Senin, 30 Maret 2020

ARMADA JEPANG MASUK INDONESIA



Purbalingga, hari Senin, tanggal 30 Maret 2020
Hai kawan-kawan peserta didik kelas XI IPS SMA Negeri 1 Kutasari, apa kabar kalian. Semoga selalu sehat dan dalam lindungan Tuhan Yang Maha Esa. Masih tetap di rumah kan? kami berharap kalian masih tetap belajar, bermain dan beraktifitas di rumah sesuai anjuran pemerintah untuk memotong laju persebaran covid 19.
Baik, kompetensi dasar 3.10 dan 4.10 sudah kita selesaikan pada minggu yang lalu dengan membaca materi tentang Indische Partij dan Taman Siswa ataupun membaca jurnal ilmiah yang lain dengan tema perjuangan kooperatif dan nonkooperatif sebagai strategi organisasi pergerakan nasional melawan penguasaan Hindia Belanda. Terima kasih kalian yang telah mengerjakan tugas cerita sejarah dengan menganalisis strategi organisasi pergerakan nasional. Bagi kalian yang telah mengirim otomatis kalian telah mendapatkan nilai kompetensi dasar 3.10 dan 4.10. Namun bagi yang belum mengerjakan tugas, berarti nilai kompetensi dasar tersebut masihlah kosong.
Kita pada akhir Maret dan Awal April ini memasuki kompetensi dasar 3.11 : menganalisis kehidupan bangsa Indonesia di bidang sosial, ekonomi, budaya, militer, dan pendidikan pada zaman Jepang,  4.11 : menyusun cerita sejarah tentang kehidupan bangsa Indonesia di bidang sosial, ekonomi, budaya, militer, dan pendidikan pada zaman pendudukan Jepang. Secara berkala kami akan memberikan materi ke blog dengan alamat belajarsejarahuntukkemanusiaan.blogspot.com . Pada minggu ini kami unggah materi tentang “Armada Jepang Masuk Indonesia”. Pada akhir materi “PENDUDUKAN JEPANG DI INDONESIA” akan ada penugasan untuk penilaian KD 3.11 dan 4.11. Ikuti terus blog kami.
Selamat membaca.

PENDUDUKAN JEPANG DI INDONESIA
Oleh : Topan


Armada Jepang Masuk Indonesia

“Apabila anda mengenal diri sendiri dan mengenal musuh, anda bisa memenangkan pertempuran. Mengalahkan musuh secara psikologis merupakan strategi unggul. Mengalahkan musuh secara militer merupakan strategi yang asor” (Sun Tzu) - (Wanhar, 2014 : 67).


Ping Fa (seni perang) yang ditulis Sun Tzu menjadi dasar-dasar teknik intelijen Jepang. Menurut Richard Deacon (pakar intelijen dunia), Jepang mempelajari sebuah gagasan dan melakukan perbaikan atasnya. Spionase ala Jepang mencakup semua bidang yang biasa dikenal dengan total intelijen. Jadi setelah menyempurnakan teknik Sun Tzu, Jepang menjalankan spionase militer, ekonomi, industri, ilmu dan teknologi, kebudayaan, selera konsumen, kotak saran, tingkah laku manusia, ekologi, dan seterusnya (Wanhar, 2014 : 66). Ada dua watak nasional Jepang yang mendasari motivasi dinas rahasia Jepang  : pertama, semangat berdiri di atas kaki sendiri dan individualisme yang kuat menyebabkan Jepang selama berabad abad memisahkan diri dari dunia luar. Kedua hasrat yang mendalam terhadap segala macam ilmu pengetahuan, yakni rasa ingin tahu yang telah menjadi pembawaan bangsa itu sejak lahir (Wanhar, 2014 : 67).
Spion-spion Jepang melakukan banyak penyamaran. Ada yang menjadi wartawan, nelayan, tukang potret, kuli, penunggu toko kelontong, mengoperasikan rumah pelacuran, hingga menjadi bintang film. Gerakan dinas rahasia Jepang menyebar keseluruh dunia. Sejarah emigrasi Jepang dimulai pertama kali dengan memberangkatkan kapal ke Hawaii, Amerika Serikat pada tahun 1868. Saat pertama berakhirnya Sakoku (isolasi nasional) pada tahun 1853 karena digertak Amerika dan ditandai dengan penandatanganan Townsend Harris, Jepang membuka pintu kepada orang Tiongkok, Korea dan Belanda. Ini yang menarik, mengapa Belanda? Agaknya ada kesepakatan antara dua negera tersebut dimana Jepang memperbolehkan orang Belanda masuk negerinya dan Belanda memberi bangsa Jepang kedudukan yang sama dengan bangsa kulit putih di wilayah koloninya, Hindia Belanda (Wanhar, 2014 : 67-68). Menurut ketentuan hukum yang berlaku di Hindia Belanda sejak tahun 1898 orang Jepang dikatagorikan sama dengan bangsa Eropa. Sehingga orang Jepang dapat bergerak sangat leluasa dalam perdagangan dan dilindungi pemerintah Hindia Belanda (Wanhar, 2014 : 68).
Pada bulan April 1932, menteri urusan Perang Jepang Jenderal Araki menulis artikel berjudul “The Call of Japan in the Showa Period” (Seruan Jepang pada masa Showa). Artikel ini menyerukan misi suci bangsa Jepang untuk mengikuti jalan kaisar (Imperial Way) untuk mengangkat bangsa Yamato dan menyelamatkan Asia Timur serta dunia. Jenderal Araki menegaskan bahwa kekaisaran Jepang adalah pemimpin Asia Timur, makanya Jepang tidak boleh tinggal diam melihat negeri-negeri Asia  ditindas bangsa Eropa. Sepak terjang Jepang mulai terlihat pada tahun 1931 dengan mengambil alih Manchuria dan membentuk negara Manchukuo setahun kemudian (Wanhar, 2014 : 69). Jepang dituduh melakukan kejahatan oleh LBB, hal ini berakibat Jepang keluar dari LBB. Setelah itu Jepang melepaskan diri dari perjanjian Washington (1921-1922) yang mengatur tonase armada angkatan laut (5-5-3 antara Negara Amerika-Inggris-Jepang). Walau sempat diperbaharui pada akhir 1935 di London, namun tuntutan Jepang ditolak, Jepang pun mengundurkan diri dari Konferensi Tonase Angkatan Laut ini (Wanhar, 2014 : 70). Jepangpun semakin gencar mengirimkan intelijennya ke Selatan.
Pada awal 1930, Jepang mengutus satu tim opsir kesehatan ke Jawa untuk mengamati kondisi-kondisi sanitasi serta statistik penyakit. Laporan dibuat sangat teliti dan terinci. Laporan inilah yang digunakan penguasa Jepang untuk merencanakan bagaimana menghindari timbulnya penyakit diantara pasukan mereka ketika penyerbuan kelak. Yang menarik dari temuan tim sensus kesehatan tersebut adalah, rupanya sejumlah besar orang Jawa golongan atas yang bekerja dalam pemerintahan Belanda suka mendatangi rumah pelacuran. Informasi ini dimanfaatkan Jepang untuk membuka sejumlah rumah pelacuran di Jawa. Tujuannya untuk memancing dan merekrut orang-orang Jawa yang bekerja dalam pemerintahan menjadi mata-mata. Berdasarkan pendapat Deacon, banyak orang Jawa berhasil direkrut dan aktif menjadi agen Jepang di dalam lingkungan pemerintahan Hindia Belanda (Wanhar, 2014 : 71).
Dalam perang di dunia modern, negara manapun juga tidak akan bisa menang tanpa angkatan laut yang superior. Tapi angkatan laut itu tidak berguna bila tidak dilindungi dan disertai angkatan udara yang superior pula. Pernyataan ini benar terbukti adanya dalam Perang Dunia II bahwa pesawat tempur merupakan sebuah ancaman. Peristiwa Pearl Harbor pada hari Minggu tanggal 8 Desember 1941, 360 pesawat terbang Jepang, pembom dan pemburu sukses menenggelamkan dan merusakkan hebat delapan kapal tempur Angkatan Laut Amerika (Ojong, 2008: 1). Kapal tempur Amerika di Pearl Harbor dikaramkan oleh pesawat udara Jepang, ketika sedang berlabuh (“sitting ducks” seperti bebek yang lagi duduk). Dengan satu pukulan Jepang melenyapkan superioritas armada Sekutu Inggris – Amerika di semua samudera di dunia ini, kecuali di Samudera Atlantik. Sesudah Pearl Harbor, maka Filipina, Malaya, Indonesia ( yang waktu itu masih Hindia Belanda), Australia, New Zeland terbuka bagi serangan Jepang (Ojong, 2008: 2).
Pertempuran di Singapura, pada tanggal 9 Desember 1941 dua kapal raksasa kepunyaan Inggris yaitu Prince of Wales dan Repulse meninggalkan Singapura untuk mencegah pendaratan tentara Jepang di Malaya Timur dan Utara. Jepang menerapkan strategi yang cerdik dengan mengadakan pendaratan sekaligus di tiga tempat, Jepang memancing semua kekuatan udara Sekutu yang ada di daratan, sehingga tidak bisa melindungi Prince of Wales. Laksamana Inggris Sir Tom Philips yang berkedudukan di Prince of Wales masuk perangkap. Pada tanggal 10 Desember 1941 kira-kira 50 pesawat pembom-torpedo milik Jepang menenggelamkan kedua kapal raksasa itu. Laksamana Sir Tom Philips turut tenggelam. Prince of Wales dan Repulse ditenggelamkan selagi berlayar. Sebuah pelajaran yang traumatis bagi angkatan laut Inggris ataupun Sekutu secara umumnya (Ojong, 2008: 2).
Kondisi ini diawali dari pihak Sekutu yang memandang rendah kemampuan pilot-pilot Jepang di udara. Tadinya kalangan Sekutu juga mengira kalau Jepang tidak bisa menyerang lebih dari satu tujuan sekaligus. Padahal setelah Pearl Harbor, Jepang hampir bersamaan waktunya mendarat di Filipina, Hongkong, Kalimantan Utara, Malaya, dan Guam. Semua berhasil (Ojong, 2008: 3). Sukses gilang-gemilang dari pihak Jepang ini membuat Sekutu kecil hati dan bingung. Jenderal Douglas MacArthur memutuskan meninggalkan kota Manila (Filipina) pada tanggal 25 Desember 1941. MacArthur memindahkan markas besarnya ke Bataan-Corregidor. Pada tanggal 15 Januari 1942 dibentuklah komando bersama ABDA (Amerika, Inggris, Belanda, Australia), dengan Jenderal Sir Archibald Wavell sebagai panglima tertinggi, Laksamana Hart sebagai panglima angkatan laut, dan Letjen Belanda Hein Ter Poorten sebagai panglima di darat. Tim yang tidak pernah bekerja bersama dan bukanlah tim dengan kerja tim yang baik. Apabila dibandingkan dengan pihak Jepang di bawah pucuk pimpinan Laksamana Isoroku Yamamoto dengan tenang dapat berlatih dan menentukan siasat mereka jauh sebelum tanggal 8 Desember 1941  (Ojong, 2008: 5-6).
Salah satu laksamana Jepang yang memimpin pendaratan-pendaratan tentara Jepang di Asia Tenggara ialah Laksamana Takeo Kurita. Nama yang menarik apalagi kalau dilihat bahwa serangan Jepang dari Laut Tiongkok Selatan dan serangan dari Davao (Filipina) pada bulan Januari-Februari 1942 adalah seperti gerakan gurita. Ini yang biasa dikenal dengan Western Octopus dan Eastern Octopus (gurita). Tujuan kedua gurita ini untuk mengepung pulau Jawa, benteng Sekutu terakhir di Pasifik Barat. Namun sebelum memasuki Laut Jawa, Jepang terlebih dahulu menghadapi pertempuran malam di laut dekat Balikpapan (Ojong, 2008: 6).
Tujuan Jepang ke Indonesia ialah minyak dan karet. Dalam satu hari angkatan perang Jepang yang berangkat dari Cavao (Filipina) berhasil merebut Tarakan. Karena keberhasilan ini pihak Jepang memutuskan untuk turun ke Balikpapan yang merupakan pusat minyak yang penting. Jepang menggunakan kapal pengangkut tentara pendaratan yang dilindungi oleh kapal penjelajah (cruiser), kapal perusak (destroyer) dan sebagainya (Ojong, 2008: 7-8). Tugas menghadapi Jepang di Balikpapan di bebankan pada armada perang Amerika Serikat yang berkedudukan di Teluk Kupang (Timor). Commander Poul Talbot dengan empat kapal perusak model kuno (model 1919-1920) Ford, Pope, Parrott dan Paul Jones, yang terkenal dengan four pipers lantaran empat cerobong asapnya, meninggalkan Kupang dan melewati selat di antara Flores dan Sumbawa, Selat Makasar, lalu menuju ke Balikpapan. Waktu itu tanggal 23 Januari 1942 lewat pukul 19.30 ketika mendekati pantai Kalimantan, perintah terakhir dari Laksamana Hart (Laksamana Amerika yang berkedudukan di Indonesia) berbunyi “Serang”. Belanda yang telah meninggalkan Balikpapan telah mengalirkan minyak dan membomnya dari udara dengan pembom Lockheed Hudsons dan Brewster model kuno. Minyak ini menyala dan merupakan api raksasa. Di laut Balikpapan sedang berlabuh kira-kira 12 kapal pengangkut Jepang siap mendaratkan tentaranya. pelindung mereka ialah kapal patrol dan satu skadron kapal perusak (Ojong, 2008: 8).
Kondisi sangat ideal bagi kapal perusak Amerika sebab di daratan api raksasa sedang menyala dan menciptakan silhouette kapal-kapal Jepang. Perusak Parrott mulai menyerang dengan torpedo namun tidak ada yang mengenai. Kenapa tidak mengenai sasaran, karena kapal perusak ini berlayar terlampau cepat sehingga sasaran sangat sulit dikenai. Baru pada pukul 03.00 tanggal 24 Januari 1942 setelah kapal perusak Ford dan Paul Jones turut menyerang, kapal pengangkut Sumanura Maru (3.500 ton) meledak dan tenggelam. Jepang tidak menggunakan kapal terbang karena dikira bahwa pihak musuh menggunakan kapal selam. Ini membuat tindakan selanjutnya adalah kekeliruan besar dari Laksamana Shoji Nishimura. Laksamana Jepang ini memerintahkan kapal-kapal perusaknya meninggalkan medan pertempuran dan mencari kapal selam (yang tidak ada) di selat makasar. Dengan begitu kapal pengangkut dibiarkan tanpa pelindung. Namun sayang kapal perusak Amerika tidak dapat memanfaatkan kondisi ini. Pada kira-kira pukul 04.00 pagi, kapal-kapal perusak Amerika meninggalkan medan pertempuran, Cuma satu dari tiga kapal patrol dan cuma empat dari dua belas kapal pengangkut Jepang ditenggelamkan : Tsuruga Maru, Tatsukami Maru, Kuretaku Maru dan Sumanura Maru. Dari pihak penyerang hanya satu kapal perusak yang kena tembakan terbakar tapi bisa dipadamkan (Ojong, 2008: 9). Mengapa armada Amerika tidak dapat secara tenang menghancurkan armada Jepang ? Traumatis tenggelamnya kapal Prince of Wales dan Repulse masih terus terbayang. Kapal-kapal perusak Amerika tidak dilindungi pesawat terbang. Setiap saat pesawat terbang Jepang bisa datang dan menghancurkan armada laut mereka. Inilah yang ditakuti oleh komandan kapal perusak Amerika. Selain itu, torpedo-torpedo Amerika beberapa tidak dapat meledak. Beda dengan torpedo milik Jepang yang dapat dipercaya dan sangat ditakuti Sekutu. Sekutu tidak berhasil menggagalkan pendaratan pasukan Jepang di Balikpapan (Ojong, 2008: 10). Pada tanggal 15 Februari 1942 Singapura dan Palembang jatuh ke tangan Jepang. Kini medan perang berpindah ke Laut Jawa (Ojong, 2008: 11).
Tempat pertempuran di sekitar Pulau Bawean, dekat Surabaya di sebelah Utara Tuban. Dari perbandingan kekuatan kedua belah pihak ini, nyata bahwa superioritas Jepang bedanya tidak banyak. Tapi di pihak Sekutu masih terbayang nasib malang Prince of Wales dan Repulse. Kekuatan Sekutu dipimpin oleh Karel Doorman. Ia tidak tahu berapa kekuatan angkatan udara Jepang yang bisa menyerang dia, tapi ia tahu bahwa ia tidak mempunyai pesawat terbang yang berarti. Semua kapal perang Jepang satu sama lain sudah kenal baik dalam latihan, tapi tidak demikian dengan empat macam kekuatan laut Sekutu itu (Ojong, 2008: 12-13).
Semua kapal Jepang menggunakan satu bahasa dan satu kode. Namun ABDA tidak pernah menggunakan satu kode yang seragam. Akibatnya mereka tidak pernah saling mengerti antara Doorman dengan kapal-kapal Inggris, Amerika. Kode Doorman dari De Ruyter, setibanya di Houston harus diterjemahkan dahulu dan baru diteruskan kepada kapal perusak Amerika yang kadang menerimanya tidak dalam urutan yang sebenarnya sehingga mengacaukan dan membingungkan. Apalagi digunakan dua bahasa : Belanda dan Inggris. Semua kapal Jepang mempunyai torpedo, sedangkan kapal Sekutu hanya beberapa yang memiliki torpedo. Di tambah lagi spotter planes, pesawat terbang selama pertempuran dilepaskan Jepang untuk memeriksa apakah tembakan meriam mereka kena atau tidak. Pesawat tidak dimiliki oleh pihak Sekutu karena armada udara Belanda sebagian besar telah hancur di medan pertempuran Malaya (Ojong, 2008: 13-14).
Lemahnya kekuatan laut Sekutu terlihat pula karena kesalahan strategi dari Laksamana Muda Doorman. Laksamana Muda Doorman telah memberangkatkan armada lautnya sejak magrib dari pangkalan di Surabaya pada tanggal 15 Februari 1942 untuk mencari kontak dengan musuh yang masih jauh. Karena letihnya anak buah armada laut, maka diputuskan pulang ke Surabaya dahulu untuk beristirahat. Tapi justru pukul 10.00 pagi hari ia menerima perintah berikut dari Laksama Helfrich (berkedudukan di Bandung) : “Tanpa memperdulikan serangan udara, Tuan harus menuju ke jurusan timur untuk mencari dan menyerang musuh”. Doorman tetap meneruskan pulang ke Surabaya, namun pukul 15.00 Doorman kembal mendapat perintah dari Helfrich untuk menyerang Jepang di Timur Bawean. Kini Karel Doorman memutar haluannya menuju ke Pulau Bawean tanpa bisa beristirahat dahulu(Ojong, 2008: 14).
Pada pukul 16.16 pada tanggal 27 Februari 1942 kapal penjelajah berat Haguro dan Nachi menembaki Exeter dan Houston. Pertempuran Laut Jawa telah dimulai (Ojong, 2008: 14). Pertempuran Laut Jawa ini berlangsung sangat lama, lebih dari tujuh jam yaitu pukul 16.16 sd 23.30. Laksamana Muda Karel Doorman tenggelam di Laut Jawa bersama dengan kapal kapalnya : De Ruyter, Java, dan tiga kapal perusak Jupiter, Electra dan Kortenaer. Nasib kapal Sekutu yang lain, penjelajah berat Exeter mendapat kerusakan berat namun bisa kembali ke Surabaya. Tapi pada 28 Februari 1942 dikaramkan oleh kapal perang Jepang dekat Surabaya. Houston dan Perth ditenggelamkan kemudian oleh Jepang di Selat Sunda. Begitu juga kapal perusak Evertsen karam disitu. Kapal Witte de With sedang direparasi  tanggal 2 Maret 1942 di Surabaya diledakkan, Encounter ditenggelamkan Jepang dekat Surabaya pada tanggal 28 Februari 1942. Pope menyusul ditenggelamkan tanggal 1 Maret 1942. Kapal perusak Amerika Aldem berhasil melarikan diri ke Australia. Begitu pula kapal-kapal Amerika lain seperti Ford, P. Jones dan J. Edwards. Sedangkan kapal Jepang dalam pertempuran Laut Jawa ini tidak ada yang tenggelam hanya satu kapal perusak yang mengalami kerusakan (Ojong, 2008: 13).

Bersambung………


DAFTAR PUSTAKA
Ojong, P.K. 2008. Perang Pasifik. Jakarta : Kompas
Wanhar, Wenri. 2014. JEJAK INTEL JEPANG Kisah Pembelotan Tomegoro Yoshizumi. Jakarta : Kompas


Minggu, 29 Maret 2020

MOHENJODARO DAN HARAPPA


Purbalingga, hari Minggu tanggal 29 Maret 2020
Selamat pagi, siang, sore dan malam kawan-kawan kelas X IPS SMA Negeri 1 Kutasari. Saya berharap kalian selalu dalam kondisi sehat dan tetap di rumah. Untuk mata pelajaran Sejarah minggu ini tugas on line (pada awal bulan April 2020) adalah membaca materi MOHENJODARO DAN HARAPPA. Minggu depan akan ada materi kembali untuk dibaca dan dipahami. Selamat membaca. . .  . Tetap jaga kesehatan dan tetap dirumah serta jangan lupa berdoa.



Kompetensi Dasar 3.11 :
menganalisis peradaban awal dunia serta keterkaitannya dengan peradaban masa kini pada aspek lingkungan, hukum, kepercayaan, pemerintahan, dan sosial
Kompetensi Dasar 4.11 :
menyajikan hasil analisis peradaban awal dunia serta keterkaitannya dengan peradaban masa kini pada aspek lingkungan, hukum, kepercayaan, pemerintahan, dan sosial dalam bentuk tulisan dan / atau media lain



MOHENJODARO DAN HARAPPA
Oleh : Topan

Kondisi geografis
Letak geografis peradaban Indus  adalah di daerah India. Disebelah Utara terbentang pegunungan Himalaya yang menjadi pemisah antara India dan daerah-daerah lain di Asia. Antara pegunungan Himalaya dan Hindu Kush terdapat celah Kaiber (Kaybar Pass). Celah inilah yang dilalui oleh masyarakat India untuk melakukan aktivitas hubungan dengan daerah-daerah lain di Asia. Di tengah-tengah daerah India terdapat pegunungan Windya. Pegunungan ini membagi India menjadi dua yaitu India Utara dan Selatan. Pada daerah India bagian Utara mengalir sungai Shindu atau Indus, Gangga, Yamuna dan Brahmaputera. Daerah ini adalah daerah yang subur. Sedangkan India bagian Selatan terdiri dari perbukitan dan pegunungan kering dan tandus. Dataran tinggi ini dikenal dengan dataran tinggi Dekkan dengan kurangnya curah hujan dan terdiri dari savana yang luas.

Peradaban lembah sungai Shindu / Indus.
Mohenjodaro diperkirakan sebagai ibu kota daerah lembah sungai Shindu bagian Selatan dan Harappa sebagai ibu kota bagian Utara. Kedua kota tersebut memiliki keistimewaan berupa tata kota yang sudah sangat maju. Pembangunan kota Mohenjo Daro dan Harappa didasarkan atas suatu perencanaan tata kota yang pasti dan teratur baik. Jalan-jalan di dalam kota sudah teratur dan lurus dengan lebar sekitar 10 meter dan dlengkapi di bagian kanan dan kiri  jalan terdapat trotoar dengan lebar setengah meter. Gedung-gedung dan rumah tinggal serta pertokoan dibangun secara teratur dan berdiri sangat kokoh. Gedung-gedung dan rumah tinggal dan pertokoan itu sudah terbuat dari batu bata lumpur. Wilayah kota dibagi atas beberapa bagian atau blok. Masing-masing bagian atau blok berbentuk bujur sangkar atau empat persegi panjang. Tiap blok dibagi oleh lorong-lorong yang satu sama lainnya saling berpotongan. Pada tempat-tempat itulah penduduk membangun rumah tempat tinggal. Juga dibangun gedung-gedung sebagai tempat untuk menjalankan pemerintahan. Lorong-lorong dan jalan-jalan dilengkapi dengan saluran air, sebagai tempat menyalurkan air dari rumah tangga ke sungai. Saluran-saluran itu dijaga dengan baik kebersihannya sehingga tetap berfungsi dengan baik. Dalam pembangunan rumah, telah memperhatikan faktor kesehatan dan kebersihan lingkungan. Kamar-kamar telah dilengkapi dengan jendela-jendela yang lebar dan berhubungan langsung dengan udara bebas, sehingga pertukaran dan pergantian udara sudah sangat baik. Disamping itu, saluran pembuangan limbah dari kamar mandi dan jamban yang ada didalam urmah dihubungkan langsung dengan jaringan saluran umum yang dibangun dan mengalir di bawah jalan, dimana setiap lorong terdapat saluran air menuju ke sungai (Badrika, 2006: 120-121). Mohenjodaro termasuk kota terbesar di dunia dengan sekitar 35.000 penduduk dan juga salah satu yang terbersih. Penduduknya bisa dibilang ahli ledeng. Tak kurang dari 700 sumur membawa air bawah tanah ke permukaan. Kebanyakan rumah memiliki panggung bata yang digunakan untuk mandi, dan beberapa bahkan punya kamar mandi. Air yang sudah digunakan  dialirkan melalui talang ke jalanan, lalu masuk ke selokan berpinggiran bata. Di pusat kota ini terdapat kolam air dengan panjang 11,8 meter, lebar 7 meter, dan dalam 2,4 meter. Dinding kolam yang dikenal juga sebagai pemandian besar ini terbuat dari batu bata yang tersusun rapat, dilapisi dengan lapisan aspal anti air, bernama bitumen. Pemandian tersebut dikelilingi oleh sekumpulan dinding dan lorong-lorong, jadi mungkin dulunya adalah bagian dari sekelompok bangunan. Sepertinya penduduk Mohenjodaro menganggap air sebagai hal yang sangat penting. Bisa jadi mereka menggunakan air dalam ritual keagamaan. Penyucian dengan air masih merupakan bagian yang penting dalam agama India sampai sekarang. Sistem ledeng dan selokan di Mohenjodaro luar biasa. Ketika dibangun sekitar tahun 2600 SM, kota ini termasuk yang paling maju di dunia, dan terus menjadi pusat yang ramai selama kurang lebih seribu tahun. Mohenjodaro ditemukan tahun 1920 an oleh R.D. Banerji.  Nama Mohenjodaro – “Bukit Orang Mati” dalam bahasa Sindhi lokal mengacu pada sebuah monumen Buddha berbentuk kubah yang disebut Stupa (Anita Dalal, 2007: 20-21). Direruntuhan kota Mohenjodaro juga ditemukan tiga bujur sangkar kecil yang terbuat dari batu lunak, berukirkan gambar-gambar dan huruf. Benda tersebut kemudian dikenali sebagai stempel. Dahulu orang memakai stempel untuk memberi lambang ke tanah liat sebagai tanda pengenal, seperti halnya kita sekarang memakai tanda tangan. Begitu juga di reruntuhan kota Harappa sekitar 565 kilomenter ke arah Utara dari Lembah Indus. Disana ditemukan pula sebuah stempel bujur sangkar yang berukirkan gambar seekor banteng dan huruf-huruf aneh. Ternyata di Mesopotamia kuno yang sekarang dikenal dengan Irak, ditemukan pula stempel serupa terkubur dibawah sebuah candi di kerajaan Mesopotamia yang bernama Kish. Temuan berasal dari tahun 2300 SM. Hal ini membuktikan bahwa orang-orang yang hidup di lembah sungai Indus melakukan perdagangan menyeberangi seluruh Asia dengan orang Mesopotamia. Kota Mohenjodaro dan Harappa mirip dan sangat beradab. Orang tinggal di sekeliling pekarangan besar, di rumah-rumah bata dengan setidaknya dua lantai. Penataan Mohenjodaro terlihat seperti dibagi menjadi beberapa wilayah. Kota ini mempunyai daerah tinggi yang kemungkinan adalah benteng kota, meski sepertinya tak memiliki tembok pelindung. Ada sebuah bangunan besar di dekat kolam air di tengah kota, yang kemudian dikenal dengan nama balai besar. Tembikar dan perhiasan dengan jenis yang sama ditemukan di kedua kota, menunjukkan bahwa penduduknya membuat kerajinan yang serupa. Peradaban lembah sungai Indus adalah yang paling luas di antara seluruh peradaban kuno yaitu mencakup 648.000 kilometer persegi. Terdapat bukti selanjutnya mengenai orang-orang Harappa datang dari Mesopotamia. Penduduk disana menyebut daerah Indus sebagai Meluhha. Sebuah stempel yang ditemukan di Mesopotamia mendeskirpsikan seorang “penerjemah bahasa Meluhha”. Para ahli percaya bahwa ini mungkin berarti beberapa pedagang yang hilir mudik di antara kedua peradaban ini menguasai dua bahasa. Ditemukan pula bukti perdagangan di sepanjang Teluk Persia, disi lain Laut Arab. Di sana-di Dilmun, Oman ditemukan stempel dan seperangkat pemberat timbangan yang identik dengan yang ditemukan di India (Anita Dalal, 2007: 21-25). Daerah-daerah yang berada disepanjang lembah sungai Shindu, masyarakat mengusahakan pertanian, sehingga pertanian sebagai mata pencarian utama di masyarakat India. Pada perkembangannya masyarakat telah berhasil menyalurkan air yang mengalir di lembah sungai Indus sampai jauh ke daerah pedalaman. Usaha ini dilakukan dengan pembuatan saluran irigasi dan mulai membangun daerah pertanian di daerah pedalaman. Hasil pertanian diperkirakan adalah padi, gandum, gula, jelai, kapas dan teh. Secara teknologi mereka mampu membuat barang yang terbuat dari emas dan perak, alat rumah tangga, alat pertanian, kain dari kapas, serta bangunan. Juga ditemukan alat-alat peperangan seperti tombak, pedang dan anak panah. Serta ditemukan alat yang terbuat dari tanah liat. Untuk perdagangan, seperti telah dijelaskan diatas, telah terjalin perdagangan yang cukup luas. Salah satunya yaitu kota Sutkagedon yang memainkan peranan penting dalam perdagangan antara masyarakat Indus dengan bangsa Sumeria. Kota ini merupakan kota perbatasan yang terletak di Balukhistan. Perdagangan  tersebut dilaksanakan dengan dua cara yaitu laut dengan bukti sebuah material dan pecahan benda yang memuat gambar perahu layar. Sedangkan jalur darat dilakukan dengan bantuan tenaga kuda ataupun unta. Hal ini dibuktikan dengan penemuan terracotta kereta kecil (Badrika, 2006: 121- 122).
Kepercayaan masyarakat lembah sungai Indus bersifat Polytheisme atau memuja banyak dewa. Dewa-dewa yang dipuja seperti dewa bertanduk besar, dan dewa perempuan yang melambangkan kemakmuran serta kesuburan (dewi ibu). Selain itu mereka juga menyembah binatang-binatang besar seperti buaya, gajah dan lain-lain, serta menyembah pohon seperti pohon pipal (beringin). Pemujaan dimaksud sebagai tanda terimakasih terhadap kehidupan yang dinikmatinya, berupa kehidupan dan kedamaian (Badrika, 2006: 122). Dari hasil penggalian di kota Harappa ditemukan beberapa arca yang masih sempurna bentuknya dan dua buah torso (arca yang telah hilang kepalanya). Di kota Mohenjodaro ditemukan arca seorang pendeta berjanggut. Arca ini memakai pita yang melingkari kepalanya dan berpaian baju yang berhiaskan gambar-gambar yang menyerupai daun semanggi. Hiasan dengan daun semanggi juga lazim dipakai didaerah Mesopotamia, Mesir dan Kreta. Arca yang lain ditemukan berbentuk gadis penari yang terbuat dari perunggu. Peradaban ini telah mengenal teknik perundagian. Peralatan rumah tangga dan senjata telah terbuat dari benda logam seperti perunggu hal ini menujukan berkembangnya sistem perekonomian (Badrika, 2006: 123).

Cara penguburan : dalam penguburan jenazah nampaknya mempunyai bermacam-macam cara tergantung dari suku bangsa. Di Mohenjodaro misalnya tidak adanya kuburan seolah-olah menunjukkan adanya kebiasaan membakar jenazah dan abu jenazahnya kemudian ditempatkan dalam tempayan khusus. Namun adakalanya tulang-belulang yang tidak dibakar disimpan dalam tempayan pula. Bukti-bukti menunjukkan bahwa di Harappa kebiasaan mengubur jenazah tetap terdapat (Suud, 1992 : 37).

Akhir Peradaban. Selama beberapa ratus tahun, kota-kota itu berkembang dan berdagang di daerah yang luas. Tapi pada 1900 SM, mereka sudah menghadapi masalah yang masih bisa ditemui di kota-kota zaman sekarang, seperti kepadatan penduduk yang terlalu tinggi dan kekurangan makanan  serta air bersih. Lalu suatu krisis, seperti gempa bumi atau gejala geologis lainnya yang menyebabkan beberapa sungai mengering, menerpa kota-kota. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa arah aliran sungai kuno bergeser jauh. Ketika sungai berpindah jalur, kebanukan orang yang tinggal didekanya mungkin terpaksa pindah ke kota-kota yang tak terpengaruh. Tetapi kedatangan mereka bisa malah menghancurkan kota yang menampung mereka(Anita Dalal, 2007: 27).
Ada analisis lain tentang musnahnya pendukung peradaban ini. Satu hal yang amat mungkin terjadi ialah datangnya serangan yang datang dari luar, yang berhasil memusnahkan seluruh hasil kebudyaan yang telah maju itu. Diduga bangsa yang melakukan penyerbuaan itu ialah bangsa yang berbahasa Arya, sedangkan pendukung kebudayaan yang diporak porandakan ialah bangsa yang berbicara bahasa Dravida. Sesuai dengan yang disebutkan di dalam kitab Veda, maka bangsa yang dikalahkan itu tidak lain adalah Dasyu atau yang tak berhidung. Dugaan tersebut didasakan atas anggapan bahwa penduduk daerah itu adalah mereka yang tidak suka berperang, mereka yang tidak mementingkan teknologi persenjataan yang baik, seperti telihat pada kualitas ujung tombak maupun pedang mereka. Bukti-bukti lain yang menguatkan dugaan itu ialah terdapatnya kumpulan tulang belulang manusia yang terdiri dari anak-anak dan wanita yang terserak disebuah ruangan besar dan di tangga-tangga yang menuju tempat pemandian umum ataupun dijalanan umum. Bentuk fisik serta sikap fisik yang menggeliat dari mayat-mayat itu memberi pertanda akan adanya susuatu serangan (Suud, 1992 : 38-29).

Kepustakaan
Badrika, I Wayan. 2006. SEJARAH untuk SMA Kelas X. Jakarta : Erlangga
Dalal, Anita. 2007. Arkeolog Menguak Rahasia Masa Lampau India Kuno, Jakarta : National Geographic
Suud, Abu. 1992. ASIA SELATAN SEBELUM ZAMAN ISLAM. Semarang : IKIP Semarang Press


Selasa, 17 Maret 2020

INDISCHE PARTIJ (IP)


INDISCHE PARTIJ (IP)
Oleh Topan

Pada tanggal 6 September 1912 terbentuklah di Bandung sebuah organisasi baru bernama Partai Hindia atau Indische Partij (IP). Pendiri organisasi ini adalah E.F.E. Douwes Dekker, Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat.  Ketiganya bekerja di suratkabar de Expres yang diterbitkan oleh Douwes Dekker pada 1 Maret 1912, sepulangnya belajar di Eropa. Mereka kemudian terkenal sebagai Tiga Serangkai. IP merupakan partai politik yang pertama di Hindia Belanda. IP hendak menyatukan seluruh penduduk yang mengakui Hindia sebagai Tanah air mereka untuk mencapai Hindia Bebas dari Nederland (Indie Los Van Nederland), hal ini dengan jelas tercantum sebagai tujuannya (Parakitri T. Simbolon1995 :246-247). Tujuan tersebut dirumuskan sebagai berikut (Parakitri T. Simbolon1995 : 532):
”Membangunkan kecintaan (patriottisme) seluruh orang Hindia (Indiers) terhadap Tanah air Hindia yang menghidupnya, dan menyatukan mereka berdasarkan persamaan hak dan kewajiban, untuk membawa kemakmuran bagi tanah air Hindia dan mencapai kehidupan bangsa yang merdeka”.
Sedangkan cara cara yang dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut adalah (Nugroho Notosusanto, 1992: 187-188):
1
Memelihara Nasionalisme Hindia dengan meresapkan cita-cita kesatuan kebangsaan semua Indiers ; meluaskan pengetahuan umum tentang sejarah budaya Hindia, mengasosiasikan intelek secara bertingkat ke dalam suku dan inter suku yang masih hidup berdampingan pada masa ini, menghidupkan kesadaran diri dan kepercayaan kepada diri sendiri.
2
Memberantas rasa kesombongan rasial dan keistimewaan ras baik dalam bidang ketatanegaraan maupun dalam bidang kemasyarakatan.
3
Memberantas usaha-usaha untuk membangkitkan kebencian agama dan sektarisme  yang bisa mengakibatkan indier asing satu sama lain, sehingga dapat memupuk kerjasama atas dasar nasional
4
Memperkuat daya tahan rakyat Hindia dengan memperkembangkan individu kearah aktivitas yang lebih besar secara tehnis dan memperkuat kekuatan batin dalam soal kesusilaan.
5
berusaha untuk mendapatkan persamaan hak bagi semua orang Hindia.
6
Memperkuat daya rakyat Hindia untuk dapat mempertahankan Tanah Air dari serangan Asing.
7
Mengadakan unifikasi, perluasan, pendalaman dan mengHindiakan pengajaran, yang di dalam semua hal harus ditujukan kepada kepentingan ekonomis Hindia, di mana tidak diperbolehkan adanya perbedaan perlakuan karena ras, sex atau kasta dan harus dilaksanakan sampai tingkat yang setinggi tingginya yang bisa dicapai.
8
Memperbesar pengaruh pro hindia di dalam pemerintahan.
9
Memperbaiki keadaan ekonomi bangsa Hindia, terutama dengan memperkuat mereka yang ekonominya lemah.
Indische Partij berdiri di atas dasar nasionalisme yang luas menuju kemerdekaan Indonesia. Indonesia sebagai “National Home” semua orang keturunan bumi putra, Belanda, Cina, Arab dan sebagainya, yang mengakui Hindia sebagai tanah air dan kebangsaannya. Paham ini pada waktu dulu dikenal dsebagai Indisch Nationalisme, yang kemudian hari dikenal dengan Indonesisch Nationalisme atau Nasionalisme Indonesia. Pasal-pasal ini pulalah yang menyatakan Indische Partij sebagai partai politik yang pertama di Indonesia. Bahwa IP adalah suatu partai yang radikal juga dinyatakan oleh Douwes Dekker bahwa didirikannya ini adalah merupakan “penantangan perang dari pihak budak koloni yang membayar belasting kepada kerajaan penjajah, pemungut pajak”( Nugroho Notosusanto, 1992: 188).
Kebencian pemerintah makin besar ketika pada hari Natal 25 Desember 1912, IP secara resmi mengumumkan pembentukannya. Dalam peresmiannya tersebut IP melaksanakan pawai kekuatan, rally, lengkap dengan bendera berwarna dasar hitam; sesuatu yang baru pertama kali terjadi di Hindia Belanda. Pada kesempatan itu Dauwes Dekker dengan lantang menegaskan bahwa “berdirinya IP adalah merupakan suatu pernyataan perang  dari dunia terang terhadap dunia gelap, dunia kebaikan terhadap dunia kejahatan, dunia peradaban terhadap dunia angkara murka (tirani) dari para budak pembayar pajak terhadap Negara pemungutnya”( Parakitri T. Simbolon1995 : 247).
Bentuk lencana dari Indische Partij, berakar pada tradisi Jawa. Lencana IP berbentuk tameng lonjong memanjang ke atas. Di tepinya bertuliskan Rawe-Rawe Rantas, malang-malang putung (Hancurkan semua yang menjadi penghalang). Dari sisi kanan memancar sinar matahari terbit yang menyinari tiga buah teratai dari kegelapan. Di atas tameng itu berdiri burung Garuda, burung dari cerita mitologi yang memegang keris Majapahit (berliku) pada kaki sebelah kanan dan keris Mataram (lurus) pada kaki sebelah kiri. Berdiri pada sebelah matahri ialah Kresna (titisan kebijaksanaan dewa-dewa dan pemelihara dunia) memegang tameng, pada sebuah bunga teratai berdiri Arjuna (ahli perang dan murid Kresna). Lencana yang terurai di atas dimuat pada akhir karangan S. Surjaningrat tanggal 9 Juni 1919 di De Nieuwe Amsterdammer (Catatan belakang dari buku KI HADJAR DEWANTARA DAN TAMAN SISWA DALAM SEJARAH INDONESIA MODERN Karya Abdurrachman Surjomihardjo tahun penerbitan 1986 hal 80 Jakarta : Sinar Harapan).
Banyak rencana yang dipikirkan pemerintah untuk menekan gerakan ini, terutama tokoh tokohnya, termasuk Douwes Dekker. Langkah paling keraslah yang akan diambil pemerintah.
Hal ini terlihat saat IP sedang mengajukan anggaran dasarnya untuk memperoleh pengakuan resmi pemerintah, Douwes Dekker dipenjarakan selama 14 hari karena mengecam pemerintah perihal rencana menutup Afdeling B Gymnasium Willem III(Afdeling B Gymnasium Willem III, sekolah ini merupakan satu satunya tempat pendidikan calon pejabat pemerintahan Eropa di Hindia Belanda yang dapat diikuti oleh anak anak Indo Eropa. Parakitri T. Simbolon1995 : 248).
Pada tanggal 4 Maret 1913 sebagaimana yang telah disarankan oleh Dewan Hindia Belanda (Raad Ban Nederlans-Indie), pemerintah menolakmengakui IP sebagai badan hokum berdasarkan pasal III RR(Pasal ini berbunyi perkumpulan dan pertemuan yang menyangkut kenegaraan atau yang dianggap dapat mengancam ketertiban dan keamanan dilarang diseluruh Hindia Belanda. Terhadap pelanggaran atas ketentuan ini dikenakan tindakan hukum sesuai dengan keadaan-Parakitri T. Simbolon1995 :539). Menghadapi penolakan itu IP mencoba melunakkan isi pasal-pasal yang menjadi ganjalan. Tujuan IP tidak lagi terang-terangan menyebut Negara merdeka, tapi “meningkatkan kehidupan seluruh penduduk Hindia Belanda dengan cara-cara yang sesuai dengan hukum, serta menghilangkan ketimpangan dan ketentuan hukum yang tak sesuai”. Namun hal ini pun ditolak oleh pemerintah pada 11 Maret 1913. Alasannya, perubahan rumusan dalam anggaran dasar tidak menjamin perubahan sikap IP dalam praktek (Parakitri T. Simbolon1995 : 248 – 249).
Pimpinan IP terus berjuang. Mereka minta menghadap gubernur Jenderal. Pada 13 Maret 1913 mereka diterima. IP diwakili Douwes Dekker (ketua), Tjipto Mangoenkoesoemo (wakil) dan J.G. Van Ham (sekretaris). Pada kesempatan inilah pemerintah mengulangi keputusannya untuk tidak akan mengakui organisasi yang mengancam tata pemerintahan Hindia Belanda. Ketika itu, angggota IP diperkirakan berjumlah 7.000 jiwa, 1.500 diantaranya bumi putra. Dengan demikian berakhir sudah keberadaan singkat dari partai politik yang pertama di Hindia Belanda. Namun demikian, kegiatan para pemimpin dan anggotanya jalan terus. Kongres orang Hindia dilaksanakan seminggu sesudahnya. Baru pada saat itu IP mengumumkan dirinya bubar. Untuk menampung cita-citanya, para anggotanya disarankan masuk organisasi Insulinde, organisasi yang berdiri pada tahun 1907 dan mayoritas anggotanya Indo (Parakitri T. Simbolon1995 : 249).
Sebuah perlawanan telah dilakukan oleh pimpinan pimpinan Indische partij, yaitu seperti cerita di bawah ini:
Menjelang November 1913, pemerintah jajahan bermaksud mengadakan pesta besar untuk merayakan 100 tahun kemerdekaan Nederland dari Prancis. Tidak lama setelah IP dilarang, Soewardi Soerjaningrat dan dr. Tjipto Mangoenkoesoemo memprakarsai terbentuknya Komite Bumipoetra untuk menghadapi rencana perayaan itu. Pada 8 juli 1913, komite ini mengumumkan diri beserta para pemimpinnya. Tjipto adalah ketua, Soejatiman Soerjokoesoemo alias Soetatmo(BO) sebagai wakil keuta, Soewardi Soerjaningrat sebagai sekretaris, dan Wignjadisastra (SI) sebagai bendahara, Ny. Soeraja Roem dan Abdoel Moeis anggota. Pada 19 Juli 1913 , Komite Boemipoetra menerbitkan artikel Soewardi Soerjaningrat dalam De Expres, berjudul Als Ik eens Nederlander was, seandainya saya orang Belanda. Dengan gaya menyindir yang tajam, pada pokoknya tulisan itu mengatakan, seandainya Soewardi orang Belanda, ia akan sangat malu merayakan hari kemerdekaan negerinya ditengah masyarakat Hindia yang terjajah. Lebih dari itu, perayaan tersebut akan mengingatkan rakyat Hindia bahwa mereka bukan rakyat yang merdeka. Oleh karena itu, dalam rangka perayaan tersebut Komite Boemipoetra akan mengirim telegram kepada ratu Belanda yang berisi permintaan agar dicabutlah pasal 111 RR yang melarang organisasi politik, dan agar secepatnya dibentuk parlemen di Hindia Belanda. Artikel ini dalam bahasa Belanda dan kemudian diterjemahkan dalam bahasa Melayu untuk bisa dibaca dan dipahami oleh banyak orang. Pemerintah Hindia Belanda sangat marah. Pada 31 Juli 1913 , Dewan Hindia Belanda mengadakan rapat untuk menentukan tindakan terhadap ketiga tokoh IP itu. Rapat memutuskan, atas segala perbuatan mereka di Bandung, ketiga tokoh IP akan dikenakan hukuman berdasarkan hak istimewa Gubernur Jenderal menurut pasal 47 RR, Ini berarti mereka harus dibuang. Pada 31 Juli 1913, Gubernur Jenderal Idenburg mengirim berita mengenai keputusan itu ke Nederland, dan 1 Agustus 1913, Menteri Jajahan Pleijte mengirim jawabannya ke Batavia bahwa keputusan itu telah di terimannya, dan akan disampaikan kepada Ratu. Sesudahnya, mereka dibawa ke pembuangan: Nederland (Parakitri T. Simbolon1995 : 256 – 257).
Selain tulisan Soewardi Soerjaningrat ternyata Cipto dan Douwes Dekker pun memberi kritikan kepada pihak pemerintah Hindia Belanda. Cipto Mangunkusumo melontarkan kritik terhadap Belanda. Ia menulis karangan dengna judul “Kekuatan atau ketakutan”, dimuat di harian De Expres. Isinya tentang kritik terhadap tindakan belanda yang sewenang wenang dan tidak Demokratis. Douwes Dekker menulis kritikannya dengan judul “Pahlawan kita dr. Cipto Mangunkusumo dan RM Suwardi Suryaningrat”( Sardiman dan Kusriyantinah, 1996: 25).