Kamis, 18 Oktober 2018

SEJARAH MARITIM KERAJAAN SRIWIJAYA


SEJARAH MARITIM KERAJAAN SRIWIJAYA
Disusun Oleh :
Topan Dwiono Purbaya
Pendidik Mata Pelajaran Sejarah di SMA Negeri 1 Kutasari

Kerajaan Sriwijaya Kerajaan Maritim
Kerajaan Sriwijaya antara tahun 670 – 1025 mendominasi perdagangan di Asia Tenggara. Sriwijaya mampu mengontrol dan memanfaatkan potensi perdagangan maritim selat Malaka. Suatu kawasan paling penting dalam pelayaran antara India dan China. Eksistensinya terletak pada kemampuannya dalam mengorganisasi pertukaran komoditi-komoditi niaga Asia Tenggara untuk pasaran China dan Barat, yang dipusatkan di delta sungai Musi, yang menghubungkan antara Palembang dengan (Hamid, 2015 : 51) pesisir pantai dan daerah pedalaman. Raja-raja Sriwijaya sangat memperhatikan hal ini dalam membangun ekonomi dan politik negerinya (Hamid, 2015 : 52).
Pada pertengahan kedua abad ke 7, terdapat dua pusat perdagangan di pantai tenggara Sumatera yakni Palembang dan Jambi. Kedua pelabuhan ini pernah dikunjungi oleh peziarah Budha dari China, I Tsing. Dalam tahun 671, I Tsing berlayar 20 hari lamanya ke Sriwijaya (Fo-Shih, Palembang). Dia berhenti selama enam bulan disana. Oleh raja Sriwijaya, I Tsing diantar ke Melayu (Jambi). Di Melayu I Tsing tinggal selama 2 bulan. Kemudian berlayar ke Kedah selama 15 hari. Pada bulan keduabelas (6 Januari s.d. 4 Februari 672) I Tsing melanjutkan pelayaran ke India (Hamid, 2015 : 52). Sriwijaya pada abad ke 7 sebagai tempat belajar agama Budha Mahayana. Dari catatan I Tsing diperoleh informasi bahwa di Sriwijaya terdapat lebih dari seribu pendeta Buddha. Di Sriwijaya I Tsing merampungkan tulisannya dimana dia dibantu 4 orang temannya (Hamid, 2015 : 52).
Sriwijaya sangat strategis di Sumatra dalam hubungan internal antara tiga kesatuan wilayah : tanah tinggi Sumatra bagian barat (pegunungan Bukit Barisan), daerah kaki bukit dan pertemuan anak sungai sewaktu memasuki daratan rendah, dan daerah pesisir timur laut.  Sriwijaya juga mampu mengontrol lalu lintas perdagangan maritim di selat Malaka dan selat Sunda. Posisi itu membuat para penguasanya lebih mudah menarik pajak perdagangan maritim antara India dan China. Penguasa Sriwijaya terkenal sebagai raja-raja pelaut. Mereka berhasil menaklukkan pantai-pantai semenanjung Malaya. Karena itu Sriwijaya dipandang sebagai “kerajaan kelautan” awal Indonesia (Hamid, 2015 : 53).
Terdapat lima strategi raja-raja Sriwijaya dalam membangun kekuatan dan kekuasaannya (53):
1
Memudarkan pengaruh dan kuasa kerajaan-kerajaan pelabuhan pesisir di Sumatra dan semanenanjung Malaya serta Jawa.  Tujuannya adalah mengonsentrasikan kegiatan pelayaran dan perdagangan maritim. Khususnya  di kawasan barat Nusantara. Sriwijaya juga memanfaatkan kemunduran imperium awal seperti Koyin, Kantoli, Funan dan Holing yang pernah mengambil untung dari perdagangan laut antara Nusantara, India dan China. Maka Sriwijaya menaklukkan kekuatan sezamannya, seperti kedah (pantai barat Malaya), Polo dan Barus di pantai barat Sumatra serta kerajaan-kerajaan kecil pesisir di pantai utara Malaya (Hamid, 2015 : 53).
2
Mengontrol jalur pelayaran dan niaga maritim dari dan ke Nusantara, China, dan India (termasuk Laut Tengah). Ada dua pintu utama yang dikuasai. Pertama adalah selat Malaka. Setelah menaklukkan Kedah dan Kalah, dimana route niaga yang sebelumnya melintasi Tanah Genting Kra, dialihkan melalui Selat Malaka. Untuk pintu kedua adalah Selat Sunda. Selat ini menghubungkan Sumatera dan Jawa yang merupakan pintu masuk niaga maritim dari Pantai Barat Sumatra menuju berbagai daerah di Nusantara dan China juga sebaliknya. Disinilah Sriwijaya mendapatkan kemakmuran melalui kebijakan pajak masuk dan keluar di dua selat tersebut, termasuk yang langsung ke Sriwijaya (Hamid, 2015 : 53-54).
3
Memantapkan hubungan niaga dan politik dengan negeri-negeri yang telah ditaklukannya (vassal) untuk membangun koordinasi ke kawasan yang kuat dibawah Sriwijaya. Sriwijaya tidak hanya bergantung pada militer namun juga menggunakan jejaring hubungan politik, keluarga yang kompleks dan perdagangan maritim untuk menguatkan dan mempertahankan kesatuan wilayah yang dikuasainya. Kerajaan vassal didudukkan secara sah dengan ekonomi yang otonom. Selain itu diadakan petukaran pangeran (datu) dan kawin silang telah membentuk ikatan kekeluargaan, politik, agama antara vassal dan Sriwijaya (Hamid, 2015 : 54).
4
Menjalin hubungan niaga dan diplomatik dengan China. Dimana China punya peranan penting, baik dibidang niaga ataupun politik. China sendiri memanfaatkan kondisi ini untuk memudahkan kegiatan perdagangan dan politiknya diseberang lautan. Setelah China melihat kekuatan Sriwijaya, China lalu menghadiahkan “status perniagaan istimewa” kepadanya. Sejak itu Sriwijaya dihormati, baik oleh pasar India maupun China itu sendiri. Ini membuat para saudagar bergiat mencari alasan apapun agar dapat melakukan perdagangan atas nama Sriwijaya (Hamid, 2015 : 54-55).
5
Memperkuat kontrol atas wilayah kekuasaanya di laut dengan pemanfaatan sumber daya manusia yang kuat dan punya pengalaman di laut, baik sebagai pengembara ataupun bajak laut. Disinilah mereka diajak berhubungan kerjasama saling menguntungkan. Kepada mereka, raja Sriwijaya memberikan upeti dari hasil pajak yang ditarik dari kegiatan perdagangan dari kapal-kapal yang singgah. Maharaja Sriwijaya memanfaatkan orang laut dengan sejumlah perahu mereka di sepanjang pesisir di kepulauan Riau yang merupakan pintu masuk Selat Malaka. Untuk apa mereka direkrut, salah satunya untuk menyerang target-target mereka di kawasan tersebut. Orang Bajau (Bajo) serta toponim lainnya di Nusantara yang sejak dahulu dikenal sebagai pengembara laut yang andal memiliki potensi lebih baik untuk menjadi angkatan laut Sriwijaya. Kehadiran orang laut di muara sungai besar dan di selat memberikan sarana pertahanan dan pengawasan laut yang tangguh. Maka penguasaan perairan dapat dilaksanakan dengan baik (Hamid, 2015 : 55).
Pada abad X, Sriwijaya memerlukan lebih dari dua tahun untuk mengelilingi semua pulau yang berada dalam wilayah kekuasaannya, itupun bila menggunakan perahu layar yang cepat. Kondisi ini hanya mungkin bila didukung oleh angkatan laut yang kuat, tenaga, armada dan perlengkapan yang diperoleh dari orang laut yang loyal kepada Sriwijaya. Pada abad ke XIII, Sriwijaya merupakan tempat yang dilalui kapal asing. Hasil semua negeri ditahan disana dan disimpan untuk dijual kepada kapal yang singgah. Penduduknya tinggal tersebar di luar kota. Bila menghadapi musuh, mereka berani mati, mereka tidak ada tandingannya diantara bangsa-bangsa lain. Informasi tersebut melukiskan pentingnya orang laut sebagai kekuatan pertahanan yang sangat ditakuti kapal asing (Hamid, 2015 : 56).

Berdasarkan sumber Ibn Hordadzbeh tahun  844 – 848, ia mengatakan bahwa raja zabag disebut maharaja kekuasaannya meliputi pulau-pulau di lautan timur. Hasil negerinya adalah kapur barus. Terdapat banyak gajah di sana. Setiap hari maharaja menerima 200 mann emas. Emas-emas itu dilebur menjadi satu batang emas, kemudian dilemparkan ke dalam air sambil berkata “ini hartaku”. Pada tahun 902, Ibnu Al Fakih memberitakan bahwa barang dagangan kerajaan itu terdiri dari cengkeh, kayu cendana, kapur barus dan pala. Pelabuhannya yang besar di pantai barat Sumatra adalah Barus. Ibn Rosteh tahun 903 diketahui bahwa maharaja Zabag adalah maharaja terkaya dibandingkan dengan raja-raja di India. Tahun 916, Abu Zayd mengabarkan bahwa setiap hari raja zabag melempar segumpal emas ke dalam danau dekat istananya. Danau itu berhubungan dengan laut sehingga airnya payau. Raja menguasai pulau-pulau, antara lain Sribuza dan Rami, juga Kalah (Hamid, 2015 :  58). Hasil buminya berupa kayu gaharu, kapur barus, kayu cendana, gading, timah, kayu hitam, kayu sapan dan rempah-rempah. Masudi (ahli geografi Arab) pada tahun 955 bercerita bahwa penduduk zabag banyak. Tentaranya tak terhitung. Negerinya menghasilkan kapur barus, kayu gaharu, cengkeh, kayu cendana, pinang, pala kapulaga, dan merica. Perdagangannya sangatlah maju. Pelayaran dari Siraf dan Oman dikuasai oleh raja zabag. Barus (Fansur) menghasilkan kapur barus. Kalah dan Sribuza memiliki tambang emas dan timah. Sriwijaya mengendalikan perdagangan hasil bumi Nusantara. Cengkeh dan pala misalnya dari Maluku, sedangkan kayu cendana dari pulau Timor, Nusa Tenggara (menurut Tomi Pires, komoditi-komoditi tersebut hanya terdapat di negeri-negeri itu, tempat lain tidak ada). Ibn Said (1214 – 1274) mengatakan bahwa raja sekali setahun melempar sebatan emas ke kanal. Setelah kematiaanya, orang akan menghitung batang-batang emas itu sebagai ukuran masa berkuasa sang raja. Selanjutnya, salah satu batang emas diletakkan kembali pada bagian lain dari kanal. Sehingga untuk mengetahui jumlah raja yang berkuasa, orang harus menghitung jumlah batang emas yang disisihkan itu (Hamid, 2015 : 59).
Berdasarkan berita China (1003) raja Selichulawunifumatiauhwa (Sri Cumadamaniwarmadewa) mengirim dua utusan China untuk membawa upeti. Utusan itu mengatakan bahwa di negerinya didirikan sebuah bangunan suci agama Buddha (Chengtienwashou) untuk memuja agar kaisar panjang umur. Sekitar tahun 1005 – 1006, maharaja Sriwijaya Marawijayotunggawarman, mendirikan sebuah bangunan suci agama Budha di Nagipattana dengan bantuan raja Cola ke 21, Rajakesariwarman Rajaraja I. Bangunan ini dinamakan Cudamanivarmavihara. Bila melihat dari pembangunan bangunan tersebut terlihat ada kepentingan agama dan hubungan politik antara Sriwijaya dengan China dan Cola (India), selain itu adalah wujud dari kemakmuran negeri tersebut (Hamid, 2015 : 59-60).
Dijelaskan oleh sarjana China, Zhao Rugua pada abad 13 M dalam bukunya Zhu Fan Zhi, menulis bahwa dinding-dinding ibu kota Sriwijaya terbuat dari batu bata, dengan diameter sampai beberapa puluh Li (1 Li = 576). Ketika meninggalkan istana, raja menggunakan sebuah perahu, mengenakan sarung. Dia dilindungi dari terik matahari dengan sebuah payung sutra. Pengawalnya membawa tombak emas. Di kota itu terdapat sebuah patung Budha yang terbuat dari emas. Setiap raja baru akan membuat patung emas baru dengan modelnya sendiri untuk menggantikan patung yang lama. Orang-orang memberi penghormatan pada patung ini dan memberi persembahan mangkuk emas. Ketika sesorang sakit, raja akan membagi bagikan perak seberat tubuhnya. Pada upacara-upacara besar kerajaan, raja memakai mahkota yang tinggi dan berat yang penuh bertakhtakan ratusan permata. Dari hasil temuan arkeologi menunjukkan bahwa kebanyakan perdagangan dilaksanakan dengan sistem barter. Saat itu dalam perdagangan telah digunakan keping-keping perak sebagai alat tukar perdagangan (Hamid, 2015 : 60).
Sriwijaya intens melakukan hubungan dengan Cina, yang juga merupakan sumber kemakmuran kerajaan.  Hubungan dengan China tercatat dalam sejarah Dinasti Tang (Sintangshu). Duta pertama dikirim tahun 670 – 673, diikuti yang lain tahun 695 M, 702, 716, 724, 728, dan 742 M. Pada masa Dinasti Song kedua (960 – 1279 M), dibuka agen perdagangan di Kanton tahun 971. Saudagar-saudagar Sriwijaya disebut dalam daftar orang-orang asing yang tinggal di sana. Pada abad ke 10 sampai ke 11, Sriwijaya mengirim utusan utusannya ke China, tahun 960,  961, 962, 971, 972, 974, 975, 980 -983, 988-992, 1003, 1017, 1028, 1077, 1078 – 1085, 1156, dan terakhir 1178 (Hamid, 2015 : 61).
Sriwijaya juga melakukan hubungan dengan kerajaan Chola di India Selatan. Hubungan ini, selain untuk tujuan politik dan ekonomi, juga pengembangan agama Budha Mahayana di Sriwijaya. Hubungan ini tidak berlangsung baik secara terus menerus. Tahun 1007, raja Chola mulai memperluas kekuasaannya dengan jalan penaklukan ke Timur. Raja Chola mengklaim telah menaklukan 12.000 pulau. Tahun 1012, raja Chola Rajendracola bergerak maju ke wilayah Sriwijaya di Semenanjung. Kemudian dilanjutkan pada tahun 1025. Namun demikian, maharaja Sriwijaya masih mengirim utusan ke istana Chola tahun 1084 untuk membicarakan permasalah yang timbul di kuil Budha Sriwijaya di Negapatma (Hamid, 2015 : 61).
Kerajaan Sriwijaya menjadi pusat belajar agama Budha Mahayana. Ribuan rahib bermukim dan belajar di sana. Dalam konteks ini, maharaja Sriwijaya dipandang sebagai pusat kekuasaan. Ditandai pemilikan benda-benda sakral berupa palladium yang selalu dibawanya atau Dewaraja (lingga batu atau emas) yang ditempatkan dalam sebuah piramida yang dibangun dia atas sebuah bukit. Itulah sebabnya, pusat pemerintahan dapat dipindahkan. Masa pemindahan tergantung dari sifat bahaya sang raja tidak ternoda, penyerbuan atau hilangnya ibukota, bahkan jika hal itu membawa kerugian ekonomi dan politik, tidak cukup untuk melemahkan kekuatannya, kecuali penangkapan dan pembunuhan. Dengan demikian, aspek spiritual menjadi pengabsah sumber legitimasi dan kekuasaan maharaja Sriwijaya (Hamid, 2015 : 62).
Berdasarkan sumber sejarah, meskipun kerajaan-kerajaan di Sumatera dan Jawa (Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaaan Majapahit) baru tercatat sekitar abad ke-IV, bukan berarti sebelumnya pulau-pulau tersebut terbelakang, miskin, dan tidak terorganisasi secara politik karena Ramayana karya Valmiki (kurang lebih 500 SM) mencatat Yavadwipa atau Jawa telah memiliki organisasi kerajaan. Jawa merupakan salah satu kerajaan tertua dibandingkan catatan sejarah kerajaan lain di Nusantara, bahkan di Asia Tenggara. Jawa juga lebih dulu menjalin hubungan dengan Cina daripada kerajaan-kerajaan di Sumatera karena teknologi perkapalan di Jawa lebih unggul dari pada kerajaan di Sumatera sehingga dapat membawa utusan-utusan dari Jawa dan Sumatera ke Cina, bukan sebaliknya. Kerajaan Sriwijaya, sebagai suatu kerajaan maritim mengembangkan ciri khas tradisi diplomasi untuk mempertahankan perannya sebagai pusat perdagangan. Kekuatan utama Kerajaan Sriwijaya adalah penguasaan terhadap daerah Selat Malaka sehingga memegang kunci pelayaran perdagangan ke Cina dan negeri-negeri barat. Sektor perdagangan dan pelayaran yang menjadi sektor andalan kerajaan Sriwijaya membutuhkan pengawasan langsung dari penguasa kerajaan. Kerajaan Sriwijaya mempunyai kekuatan angkatan laut untuk melakukan ekspedisi ke luar negeri sekaligus memastikan jalur pelayaran aman dari bajak laut. Salah satu strategi pengamanan wilayah maritim kerajaan Sriwijaya adalah dengan memasukkan kepala bajak laut dalam ikatan dengan kerajaan dan memberikan bagian yang ditentukan oleh raja kepada mereka. Hal tersebut membuat para bajak laut menjadi bagian dari organisasi perdagangan kerajaan sekaligus pengaman jalur-jalur pelayaran. Selain itu, Sriwijaya juga menerapkan politik laut model paksaan menimbun barang yang mewajibkan kapal-kapal asing untuk singgah di pelabuhannya. Berbeda dengan Majapahit, strategi pengamanan wilayah maritim Kerajaan Majapahit adalah dengan menjalankan tindakan tegas terhadap pemberontak (dikutip dari Sejarah Hukum Maritim Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit dalam Hukum Indonesia Kini oleh Sartika Intaning Pradhani dari Universitas Gadjah Mada https://jurnal.ugm.ac.id/lembaran-sejarah/article/download/33542/20183 diakses hari Rabu Tanggal 1 Agustus 2018 pukul 11:51 WIB).
Para sejarawan mengakui bahwa Sriwijaya pernah menjadi kerajaan bahari terbesar di Asia Tenggara sekitar abad ke-7 hingga ke-12. Salah satu kunci keberhasilan Sriwijaya menjadi sebuah negara maritim yang besar pada zamannya adalah kebijakan dan sikap yang responsif terhadap  lingkungan geostrategisnya. Dalam hal ini, Sriwijaya yang memiliki posisi yang strategis tidak menjadi objek yang pasif. Hasil-hasil kebudayaan yang berkembang pada waktu itu menunjukkan tentang adanya peran yang signifikan orang-orang lokal dalam proses akulturasi kebudayaan di kawasan  ini, khususnya antara budaya lokal dengan budaya India. Seperti diketahui bahwa pada abad ke-2 masehi hubungan dagang antara Nusantara dan India sudah relatif intensif sehingga pada abad ke-5 masehi pengaruh perdagangan itu telah menembus pada segi-segi kehidupan sosial, kebudayaan dan agama penduduk Nusantara dengan munculnya kerajaan-kerajaan yang menunjukkan pengaruh kebudayaan Hindu dan Budha. Oleh karena itu tidak mengherankan jika pada periode itu telah muncul beberapa kerajaan yang menunjukkan adanya pengaruh luar (terutama India) seperti kerajaan Kutai di Kalimantan Timur dan Tarumanegara di Jawa Barat, Mataram di Jawa Tengah, dan kemudian disusul Kerajaan Sriwijaya sekitar abad ke-7.  Dalam hal ini orang-orang Sriwijaya tidak hanya menunggu para pedagang asing datang menjual dan membeli barang, tetapi dalam perkembangan selanjutnnya mereka juga menjadi pemain yang menentukan sebagai pelaut dan pedagang yang ulung. Hampir bisa dipastikan bahwa pada awal abad ke-5 telah ada orang-orang Nusantara yang datang berlayar/ berdagang langsung ke Cina. Sebuah berita Cina menceritakan bahwa pada bulan ke empat tahun 430 datanglah utusan dari Ho-lo-tan, sebuah negeri di Shê-p’o (Jawa). Jadi jelas bahwa utusan itu datang dari Nusantara yang membawa kain dari India dan Gandhara. Secara berturut-turut, Ho-lo tan mengirimkan utusan ke Cina pada tahun 430, 433, 434, 436, 437, dan 452. Diperkirakan bahwa Holotan (atau Aruteun) merupakan pendahulu kerajaan Taruma sebelum kerajaan ini mendapat pengaruh Hindu. Berita Cina mengenai Taruma sendiri terutama terjadi setelah periode Ho-lo-tan. Dari berbagai berita Cina dapat disimpulkan bahwa bahwa pada abad ke-5 masehi orang-orang Nusantara sudah memiliki hubungan dagang langsung dengan Cina. Hubungan dagang itu bahkan lebih banyak merupakan hasil dari inisiatif orang Nusantara dengan melihat banyaknya utusan dagang ke Cina tersebut. Sementara itu kaisar Cina hanya sesekali mengirimkan utusan ke negeri-negeri di Nusantara dan itupun banyak berurusan dengan soal agama dan politik. Baru dalam tahap berikutnya, datang juga para pedagang Cina ke pelabuhan-pelabuhan di Nusantara. Setelah penduduk Nusantara dapat berdagang langsung dengan Cina, maka ia mendapat kedudukan yang penting dalam jaringan perdagangan dan pelayaran internasional. Kapal-kapal Indonesia lalu-lalang melayari perairan antara India dan Cina. Pada abad ke-7 masehi seorang pendeta Budha dari Cina yang bernama I-tsing bertolak ke India dari Indonesia dengan menumpang kapal Sriwijaya. Muncul dan berkembangnya Sriwijaya terkait erat dengan perdagangan yang sedang berkembang di sepanjang jaringan maritim antara India dan Cina, antara Nusantara dan Cina, dan perdagangan intra-regional di Asia Tenggara. Di antara faktor yang paling penting dalam kebangkitan Sriwijaya sebagai pusat perdagangan maritim di Asia Tenggara adalah kemampuan mereka untuk mengontrol wilayah pedalaman mereka sendiri di Sumatra dan kemampuannya untuk mendominasi kota-kota pelabuhan saingannya dan dengan demikian secara tidak langsung juga mengontrol daerah-daerah pedalaman mereka. Kontrol ini memungkinkan Sriwijaya untuk menguasai dan memusatkan perdagangan produk pertanian, hutan, dan produk-produk laut kepulauan Indonesia di pelabuhan-pelabuhan yang dikuasai Sriwijaya. Selain itu, Sriwijaya juga mengembangkan sistem politik yang didasarkan pada kesetiaan dan kontrol terhadap sumber daya perdagangan. Lokasi Sriwijaya itu sendiri sebenarnya relatif tidak strategis karena terletak jauh dari Selat Malaka. Dengan memanfaatkan kekuatan armadanya, akhirnya Sriwijaya bisa mengontrol perdagangan di bagian barat kepulauan Indonesia. Selain itu, mereka juga mampu melindungi perairan mereka melawan bajak laut dan kemungkinan serangan dari negara lain. Sebagai negara maritim, Sriwijaya telah menerapkan strategi untuk bertahan hidup dan memperluas kekuasaan. Untuk kelangsungan hidupnya, Sriwijaya menjalin hubungan diplomatik internasional dengan dua ‘kekuatan super’, yaitu Cina dan India yang diperkirakan menjadi potensi ancaman. Diplomasi dengan India, misalnya, dibangun dengan mendirikan sebuah vihara di Nalanda selama pemerintahan Balaputradewa. Diplomasi dengan Cina dibangun dengan mengirim upeti kepada kaisar Cina. Setiap kali Sriwijaya mendapat ancaman dari musuh-musuhnya, ia selalu meminta perlindungan dari Cina. Sriwijaya mengakui Cina sebagai pelindung dan mengirimkan upeti kepada kaisar Cina. Dengan mengambil berbagai kebijakan seperti itu, Sriwijaya merasa aman dari bahaya ekspansi militer Cina yang telah jauh mencapai Vietnam dan Fu-Nan. Selain itu, kapal-kapal Sriwijaya akan mendapatkan perlakuan yang lebih baik ketika mereka berlabuh di pelabuhan-pelabuhan Cina. Di sisi lain, pada level regional Sriwijaya meneguhkan kekuatannya dan bahkan melakukan ekspansi ke wilayah sekitarnya di kawasan dunia Melayu. Secara berangsur-angsur Sriwijaya akhirnya dapat mengendalikan pusat-pusat perdagangan dan lalu-lintas pelayaran di sekitarnya dengan kekuatan militer. Dengan cara seperti itu Sriwijaya mampu mengontrol pusat-pusat perdagangan di Semenanjung Malaya seperti P’eng-feng (Pahang), Teng-ya-Nung (Trengganu), Ling-Ya-Su- Chia (Langkasuka), Chi-lan-tan (Kelantan), Fo-lo-an (Kuala Berang), Tanma- ling (Tambralingga, Ligor), Chia-lo-si (Grahi, Teluk Brandon). Dengan demikian kerajaan ini telah menjadi kerajaan maritime terbesar di kawasan Selat Malaka (Dikutip dari Jurnal Ilmiah dengan judul Paradigma Maritim dalam Membangun Indonesia : Belajar Sejarah oleh Singgih Tri Sulistiyono. https://jurnal.ugm.ac.id/lembaran-sejarah/article/download/33461/20140 diakses hari Kamis 30 Agustus 2018 Pukul 15.02 WIB).
Kerajaan Sriwijaya pada dasarnya merupakan suatu kerajaan pantai, sebuah negara perniagaan dan negara yang berkuasa di laut. Kekuasaannya lebih disebabkan oleh perdagangan internasional melalui selat Malaka. Dengan demikian berhubungan dengan jalur perdagangan internasional dari Asia Timur ke Asia Barat dan Eropa yang sejak paling sedikit lima belas abad lamanya, mempunyai arti penting dalam sejarah. Sriwijaya memang merupakan pusat perdagangan penting yang pertama pada jalan ini. Menurut berita Cina, kita dapat menyimpulkan bahwa Sriwijaya adalah salah satu pusat perdagangan antara Asia Tenggara dengan Cina yang terpenting. Sriwijaya adalah kerajaan maritim yang pernah tumbuh menjadi suatu kerajaan maritim terbesar di Asia Tenggara. Keberadaaan Sriwijaya dapat dilacak dari berita Tionghoa yang menyebutkan bahwa di Sumatra pada abad ke 7 sudah ada beberapa kerajaan antara lain Tolang-po-hwa (Tulangbawang di Sumatra Selatan), Molo-yeu (Melayu di Jambi), Ki-li-p’iche atau Che-life-che (Criwijaya). Berita ini diperkuat oleh seorang pendeta Budha dari Tiongkok bernama I tsing dalam tahun 671 berangkat dari Kanton ke India. Ia singgah di Sriwijaya selama enam bulan untuk belajar tata bahasa Sansekerta. Kemudian ia singgah di Malaka selama dua bulan. Baru kemudian melanjutkan perjalanan ke India untuk tinggal selama sepuluh tahun. Pada tahun 685 ia kembali ke Sriwijaya dan tinggal selama enam tahun untuk menterjemahkan berbagai kita suci agama Budha dari bahasa Sansekerta ke dalam bahasa Tionghoa. Ini membuktikan bahwa betapa pentingnya Sriwijaya sebagai pusat untuk mempelajari Mahayana. (SEJARAH MARITIM INDONESIA MENELUSURI JIWA BAHARI BANGSA INDONESIA DALAM PROSES INTEGRASI BANGSA (Sejak Jaman Prasejarah Hingga Abad XVII) oleh Safri Burhanuddin, A.M. Djuliati Suroyo, Endang Susilowati, Singgih Tri Sulistyono, Agus Supriyono, Sutejo Kuat Widodo, Ahmad Najid, Dini Purbani. UNDIP https://kalamkopi.files.wordpress.com/2017/04/dep-kelautan-sejarah-maritim-indonesia.pdf. diakses hari rabu tanggal 1 Agustus 2018 2018 pukul 12:05 WIB. hlm. 63-64).
Dari I-Tsing ini dapat kita ketahui bahwa Sriwijaya disamping sebagai pusat perdagangan dan pelayaran juga menjadi pusat kegiatan ilmiah agama Budha. Seorang guru terkenal bernama Sakyakirti, pendeta yang hendak ke India dianjurkan untuk lebih dahulu belajar ke Sriwijaya sekitar satu sampai dua tahun. Terlihat disini bahwa ada hubungan antara perkembangan kerajaan Sriwijaya dengan ekspansi agama  dalam periode permulaan sebagai akibat dari penaklukan oleh bangsa Arab di Timur Tengah seperti negeri Arab, Suriah, Mesir dan Mesopotamia, maka jalan laut melalui Asia Selatan menjadi jalan perdagangan biasa yang menggantikan jalan darat. Kerajaan-kerajaan ini menjadi pendorong kemajuan lalu lintas laut di Asia Tenggara yang maha besar. Kondisi kemajuan lalu lintas laut ini  membuat kerajaan Sriwijaya memperoleh keuntungan cukup besar. Prasasti Kota Kapur menjelaskan Sriwijaya adalah sebuah nama kerajaan  di Sumatera Selatan dengan pusat di Palembang, dekat sungai Musi. Prasasti yang ditemukan pada umumnya berasal dari abad ke 7 atau ke 8, yaitu pada masa awal tumbuhnya Sriwijaya sebagai suatu kekuatan. Dari prasasti tersebut terlihat kesan bahwa masa itu adalah masa penaklukan dai mana tentara Sriwijaya bergerak di seluruh negeri dalam suatu usaha pasifikasi atau pengamanan (SEJARAH MARITIM INDONESIA MENELUSURI JIWA BAHARI BANGSA INDONESIA DALAM PROSES INTEGRASI BANGSA (Sejak Jaman Prasejarah Hingga Abad XVII) oleh Safri Burhanuddin, A.M. Djuliati Suroyo, Endang Susilowati, Singgih Tri Sulistyono, Agus Supriyono, Sutejo Kuat Widodo, Ahmad Najid, Dini Purbani. UNDIP https://kalamkopi.files.wordpress.com/2017/04/dep-kelautan-sejarah-maritim-indonesia.pdf diakses hari Rabu tanggal 1 Agustus 2018 pukul 12:05 WIB. hlm. 64).
            Ibu kota Sriwijaya letaknya di tepi air, penduduknya terpencar di luar kota atau tinggal di atas rakit-rakit yang beratapkan alang-alang. Jika sang raja keluar, ia naik perahu dengan dilindungi payung sutera dan diringi dengan orang-orang yang membawa tombak emas. Tentaranya sangat baik dan tangkas dalam peperangan, baik darat ataupun air. Keberanianya tiada tanding. Adapun I Tsing berpendapat bahwa Sriwijaya terletak di daerah katulistiwa. Di daerah ini ditemukan  bangunan Stupa yang dikenal dengan Muara Takus dari abad ke 7. Menurut pandangan I Tsing Palembang  dipandang penting dalam sejarah terutama sebagai pusat ziarah pemeluk agama Budha. Di Telaga Batu banyak terdapat batu bertuliskan Siddhayatra atau perjalan suci yang berhasil dan dari Bukit Seguntang di sebelah Barat Palembang didapatkan sebuah arca Budha dari batu yang sangat besar dari abad 6 (SEJARAH MARITIM INDONESIA MENELUSURI JIWA BAHARI BANGSA INDONESIA DALAM PROSES INTEGRASI BANGSA (Sejak Jaman Prasejarah Hingga Abad XVII) oleh Safri Burhanuddin, A.M. Djuliati Suroyo, Endang Susilowati, Singgih Tri Sulistyono, Agus Supriyono, Sutejo Kuat Widodo, Ahmad Najid, Dini Purbani. UNDIP https://kalamkopi.files.wordpress.com/2017/04/dep-kelautan-sejarah-maritim-indonesia.pdf diakses hari Rabu tanggal 1 Agustus 2018 pukul 12:05 WIB. hlm. 65).
            Letak geografis Sriwijaya yang berhasil menguasai daerah strategis merupakan suatu modal yang baik untuk terlibat dalam perdagangan internasional yang berkembang antara India dengan daratan Asia Tenggara. Letak selat Malaka mengundang perdagangan di daratan Asia Tenggara untuk meluaskan wilayah perdagangannya ke Selatan. Pada saat Cina terbuka untuk hasil dagang dari Asia Tenggara, pembaharuan  setelah perdagangan dengan India berkembang yaitu penduduk Sumatera di pantai Timur menjadi terlibat langsung dalam perdagangan Internasional (SEJARAH MARITIM INDONESIA MENELUSURI JIWA BAHARI BANGSA INDONESIA DALAM PROSES INTEGRASI BANGSA (Sejak Jaman Prasejarah Hingga Abad XVII) oleh Safri Burhanuddin, A.M. Djuliati Suroyo, Endang Susilowati, Singgih Tri Sulistyono, Agus Supriyono, Sutejo Kuat Widodo, Ahmad Najid, Dini Purbani. UNDIP https://kalamkopi.files.wordpress.com/2017/04/dep-kelautan-sejarah-maritim-indonesia.pdf diakses hari Rabu tanggal 1 Agustus 2018 pukul 12:05 WIB. hlm. 65).
            Prasasti Kedukan Bukit (dekat Palembang) berangka tahun 680 menceritakan tentang kemenangan atas penaklukan beberapa daerah dan kemakmuran Sriwijaya. Prasasti ini merupakan peringatan usaha penaklukan daerah sekitar Palembang oleh Dapunta Hyang dan pendirian ibu kota baru yang kedua di tempat ini. Dari prasasti-prasasti yang ditemukan membuktikan bahwa Sriwijaya telah meluaskan daerah kekuasaannya mulai dari Melayu di sekitar Jambi sekarang sampai di pulau Bangka dan Lampung Selatan dalam tahun 686. Selain itu ada usaha menaklukkan pulau Jawa yang menjadi saingannya dalam bidang pelayaran dan perdagangan. Penaklukan Pulau Bangka diduga berhubungan dengan penguasaan pelayaran dan perdagangan internasional di selat Malaka. Dengan dikuasainya negara-negara disekitaran pulau Bangka maka Sriwijaya sepenuhnya dapat menguasai lalu lintas perdagangan dan pelayaran dari negara-negara Barat ke China. Sebaliknya, perahu-perahu asing terpaksa harus berlayar melalui selat Malaka dan selat Bangka yang dikuasai oleh Sriwijaya. Keuntungan Sriwijaya dari perahu asing sangatlah berlimpah. Kecuali keuntungan dari bea cukai, Sriwijaya masih memperoleh keuntungan lain dari perdagangan. Terlihat bahwa kapal asing itu datang di Kedah dan Melayu pada waktu-waktu tertentu. Mereka tinggal di kedua tempat itu selama beberapa lamanya sambil menunggu datangnya angin baik, baru melanjutkan perjalanan ke tempat tujuannya masing- masing. Selama di Pelabuhan, kapal dagang ini berkesempatan membongkar dan memuat barang dagangan. Sementara itu di daerah Sriwijaya sendiri di hasilkan penyu, gading, emas, perak, kemenyan, kapur barus, damar, lada dan lain-lain. Barang dagangan tadi dibeli oleh pedagang asing atau ditukar dengan porselin, kain katun dan kain sutera (SEJARAH MARITIM INDONESIA MENELUSURI JIWA BAHARI BANGSA INDONESIA DALAM PROSES INTEGRASI BANGSA (Sejak Jaman Prasejarah Hingga Abad XVII) oleh Safri Burhanuddin, A.M. Djuliati Suroyo, Endang Susilowati, Singgih Tri Sulistyono, Agus Supriyono, Sutejo Kuat Widodo, Ahmad Najid, Dini Purbani. UNDIP https://kalamkopi.files.wordpress.com/2017/04/dep-kelautan-sejarah-maritim-indonesia.pdf diakses hari Rabu tanggal 1 Agustus 2018 pukul 12:05 WIB. hlm. 65-66).
            Kapal-kapal yang melalui selat Malaka singgah dulu di pelabuhan untuk mengambil air minum dan barang perbekalan lainnya. Beberapa pelabuhan di pantai selat ini penting artinya sebagai pelabuhan perbekalan. Oleh karena itu Sriwijaya  berusaha memonopoli dan menguasai daerah pesisir di kedua belah pantai selat Malaka. Usaha yang dilakukan Sriwijaya adalah menaklukkan beberapa daerah seperti Jambi, Lampung, Semenanjung Malaka, Tanah Genting Kra, dan pulau Sailanpun diduduki oleh Sriwijaya setelah berperang dengan raja Cola (India) dalam abad ke 11. Sebelumnya tahun 767 Sriwijaya menundukkan Tonkin (Indochina di Hindia Belakang) dan diperkirakan penguasaan Sriwijaya sampai ke Malagasi (SEJARAH MARITIM INDONESIA MENELUSURI JIWA BAHARI BANGSA INDONESIA DALAM PROSES INTEGRASI BANGSA (Sejak Jaman Prasejarah Hingga Abad XVII) oleh Safri Burhanuddin, A.M. Djuliati Suroyo, Endang Susilowati, Singgih Tri Sulistyono, Agus Supriyono, Sutejo Kuat Widodo, Ahmad Najid, Dini Purbani. UNDIP https://kalamkopi.files.wordpress.com/2017/04/dep-kelautan-sejarah-maritim-indonesia.pdf diakses hari Rabu tanggal 1 Agustus 2018 pukul 12:05 WIB. hlm. 66-67).
            Kerajaan Sriwijaya menggunakan politik laut yaitu dengan mewajibkan kapal-kapal untuk singgah di pelabuhannya. Politik ini dikenal dengan model “paksaan menimbun barang”. Disamping itu Sriwijaya mempunyai kapal-kapal sendiri. Harta benda raja serta bangsawan berasal dari perdagangan sendiri, bea-bea yang dipungut dari perdagangan yang melalui keajaan, dari rampasan peperangan dan pembajakan laut. Pada abad 13 Sriwijaya menjadi kerajaan maritim yang sangat kuat. Ini dibuktikan dengan buku Chu-fan-chi (1225) karya Chau-ju-kua, yang menceritakan bahwa di Asia Tenggara ada dua kerajaan yang terkemuka dan kaya yaitu Jawa dan Sriwijaya. Sriwijaya menguasai bagian barat kepulauan Indonesia dan tidak kurang dari lima belas negeri fasal yang dimiliki kerajaan ini. Wilayah Sriwijaya terdiri dari Pong-fong (Pahang), Tong-ya-nong (Trengganau), Ling-ya-ssi-ka (lengkasuka), Kila-tan (Kelantan), Fo-lo-an (?), Ji-lu-t’ing (Jelutong), Ts’ien-mai (?), Pa-ta (Batak), Tan-ma-ling (Tamralingga, Ligor), Kia-lo-hi (Grahi di Utara Semenanjung Malaka), Pa-lin-fong (Palembang), Sin-t’o (sunda), La-wu-li (Lamuri, Aceh), Si-lan (Sailan), termasuk negara Sunda di Jawa Barat, Nilakant Masih dari buku yang sama bahwa kota Sriwijaya merupakan semacam tipe kota air penuh anak sungai. Penduduk bertempat tinggal di kapal atau rumah-rumah yang dibangun diatas rakit. Dimungkinkan saat itu pusat pemerintahan Sriwijaya adalah bertempat di Jambi (SEJARAH MARITIM INDONESIA MENELUSURI JIWA BAHARI BANGSA INDONESIA DALAM PROSES INTEGRASI BANGSA (Sejak Jaman Prasejarah Hingga Abad XVII) oleh Safri Burhanuddin, A.M. Djuliati Suroyo, Endang Susilowati, Singgih Tri Sulistyono, Agus Supriyono, Sutejo Kuat Widodo, Ahmad Najid, Dini Purbani. UNDIP https://kalamkopi.files.wordpress.com/2017/04/dep-kelautan-sejarah-maritim-indonesia.pdf diakses hari Rabu tanggal 1 Agustus 2018 pukul 12:05 WIB. hlm. 67-68).
Demikian jelasnya Sriwijaya, sehingga mempunyai kekuasaan yang cukup luas mulai ke arah selat malaka hingga selat sunda. Sriwijaya berusaha mempertahankan hegemoni perdagangan atas Indonesia, dengan mengawasi dan menguasai kedua selat itu, yang harus dilalui oleh semua perjalanan laut antara India dan Cina. Perkembangan navigasi Arab dan perdagangan antara India dan Cina, bersama sama memberikan arti penting baru bagi selat itu. Di sini Sriwijaya menjadi pelabuhan yang wajar bila disinggahi oleh kapal-kapal dari Cina pada musin timur laut. Rupanya pada waktu inilah berkembang perdagangan lautan sekaligus dalam mempertahankan hubungan teraturnya dengan India dan Cina. Berdasarkan cerita I Tsing bahwa berlayar dari Cina ke Sriwijaya dengan kapal saudagar Persia, maka pelayaran lanjutannya ke India dengan kapal raja Sriwijaya. Untuk itu rupanya beralasan hipotesa yang mengatakan bahwa prasasti tahun 683 dan 686 menunjukkan pada babakan penting tertentu dalam usaha raja Jayanasa (Jayanaga) menaklukkan Melayu dan mungkin juga Taruna, dan menciptakan Palembang sempai abad XIII menjadi pusat kekuatan maritim di pulau-pulau itu (SEJARAH MARITIM INDONESIA MENELUSURI JIWA BAHARI BANGSA INDONESIA DALAM PROSES INTEGRASI BANGSA (Sejak Jaman Prasejarah Hingga Abad XVII) oleh Safri Burhanuddin, A.M. Djuliati Suroyo, Endang Susilowati, Singgih Tri Sulistyono, Agus Supriyono, Sutejo Kuat Widodo, Ahmad Najid, Dini Purbani. UNDIP https://kalamkopi.files.wordpress.com/2017/04/dep-kelautan-sejarah-maritim-indonesia.pdf diakses hari Rabu tanggal 1 Agustus 2018 pukul 12:05 WIB. hlm. 68-69).
Utusan Sriwijaya banyak yang menuju ke Tiongkok. Misalnya abad ke 7 utusan-utusan ini membawa barang-barang berharga ke Tiongkok sebagai tanda kebaktian atau upeti. Kaisar Tiongkok membalasnya dengan memberi barang-barang yang cukup mewah. Selain itu utusan-utusan dari Sriwijaya diberi kesempatan berniaga. Utusan utusan tadi diikuti oleh saudagar-saudagar swasta. Penyampaian upeti ini dengan alasan karena ada keuntungan. Pada tahun 1443 gubernur Canton melaporkan bahwa utusan Indonesia memakan biaya negara terlalu banyak, sehingga Kaisar Tiongkok memberi toleransi kepada Sriwijaya untuk menyampaikan upeti cukup satu kali dalam setahun. Kelangsungan kerajaan Sriwijaya lebih tergantung dari pola perdagangan yang berkembang. Terbukti ketika orang Cina mulai ikut berdagang di kawasan Selatan, peranan Sriwijaya berkurang sebagai pangkalan utama perdagangan antara Asia Tenggara dengan Cina. Peranan ini semakin berkurang hingga Cina membawa sendiri keperluan mereka ke negerinya. Tempat-tempat penghasil barang dagangan yang semula mengumpulkan barang dagangan mereka ke pelabuhan di daerah kekuasaan Sriwijaya tidak perlu lagi berbuat demikan karena para pedagang Cina menyinggahi pelabuhan pelabuhan mereka (SEJARAH MARITIM INDONESIA MENELUSURI JIWA BAHARI BANGSA INDONESIA DALAM PROSES INTEGRASI BANGSA (Sejak Jaman Prasejarah Hingga Abad XVII) oleh Safri Burhanuddin, A.M. Djuliati Suroyo, Endang Susilowati, Singgih Tri Sulistyono, Agus Supriyono, Sutejo Kuat Widodo, Ahmad Najid, Dini Purbani. UNDIP https://kalamkopi.files.wordpress.com/2017/04/dep-kelautan-sejarah-maritim-indonesia.pdf diakses hari Rabu tanggal 1 Agustus 2018 pukul 12:05 WIB. hlm. 69).
Pada abad XII daerah taklukan Sriwijaya di sepanjang pesisir selat Malaka mulai bertindak sebagai negeri yang langsung memberi upeti kepada Cina. Kemunduran Sriwijaya juga disebabkan oleh timbulnya bentrokan dengan Mataram Jawa Timur pada abad X. Namun demikian pada abad XII Sriwijaya masih dapat berkembang sebagai pusat perdagangan dan pelayaran  yang besar dan kuat, serta menguasai bagian besar Sumatera, Semenanjung tanah melayu dan sebagaian Jawa Barat. Bahkan kerajaan ini menguasai laut dan mengawasi lalu lintas pelayaran asing di selat Malaka. Jika ada kapal melalui selat Malaka tanpa singgah, lalu diserang dan semua penumpangnya dibunuh (SEJARAH MARITIM INDONESIA MENELUSURI JIWA BAHARI BANGSA INDONESIA DALAM PROSES INTEGRASI BANGSA (Sejak Jaman Prasejarah Hingga Abad XVII oleh Safri Burhanuddin, A.M. Djuliati Suroyo, Endang Susilowati, Singgih Tri Sulistyono, Agus Supriyono, Sutejo Kuat Widodo, Ahmad Najid, Dini Purbani. UNDIP https://kalamkopi.files.wordpress.com/2017/04/dep-kelautan-sejarah-maritim-indonesia.pdf diakses hari Rabu tanggal 1 Agustus 2018 pukul 12:05 WIB. hlm. 69 -70).
Usaha sriwijaya untuk menaklukkan Jawa dapat ditafsirkan sebagai usaha memasukkan selat Sunda kedalam kekuasaan Sriwijaya. Terjadi persaingan antara Taruma Negara dengan Sriwijaya yang masing-masing ingin menguasai laut sekitar Bangka yang menjadi simpang tiga jalan pelayaran atara Indonesia Tiongkok India. Alasan inilah yang membuat Sriwijaya terdorong untuk merebut Palembang dan Jambi, dua pelabuhan laut penting yang terletak di sisi barat jalan pelayaran. Disamping itu Sriwijaya merebut Bangka yang merupakan kunci simpang tiga. Tentang penaklukan Bumi Jawa termuat pada prasasti Kota Kapur (686 M) (SEJARAH MARITIM INDONESIA MENELUSURI JIWA BAHARI BANGSA INDONESIA DALAM PROSES INTEGRASI BANGSA (Sejak Jaman Prasejarah Hingga Abad XVII) oleh Safri Burhanuddin, A.M. Djuliati Suroyo, Endang Susilowati, Singgih Tri Sulistyono, Agus Supriyono, Sutejo Kuat Widodo, Ahmad Najid, Dini Purbani. UNDIP https://kalamkopi.files.wordpress.com/2017/04/dep-kelautan-sejarah-maritim-indonesia.pdf diakses hari Rabu tanggal 1 Agustus 2018 pukul 12:05 WIB. hlm. 71).
Pada tahun 1300 Sriwijaya kehilangan Tanah Genting Kra yang direbut raja Siam. Konflik antara Sriwijaya dan Jawa pada abad 10 pernah menempatkan Sriwijaya dalam bahaya besar. Sriwijaya menyerang dan menghancurkan keraton dan mengakibatkan Dharmawangsa meninggal. Kerajaan Jawa timur laut sementara lenyap (SEJARAH MARITIM INDONESIA MENELUSURI JIWA BAHARI BANGSA INDONESIA DALAM PROSES INTEGRASI BANGSA (Sejak Jaman Prasejarah Hingga Abad XVII) oleh Safri Burhanuddin, A.M. Djuliati Suroyo, Endang Susilowati, Singgih Tri Sulistyono, Agus Supriyono, Sutejo Kuat Widodo, Ahmad Najid, Dini Purbani. UNDIP https://kalamkopi.files.wordpress.com/2017/04/dep-kelautan-sejarah-maritim-indonesia.pdf diakses hari Rabu tanggal 1 Agustus 2018 pukul 12:05 WIB. hlm. 72).
Keberhasilan Sriwijaya dalam peperangan panjang dengan Dharmawangsa karena hubungan baik dengan Cina dan Chola. Bila tidak ada bantuan maka hasilnya akan sangat berbeda. Dalam menginrim upeti ke Cina tahun 1003 raja Sriwijaya mengumumkan bahwa beliau telah mendirikan candi Budha untuk mendoakan kehidupan kaisar. Untuk perdagangan di Sunda diceritakan lebih lanjut bahwa bandarnya baik sekali, ladanya dari jenis yang paling baik, rakyatnya bertani dan rumahnya bertonggak. Sayang bahwa di sana banyak perampok sehingga perdagangan tidak lancar. Berdasarkan cerita Chau-ju-kua mengatakan bahwa Sunda pemerintahannnya tidak teratur dan banyak penduduk yang menjadi bajak laut. Inilah yang membuat banyak kapal dagang yang tidak berani berlabuh disana. Semua perdagangan antara Tiongkok dan India harus melalui san-fo-tsi, negeri penguasa selat Malaka yang tidak ada saingannya (SEJARAH MARITIM INDONESIA MENELUSURI JIWA BAHARI BANGSA INDONESIA DALAM PROSES INTEGRASI BANGSA (Sejak Jaman Prasejarah Hingga Abad XVII) oleh Safri Burhanuddin, A.M. Djuliati Suroyo, Endang Susilowati, Singgih Tri Sulistyono, Agus Supriyono, Sutejo Kuat Widodo, Ahmad Najid, Dini Purbani. UNDIP https://kalamkopi.files.wordpress.com/2017/04/dep-kelautan-sejarah-maritim-indonesia.pdf diakses hari Rabu tanggal 1 Agustus 2018 pukul 12:05 WIB. hlm. 73). Menurut berita Cina pada tahun 1200 masehi menyebutkan bahwa negeri-negeri di luar Tiongkok yang paling kaya adalah negeri Arab, Jawa dan Sumatera (SEJARAH MARITIM INDONESIA MENELUSURI JIWA BAHARI BANGSA INDONESIA DALAM PROSES INTEGRASI BANGSA (Sejak Jaman Prasejarah Hingga Abad XVII) oleh Safri Burhanuddin, A.M. Djuliati Suroyo, Endang Susilowati, Singgih Tri Sulistyono, Agus Supriyono, Sutejo Kuat Widodo, Ahmad Najid, Dini Purbani. UNDIP https://kalamkopi.files.wordpress.com/2017/04/dep-kelautan-sejarah-maritim-indonesia.pdf diakses hari Rabu tanggal 1 Agustus 2018 pukul 12:05 WIB. hlm. 74).
Kerajaan Sriwijaya sebagai kerajaan maritim yang besar memiliki ciri-ciri yang khas yaitu mengembangkan tradisi diplomasi yang menjadikan kerajaan ini menjadi lebih metropolitan sifatnya. Dalam upaya mempertahankan peranan sebagai negara berdagang Sriwijaya memerlukan kekuatan militer yang dapat melakukan gerakan ekspedisioner. Ini didukung dengan letak geografis kerajaan ini yang strategis yaitu pada jalan perhubungan laut India Tiongkok (SEJARAH MARITIM INDONESIA MENELUSURI JIWA BAHARI BANGSA INDONESIA DALAM PROSES INTEGRASI BANGSA (Sejak Jaman Prasejarah Hingga Abad XVII) oleh Safri Burhanuddin, A.M. Djuliati Suroyo, Endang Susilowati, Singgih Tri Sulistyono, Agus Supriyono, Sutejo Kuat Widodo, Ahmad Najid, Dini Purbani. UNDIP https://kalamkopi.files.wordpress.com/2017/04/dep-kelautan-sejarah-maritim-indonesia.pdf diakses hari Rabu tanggal 1 Agustus 2018 pukul 12:05 WIB. hlm. 74).
Dalam hubungan luar negeri, terlihat hubungan dengan Cina cukup dominan dan intensif. Selain itu sriwijaya juga melakukan hubungan dengan Bengala dan Cola pada abad IX – XI. Hubungan aktif ini membuat Sriwijaya sebagai pusat pengajaran agama Budha. Pada abad XI dengan bantuan Cola, Sriwijaya berhasil mengembalikan kewibawaan Sriwijaya atas jazirah Malaka, sehingga ia disebut “raja Kataha, yaitu raja Kedah di Malaya dan Sriwijaya. Setelah jalan pelayaran ke negeri Tiongkok semakin dikenal dan dikembangkan, maka letak geografis pantai timur Sumatra menjadi bertambah penting. Di dalam sejarah Indonesia, kekuatan pertama yang berhasil menguasai daerah selat Malaka yang memegang kunci pelayaran perdagangan baik ke negeri Tiongkok maupun ke negeri negeri barat adalah Sriwijaya. Penguasaan atas daerah Tanah Genting Kra di semenanjung Melayu bukan hanya dimaksudkan untuk mengendalikan lalu lintas laut yang keluar masuk selat Malaka saja, tetapi juga ditunjukkan untuk menguasai penyeberangan darat yang melintas melalui Tanah Genting Kra (SEJARAH MARITIM INDONESIA MENELUSURI JIWA BAHARI BANGSA INDONESIA DALAM PROSES INTEGRASI BANGSA (Sejak Jaman Prasejarah Hingga Abad XVII) oleh Safri Burhanuddin, A.M. Djuliati Suroyo, Endang Susilowati, Singgih Tri Sulistyono, Agus Supriyono, Sutejo Kuat Widodo, Ahmad Najid, Dini Purbani. UNDIP https://kalamkopi.files.wordpress.com/2017/04/dep-kelautan-sejarah-maritim-indonesia.pdf diakses hari Rabu tanggal 1 Agustus 2018 pukul 12:05 WIB. hlm. 75).
Sriwijaya mengandalkan sektor perdagangan dan pelayaran. Maka jika negara hidup dari perdagangan, berarti penguasaannya harus menguasai jalur-jalur perdagangan dan pelabuhan tempat barang ditimbun untuk diperdagangkan (SEJARAH MARITIM INDONESIA MENELUSURI JIWA BAHARI BANGSA INDONESIA DALAM PROSES INTEGRASI BANGSA (Sejak Jaman Prasejarah Hingga Abad XVII) oleh Safri Burhanuddin, A.M. Djuliati Suroyo, Endang Susilowati, Singgih Tri Sulistyono, Agus Supriyono, Sutejo Kuat Widodo, Ahmad Najid, Dini Purbani. UNDIP https://kalamkopi.files.wordpress.com/2017/04/dep-kelautan-sejarah-maritim-indonesia.pdf diakses hari Rabu tanggal 1 Agustus 2018 pukul 12:05 WIB. hlm. 75-76). Maka perlunya penguasaan langsung. Berkat armadanya yang kuat ia berhasil menguasai daerah yang potensial sebagai saingannya. Dengan cara ini ia menyalurkan barang dagangannya ke pelabuhan yang dikuasainya. Perdagangan dengan Cina dan India telah memberikan keuntungan besar kepada Sriwijaya. Kerajaan ini berhasil mengumpulkan kekayaan yang besar. Raja Sriwijaya termashur karena kekayaannya. Kerajaan juga menjamin jalur pelayarannya aman dari bajak laut. Sampai abad ke 10 Sriwijaya mampu mengatasi gangguan keamanan sehingga tidak ada keluhan berakitan dengan bajak laut (SEJARAH MARITIM INDONESIA MENELUSURI JIWA BAHARI BANGSA INDONESIA DALAM PROSES INTEGRASI BANGSA (Sejak Jaman Prasejarah Hingga Abad XVII) oleh Safri Burhanuddin, A.M. Djuliati Suroyo, Endang Susilowati, Singgih Tri Sulistyono, Agus Supriyono, Sutejo Kuat Widodo, Ahmad Najid, Dini Purbani. UNDIP https://kalamkopi.files.wordpress.com/2017/04/dep-kelautan-sejarah-maritim-indonesia.pdf diakses hari Rabu tanggal 1 Agustus 2018 pukul 12:05 WIB. hlm. 76).
Pola keamanan yang dilakukan adalah memasukkan kepala bajak laut dengan ikatan dengan kerajaan. Mereka mendapatkan bagian yang ditentukan oleh raja dari hasil perdagangan. Dengan demikian mereka menjadi bagian dari organisasi perdagangan kerajaan. Cara ini menjadikan bajak laut sebagai pengaman jalur-jalur pelayaran. Metode ini efektif bila raja mempunyai kewibawaan riil dan ini dimiliki oleh Sriwijaya. Kewibawaan tersebut antara lain adalah diplomasi dengan Cina. Dimana Sriwijaya mengirim upeti dan Cina memberi perlindungan jika diperlukan (SEJARAH MARITIM INDONESIA MENELUSURI JIWA BAHARI BANGSA INDONESIA DALAM PROSES INTEGRASI BANGSA (Sejak Jaman Prasejarah Hingga Abad XVII) oleh Safri Burhanuddin, A.M. Djuliati Suroyo, Endang Susilowati, Singgih Tri Sulistyono, Agus Supriyono, Sutejo Kuat Widodo, Ahmad Najid, Dini Purbani. UNDIP https://kalamkopi.files.wordpress.com/2017/04/dep-kelautan-sejarah-maritim-indonesia.pdf diakses hari Rabu tanggal 1 Agustus 2018 pukul 12:05 WIB. hlm. 76). Untuk kepentingan perdagangan, Sriwijaya tidak keberatan mengakui Cina sebagai negara yang berhak menerima upeti. Ini adalah upaya diplomatik perdagangan untuk menjamin Cina tidak membuka perdagangan lain dengan negara di Asia Tenggara (SEJARAH MARITIM INDONESIA MENELUSURI JIWA BAHARI BANGSA INDONESIA DALAM PROSES INTEGRASI BANGSA (Sejak Jaman Prasejarah Hingga Abad XVII) oleh Safri Burhanuddin, A.M. Djuliati Suroyo, Endang Susilowati, Singgih Tri Sulistyono, Agus Supriyono, Sutejo Kuat Widodo, Ahmad Najid, Dini Purbani. UNDIP https://kalamkopi.files.wordpress.com/2017/04/dep-kelautan-sejarah-maritim-indonesia.pdf diakses hari Rabu tanggal 1 Agustus 2018 pukul 12:05 WIB. hlm. 76).
Demikian baiknya kedudukan Sriwijaya dalam perdagangan dengan Cina hingga melalui perutusannya ia dapat mengusulkan beberapa perubahan terhadap perlakuan para pejabat perdagangan Cina di Kanton terhadap barang- barang Sriwijaya yang dirasa merugikan. Sementara itu Sriwijaya tetap menjadi pusat agama budha yang mempunyai nilai internasional. Tahun 1011 s.d. 1023 di Sriwijaya telah tinggal seorang bhiksu dari Tibet bernama Atica untuk menimba ilmu. Raja Sriwijaya ia diberi hadiah kitab agama Budha. Di ibu kota terdapat lebih dari seribu pendeta Buddha (SEJARAH MARITIM INDONESIA MENELUSURI JIWA BAHARI BANGSA INDONESIA DALAM PROSES INTEGRASI BANGSA (Sejak Jaman Prasejarah Hingga Abad XVII) oleh Safri Burhanuddin, A.M. Djuliati Suroyo, Endang Susilowati, Singgih Tri Sulistyono, Agus Supriyono, Sutejo Kuat Widodo, Ahmad Najid, Dini Purbani. UNDIP https://kalamkopi.files.wordpress.com/2017/04/dep-kelautan-sejarah-maritim-indonesia.pdf diakses hari Rabu tanggal 1 Agustus 2018 pukul 12:05 WIB. hlm. 77).
Pelayaran teratur antara Sriwijaya dengan pulau-pulau Indonesia dilakukan antara Malaka dan Anam. Sriwijaya juga menyelenggarakan pelayaran ke India. Pada masa itu, pelayaran hanya dilakukan di dalam wilayah Indonesia saja, yaitu Maluku ke Malaka, ini suatu prestasi yang besar karena jaraknya cukup panjang yaitu seperdelapan dari lingkaran bumi. Hingga permulaan abad XI kerajaan Sriwijaya masih merupakan pusat pengajaran Budha yang bertaraf internasional. Sriwjaya pernah diserang Cola dan mengakibatkan raja Sriwijaya ditawan (1025) namun serangan Cola tidak membuat Sriwijaya jatuh, bahkan mampu membangun kembali negara agar menjadi besar. Kebesaran Sriwijaya dibuktikan dengan adanya bangunan suci di Jambi yang mungkin lebih besar dari Borobudur (SEJARAH MARITIM INDONESIA MENELUSURI JIWA BAHARI BANGSA INDONESIA DALAM PROSES INTEGRASI BANGSA (Sejak Jaman Prasejarah Hingga Abad XVII) oleh Safri Burhanuddin, A.M. Djuliati Suroyo, Endang Susilowati, Singgih Tri Sulistyono, Agus Supriyono, Sutejo Kuat Widodo, Ahmad Najid, Dini Purbani. UNDIP https://kalamkopi.files.wordpress.com/2017/04/dep-kelautan-sejarah-maritim-indonesia.pdf diakses hari Rabu tanggal 1 Agustus 2018 pukul 12:05 WIB. hlm. 77).

Kemunduran dan Keruntuhan
Kemunduran Sriwijaya dari panggung ekonomi dan politik Asia disebabkan oleh beberapa faktor (Hamid, 2015 : 62-65) :
            Pertama, ekspansi perdagangan dan perkapalan langsung dari China dalam abad ke 12. Pada periode ini, saudagar China diperbolehkan melakukan pelayaran ke luar China. Mereka memotong jalur yang ditawarkan oleh Sriwijaya, dengan berdagang langsung ke pelabuhan-pelabuhan di Nusantara. Dalam aktivitas itu, mereka menawarkan margin harga yang lebih baik daripada di tawarkan oleh agen Sriwijaya. Ini membuat banyak vassal dari Sriwijaya melepaskan ikatan politiknya dengan kerajaan Sriwijaya.
            Kedua, ketidak mampuan penguasa Sriwijaya dalam menyesuaikan diri dengan pasar baru yang terbuka dan kompetitif. Perdagangan tidak lebih dari peralatan penyedia kekayaan untuk digunakan sebagai alat beli kesetiaan. Maharaja Sriwijaya tidak mampu menemukan solusi dalam menghadapi dunia maritim dan politik yang berubah saat itu.
            Ketiga, perluasan pengaruh niaga bangsa Arab ke pantai timur Afrika, yang mulai mengancam monopoli Sriwijaya di selat Malaka. Kekuatan perniagaan Arab di pantai Afrika yang kaya, tempat masyarakat Lamu, Mombasa, Zanzibar, dan Kilwa, terus meningkat dalam abad ke 10. Pelaut dan pedagang Arab sangat unggul dalam perdagangan di Asia. Berdasarkan laporan Ibnu Al-Fakili, dari semua pelaku pedagang kaya, yang memiliki simpanan barang-barang berharga dan banyak macamnya, tak ada yang melebihi bangsa Arab. Posisi kedua ditempati orang Jawa dan berikutnya adalah Sriwijaya.
            Keempat, bangkitnya vassal Sriwijaya, seperti Kedah di Semenanjung Malaka, yang memanfaatkan peluang kemerosotan Sriwijaya dengan membuka kembali rute laut-darat-laut melintasi Tana Genting Kra. Kondisi ini disebabkan Sriwijaya dalam perluasan dan pertahanan wlayah lebih bersandar pada kesetiaan dibandingkan dengan paksaan. Negeri vassal tetap memiliki otonomi terutama pada sektor perekonomian. Kebijakan itu sangat berpengaruh terhadap kesetiaan politiknya kepada pemerintah pusat Sriwijaya.
            Kelima, perluasan pengaruh bangsa Tamil di India. Mereka mulai menutup jalur-jalur perdagangan laut.
985
Raja Cola pertama Rajaraja Agung di India Selatan memperluas wilayah kekuasaannya hingga mencapai Sri Langka dan bersiap membangun kekuatan angkatan lautnya.
1015
Rajendra, mengirim misi pertama ke China kemudian diikuti oleh misi-misi lainnya dalam rangka untuk menarik simpati kaisar China untuk membantunya mengamankan jalur niaga dan suksesi politiknya.
1017
Terjadi perang terbuka antara kerajaan Cola dan Sriwijaya.
1025
Angkatan laut Rajendra, yang didukung kerajaan Khmer dan Ankor, menyerang Palembang. Akibatnya, ibu kota Sriwijaya dipindah ke Jambi. Sejak itulah, pengaruh Cola di Selat Malaka cukup kuat sampai lima puluh tahun berikutnya dalam abad ke 11.
            Keenam, antara tahun 1178 dan 1183, terjadi perubahan di kerajaan Sriwijaya. Kekuasaan Sriwijaya diambil alih oleh raja Melayu, demikian juga negeri-negeri bawahannya. Raja tersebut adalah Trailokyaraja Maulibushanawarmandewa, dengan gelar Maharaja Crimat yang merupakan perpaduan antara gelar raja Sriwijaya dan gelar raja Melayu. Pada mulanya sejak tahun 683, Melayu merupakan negeri bawahan Sriwijaya. Pada tahun 1225, Melayu memerdekakan diri, bahkan menggantikan kedudukan Sriwijaya di Palembang.
            Selain itu terjadi perkembangan politik di Jawa. Pudarnya pengawasan perdagangan di Sriwijaya diambil alih oleh Majapahit. Hegemoni kerajaan Majapahit dalam mengontrol lalu lintas perdagangan di laut Jawa dan kawasan Semenanjung Melayu semakin tampak.
Bila dilihat dari sisi geografis, kemunduran Sriwijaya terjadi sebagai akibat dari pendangkalan pantai-pantai-pantai Timur Sumatra dan pelumpuran muara-muara sungainya (Daldjoeni,1992 : 43).

Sumber Buku
Hamid, Abd Rahman. 2015. Sejarah Maritim Indonesia. Yogyakarta : Penerbit Ombak
Daldjoeni, N. 1992. Geografi Kesejarahan II Indonesia. Bandung : Penerbit Alumni

Sumber Jurnal Ilmiah (Internet) :
SEJARAH MARITIM INDONESIA MENELUSURI JIWA BAHARI BANGSA INDONESIA DALAM PROSES INTEGRASI BANGSA (Sejak Jaman Prasejarah Hingga Abad XVII) oleh Safri Burhanuddin, A.M. Djuliati Suroyo, Endang Susilowati, Singgih Tri Sulistyono, Agus Supriyono, Sutejo Kuat Widodo, Ahmad Najid, Dini Purbani. UNDIP https://kalamkopi.files.wordpress.com/2017/04/dep-kelautan-sejarah-maritim-indonesia.pdf diakses hari Rabu tanggal 1 Agustus 2018 pukul 12:05 WIB

Paradigma Maritim dalam Membangun Indonesia : Belajar Sejarah oleh Singgih Tri Sulistiyono. https://jurnal.ugm.ac.id/lembaran-sejarah/article/download/33461/20140 diakses hari Kamis 30 Agustus 2018 Pukul 15.02 WIB