dunia (Ricklefs, 2005: 298).
Salah satu tugas pertama pihak Jepang adalah menghentikan revolusi-revolusi yang mengancam akan menyertai upaya penaklukan mereka. Serangan-serangan terhadap orang-orang Eropa dan perampokan terhadap rumah-rumah mereka di Banten, Cirebon, Surakarta, dan daerah-daerah lainnya tampak akan menjurus ke suatu gelombang revolusi (Ricklefs, 2005: 298).
Pada bulan-bulan pertama masuknya Jepang, Jepang mendapatkan sambutan yang baik dari penduduk setempat, tak pelak para tokoh Nasional mau bekerjasama dengan pihak Jepang. Faktor-faktor yang menyebabkan adanya kerjasama itu adalah pertama kali kebangkitan bangsa- bangsa Timur. Faktor lain adalah ramalan Joyoboyo yang hidup di kalangan rakyat. Diramalkan bahwa akan datang orang-orang kate yang akan menguasai Indonesia selama umur jagung dan sesudahnya kemerdekaan akan tercapai. Juga ada faktor di perkenalkannya pendidikan Barat kepada orang-orang pribumi yang dibutuhkan pemerintah Hindia Belanda pada masa jajahannya guna mengisi kekurangan tenaga-tenaga terlatih dan terdidik. Sedangkan faktor luar yang mempengaruhi adalah kemenangan Jepang atas Rusia pada tahun 1905. Perjanjian perdamaian Portsmouth pada tahun itu telah membawa Jepang kepada suatu posisi yang setingkat dengan negara-negara Barat. Orang Timur memandang kemenangan Jepang sebagai suatu kemenangan Asia atas Eropa.  Selain itu bahwa sebelum Perang Dunia II diantara tokoh Nasionalis sudah ada yang berhubungan dengan pihak Jepang. Sebut saja Gatot Mangkupraja dan Hatta. Sesudah kunjungannya ke Jepang pada akhir tahun 1933, Gatot mempunyai keyakinan bahwa Jepang dengan gerakan Pan-Asianya mendukung pergerakan nasional Indonesia (Poesponegoro, 1992 :14-15).
Pada tahap selanjutnya, untuk memusnahkan pengaruh Barat, pihak Jepang mengkampanyekan progapaganda yang intensif dimulai untuk meyakinkan rakyat Indonesia bahwa mereka dan bangsa Jepang adalah saudara seperjuangan dalam perang yang luhur untuk membentuk suatu tatanan baru di Asia. Para petani pun diberi pesan ini melalui pengeras-pengeras suara radio yang dipasang pada tiang-tiang di desa-desa mereka. Akan tetapi upaya propaganda ini sering mengalami kegagalan karena adanya kenyataan-kenyataan pendudukan Jepang seperti kekacauan ekonomi, teror polisi Militer (kempetai), kerja paksa dan penyerahan wajib beras, kesombongan dan kekejaman orang-orang Jepang pada umumnya, pemukulan- pemukulan dan pemerkosaan-pemerkosaan, serta kewajiban memberi hormat kepada setiap orang Jepang. Orang-orang yang telah menyambut baik orang-orang Jepang sebagai pembebas sering kali dengan cepat menjadi kecil hati. Bagaimanapun juga, kampanye anti Barat ini benar-benar mempertajam sentimen-sentimen anti Belanda di kalangan seluruh masyarakat Indonesia dan mendorong penyebaran konsepsi Indonesia di kalangan rakyat (Ricklefs, 2005: 301-302).
Setelah berkuasa penuh di Indonesia, Jepang berusaha men Jepangkan Indonesia dengan mengeluarkan beberapa peraturan. Seperti yang dimuat didalam Undangn-Undang No. 4 yakni  bahwa hanya bendera Jepang yang boleh dipasang pada hari-hari besar. Lagu kebangsaan yang boleh diperdengarkan hanyalah Kimigayo. Pada tanggal 1 April 1942 waktu (jam) Jepanglah yang harus dipakai. Perbedaan antara waktu Jepang (waktu Tokyo) dan waktu di Jawa, pada jaman pendudukan adalah 90 menit. Sejak saat itu waktu lama yakni jam pada jaman Hindia Belanda, yang sama dengan WIB yang sekarang tidak dipakai lagi. Mulai tanggal 29 April 1942 tarikh yang harus dipakai ialah tarikh Sumera dan tahun Masehi adalah sama dengan tahun 2602 Sumera. Demikian pula sejak itu setiap tahun rakyat Indonesia di wajibkan merayakan hari raya Tencosetsu, yakni hari lahirnya Kaesar Hirohito  (Poesponegoro, 1992 : 9).
Salah satu senjata Jepang untuk merangkul dan memobilisasi masyarakat Indonesia adalah dengan propaganda. Pada dasarnya propaganda Jepang ditunjukkan untuk dua hal, yaitu untuk keperluan propaganda Jepang dalam usaha perangnya dan untuk men Jepangkan jiwa rakyat Indonesia. Selama masa pemerintahan, setidaknya ada tiga kali perubahan propaganda Jepang yaitu periode pertama antara 8 Maret 1942 sampai 8 Desember 1942 merupakan periode propaganda Jepang yang memanfaatkan para pemuka bangsa Indonesia untuk mendukung Jepang dengan gerakan 3 A ( Nippon Pemimpin Asia, Nippon Pelindung Asia, dan Nippon Cahaya Asia). Periode kedua antara 8 Desmeber 1942 sampai Maret 1944 merupakan periode pembangunan beberapa organisasi baru untuk memusatkan seluruh rakyat Indonesia dalam usaha kepentingan peperangan Jepang, dan periode ketiga antara Juni 1944 sampai berakhirnya pemerintahan militer mulai diserukan semboyan baru yaitu “segenap penduduk berlengkapkan sendjata!” kemudian disusul dengan “Janji kemerdekaan Indonesia di kelak kemudian hari” (Restu S., 2018 : 57-58).
Gerakan propaganda dikirim dari pusat ke daerah-daerah untuk menerangkan secara serentak beberapa soal yang sama. Ini dinamakan Hosi atau gerakan serentak. Hosi pertama digerakkan untuk menerangkan bahwa Jepang datang  ke Indonesia dengan maksud baik. Hosi kedua untuk menerangkan bahwa bangsa Indonesia wajib membantu peperangan dengan propaganda perang suci (Restu S., 2018 : 58).
Ada beberapa tindakan masyarakat yang harus dilakukan apabila ada tanda dari pihak pemerintahan militer Jepang. Seperti bila ada sirine berbunyi masyarakat akan bergegas menutup pintu dan jendela rumah mereka kemudian berlai menuju gua. Bagi mereka, gua ini dianggap lebih aman untuk bersembunyi dibandingkan dalam rumah karena rumah mereka mudah terbakar jika terkena bom. Apabila salah satu dari rumah warga terbakar akibat terkena serangan bom, masyarakat akan bergegas mengambil tanah dan pasir kering yang mereka simpan untuk memadamkan api tersebut. Pada saat itu masyarakat diwajibkan menyimpan pasir dan tanah kering untuk berjaga-jaga apabila ada kebakaran akibat serangan udara (Restu S., 2018 : 66).
Untuk mengurangi resiko bahaya udara, masyarakat diminta menyalakan lampu senthir atau lampu dengan cahaya seminim mungkin agar tidak menarik perhatian Sekutu. Menyalakan lampu maupun senthir diijinkan dengan syarat harus ditutup menggunakan kertas atau kain agar cahayanya mengarah ke bawah. Apabila ada serangan udara masyarakat harus bersembunyi di dalam gua. Anak-anak disuruh untuk menutup telinga menggunakan kapas untuk meredamkan suara pesawat. Selain itu mereka juga harus menggigit karet yang sudah digantung pada seutas tali kemudian dikalungkan di leher mereka (Restu S., 2018 : 67).
Krisis pangan memang terjadi dimana-mana, bahkan saat saat itu sering terjadi tawuran antara kampung. Tawuran ini memang sengaja direncanakan oleh mereka dengan tujuan ditahan agar mendapatkan makanan. Menjelang akhir tahun 1943 hingga 1945 di Yogyakarta terdapat banyak pembegalan akibat dampak dari krisis pangan ini. Masyarakat dihimbau agar tidak berjalan sendiri di atas jam malam. Masyarakat yang terpaksa harus keluar rumah diatas jam 20.00 malam harus berjalan di tengah-tengah jalan dan berbincang bincang atau bernyanyi untuk menunjukkan bahwa mereka berjalan bersama-sama. Hal ini karena apabila ada yang berjalan sendirian di pinggir jalan, orang itu akan ditarik dan dibegal (Restu S., 2018 : 74).
Begal, kelaparan, dan penyakit memang menjadi pemandangan biasa pada periode ini. Ketika terserang penyakit, mereka memilih untuk mengobatinya secara tradisional dari pada berobat kerumah sakit. Wabah penyakit yang sedang mewabah saat itu adalah penyakit pes. Apabila belum parah,  masyarakat banyak yang sembuh dengan meminum minyak tanah (Restu S., 2018 : 75). Masyarakat yang terserang pes, misalnya pagi hari kondisinya sudah parah, maka tidak bisa diobati lagi karena sorenya akan meninggal. Walaupun banyak masyarakat yang terserang pes akibat tikus, akan tetapi masyarakat juga tetap mengkonsumsi tikus. Kondisi pangan yang buruk saat itu memang mau tidak mau memaksa masyarakat untuk mengkonsumsi apa saja yang bisa dimakan. Bisa dikatakan bahwa pada masa pendudukan Jepang kondisi kesehatan sangatlah buruk. Selain wabah pes dimasyarakat, para Romusha banyak yang terkena malaria. Ada beberapa penyakit yang dialami masyarakat secara umum seperti pes, liver, dan busung lapar (Restu S., 2018 : 75-76).
Di dunia permainan anak saat pendudukan Jepang terlihat kekaguman kepada balatentara Jepang yang berhasil memukul mundur pemerintah kolonial. Anak-anak banyak melakukan permainan dengan meniru yang dilatihkan oleh Jepang seperti baris-berbaris dan perang- perangan (gaputotai). Mereka bersama-sama membuat senjata mainan dari kayu dan pelepah pisang. Ada juga sebagian dari anak-anak membuat senjata dari glagah atau kembang tebu yang dipaku kemudian diberi karet. Anak-anak mendapatkan glagah dari hasil mencuri di perkebunan tebu daerah tempat tinggal mereka. Walaupun kondisi saaat itu serba terbatas namun segelintir orang (bangsawan) ada yang mau mengeluarkan uang untuk membeli seragam militer dengan tujuan supaya anak-anak mereka menyerupai militer Jepang ketika digunakan saat bermain perang-perangan. Saat anak-anak melintasi wilayah yang terdapat pos militer Jepang mereka harus berhenti dan memberi hormat kepada tentara Jepang. Apabila mereka tidak memberi hormat, anak-anak akan dipukul di bagian kepala atau mereka biasa menyebutnya dismangat (Restu S., 2018 : 105-109).
Pemerintah Pendudukan Balatentara Dai Nippon atau Jepang menghidupkan kembali Wijk en Passenstelsel VOC (surat jalan dan bertempat tinggal). Bedanya kalau stelsel ini oleh VOC hanya dikenakan pada penduduk Tionghoa, Jepang mengenakanya pada seluruh rakyat di Jawa. Orang harus punya keterangan penduduk. Untuk bepergian keluar daerahnya harus ada surat keterangan khusus. Menginap di luar domisili harus melapor pada pejabat setempat. Semua ini diawasi oleh tonarigumi (rukun tetangga) yang harus ada di setiap kampung (Ananta Toer, 2001 : 11).
Sandang dan pangan merupakan sumber derita yang berkepanjangan untuk dapat makan sepiring nasi dalam sehari, jalan yang harus ditempuh sangat panjang dan berliku. Setiap hari orang bergelimpangan mati kelaparan di pinggir jalan, di pasar, di bawah jembatan. Di desa-desa petani tidak berhak atas panen. Mereka malah terkena kerja paska di luar desanya. Lebih tiga perempat juga diantaranya tidak pernah bisa kembali kepada keluarganya karena tewas di rantau, didaratan dan kepulauan Asia Tenggara. Para pelajar di kota-kota hampir tidak sempat belajar di sekolah masing-masing. Taiso (gerak badan), kyoren (latihan baris berbaris) dan Kinrohooshi (kerjabakti) menyita sebagian besar jam pelajaran. Orang-orang melakukan semua itu dalam keadaan kurang makan dan lapar. Bila seorang pelajar jatuh pingsan karena tubuhnya terlalu lemah, orang Jepang atau pelatih atau kepala rombongan orang Indonesia, menyadarkannya dengan tamparan bertubi-tubi. Tentang penanganan kesehatan, tidak ada obat-obatan di apotek juga pakaian yang lekat pada tubuh tidak jarang hanya satu satunya (Ananta Toer, 2011 : 4-5).
Seluruh lapisan masyarakat hidup dalam kekurangan, kelaparan, dan kemiskinan. Benda- benda yang masih dapat dijual akhirnya jatuh ke tangan pedagang. Memang hanya golongan pedagang yang dapat hidup baik dari kemiskinan dan kelaparan itu. Pada waktu itulah lahir istilah baru yang dikenal dengan catut. Para pedagang mencatut rejeki penjual pada satu pihak dan mencatut rejeki pembeli pada lain pihak. Maka mereka dinamai pencatut (Ananta Toer, 2011 : 5).
Dalam kondisi seperti ini terdengar secara sayup dari kekuasaan tertinggi di Jawa pada waktu itu pemerintahan Balatentara Pendudukan Dai Nippon tentang janji memberi kesempatan belajar pada para pemuda dan pemudi Indonesia ke Tokyo dan Shonanto (Singapura). Sebuah berita yang kurang jelas. Untuk pertama kalinya terdengar pada tahun 1943 (Ananta Toer, 2011 : 5).  Janji ini tidak disiarkan melalui harian atau cetakan lain. Namun disampaikan dari mulut kemulut. Pekerjaan ini ditangani oleh Sendenbu (Jawatan propaganda-1943). Janji ini disampaikan dari Sendenbu ke pada para pangreh Praja. Para Bupati meneruskannya pada para Camat. Camat pada Lurah. Lurah pada perangkat desa dan penduduk. Semua dalam pengawasan Kempetai (Ananta Toer, 2001 : 7-8). Dalam janji itu disebutkan di dalam usaha mempersiapkan rakyat Indonesia kearah kemerdekaan nanti sesuai dengan kehendak Nippon, generasi muda Indonesia dididik supaya bisa mengabdikan diri dalam kemerdekaan. Janji ini tersiar pada tahun 1944. Di lain tempat janji itu berbunyi akan memberikan kesempatan belajar sebagai bidan atau juru rawat. Yang dikehendaki Jepang adalah para perawan berumur antara 13 – 17 tahun, sebagian besar baru lulus sekolah dasar (Ananta Toer, 2001 : 8).
Bahwa sejak 1943 itu mereka mulai mengangkuti para perawan dengan tujuan Tokyo dan Shonanto. Tidak jelas berapa kali Jepang melakukan pengangkutan. Juga tidak jelas berapa puluh ribu perawan remaja yang telah diangkutnya sampai pada akhir kekuasaannya di Jawa (Ananta Toer, 2001 : 15). Para perawan remaja ini dibawa oleh pihak Jepang kesebuah tempat yang dipagari bambu anyaman tinggi agar tidak kelihatan dari luar. Sehari dua hari mereka dilayani seperti gadis-gadis asrama biasa, diberi petunjuk kesehatan sedikit. Seminggu kemudian  mereka harus melayani kebutuhan seks para serdadu Jepang yang sedang beristirahat di garis belakang. Ancaman dengan kekerasan bukanlah sesuatu yang luar biasa. Wanita Jepang yang ada disitu sebagi ibu asrama selau memberikan hiburan pada mereka agar tetap dapat melakukan “pekerjaan” dengan baik (Ananta Toer, 2001 : 38-39). Ternyata janji Jepang yang akan menyekolahkan pemudi Indonesia adalah bohong belaka. Karena mereka di kirim ke kamp-kamp Jepang sebagai penghibur tentara-tentara Jepang dan melepaskan mereka begitu saja tanpa dikembalikan ke daerahnya setelah perang berakhir.  

Bersambung. . . . .



Daftar Pustaka
Ananta Tour, Pramoedya. 2001. PERAWAN REMAJA DALAM CENGKERAMAN MILITER. Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia
Lucas, Anton. 2019. PERISTIWA TIGA DAERAH. Yogyakarta : Media Pressindo
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. 1992. SEJARAH NASIONAL INDONESIA VII. Jakarta : Balai Pustaka
Restu S., Alfrida. 2018. Di Bawah Bendera Fasisme Kehidupan Anak-Anak di Yogyakarta Pada Masa Pendudukan Jepang 1942-1945. Yogyakarta : Dialog Pustaka
Ricklefs, M.C. 2005. SEJARAH INDONESIA MODERN. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press

Tidak ada komentar:

Posting Komentar