Minggu, 29 Maret 2020

MOHENJODARO DAN HARAPPA


Purbalingga, hari Minggu tanggal 29 Maret 2020
Selamat pagi, siang, sore dan malam kawan-kawan kelas X IPS SMA Negeri 1 Kutasari. Saya berharap kalian selalu dalam kondisi sehat dan tetap di rumah. Untuk mata pelajaran Sejarah minggu ini tugas on line (pada awal bulan April 2020) adalah membaca materi MOHENJODARO DAN HARAPPA. Minggu depan akan ada materi kembali untuk dibaca dan dipahami. Selamat membaca. . .  . Tetap jaga kesehatan dan tetap dirumah serta jangan lupa berdoa.



Kompetensi Dasar 3.11 :
menganalisis peradaban awal dunia serta keterkaitannya dengan peradaban masa kini pada aspek lingkungan, hukum, kepercayaan, pemerintahan, dan sosial
Kompetensi Dasar 4.11 :
menyajikan hasil analisis peradaban awal dunia serta keterkaitannya dengan peradaban masa kini pada aspek lingkungan, hukum, kepercayaan, pemerintahan, dan sosial dalam bentuk tulisan dan / atau media lain



MOHENJODARO DAN HARAPPA
Oleh : Topan

Kondisi geografis
Letak geografis peradaban Indus  adalah di daerah India. Disebelah Utara terbentang pegunungan Himalaya yang menjadi pemisah antara India dan daerah-daerah lain di Asia. Antara pegunungan Himalaya dan Hindu Kush terdapat celah Kaiber (Kaybar Pass). Celah inilah yang dilalui oleh masyarakat India untuk melakukan aktivitas hubungan dengan daerah-daerah lain di Asia. Di tengah-tengah daerah India terdapat pegunungan Windya. Pegunungan ini membagi India menjadi dua yaitu India Utara dan Selatan. Pada daerah India bagian Utara mengalir sungai Shindu atau Indus, Gangga, Yamuna dan Brahmaputera. Daerah ini adalah daerah yang subur. Sedangkan India bagian Selatan terdiri dari perbukitan dan pegunungan kering dan tandus. Dataran tinggi ini dikenal dengan dataran tinggi Dekkan dengan kurangnya curah hujan dan terdiri dari savana yang luas.

Peradaban lembah sungai Shindu / Indus.
Mohenjodaro diperkirakan sebagai ibu kota daerah lembah sungai Shindu bagian Selatan dan Harappa sebagai ibu kota bagian Utara. Kedua kota tersebut memiliki keistimewaan berupa tata kota yang sudah sangat maju. Pembangunan kota Mohenjo Daro dan Harappa didasarkan atas suatu perencanaan tata kota yang pasti dan teratur baik. Jalan-jalan di dalam kota sudah teratur dan lurus dengan lebar sekitar 10 meter dan dlengkapi di bagian kanan dan kiri  jalan terdapat trotoar dengan lebar setengah meter. Gedung-gedung dan rumah tinggal serta pertokoan dibangun secara teratur dan berdiri sangat kokoh. Gedung-gedung dan rumah tinggal dan pertokoan itu sudah terbuat dari batu bata lumpur. Wilayah kota dibagi atas beberapa bagian atau blok. Masing-masing bagian atau blok berbentuk bujur sangkar atau empat persegi panjang. Tiap blok dibagi oleh lorong-lorong yang satu sama lainnya saling berpotongan. Pada tempat-tempat itulah penduduk membangun rumah tempat tinggal. Juga dibangun gedung-gedung sebagai tempat untuk menjalankan pemerintahan. Lorong-lorong dan jalan-jalan dilengkapi dengan saluran air, sebagai tempat menyalurkan air dari rumah tangga ke sungai. Saluran-saluran itu dijaga dengan baik kebersihannya sehingga tetap berfungsi dengan baik. Dalam pembangunan rumah, telah memperhatikan faktor kesehatan dan kebersihan lingkungan. Kamar-kamar telah dilengkapi dengan jendela-jendela yang lebar dan berhubungan langsung dengan udara bebas, sehingga pertukaran dan pergantian udara sudah sangat baik. Disamping itu, saluran pembuangan limbah dari kamar mandi dan jamban yang ada didalam urmah dihubungkan langsung dengan jaringan saluran umum yang dibangun dan mengalir di bawah jalan, dimana setiap lorong terdapat saluran air menuju ke sungai (Badrika, 2006: 120-121). Mohenjodaro termasuk kota terbesar di dunia dengan sekitar 35.000 penduduk dan juga salah satu yang terbersih. Penduduknya bisa dibilang ahli ledeng. Tak kurang dari 700 sumur membawa air bawah tanah ke permukaan. Kebanyakan rumah memiliki panggung bata yang digunakan untuk mandi, dan beberapa bahkan punya kamar mandi. Air yang sudah digunakan  dialirkan melalui talang ke jalanan, lalu masuk ke selokan berpinggiran bata. Di pusat kota ini terdapat kolam air dengan panjang 11,8 meter, lebar 7 meter, dan dalam 2,4 meter. Dinding kolam yang dikenal juga sebagai pemandian besar ini terbuat dari batu bata yang tersusun rapat, dilapisi dengan lapisan aspal anti air, bernama bitumen. Pemandian tersebut dikelilingi oleh sekumpulan dinding dan lorong-lorong, jadi mungkin dulunya adalah bagian dari sekelompok bangunan. Sepertinya penduduk Mohenjodaro menganggap air sebagai hal yang sangat penting. Bisa jadi mereka menggunakan air dalam ritual keagamaan. Penyucian dengan air masih merupakan bagian yang penting dalam agama India sampai sekarang. Sistem ledeng dan selokan di Mohenjodaro luar biasa. Ketika dibangun sekitar tahun 2600 SM, kota ini termasuk yang paling maju di dunia, dan terus menjadi pusat yang ramai selama kurang lebih seribu tahun. Mohenjodaro ditemukan tahun 1920 an oleh R.D. Banerji.  Nama Mohenjodaro – “Bukit Orang Mati” dalam bahasa Sindhi lokal mengacu pada sebuah monumen Buddha berbentuk kubah yang disebut Stupa (Anita Dalal, 2007: 20-21). Direruntuhan kota Mohenjodaro juga ditemukan tiga bujur sangkar kecil yang terbuat dari batu lunak, berukirkan gambar-gambar dan huruf. Benda tersebut kemudian dikenali sebagai stempel. Dahulu orang memakai stempel untuk memberi lambang ke tanah liat sebagai tanda pengenal, seperti halnya kita sekarang memakai tanda tangan. Begitu juga di reruntuhan kota Harappa sekitar 565 kilomenter ke arah Utara dari Lembah Indus. Disana ditemukan pula sebuah stempel bujur sangkar yang berukirkan gambar seekor banteng dan huruf-huruf aneh. Ternyata di Mesopotamia kuno yang sekarang dikenal dengan Irak, ditemukan pula stempel serupa terkubur dibawah sebuah candi di kerajaan Mesopotamia yang bernama Kish. Temuan berasal dari tahun 2300 SM. Hal ini membuktikan bahwa orang-orang yang hidup di lembah sungai Indus melakukan perdagangan menyeberangi seluruh Asia dengan orang Mesopotamia. Kota Mohenjodaro dan Harappa mirip dan sangat beradab. Orang tinggal di sekeliling pekarangan besar, di rumah-rumah bata dengan setidaknya dua lantai. Penataan Mohenjodaro terlihat seperti dibagi menjadi beberapa wilayah. Kota ini mempunyai daerah tinggi yang kemungkinan adalah benteng kota, meski sepertinya tak memiliki tembok pelindung. Ada sebuah bangunan besar di dekat kolam air di tengah kota, yang kemudian dikenal dengan nama balai besar. Tembikar dan perhiasan dengan jenis yang sama ditemukan di kedua kota, menunjukkan bahwa penduduknya membuat kerajinan yang serupa. Peradaban lembah sungai Indus adalah yang paling luas di antara seluruh peradaban kuno yaitu mencakup 648.000 kilometer persegi. Terdapat bukti selanjutnya mengenai orang-orang Harappa datang dari Mesopotamia. Penduduk disana menyebut daerah Indus sebagai Meluhha. Sebuah stempel yang ditemukan di Mesopotamia mendeskirpsikan seorang “penerjemah bahasa Meluhha”. Para ahli percaya bahwa ini mungkin berarti beberapa pedagang yang hilir mudik di antara kedua peradaban ini menguasai dua bahasa. Ditemukan pula bukti perdagangan di sepanjang Teluk Persia, disi lain Laut Arab. Di sana-di Dilmun, Oman ditemukan stempel dan seperangkat pemberat timbangan yang identik dengan yang ditemukan di India (Anita Dalal, 2007: 21-25). Daerah-daerah yang berada disepanjang lembah sungai Shindu, masyarakat mengusahakan pertanian, sehingga pertanian sebagai mata pencarian utama di masyarakat India. Pada perkembangannya masyarakat telah berhasil menyalurkan air yang mengalir di lembah sungai Indus sampai jauh ke daerah pedalaman. Usaha ini dilakukan dengan pembuatan saluran irigasi dan mulai membangun daerah pertanian di daerah pedalaman. Hasil pertanian diperkirakan adalah padi, gandum, gula, jelai, kapas dan teh. Secara teknologi mereka mampu membuat barang yang terbuat dari emas dan perak, alat rumah tangga, alat pertanian, kain dari kapas, serta bangunan. Juga ditemukan alat-alat peperangan seperti tombak, pedang dan anak panah. Serta ditemukan alat yang terbuat dari tanah liat. Untuk perdagangan, seperti telah dijelaskan diatas, telah terjalin perdagangan yang cukup luas. Salah satunya yaitu kota Sutkagedon yang memainkan peranan penting dalam perdagangan antara masyarakat Indus dengan bangsa Sumeria. Kota ini merupakan kota perbatasan yang terletak di Balukhistan. Perdagangan  tersebut dilaksanakan dengan dua cara yaitu laut dengan bukti sebuah material dan pecahan benda yang memuat gambar perahu layar. Sedangkan jalur darat dilakukan dengan bantuan tenaga kuda ataupun unta. Hal ini dibuktikan dengan penemuan terracotta kereta kecil (Badrika, 2006: 121- 122).
Kepercayaan masyarakat lembah sungai Indus bersifat Polytheisme atau memuja banyak dewa. Dewa-dewa yang dipuja seperti dewa bertanduk besar, dan dewa perempuan yang melambangkan kemakmuran serta kesuburan (dewi ibu). Selain itu mereka juga menyembah binatang-binatang besar seperti buaya, gajah dan lain-lain, serta menyembah pohon seperti pohon pipal (beringin). Pemujaan dimaksud sebagai tanda terimakasih terhadap kehidupan yang dinikmatinya, berupa kehidupan dan kedamaian (Badrika, 2006: 122). Dari hasil penggalian di kota Harappa ditemukan beberapa arca yang masih sempurna bentuknya dan dua buah torso (arca yang telah hilang kepalanya). Di kota Mohenjodaro ditemukan arca seorang pendeta berjanggut. Arca ini memakai pita yang melingkari kepalanya dan berpaian baju yang berhiaskan gambar-gambar yang menyerupai daun semanggi. Hiasan dengan daun semanggi juga lazim dipakai didaerah Mesopotamia, Mesir dan Kreta. Arca yang lain ditemukan berbentuk gadis penari yang terbuat dari perunggu. Peradaban ini telah mengenal teknik perundagian. Peralatan rumah tangga dan senjata telah terbuat dari benda logam seperti perunggu hal ini menujukan berkembangnya sistem perekonomian (Badrika, 2006: 123).

Cara penguburan : dalam penguburan jenazah nampaknya mempunyai bermacam-macam cara tergantung dari suku bangsa. Di Mohenjodaro misalnya tidak adanya kuburan seolah-olah menunjukkan adanya kebiasaan membakar jenazah dan abu jenazahnya kemudian ditempatkan dalam tempayan khusus. Namun adakalanya tulang-belulang yang tidak dibakar disimpan dalam tempayan pula. Bukti-bukti menunjukkan bahwa di Harappa kebiasaan mengubur jenazah tetap terdapat (Suud, 1992 : 37).

Akhir Peradaban. Selama beberapa ratus tahun, kota-kota itu berkembang dan berdagang di daerah yang luas. Tapi pada 1900 SM, mereka sudah menghadapi masalah yang masih bisa ditemui di kota-kota zaman sekarang, seperti kepadatan penduduk yang terlalu tinggi dan kekurangan makanan  serta air bersih. Lalu suatu krisis, seperti gempa bumi atau gejala geologis lainnya yang menyebabkan beberapa sungai mengering, menerpa kota-kota. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa arah aliran sungai kuno bergeser jauh. Ketika sungai berpindah jalur, kebanukan orang yang tinggal didekanya mungkin terpaksa pindah ke kota-kota yang tak terpengaruh. Tetapi kedatangan mereka bisa malah menghancurkan kota yang menampung mereka(Anita Dalal, 2007: 27).
Ada analisis lain tentang musnahnya pendukung peradaban ini. Satu hal yang amat mungkin terjadi ialah datangnya serangan yang datang dari luar, yang berhasil memusnahkan seluruh hasil kebudyaan yang telah maju itu. Diduga bangsa yang melakukan penyerbuaan itu ialah bangsa yang berbahasa Arya, sedangkan pendukung kebudayaan yang diporak porandakan ialah bangsa yang berbicara bahasa Dravida. Sesuai dengan yang disebutkan di dalam kitab Veda, maka bangsa yang dikalahkan itu tidak lain adalah Dasyu atau yang tak berhidung. Dugaan tersebut didasakan atas anggapan bahwa penduduk daerah itu adalah mereka yang tidak suka berperang, mereka yang tidak mementingkan teknologi persenjataan yang baik, seperti telihat pada kualitas ujung tombak maupun pedang mereka. Bukti-bukti lain yang menguatkan dugaan itu ialah terdapatnya kumpulan tulang belulang manusia yang terdiri dari anak-anak dan wanita yang terserak disebuah ruangan besar dan di tangga-tangga yang menuju tempat pemandian umum ataupun dijalanan umum. Bentuk fisik serta sikap fisik yang menggeliat dari mayat-mayat itu memberi pertanda akan adanya susuatu serangan (Suud, 1992 : 38-29).

Kepustakaan
Badrika, I Wayan. 2006. SEJARAH untuk SMA Kelas X. Jakarta : Erlangga
Dalal, Anita. 2007. Arkeolog Menguak Rahasia Masa Lampau India Kuno, Jakarta : National Geographic
Suud, Abu. 1992. ASIA SELATAN SEBELUM ZAMAN ISLAM. Semarang : IKIP Semarang Press


Tidak ada komentar:

Posting Komentar