Selasa, 28 April 2020

DARI URUK SAMPAI UR


Kompetensi dasar :
3.11 menganalisis peradaban awal dunia serta keterkaitannya denga peradaban masa kini pada aspek lingkungan, hukum, kepercayaan, pemerintahan, dan sosial.
4.11 Menyajikan hasil analisis peradaban awal dunia serta keterkaitannya dengan peradaban masa kini pada aspek lingkungan, hukum, kepercayaan, pemerintahan, dan sosial dalam bentuk tulisan dan/atau media lain.

MESOPOTAMIA
DARI URUK SAMPAI UR
Oleh : Topan


Mesopotamia dengan lembah sungai Efrat dan Tigris. Sumber air kedua batang sungai terdapat di lereng pegunungan di Armenia. Di perbatasan antara Irak dan Rusia sekarang. Lumpur endapannya bertumpuk-tumpuk pada muaranya, menjadikan munculnya dataran rendah baru yang selalu meluas menutup mulut teluk Bahrein di tepi teluk besar Parsi. Kemudian dataran rendah yang baru itu mengalami pengirisan kembali oleh bagian-bagian delta dari sungai tadi. Disekitar muaranya, alam geografisnya berupa rawa-rawa  penuh dengan tumbuhan semak dan didiami oleh aneka jenis burung liar. Semakin ke pedalaman alam semakin kering. Kemudian datanglah bangsa-bangsa dari gurun di sekitarnya untuk beternak dan bertani di lembah yang subur tersebut (Daldjoeni, 1995 : 74).
Setiap tahun cairan salju di gunung-gunung Armenia menimbulkan luapan sungai. Datanglah banjir hebat yang menyebarkan lumpur alluvial secara berlapis-lapis dari masa- kemasa. Tanah menjadi makin subur dan hasil panenan meningkat dari masa ke masa. Teluk Parsi makin berubah menjadi daratan, lembah Mesopotamia menjadi luas ke Selatan. Penduduk memanfaatkan banjir tersebut untuk pertanian, peternakan dan penanaman tumbuhan kurma. Namun ancaman banjir tetap selalu ada. Mereka menanganinya dengan membuat tanggul, dam, serta terusan. Untuk itu perlulah organisasi dan kepemimpinan yang baik (Daldjoeni, 1995 : 74). Kemudian untuk mengatur masyarakat agraris muncul berbagai pembagian kerja di dalam kepemimpinan sehingga timbul fungsi khusus berupa raja, imam dan hakim. Dengan demikian lahirlah masyarakat yang teratur. Bangsa pertama yang menghuni lembah Efrat Tigris menamakan dirinya bangsa Sumeria.  Bangsa Sumeria datang dari gurun dan pengunungan di luar Mesopotamia. Pada awalnya mereka adalah peternak yang hidup nomad. Kemudian datang pula bangsa Semit untuk bercampur dengan bangsa Sumeria. Sebelum sampai ke lembah Efrat Tigris, bangsa Semit sudah mengenal dasar-dasar kehidupan politik dan ekonomi pertanian (Daldjoeni, 1995 : 76).
Untuk banjir di Sumeria belumlah bisa diramalkan seperti halnya di Mesir kuno. Luapan datang secara tak teratur di sepanjang tahun. Kesamaan dengan Mesir adalah bahwa lumpur yang diendapkan dapat dimanfaatkan untuk pertanian. Di wilayah Efrat dan Tigris itu banyak terdapat ikan dan berbagai jenis burung yang dapat dimakan sedang langit pun  terang di sepanjang tahun, sehingga mendorong berbagai kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknik. Di banding dengan Mesir, di Mesopotamia untuk membuat irigasi lebihlah sulit, sehingga taraf peradaban bagi berbagai kelompok penduduk di Mesopotamia berbeda-beda menurut banyak sedikinya curah hujan (Daldjoeni, 1995 : 78).
Dari hasil temuan, para ahli umumnya menyebut tahun 3500 SM sebagai awal dari peradaban Sumeria. Selain itu diakui bahwa peradaban Mesopotamia adalah peradaban Sumeria itu sendiri. Alasannya peradaban Mesopotamia sebagian besar dibentuk oleh bangsa Sumeria. Bangsa-bangsa lain yang datang sesudahnya hanya meneruskan dan memperkaya peradaban yang telah terbentuk (222). Berdasarkan temuan dan hasil penelitian arkeologis bangsa Sumeria pertama kali mendiami wilayah Ubaid (Irak sekarang), sehingga disebut Periode Ubaid (tahun 5300 – 4000 SM). Bangsa Sumeria tinggal dalam pemukiman besar serta mampu membangun jaringan-jaringan kanal yang luas untuk mendukung kegiatan pertanian, membuat bangunan rumah dari bata lumpur berbentuk empat persegi panjang, menyamak kulit, membuat tembikar warna warni, membuat sabit dari tanah liat yang dibakar dengan api. Pada akhir periode ini mereka sudah dapat membuat roda dari tanah liat. Selain petani mereka juga bangsa peternak (Hapsari, 2017 : 223).
Periode berikutnya adalah Perode Uruk (+4000-3100 SM). Periode ini ditandai dengan munculnya kehidupan urban (kota) di Mesopotamia dalam bentuk menculnya negara-negara kota dan organisasi pemerintahan. Hal ini diantaranya ditunjukkan dengan adanya mangkuk tanah liat yang diproduksi massal. Penggunaan cap silinder telah dikenal sejak periode ini (Hapsari, 2017 : 223). Penggambaran kota Uruk adalah sebagai berikut : Uruk merupakan suatu tempat dengan kegiatan yang intens, sebuah kota dengan kehidupan masyarakat yang bersemangat, tempat perahu perahu kecil dan perahu dengan dasar datar yang sarat dengan hasil bumi tampak saling berdampingan sepanjang kanal-kanal yang berubah bagaikan jalan-jalan utama. Tempat para kuli pengangkut barang membawa beban muatan besar di punggung mereka sepanjang lorong-lorong, saling berjejalan dengan para imam dan birokrat, pelajar, pekerja, dan budak. Dari sisa-sisa peninggalan saluran-saluran air dan waduk waduk yang dibangun dari bata bakar tahan air, diyakini juga bahwa ada taman-taman umum yang hijau dan rindang. Kuil-kuil, bangunan-bangunan publik, tempat-tempat suci, dan tempat-tempat untuk berkumpul mengelilingi tempat yang disebut Eanna, rumah surgawi, nantinya dikenal sebagai tempat tinggal dewi Inanna di bumi-juga mengelilingi pusat keagamaan sekunder, tempat Anu sang dewa langit yang sangat dihormati. Tempat-tempat ini bukanlah tempat-tempat tertutup dan rahasia seperti banyak kuil di lokasi lain dimasa kuno yang hanya dapat diakses oleh para imam dan yang sudah diinisiasi (Kriwaczek, 2013 : 71). Di akhir periode ini muncul bentuk-bentuk awal huruf kuneiform atau huruf paku berwujud gambar atau dikenal dengan piktograf (Hapsari, 2017 : 223).
Pada Periode Jemdet Nasr (+ 3100 – 2900 SM), bangsa Sumeria membuat tembikar berglasir monokrom dan polikrom.  Selain geometris, desainnya figurative dengan menampilkan gambar pohon dan binatang, seperti burung, ikan, kambing, kalajengking dan ular. Kemungkinan tembikar jenis ini hanya dimiliki orang-orang yang berstatus tinggi. Huruf kuneiform semakin berbentuk dan mengalami sejumlah perubahan penting, awalnya terdiri dari piktograf-piktograf (tulisan berbentuk gambar), kemudian digunakan desain yang lebih sederhana dan abstrak. Mulanya untuk mencatat hasil panen, barang-barang dan binatang piaraan, kemudian digunakan sebagai tulisan resmi dalam pemerintahan, termasuk daftar nama raja, kegiatan ritual, distribusi pangan dan lain-lain (Hapsari, 2017 : 223- 224).
Segel dan cap berbentuk silinder sudah ditemukan disitus Jemdet Nasr. Ini menandakan sebuah organisasi pemerintahan yang sudah berbentuk “pemerintahan pusat” yang mengatur semua aspek kehidupan.  Perekonomian mengandalkan pertanian subsisten. Mereka juga melakukan peternakan dengan pengembalaan seperi kambing dan biri-biri. Perdagangannya sistem barter dengan skala kecil Pada sekitar tahun 3000 SM, Sumeria berhasil membangun 12 kota besar semacam negara kota (Kish, Ur, Uruk, Lagash, Nippur – kota keagamaan, Girsu – kota keagamaan, dan Eridu). Negara kota memiliki pemimpin yang disebut ensi atau penguasa negara kota yang diangkat dengan pemilihan. Kelak negara-negara kota itu berbentuk kerajaan dengan kekuasaan diwariskan secara turun-temurun.  Irigasi berjalan baik mengakibatkan surplus pangan (Hapsari, 2017 : 224 – 225).
Homo Ludens, manusia makhluk bemain (Kriwaczek, 2013 : 78). Ditemukan di Mesopotamia mainan tarik yang begitu menarik yang digali dari tanah Tell al-Asmar, kota Eshnunna kuno. Yang satu panjangnya sekitar 13 sentimenter, terbuat dari tanah liat bakar dengan kepala kambing kecil terpasang pada badan mainan besar berbentuk silinder. Semua itu terpasang di atas empat roda tipis yang di bagian depan terdapat sebuah lubang tempat seutas tali dulu terikat kuat. Mainan ini benar-benar murni mainan dan sangat sederhana, dibuat untuk kegembiraan anak-anak usia tiga hingga lima tahun (Kriwaczek, 2013 : 83). Alat permainan ini ditemukan di reruntuhan sebuah kuil dan mungkin memiliki makna keagamanaan. Disinilah orang-orang dewasa disekitarnya ikut melamunkan daftar panjang kreasi-kreasi baru dan penemuan-penemuan baru yang kini muncul dalam catatan arkeologis untuk kali pertama di Uruk dan sekitarnya (Kriwaczek, 2013 : 84).
Beberapa penemuan tampaknya membutuhkan percikan inspirasi mendadak saat mengonsepnya. Roda merupakan salah satu dari penemuan itu. Ada kesimpulan dengan pasti bahwa roda-roda tersebut dikembangkan dari gelinding-gelinding kayu yang telah lama digunakan untuk memindahkan benda-benda berat di atas papan kereta luncur dalam jarak dekat. Walaupun ada ilmuan yang menyimpulkan ada perbedaan dari konsep gelinding kayu dengan roda karena roda merupakan bagian dari benda yang bergerak itu sendiri. Ada analisis lain, bahwa meja putar yang berporos pada pusatnya dan dulu digunakan untuk membuat jambangan tembikar yang benar-benar bulat, yang sebenarnya muncul dalam catatan arkeologi sebelum munculnya roda (Kriwaczek, 2013 : 85). 
Terjadinya evolusi bertahap melahirkan banyak hal. Ahli tembikar yang penuh hiasan cantik saat itu, pembakaran yang tidak merata, dan adanya noda serta jelaga yang menempel pada tembikar sebagai imbas pembakaran terbuka mulai menciptakan jalan keluar. Terjadinya pembakaran khas Mesopotamia yang berbentuk seperti sarang lebah, dengan lubang angin di puncak dan lantai yang berlubang dan memisahkan bahan bakar dari bilik pembakaran (Kriwaczek, 2013 : 85 - 86). Secara pasti dan tidak sengaja, terlepas dari melindungi barang- barang yang telah dipersiapkan secara hati-hati ini dari kerusakan, tempat pembakaran juga memungkinkan suhu pembakaran yang sangat tinggi (Kriwaczek, 2013 : 86).
Batu berwarna biru-hijau yang disebut lapis lazuli merupakan batu permata berharga di masa lalu yang digunakan sebagai perhiasan pada manik-manik dan gelang serta pada tatahan dan dekorasi patung. Dalam literasi bangsa Sumeria, tembok-tembok kota dihiasi dengan ornament tersebut (Kriwaczek, 2013 : 86). Namun demikian lapis lazuli merupakan batu yang langka, hanya bisa ditemukan pada beberapa tempat di Asia Tengah, terutama pegunungan Badakhshan di sebelah Utara yang sekarang disebut Afghanistan, sekitar 2500 kilometer dari Mesopotamia Selatan. Benar-benar menakjubkan bahwa mungkin pernah ada suatu bentuk perdagangan yang berkembang pesat di tempat dengan jarak yang begitu jauh (Kriwaczek, 2013 : 87).
Penemuan berlanjut, dimana terjadi penambahan bijih timah ke dalam bijih tembaga mengubah sifat logam yang dihasilkan dengan lebih baik. Logam campuran itu lebih keras, lebih kuat, tepi yang tajam lebih tahan lama, dan paling penting logam campuran itu meleleh pada suhu yang lebih rendah, membuat lebih mudah untuk dicetak. Hal itulah yang akhirnya membawa wilayah Mesopotamia Selatan keluar dari zamaan batu dan menuju zaman perunggu dengan perubahan pada seluruh budaya, sosial dan politik (Kriwaczek, 2013 : 90).
Benda-benda yang paling khas yang ditemukan dalam bentuk utuh dan pecah di reruntuhan kota Uruk hampir setengah bagian dari semua barang tembikar ditemukan adalah wadah-wadah tembikar sederhana berbentuk agak kasar yang dikenal sebagi mangkuk berlingkar miring, sangat berbeda dari barang-barang tembikar elegan bercat halus dari era sebelumnya. Wadah- wadah ini tampaknya dibuat tidak dengan cara melingkarkan atau memutar tanah liat pada sebuah roda, tetapi sebaliknya menunjukkan tanda-tanda dibuat dalam cetakan-cetakan sederhana. Mungkin saja hal ini merupakan aplikasi paling awal dari prinsip suatu produksi massal (Kriwaczek, 2013 : 93).
Peradaban Uruk merupakan penemu asli munculnya merk. Dengan munculnya produksi massal mulai dari tekstil, keramik, minuman dan makanan yang diproses, para konsumen ingin diyakinkan mengenai dari mana asal dan kualitas produk yang mereka gunakan. Komoditas- komoditas ini diberikan suatu tanda yang secara unik mampu mengidentifikasikan asal dan sumber produk tersebut. Bangsa Mesopotamia menggunakan gumpalan tanah liat sebagai gantinya, untuk mencantumkan simbol-simbol yang mudah diidentifikasi, untuk menyegel keranjang, kotak, kendi dan wadah lainnya (Kriwaczek, 2013 : 99).
Langkah nyata berikutnya adalah membuat cetakan dari logam yang hanya dimaksudkan untuk ditekankan pada tanah liat, dengan desain yang diukir secara terbalik. Tanda segel ini merupakan bentuk awal dari ilmu percetakan. Lalu muncullah segel silinder, salah satu penemuan Uruk yang paling khas dan indah, yang penggunaannya masih berlanjut dalam keseharian hingga akhir peradaban Mesopotamia. Tingginya tak lebih dari 2,5 sentimenter, segel segel ini terbuat dari berbagai material yang mudah didapat seperti dari batu kapur, marmer, dan hematite; dari material material yang semi berharga seperti lapis lazuli, carnelian, garnet, dan agate, bahkan dari tanah liat bakar dan fayans (Kriwaczek, 2013 : 100).
Segel silinder sangatlah berharga saat ini oleh para ilmuan karena dapat memberikan gambaran kehidupan yang terjadi di Mesopotamia kuno Selatan dan sekitarnya. Banyak memperlihatkan adegan keagaman : sering tampak gambaran para dewa dan dewi yang tak dikenal sedang bermain di sungai atau pegunungan, istana dan kuil, sementara kawanan ternak suci berkerumun di sekitar kandang sapi dari alang-alang milik sang Dewi Agung yang secara menakjubkan mirip dengan rumah alang-alang yang masih dibangun bangsa Arab Marsh saat ini. Atau para penghatur puja-puji yang melakukan perjalanan ke sebuah kuil dengan mengendarai perahu. Ada momen-momen hebat dalam mitologi yang menunjukkan pahlawan-pahlawan yang mungkin terkenal sedang berperang atau bergulat dengan binatang. Segel-segel lain tampaknya memotret kehidupan sehari-hari : binatang-binatang diladang, para pekerja di pabrik susu, para tukang tenun, pembuat barang tembikar dan pandai besi, dan seiring berjalannya waktu terjadilah peningkatan jumlah adegan pertempuran dan gambaran kekacauan militer (Kriwaczek, 2013 : 101).
Pada perkembangannya segel yang tadinya sebagai merk kemudian berkembang sebagai tanda pengenal pribadi, setara dengan tanda tangan dalam masyarkat, bahkan setelah penemuan naskah tertulis. Kita dapt mengenal banyak nama individu dari Mesopotamia. Nama-nama dituliskan pada semua jenis teks : pada resep, catatan pengiriman dan daftar muatan kapal, pada kontrak-kontrak komersial, dan keputusan hukum, juga pada perjanjian pernikahan dan surat cerai. Tanda tangan pribadi pertama yang sejauh ini ditemukan di Uruk tertanggal sekitar 3100 SM dan bagian belakang ditanda tangani oleh GAR.AMA. Penduduk Uruk pun mengembangkan suatu perangkat akuntansi sederhana ke dalam suatu sistem canggih tablet tanah liat untuk membuat tanda, untuk menuliskan perjanjian dan kontrak pertama. Ide penulisan adalah hal yang besar yang ditinggalkan kota ini pada dunia (Kriwaczek, 2013 : 102-103).
Penulisan cuneiform tidak hanya digunakan untuk tujuan sastra tingkat tinggi. Penulisan ini juga merekam catatan kontemporer pertama tentang orang-orang dan peristiwa-peristiwa yang terjadi. Mulai saat itu, apa pun yang terjadi di dunia tak akan pernah lagi dilupakan begitu saja (Kriwaczek, 2013 : 117). Pada akhir milenium keempat Sebelum Masehi, penggunaan teknik akuntansi sederhana menggunakan token dari tanah liat yang dikembangkan menjadi suatu sistem penulisan yang canggih, serba guna, dan fleksibel serta menjadi suatu pencapaian yang menandai dimulainya suatu momen sejarah yang sebenarnya (Kriwaczek, 2013 : 118).
Pada milenium ketiga Mesopotamia, terjadi persaingan dan konflik antara kota-kota independen, mereka saling membunuh antar saudara, semua saling berjuang untuk mencapai dominasi, mereka juga mengalami peperangan, teror, pembunuhan dan pertumpahan darah (Kriwaczek, 2013 : 139).
Di Mesopotamia tiap-tiap tempat meliputi wilayah perkotaan yang dikelilingi tembok, ditambah dengan desa-desa yang belum bisa berdiri sendiri, dikelilingi wilayah budidaya intensif dan padang rumput luas yang dijaga dengan penuh kehati-hatian menuju trek-trek yang menyebar dan mengarah keluar pusat kota. Setiap pagi selama beberapa ribu tahun, para petani dan gembala berjalan kaki dari rumah-rumah kecil mereka menyusuri jalan kecil menuju petak petak tanah sambil menyongsong mentari pagi, kemudian kembali pulang ketika hari sudah mulai gelap (Kriwaczek, 2013 : 140-141). Para petani yang berbalut sarung berbahan linen atau wol, memanggul cangkul mereka, alat penggaru, palu, dan sekop di bahu-bahu mereka, beberapa menuntun keledai-keledai dengan keranjang beban atau kedua kaki menjuntai di tepi gerobak sapi dengan empat roda kayu yang berderit. Mereka akan saling mengobrol dalam satu dari dua bahasa yang paling sering digunakan di belahan dunia, yang satu kita sebut bahasa Sumeria, yang lain bahasa Semit (Kriwaczek, 2013 : 141).
Setelah melewati pintu gerbang tinggi yang menembus tembok bata bermenara, terlihatlah kebun buah-buahan dan sayur mayur ditanami dengan pohon-pohon apel dan anggur, juga biji rami serta biji wijen untuk sumber serta dan minyak, serta berbagai jenis sayur dan kacang- kacangan yang berlimpah seperti buncis, kacang chickpea, ketimun, bawang putih, daun bawang, lentil, daun selada, mostar, bawang bombay, lobak, dan selada air. Ditambah pula beragam tumbuhan herbal dan rempah seperti ketumbar, jinten, daun mint dan tanaman juniper berry. Bebek dan angsa dipelihara untuk diambil telur dan dagingnya. Nantinya termasuk juga ayam yang akan dipelihara kelak saat datang dari kawasan Asia Tenggara. Di sana sini  terdapat beberapa kebun yang terisolasi, kebanyakan berupa tanaman kurma yang penting untuk sumber pangan penduduk setempat meskipun dapat ditemukan juga pohon poplar, willow, tamarisk, dan pohon dogwood, yang dipelihara untuk diambil kayunya karena persediaan yang selalu kurang (Kriwaczek, 2013 : 143). Saat keluar dari kota akan melewati ladang yang penuh dengan tananam gandum, terentang sejauh mata memandang di kedua sisi jalan kecil yang membentang (Kriwaczek, 2013 : 144). Jaringan kanal yang luas dapat dilayari, juga saluran-saluran yang sempit, selokan-selokan yang sempit dan berlumpur, mencari jalan sendiri di antara ladang-ladang untuk menyirami tanaman, itulah kehidupan bangsa Sumeria (Kriwaczek, 2013 : 144-145).
Hasil kebun yang ada digunakan untuk masakan yang beragam, kaya rasa, dan persiapan yang rumit, yang nantinya dirincikan dalam beberapa koleksi resep masakan berhuruf cuneiform. Terlihat jelas kecanggihan cita rasa Mesopotamia kuno. Bahkan ada cara-cara persiapan pembuatan pastry atau kue yang merupakan seni puncak seorang juru masak walau tidak ada rincian jumlah yang diberikan dari masing-masing bahannya (Kriwaczek, 2013 : 143).
Jelai merupakan tanaman penting bagi bangsa Mesopotamia. Jelai adalah bahan pokok,  bagi semua golongan. Jika panen jelai gagal, orang-orang pun kelaparan. Mereka juga menjadikan jelai juga sebagai sumber minuman utama bangsa Mesopotamia, yaitu bir, yang diminum setiap hari untuk pelepas dahaga, begitu juga untuk bersenang-senang dan acara-acara keagamaan dan upacara (Kriwaczek, 2013 : 147).
Pada masa Uruk sebelum tahun 3000 SM, limbah rumah tangga telah disalurkan melalui pipa-pipa menuju sungai-sungai kecil melalui sistem pembuangan yang rumit menggunakan pipa dari tanah liat panggang, dengan setiap rumah memiliki pipa-pipa saluran untuk pembuangan dan air hujan  yang mengalir ke dalam selokan di bawah jalan. Pipa-pipa ini dihubungkan untuk membentuk sistem pembuangan limbah kota yang luas dengan pipa pembuangan paralel yang miring dihubungkan dengan pipa yang jatuh alami ke dalam tanah, tempat saluran keluarnya terletak jauh di luar tembok-tembok kota (Kriwaczek, 2013 : 147-148).  Jika anak-anak sungai tersebut tidak bersih, lubang-lubang yang dibor dan sumur-sumur tak bisa lagi menjadi penyedia air minum karena permukaan air yang mengandung garam begitu dekat dengan permukaan. Oleh karena itu, bir yang disterilisasi oleh kandungan alkohol yang lemah merupakan minuman paling aman.  Pada masa Sumeria Kuno, bir juga digunakan sebagai upah yang dibayarkan kepada mereka yang melayani orang lain sebagai mata pencarian mereka. Tampaknya ada beberapa bir bangsa Mesopotamia yang dimasak dalam kekuatan berbeda dan diberi perasa dengan bahan bahan berbeda. (Kriwaczek, 2013 : 148). Pada masa Sumeria, mereka mengadakan perayaan dengan minum bir sambil menyanyikan sebuah lagu (Kriwaczek, 2013 : 149).
Pada tahun + 2600 negara kota Kish, Ur, Uruk, Lagash, dan Nippur paling menonjol. Disinilah mereka saling berebut pengaruh. Inilah yang menjadi awal lahirnya dinasti di Sumeria yakni negara kota yang menang. Sistem kerajaanpun mulai terbentuk. Pada akhirnya pada masa pemerintahan raja Lugal-Zage-Si dari Uruk (+ 2350 – 2330 SM) Sumeria dikuasai Akkadia di bawah raja Sargon Agung (Hapsari, 2017 : Hapsari, 2017 : 225).
Sebuah ibu kota baru. Ibu kota baru ini disebut Agade dalam bahasa Sumeria dan Akkad dalam bahasa Semit, dengan nama masyarakatnya orang Akkadia. Sargon memerintah selama 50 tahun (Kriwaczek, 2013 : 200). Sargon yang agung, pendiri kekaisaran Akkadian pada sekitar 2230 SM, dianggap sebagai sosok setengah suci (Kriwaczek, 2013 : 202).
Masyarakat Akkad merupakan masyarakat militer tingkat tinggi, dengan para pahlawan bersenjata yang sering terlihat berpatroli di jalan-jalan, terutama di kota-kota provinsi yang kesetiaannya tidak selalu dipercaya. Sargon menulis bahwa setiap hari 5.400 laki laki, mungkin inti dari pasukan yang ada, makan bersama di depannya di Akkad. Lebih menakutkan bagi penduduk adalah pemberontakan dan huru hara yang sering muncul dengan pemimpin kota yang pariot dan cenderung menggoyah peraturan pemerintah, seperti ketika putra Sargon, Rimush yang menghadapi pemberontakan raja Ur dan empat kota lainnya. Dalam setiap kasus, pemberontakan dipadamkan dengan kejam (Kriwaczek, 2013 : 224).
Di bidang perekonomian Akkadia tergambarkan kapal-kapal dari negeri jauh seperti Bahrain  (Dilmun), Oman (Magan), dan Indus (Meluhha) bersandar di dermaga-dermaga Akkad dan membongkar muatan mereka. Pelaut luar negeri yang berbicara dengan aksen asing memenuhi jalan-jalan di dekat pelabuhan. Tongkang-tongkang sarat dengan biji-bijian dari perkebunan yang diari dengan air hujan di negeri jauh dari tanah baru yang berdatangan setiap hari di pelabuhan, menurunkan muatan dan segera membongkar, kayunya dirancang untuk digunakan kembali untuk mendirikan bangunan-bangunan setempat. Sargon bahkan mengaku telah menyeberangi lautan Barat, Mediterania hal ini terbukti dengan sebuah segel bertuliskan nama Apil Ishtar, putra Ilu-bani, hamba Dewa Naram-Sin ditemukan di Cyprus pada tahun 1870 (Kriwaczek, 2013 : 224-225).
Sistem ekonomi mungkin telah sedikit berubah dari praktik pasar campuran pada masa-masa awal. Kaisar mungkin telah memegang kekuasaan tertinggi, tapi mereka memilih untuk mengikuti kebiasaan dan hukum yang telah mapan. Ketika mereka mencari tanah untuk diberikan kepada pengikut dan pendukung, penjualan mungkin juga dipaksakan dan penjualnya ditekan, tetapi istana tetap membayar mereka. sebuah prasasti pilar batu diorite hitam dari pemerintahan putra Sargon, Manishtushu mencatat pembelian tanah luas, berjumlah sedikit lebih kecil dari pada satu setengah mil persegi, yang tampaknya harus dibayar kerajaan dalam perak, ditambah dengan sejumlah bangunan tambahan, dan hadiah berupa perhiasan dan pakaian untuk jasa. Untuk tetap mempertahankan agar semua orang tetap bersetia pada raja yang juga tampak menghibur-menjamu-190 pekerja, lima pejabat dari sebuah distrik yang disebut Moon God City, Dur – Sin, dan 49 pejabat dari ibu kota Akkad, termasuk gubernur, seorang menteri kepala, seorang pendeta ramalan,  seorang peramal kuil, tiga orang penulis, seorang tukang cukur, seorang pembawa piala, juga keponakan raja, dan dua orang anak Surushkin, Gubernur Umma (Kriwaczek, 2013 : 225-226). Bangsa Akkad menghargai peradaban perang dan menyukai puisi. Penyair, pendongeng, pemusik, dan penghibur disambut baik di istana, terutama jika mereka menyanyikan lagu-lagu tentang tindakan kepahlawanan sang pemimpin (Kriwaczek, 2013 : 226). Peradaban ini berkelimpahan segel-segel silinder yang memperlihatkan ukiran segel Akkad yang memberikan patokan yang nyaris tidak tertandingi kesempurnaannya (Kriwaczek, 2013 : 226).
Pada zaman Akkad, setiap kota telah dengan kuat mempertahankan sistem mereka masing- masing dalam hal hitungan berat, ukuran, juga cara mencatatnya. Mereka juga memiliki sistem penomoran dengan dasar berbeda, yang digunakan untuk benda dan komoditi yang berbeda. Kini pengukuran panjang universal untuk area, kapasitas kering dan cairan, dan berat diperkenalkan, unit yang akan tetap menjadi patokan selama ribuan tahun (Kriwaczek, 2013 : 227).
Terjadi perubahan paling penting dan bernilai sejarah yang dilakukan oleh pemimpin- pemimpin Akkad adalah penggunaan dokumen-dokumen resmi bahasa Semit mereka, yang sekarang dapat kita sebut bahasa Akkad meskipun bahasa Sumeria sudah digunakan hingga akhir sejarah Mesopotamia paling akhir sebagai bahasa agama dan ilmiah. Sargon dan keturunannya tidak memiliki pengganti budaya Mesopotamia Selatan, tapi mereka mendapatkan kemuliaan dengan meningkatkannya. Cuneiform untuk beberapa waktu sudah memperluas jangkauannya dalam mencatat pidato berbahasa Semit dan Sumeria (Kriwaczek, 2013 : 227). Perubahan tulisan ini terjadi menjadi sebuah patokan gaya menulis. Sebuah gaya tulisan tangan Akkad yang anggun dan sederhana diajarkan dalam sekolah menulis di seluruh daerah dari dataran tinggi Iran hingga ke hulu Sungai Tigris dan Eufrat di Anatolia hingga ke Mediterania. Melalu penyebaran tulisan yang diresmikan bahasa Akkad menjadi lingua franca di seluruh Timur Dekat, terus begitu hingga seribu tahun kemudian atau lebih (Kriwaczek, 2013 : 228).
Akkadia mengalami keruntuhan karena : kira-kira setelah 2200 SM musim hujan menjadi jarang, badai kering menggantikannya. Banyak orang berpindah mencari daerah yang masih menyediakan air di sepanjang sungai. Lebih dari seratus tahun penggurunan ini berlangsung. Orang-orang menjadi miskin, kelaparan, dan mati. Perdagangan biji-bijian dari ladang air hujan ke Akkad dan kota-kota di Selatan berhenti. Sumeria mengalami kesulitan memberi makan rakyatnya. Ribuan orang meninggalkan rumah mereka di Utara dan menuju kota-kota tua. Hujan sangat berkurang mengakibatkan pendangkalan sungai yang mengimbas pada kelaparan lebih lanjut di Utara. Perubahan iklim menggelisahkan orang-orang barbar di sekitarnya sehingga mereka Hurria, Gutia, dan Amorite melakukan penyerbuan untuk menjarah apa saja yang dapat mereka ambil untuk bertahan hidup. Terjadilah kekacauan dan keruntuhan (Kriwaczek, 2013 : 234-235). Bangsa Guti mencengkeram Mesopotamia (Kriwaczek, 2013 : 237).
Utu-hegal meninggalkan Mesopotamia dan pergi ke Guti. Ia menyiapkan pemberontakan sejak lama sebelum bergerak (Kriwaczek, 2013 : 243). Utu-hegal melanjutkan perjalanan dari Uruk dan mendirikan tenda-tenda di Kuil Ishkur (dewa badai). Utu-hegal berangkat bersama pasukan elitnya, berbaris ke Utara di sepanjang Sungai Eufrat, dan kemudian membelok ke Timur laut di sepanjang kanal Iturungal. Pasukan ekspedisi maju dengan kecepatan 2-15 kilometer dalam sehari, berkemah pada malam keempat di kota Nagsu. Keesokan harinya ia mengistirahatkan pasukannya di Kuil Ilitappe, ketika itu dua utusan dari Tiringan (Raja Guti), datang untuk berunding dengannya, tetapi mereka kemudian ditangkap dan dirantai. Pada malam berikutnya pasukan Uruk memasang tenda di Karkar tetapi kembali bergerak diam-diam pada tengah malam ke satu titik di belakang garis musuh ke hulu dari Adab, kira kira 80 km dari Uruk, di sana mereka memasang jebakan untuk musuh. Dalam perang berikutnya pasukan Gutian dikalahkan (Kriwaczek, 2013 : 245).
Dalam beberapa versi, masa Utu-hegal mencatat panjangnya masa pemerintahannya beragam, missal 427 tahun atau 26 tahun 2 bulan 15 hari atau 7 tahun 6 bulan dan 5 hari. Setelah itu, Uruk dikalahkan oleh gubernur Ur, Ur-Nammu (Ur-Namma) yang mengambil kekuasaan kosong yang tak terduga itu untuk bertempur, mengalahkan dan mengambil Uruk (Kriwaczek, 2013 : 249).
Kira-kira 2100 SM tanah Sumeria mulai terbangun sendiri, dam  sebuah kebangkitan kota Ur, dibawah dinasti ketiganya oleh karena itu dikenal dalam Assyriologi sebagai Ur III-dibangun sebuah negeri kerajaan daerah yang besar. Pada puncaknya, kerajaan Sumeria baru ini memasukkan banyak daerah Mesopotamia tempat kota-kota merdeka sebelumnya menjadi provinsi, dan sebuah bayangan wilayah budak yang mengelilingi di bawah pemerintahan militer yang membayar pajak pada pusat. Bahasa Sumeria sekali lagi menjadi bahasa administrasi meskipun bahasa Akkadia menjadi bahasa sehari-hari dan dalam militer, keagamaan kembali berjaya (Kriwaczek, 2013 : 249).
Negara Sumeria baru meninggalkan banyak catatan birokrasi kepada kita yang ditulis pada sabak tanah liat (Kriwaczek, 2013 : 250). Misalnya catatan tentang gandum, roti, dan terkadang daging dan minyak yang dibagikan negara untuk memberi makan masyarakat, tidak ada tanda- tanda dari mana mereka mendapatkan pakaian, furniture, peralatan dapur, juga sayuran yang mereka masak dan buah-buahan. Tentulah ada perdagangan untuk itu, tapi karena itu semua terjadi diluar negeri maka tidak tercatat (Kriwaczek, 2013 : 251).
Birokrasi Ur III menggunakan sebuah sistem pencatatan neraca yang canggih dan kejam. Paling bawah, pekerja yang tidak terampil, dan budak hanya dianggap sebagai properti negara dan tampaknya tidak memiliki kewajiban selain bekerja dari hari kehari. Jumlah hari-hari pekerja yang setara dengan hari-hari kerja dihitung menjadi penghasilan untuk waktu yang digunakan yang dialihkan untuk pekerjaan lain (kelompok kerja sering diminta tenaganya untuk pekerjaan mendesak di tempat lain seperti panen, membongkar muatan kapal, atau perbaikan kanal), dan untuk waktu libur yang menjadi hak para pekerja : satu hari dalam sepuluh hari untuk laki-laki dan lima hari dari enam hari untuk perempuan (Kriwaczek, 2013 : 254 - 255).
Pada masa Ur III terdapat penyeragaman-penyeragaman. Kurikulum nasional untuk pelatihan penulisan diperkenalkan. Akademi-akademi besar yang dikelola negara didirikan dikota-kota besar seperti Ur dan Nippur. Sebuah gaya penulisan seragam dan sebuah persediaan frasa untuk digunakan dalam dokumen-dokumen resmi ditetapkan. Berat dan ukuran diatur :sebuah prasasti menyatakan bahwa raja membentuk ukuran sila perunggu, mematok berat satu mina, dan mematok berat timbangan dari sekeping uang perak shekel dalam hubungannya dengan satu mina. Sebuah kalender kekaisaranpun dirancang. Semua provinsi harus mengikutinya ketika mencatat urusan  negara meskipun beberapa tetap melanjutkan tradisi lama setempat saat menjalankan urusan-urusan lokal (Kriwaczek, 2013 : 261-262).
Untuk urusan hukum, ikhtisar hukum pertama yang kali pertama dikenal adalah kitab undang-undang Ur-Nammu. Ur-Nammu adalah pendiri dinasti Ur III, anak laki-lakinya adalah Shulgi sebagi raja paling agung dari kekaisaran Sumeria baru. Dalam undang-undang ini pelanggaran besar terdiri dari pembunuhan, perampokan, merusak keperawanan istri orang, dan perselingkuhan saat dilakukan oleh seorang perempuan. Untuk pelanggaran lain hukumannya adalah denda dalam perak (Kriwaczek, 2013 : 265). Sebagian ketentuan hukum seperti dijelaskan di bawah ini(Kriwaczek, 2013 : 266) :
Jika seorang laki-laki melakukan penculikan, ia akan dipejara dan membayar denda lima belas shekel perak.
Jika seorang laki laki dengan paksa merusak keperawanan seorang budak perempuan dari laki-laki lain, laki-laki itu harus membayar denda lima shekel perak.
Jika seorang laki-laki tampil sebagai saksi dan ternyata ia bersumpah palsu, ia harus membayar lima belas shekel perak.
Jika seorang laki-laki memukul. Mata laki-laki lain, ia harus membayar sekeping mina perak.
Jika seorang laki-laki merontokkan sebuah gigi laki-laki lain, ia harus membayar dua keping shekel perak.
Jika seorang laki-laki dalam perkelahian memukul anggota tubuh laki-laki lain dengan sebatang tongkat, ia harus membayar satu mina perak.
Untuk hukum Hammurabi yang disusun kira-kira tiga abad kemudian, ketentuan kejamnya “satu mata dibayar satu mata, satu gigi dibayar satu gigi” (Kriwaczek, 2013 : 266).
Salah satu bangunan yang sangat dikenal diperadaban Mesopotamia adalah Ziggurat. Pada pemerintahan Ur-Nammu di Sumeria sekitar 2100 SM : The Ziggurat dari Ur. Arsitek Ur-Nammu menciptakan sebuah rancangan yang akan berfungsi sebagai contoh untuk semua gedung yang dirancang (Kriwaczek, 2013 : 273). Ziggurat dibangun dengan lingkungan pemandangan yang luar biasa indah hijau keemasan. Hamparan ladang gandum berselang-seling dengan kanal yang berkilauan, berjumai dengan pohon-pohon palma kurma, cemara dan alder, lapangan yang ditanami digunakan untuk menggembala domba dan sapi gemuk. Di kejauhan Ziggurat itu menjulang melebihi cakrawala, permukaan  luarnya tertutup kapur gips, setiap lapisan memiliki nuansa warna yang berbeda, kadang putih atau lebih berwarna. Terlihat pula Ziggurat lain yang menjulang, kira-kira 19 kilometer, dikota pertama Sumeria, Eridu. Dalam perjalanan waktu, Ziggurat-Ziggurat dibangun di pusat banyak kota di Mesopotamia dan semua mengikuti pola asli yang ditetapkan di Ur (Kriwaczek, 2013 : 274).
Tentang bentuk Ziggurat digambarkan sebagai berikut : Disini, di Ur, dasar bangunan memiliki luas 600 x 45 meter. Bangunan itu dibangun dengan bagian tengah yang padat dan menggunakan batu bata yang dijemur kering, dibungkus sebuah lapisan tebal 2,5meter yang terbuat dari bata bakar yang direkatkan dengan aspal. Dinding bagian bawah kira-kira setinggi 15 meter, tidak kosong tetapi diberi visual menarik yang halus, menggantikan dinding penopang dan ceruk, sebuah ciri pada gedung setempat pada abad ke 20. Di atas tingkat pertama berdiri tingkat berikutnya, agak lebih kecil daripada yang pertama dengan jalan lebar di sepanjang bagian depan dan belakang serta sebuah teras pada kedua ujungnya. Pada bagian puncak, di tingkat ketiga berdiri kuil suci Nannar, Dewa Bulan. Tiga tangga monumental dengan seratus anak tangga dari dasar hingga ke tingkat pertama, satu yang tegak lurus pada dinding depan, dua lainnya menempel padanya. Mereka bertemu di pintu gerbang besar yang mengarah ke tangga lain menuju kuil (Kriwaczek, 2013 : 275). Semua yang tampak sebagai garis lurus pada bangunan ini sebenarnya melengkung, dirancang untuk menekankan pandangan dan memberikan keseluruhan bangunan besar itu kesan yang kuat sekaligus ringan, seolah gedung besar itu dapat mengangkat dirinya sendiri dari tanah. Seluruh rancangan bangunan ini  merupakan adikarya (Kriwaczek, 2013 : 276).
Apa sebenarnya tujuan pembangunan Ziggurat, mungkin untuk memperkenalkan gunung suci yang dianggap sebagai kampung halaman orang-orang Sumeria, mungkin untuk memunculkan kuil dewa tinggi di atas air bah yang secara teratur menenggelamkan bagian Selatan Mesopotamia, mungkin untuk menjaga dari orang-orang biasa mendekati dewa paling suci dari yang suci. Namun diluar itu semua Ziggurat adalah ciptaan artistik yang kreatif. Proyek–proyek bangunan besar ini memakan waktu lama dalam penyelesaiannya, sering kali lebih lama daripada usia para penggagasnya (Kriwaczek, 2013 : 276-277).
Olah raga yang kita kenal sekarang ternyata telah dikenal oleh orang-orang Mesopotamia. Dari penggalian dokumen dan gambar-gambar stempel menunjukkan semangat pencapaian berbagai jenis olah raga seperti gulat, tinju, lari cepat, bahkan permainan bola kayu yang dipukul dengan sebatang tongkat, variasi yang sekarang kita sebut hoki. Kala itu, perlombaan lari sangatlah popular. Tidak lama setelah itu, orang-orang Babylonia menyebut lomba empat minggu “Bulan Lomba Jalan Kaki” (Kriwaczek, 2013 : 280).
Keruntuhan kekaisaran Ur III tidak juga memerlukan waktu lama. Pada awal pemerintahan raja terakhir, Ibbi-Sin, pajak-pajak dari provinsi-provinsi terpencil berhenti mengalir masuk. Provinsi-provinsi terpencil menyatakan merdeka. Tanpa sokongan provinsi-provinsi, mengakibatkan harga gandung di Ur naik 15 kali. Ur menghadapi pemberontakan Isin dan serangan orang-orang barbar Barat. Seorang pemimpin baru mengambil alih Elam, mengguncangkan kekuasaan Raja Sumeria, dan sekarang memimpin sebuah ekspedisi tentara memasuki Selatan Mesopotamia datang dengan kekuatan yang tidak dapat diatasi di luar dinding Ur. Gerbang dirubuhkan dan kota dilumpuhkan (Kriwaczek, 2013 : 283-287).
.
DAFTAR PUSTAKA
Daldjoeni, N. 1995. GEOGRAFI KESEJARAHAN I PERADABAN DUNIA. Bandung : Penerbit Alumni
Hapsari, Ratna. 2017. SEJARAH UNTUK SMA/MA KELAS X Kelompok Peminatan Ilmu Pengetahuan Sosial. Jakarta : Penerbit Erlangga
Kriwaczek. 2013. BABYLONIA Mesopotamia dan Kelahiran Peradaban. Solo : Metagraf

Senin, 13 April 2020

KONDISI EKONOMI INDONESIA ZAMAN JEPANG


Purbalingga, hari Senin tanggal 13 April 2020

Kondisi Ekonomi Indonesia Zaman Jepang                             
Oleh : Topan

Tujuan Jepang sebagai negara ekspansionisme imperialis dan kolonialis adalah mencari pasar-pasar baru untuk hasil-hasil industrinya sebab rakyatnya di dalam negeri tetap mempunyai pendapatan  rendah sehingga daya beli dalam negeri juga tidak besar. Disamping itu Jepang sendiri negara yang miskin akan bahan-bahan mentah dan pertambangan (Onghokham, 2014: 13).
Asia Tenggara yang disebut sebagai wilayah selatan oleh Jepang dianggap sebagai wilayah yang penting. Penting adalah menguasai dan mendapatkan sumber sumber bahan mentah untuk industry perang, terutama sekali minyak. Jepang tidak hanya bermaksud untuk menguasai wilayah sumber ini, tetapi juga untuk memotong garis perbekalan musuhya yang bersumber pada wilayah ini. Telah diperkirakan bahwa perang akan berlansung lama, sehingga penguasaan wilayah yang kaya akan bahan mentah akan sangat meringankan beban yang dipikul oleh Jepang (Poesponegoro, 1992 : 40).
            Struktur ekonomi yang direncanakan akan bertumpu kepada wilayah-wilayah ekonomi yang sanggup memenuhi kebutuhan sendiri, yang diberi nama “Lingkungan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya”. Setelah pemerintah Hindia Belanda memperhitungkan bahwa invasi Jepang tidak dapat ditahan lagi maka mulailah dilasanakan aksi bumi hangus. Obyek-obyek vital dihancurkan, yang sebagian besar terdri atas aparat produksi. Akibatnya ialah bahwa pada awal pendudukan Jepang hampir seluruh kehidupan ekonomi lumpuh. Kehidupan ekonomi kemudian sepenuhnya berubah dari keadaan normal menjadi ekonomi perang (Poesponegoro, 1992 : 41).
            Jepang mengambil alih semua kegiatan dan pengendalian ekonomi. Langkah pertama adalah rehabilitasi prasarana ekonomi seperti jembatan, alat-alat transport, telekomunikasi dan lain-lainnya yang bersifat fisik. Beberapa peraturan yang bersifat kontrol terhadap kegiatan ekonomi dikeluarkan. Pengawas terhadap penggunaan dan peredaran sisa-sisa persediaan barang dan barang-barang yang disita dari musuh diperketat. Untuk mencegah meningkatnya harga barang dan timbulnya pelbagai manipulasi, secara setempat dikeluarkan peraturan pengendalian harga dan hukuman yang berat bagi pelanggarnya (Poesponegoro, 1992 : 41).
            Harta dan modal musuh disita dan menjadi hak pemerintahan Jepang. Khusus mengenai perkebunan dikeluarkan Undang-undang No. 22/1942. Dalam undang-undang itu dinyatakan bahwa Gunseikan (kepala pemerintah militer) langsung mengawasi perkebungan kopi, kina, karet dan teh. Pelaksanaan pengawasan dipegang oleh Saibai Kigyo Kanrikodan (SKK). Selain sebagai pengawas SKK juga sebagai pelaksana pembelian dan penentuan harga penjualan serta sebagai pemberi kredit kepada perkebunan yang ditunjuk oleh Gunseikan untuk direhabilitas. Sebagai pelaksana penguaaan perkebunan ditunjuk beberapa perusahaan swasta Jepang. Hanya beberapa jenis perkebunan saja yang mendapat perhatian dari pemerintah Jepang, khususnya karet dan kina. (Poesponegoro, 1992 : 41-42).
            Kopi, teh dan tembakau dipertahankan secara terbatas karena tiga tanaman ini diklasifikasikan sebagai barang kenikmatan yang kurang berguna bagi perang maka perkebunan ketiga jenis ini diganti dengan tanaman penghasil bahan makanan dan tanaman jarak untuk pelumas. Di Jawa tanaman kopi ditebang dan di Sumatra diusahakan menanam padi pada bekas perkebunan tembakau. Sejak Osamu Seirei No. 30/1944, SKK digantikan oleh Kigyo Saibaien (Peguasa Perkebunan) dengan peranan terbatas pada pengusahaan kebun yang ditunjuk oleh Gunseikan. Perkebunan Kina dan karet dipertahankan dan direhabilitasi. Kina merupakan bahan obat-obatan yang vital bagi perang. Pabrik obat-obatan kina dipegang oleh maskapai swasta Jepang Takaco. Untuk perkebunan Karet, Jawa Timur terus melanjutkan perkebunan karetnya. Di Sumatra perkebunan ini direhabilitasi seluas 672.000 Ha (216 perkebunan). Karena pentingnya perkebunan kina dan karet maka kerusakan kedua perkebunan ini relatih kecil dimana kina hanya 3 % dan karet hanya 7 % (Poesponegoro, 1992 : 42-43).
            Industri gula diusahakan kembali dengan modal swasta Jepang dengan merehabilitasi sebagian pabrik yang telah dirusak dan dibumihanguskan oleh Belanda. Namun demikian Jepang kekurangan tenaga ahli. Untuk mencukupi kebutuhan itu personil ahli Belanda masih digunakan. Dari jumlah pabrik di Jawa yang semula 85 buah, yang berhasil direhabilitasi ada 13 pabrik. Pengawas industri gula didirikanlah Togyo Rengokai (Persatuan Perusahaan Gula). Jawa surplus gula dengan mengekspor ke Jepang dan Taiwan. Dengan kondisi ini produksi gula setiap tahunnya dikurangi. Sampai tahun 1945 produksi gula di Jawa hanya mencapai 84.000 ton saja. Gunseikan mengeluarkan Osamu Seirei No. 31/1944 yang menyatakan bahwa rakyat dilarang menanam tebu dan membuat gula. Tujuannya untuk mengurangi jumlah gula yang beredar dalam masyarakat dan untuk menekan produksi. Selain itu pabrik-pabrik gula menjadi pabrik senjata atau membongkarnya dan memindahkannya ke tempat lain untuk kepentingan perang. Perusahaan gula diserahkan kepada beberapa maskapai swasta Jepang yaitu : Meiji Seito Kaisha, Okinawa Seito Kaisha, Taiwan Seito Kaisha dan Dai Nippon Seito Kaisha. Untuk distribusi dan penjualannya dilakukan oleh Jawa Hanbai Rengo Kumiai (Koperasi Pusat Penjualan Gula Jawa). Untuk tambang-tambang penting khususnya minyak bumi, pengusahaannya kembali dilakukan oleh Mitsui Kabushiki Kaisha (Poesponegoro, 1992 : 43-44).
            Di bidang moneter,  pemerintah pendudukan Jepang berusaha mempertahankan nilai gulden atau Rupiah Hindia Belanda. Tujuannya agar harga barang dapat dipertahankan seperi sebelum perang dan untuk mengawasi lalu lintas permodalan dan arus kredit. Uang Rupiah Hindia Belanda tetap dinyatakan berlaku sebagai tanda pembayaran yang sah. Bank-bank bekas Belanda dilikwidasi berdasarkan undang-undang No. 13/1942. Beberapa bank tersebut adalah De Javashe Bank, Nedrlandsche Handels Maatschappij, Nederlands-Indische Escompto Bank dan Batavia Bank. Untuk bank milik Inggris dan asing lainnya (The Chartered Bank of India, The Hongkong and Shanghai Corporation Ltd dan Overseas Chinese Banking Corporation Ltd) masih diberi kesempatan untuk menyelesaikan hutang-hutangnya sampai batas waktu 20 November 1942. Bank Jepang seperti Yokohama Ginko, Mitsui Ginko, Taiwan Ginko dan Kana Ginko dibawah supervise Nanpo Keihatsu Kenso (Perbendaharaan Untuk Kemajuan Wilayah Selatan) menggantikan tugas bank-bank asing dan bank milik Belanda (Poesponegoro, 1992 : 44).  
            Bidang perpajakan diadakan pemungutan dari berbagai sumber, termasuk pajak penghasilan, terutama yang mempunyai penghasilan antara F. 30,000 setahun. Antara orang Eropa dan orang Cina terdapat perbedaan pemungutan pajaknya, yaitu berbanding 70 dan 35 kali dari jumlah yang dibayarkan pada masa penjajahan Hindia Belanda (Poesponegoro, 1992 : 44).
            Untuk penjualan barang berdasarkan Osamu Seirei No. 38 / 1943 menetapkan bahwa semua barang harus dijual dengan harga yang ditentukan. Barang-barang yang diklasifikasi penting, dikuasai oleh pemerintah, baik penggunaannya maupun distribusinya diawasi. Para penyimpan barang-barang yang diklasifikasi penting harus melaporkan jumlah barang dan peredarannya, apabila barang itu terjual. Barang penting terdiri dari golongan pertama adalah barang-barang yang langsung  kegunaannya bagi usaha perang seperti mobil, sepeda motor, agregat (alat pembangkit listrik pabrik) pelbagai barang dari baja, besi, alumunium. Untuk golongan kedua adalah barang yang menyangkut kehidupan kebutuhan rakyat (Poesponegoro, 1992 : 45).
            Larangan pokok bagi barang penting jenis kedua adalah meindahkan barang dari satu tempat ke tempat lain keluar syu (karisidenan). Secara lokal tiap syu melaksanakan autarki (sistem ekonomi swasembada dan perdagangan terbatas). Sektor ekspor dan impor selama perang ini lumpuh. Amerika Serikat mengadakan blokade keras terhadap wilayah-wilayah yang diduduki oleh Jepang (Poesponegoro, 1992 : 45).
            Adanya pengaturan-pengaturan, pembatasan-pembatasan dan penguasaan faktor-faktor produksi oleh pemerintah, adalah ciri dari pada ekonomi perang. Setiap lingkungan daerah harus melaksanakan autarki, yang disesuaikan dengan situasi perang. Jawa dibagi atas 17 lingkungan autarki, Sumatra atas 3 lingkungan dan daerah Minseifu (kantor pemerintahan sipil yang berada langsung dibawah struktur komando angkatan laut kekaisaran Jepang/ Kaigun) dibagi atas 3 lingkungan. Dalam pelaksanaan disentralisasi, pulau Jawa sebagai satu bagian dari “Lingkungan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya”, mempunyai dua tugas. Tugas pertama adalah memenuhi kebutuhan sendiri untuk bertahan (Poesponegoro, 1992 : 45). Tugas kedua adalah mengusahakan produksi barang-barang untuk kepentingan perang. Ini dibebankan kepada Jawa, kepada para penguasa militer di Jawa dan dilaksanakan secara konsekuen. Penduduk dan rakyat serta kekayaan pulau Jawa dikorbankan untuk pelaksanaan itu. Kepentingan perang mendapat prioritas pertama (Poesponegoro, 1992 : 46).
            Jepang menggenjot produksi beras dengan cara perluasan lahan pertanian. Cara yang dilakukan adalah mengganti perkebunan menjadi lahan pertanian. Pulau Jawa dituntut untuk menhasilkan 50.000 ton beras dan 30.000 ton jagung. Akibat yang parah lagi dari pada anjuran pemerintah ini adalah pengrusakan hutan-hutan. Pada masa itu hutan di pulau Jawa tidak kurang dari 500.000 hektar yang ditebang secara liar. Selain itu, pemerintah Jepang juga menyelenggarakan bimbingan secara intesif kepada para petani melalui para penyuluh pertanian. Sebenarnya cara ini adalah cara yang baik, karena pemerintah Jepang secara tidak langsung telah memperkenalkan cara bertani modern. Tetapi kelemahan dari sistem ini terletak pada organisasinya, para pelatih (shidokan) bukanlah orang yang benar-benar mengerti masalah pertanian, sedangkan orang yang dilatih (shidoin) hanya mendapat latihan yang sangat singkat. Ada faktor lain yang sangat mempengaruhi turunnya produksi pangan yaitu jumlah pemotongan hewan yang meningkat dan menurunnya angka kelahiran hewan yang berguna untuk pertanian (Poesponegoro, 1992 : 47).
            Kondisi ini ditambah lagi dengan aturan bahwa rakyat hanya diperbolehkan memiliki 40 % saja dari hasil panen. Sedangkan 30 % harus disetor kepada pemerintah melalui Beikoku Seimeigyo Kumiai (Kumiai Penggilingan Padi) dan dibeli dengan harga yang ditentukan oleh pemerintah. Sedangkan 30 % lainnya disediakan untuk bibit yang harus disetor kepada lumbung desa. Rakyat sendiri tidak menginginkan hal seperti itu maka sering terjadi kecurangan dalam penyetoran padi karena harga padi di pasar gelap (Poesponegoro, 1992 : 48). Gagalnya penyetoran padi merupakan akibat perlawanan dari rakyat desa. Akibat yang timbul adalah kekurangan bahan makanan, karena itu tidak mengherankan jika di dalam rangka ini seringkali timbul kecurangan dan pasar gelap. Harga resmi ditentukan 10 sen, sedangkan harga di pasar gelap tertinggi F. 3.25 (Jakarta) dan yang terendah F.1.20 (Bojonegoro). Kelaparan melanda di berbagai tempat, angka kematian tinggi. Di Wonosobo angka kematian mencapai 53.7 dan Purworejo 24.7. Selain kewajiban penyetoran padi, petani juga dibebani pekerjaan wajib lainnya seperti menanam jarak. Ditambah lagi mereka juga dipaksa terlibat dalam romusha. Ini membuat jumlah petani berkurang. Ini beban yang menambah kesengsaraan bagi  rakyat Indonesia. Penyakit kurang gizi merajalela ditambah berbagai bencana alam (Poesponegoro, 1992 : 49). Seperti wilayah-wilayah pendudukan lainnya, Indonesia menjadi suatu negeri yang tingkat penderitaan, inflasi, ketekoran, pencatutan, korupsi, pasar gelap, dan kematiannya adalah paling ekstrem (Ricklefs, 2005 : 300).
            Beberapa aspek dari korupsi dalam sistem wajib setor padi perlu dibahas lebih lanjut. Karena kekacauan ekonomi masa perang, korupsi beras dilakukan dalam jumlah besar. Laporan kepada Chuo Sangi In (Dewan Penasehat Pusat) pada bulan Januari 1945, kita ambil dari Karisidenan Pekalongan dalam setahunnya sejumlah 1.200 ton menguap. Sudah terlihat bahwa tindak kejahatan menyalah gunakan jabatan memang telah meluas. Jepang mengganti peranan Tionghoa pemilik penggilingan dengan lurah sebagai perantara dalam sistem setoran padi, seperti dilihat di Karisidenan Pekalongan. Dengan begitu lurah menjadi kunci dalam pengumpulan padi oleh Jepang dengan peluang baru buat mengecoh dan menipu petani. Korupsi demikian meluasnya disemua tingkat, sehingga sebuah kata lama ”tanggem” kini digunakan secara popular untuk menyebut korupsi (Lucas, 2019 : 58-59).
            Pada masa pemerintahan Jepang, Jepang mulai mengubah tata cara menanam padi. Sebelumnya para petani menanam padi secara acak, kemudian Jepang mulai mengenalkan ilmu baru, yaitu menanam padi dengan sistem penanaman bergaris. Sistem ini mengenalkan cara penanaman bibit padi dalam satu jalur yang ditentukan dengan menggunakan tali atau bambu pada kedua sisi agar padi tersebut sejajar dan rapi. Hal ini dilakukan Jepang agar petani mendapatkan hasil panen yang meningkat karena teknik ini hanya membutuhkan sedikit bibit padi dan tenaga kerja. Ini menguntungkan karena para petani lebih mudah dalam merawat dan memanen (Restu S., 2018 : 98).
            Masalah lain adalah masalah sandang. Indonesia sebelum perang masih tergantung kepada impor dari Belanda. Untuk menangani kondisi ini diupayakan percobaan penanaman kapas dan usaha lain. Daerah yang dilakukan penanaman kapas antara lain Cirebon, Malang, Kediri dan Bekasi. Setelah dua tahun daerah yang baik untuk penanaman kapas adalah Kediri dan Besuki (Poesponegoro, 1992 : 49).  Usaha pemintalan rakyat diupayakan dengan pelatihan. Kampanye menolong orang tak berpakaian dilakukan oleh Jawa Hokokai dan aparat pemerintah. Pada April 1944 diadakan “Pekan Pengumpulan Pakaian Untuk Rakyat Jelata”. Sebagian rakyat sudah menggunakan karung untuk pakaian. Bahkan ada yang menggunakan lembaran karet mentah sebagai satu satunya busana (Poesponegoro, 1992 : 50).
            Kondisi memaksa terjadinya difisit. Satu-satunya jalan adalah dengan mengeluarkan uang baru. Jumlah mata uang yang beredar dalam masyarakat adalah 1,5 milyar di samping cadangan yang tersimpan dalam bank lebih kurang 2,5 milyar. Sirkulasi uang cukup besar, Jepang mengkampanyekan untuk menabung untuk menyedot sebagian uang yang beredar. Semula di Jawa hasil kampanye itu sejumlah F. 20 juta dan akhir Februari 1944 mencapai F. 127 juta (Poesponegoro, 1992 : 50).
Melihat seperti ini kebijakan Jepang terhadap rakyat Indonesia mempunyai dua prioritas yaitu menghapus pengaruh-pengaruh Barat di kalangan mereka dan memobilisasikan mereka demi kemenangan Jepang (Ricklefs, 2005 : 300).             

Daftar Pustaka
Lucas, Anton. 2019. PERISTIWA TIGA DAERAH Revolusi Dalam Revolusi. Yogyakarta : Media Pressindo
Onghokham. 2014. RUNTUHNYA HINDIA BELANDA. Jakarta: Gramedia
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. 1992. SEJARAH NASIONAL INDONESIA VII. Jakarta : Balai Pustaka
Restu S., Alfrida. 2018. Di Bawah Bendera Fasisme Kehidupan Anak-Anak di Yogyakarta Pada Masa Pendudukan Jepang 1942-1945. Yogyakarta : Dialog Pustaka
Ricklefs, M.C. 2005. SEJARAH INDONESIA MODERN. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press