Selasa, 17 Maret 2020

INDISCHE PARTIJ (IP)


INDISCHE PARTIJ (IP)
Oleh Topan

Pada tanggal 6 September 1912 terbentuklah di Bandung sebuah organisasi baru bernama Partai Hindia atau Indische Partij (IP). Pendiri organisasi ini adalah E.F.E. Douwes Dekker, Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat.  Ketiganya bekerja di suratkabar de Expres yang diterbitkan oleh Douwes Dekker pada 1 Maret 1912, sepulangnya belajar di Eropa. Mereka kemudian terkenal sebagai Tiga Serangkai. IP merupakan partai politik yang pertama di Hindia Belanda. IP hendak menyatukan seluruh penduduk yang mengakui Hindia sebagai Tanah air mereka untuk mencapai Hindia Bebas dari Nederland (Indie Los Van Nederland), hal ini dengan jelas tercantum sebagai tujuannya (Parakitri T. Simbolon1995 :246-247). Tujuan tersebut dirumuskan sebagai berikut (Parakitri T. Simbolon1995 : 532):
”Membangunkan kecintaan (patriottisme) seluruh orang Hindia (Indiers) terhadap Tanah air Hindia yang menghidupnya, dan menyatukan mereka berdasarkan persamaan hak dan kewajiban, untuk membawa kemakmuran bagi tanah air Hindia dan mencapai kehidupan bangsa yang merdeka”.
Sedangkan cara cara yang dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut adalah (Nugroho Notosusanto, 1992: 187-188):
1
Memelihara Nasionalisme Hindia dengan meresapkan cita-cita kesatuan kebangsaan semua Indiers ; meluaskan pengetahuan umum tentang sejarah budaya Hindia, mengasosiasikan intelek secara bertingkat ke dalam suku dan inter suku yang masih hidup berdampingan pada masa ini, menghidupkan kesadaran diri dan kepercayaan kepada diri sendiri.
2
Memberantas rasa kesombongan rasial dan keistimewaan ras baik dalam bidang ketatanegaraan maupun dalam bidang kemasyarakatan.
3
Memberantas usaha-usaha untuk membangkitkan kebencian agama dan sektarisme  yang bisa mengakibatkan indier asing satu sama lain, sehingga dapat memupuk kerjasama atas dasar nasional
4
Memperkuat daya tahan rakyat Hindia dengan memperkembangkan individu kearah aktivitas yang lebih besar secara tehnis dan memperkuat kekuatan batin dalam soal kesusilaan.
5
berusaha untuk mendapatkan persamaan hak bagi semua orang Hindia.
6
Memperkuat daya rakyat Hindia untuk dapat mempertahankan Tanah Air dari serangan Asing.
7
Mengadakan unifikasi, perluasan, pendalaman dan mengHindiakan pengajaran, yang di dalam semua hal harus ditujukan kepada kepentingan ekonomis Hindia, di mana tidak diperbolehkan adanya perbedaan perlakuan karena ras, sex atau kasta dan harus dilaksanakan sampai tingkat yang setinggi tingginya yang bisa dicapai.
8
Memperbesar pengaruh pro hindia di dalam pemerintahan.
9
Memperbaiki keadaan ekonomi bangsa Hindia, terutama dengan memperkuat mereka yang ekonominya lemah.
Indische Partij berdiri di atas dasar nasionalisme yang luas menuju kemerdekaan Indonesia. Indonesia sebagai “National Home” semua orang keturunan bumi putra, Belanda, Cina, Arab dan sebagainya, yang mengakui Hindia sebagai tanah air dan kebangsaannya. Paham ini pada waktu dulu dikenal dsebagai Indisch Nationalisme, yang kemudian hari dikenal dengan Indonesisch Nationalisme atau Nasionalisme Indonesia. Pasal-pasal ini pulalah yang menyatakan Indische Partij sebagai partai politik yang pertama di Indonesia. Bahwa IP adalah suatu partai yang radikal juga dinyatakan oleh Douwes Dekker bahwa didirikannya ini adalah merupakan “penantangan perang dari pihak budak koloni yang membayar belasting kepada kerajaan penjajah, pemungut pajak”( Nugroho Notosusanto, 1992: 188).
Kebencian pemerintah makin besar ketika pada hari Natal 25 Desember 1912, IP secara resmi mengumumkan pembentukannya. Dalam peresmiannya tersebut IP melaksanakan pawai kekuatan, rally, lengkap dengan bendera berwarna dasar hitam; sesuatu yang baru pertama kali terjadi di Hindia Belanda. Pada kesempatan itu Dauwes Dekker dengan lantang menegaskan bahwa “berdirinya IP adalah merupakan suatu pernyataan perang  dari dunia terang terhadap dunia gelap, dunia kebaikan terhadap dunia kejahatan, dunia peradaban terhadap dunia angkara murka (tirani) dari para budak pembayar pajak terhadap Negara pemungutnya”( Parakitri T. Simbolon1995 : 247).
Bentuk lencana dari Indische Partij, berakar pada tradisi Jawa. Lencana IP berbentuk tameng lonjong memanjang ke atas. Di tepinya bertuliskan Rawe-Rawe Rantas, malang-malang putung (Hancurkan semua yang menjadi penghalang). Dari sisi kanan memancar sinar matahari terbit yang menyinari tiga buah teratai dari kegelapan. Di atas tameng itu berdiri burung Garuda, burung dari cerita mitologi yang memegang keris Majapahit (berliku) pada kaki sebelah kanan dan keris Mataram (lurus) pada kaki sebelah kiri. Berdiri pada sebelah matahri ialah Kresna (titisan kebijaksanaan dewa-dewa dan pemelihara dunia) memegang tameng, pada sebuah bunga teratai berdiri Arjuna (ahli perang dan murid Kresna). Lencana yang terurai di atas dimuat pada akhir karangan S. Surjaningrat tanggal 9 Juni 1919 di De Nieuwe Amsterdammer (Catatan belakang dari buku KI HADJAR DEWANTARA DAN TAMAN SISWA DALAM SEJARAH INDONESIA MODERN Karya Abdurrachman Surjomihardjo tahun penerbitan 1986 hal 80 Jakarta : Sinar Harapan).
Banyak rencana yang dipikirkan pemerintah untuk menekan gerakan ini, terutama tokoh tokohnya, termasuk Douwes Dekker. Langkah paling keraslah yang akan diambil pemerintah.
Hal ini terlihat saat IP sedang mengajukan anggaran dasarnya untuk memperoleh pengakuan resmi pemerintah, Douwes Dekker dipenjarakan selama 14 hari karena mengecam pemerintah perihal rencana menutup Afdeling B Gymnasium Willem III(Afdeling B Gymnasium Willem III, sekolah ini merupakan satu satunya tempat pendidikan calon pejabat pemerintahan Eropa di Hindia Belanda yang dapat diikuti oleh anak anak Indo Eropa. Parakitri T. Simbolon1995 : 248).
Pada tanggal 4 Maret 1913 sebagaimana yang telah disarankan oleh Dewan Hindia Belanda (Raad Ban Nederlans-Indie), pemerintah menolakmengakui IP sebagai badan hokum berdasarkan pasal III RR(Pasal ini berbunyi perkumpulan dan pertemuan yang menyangkut kenegaraan atau yang dianggap dapat mengancam ketertiban dan keamanan dilarang diseluruh Hindia Belanda. Terhadap pelanggaran atas ketentuan ini dikenakan tindakan hukum sesuai dengan keadaan-Parakitri T. Simbolon1995 :539). Menghadapi penolakan itu IP mencoba melunakkan isi pasal-pasal yang menjadi ganjalan. Tujuan IP tidak lagi terang-terangan menyebut Negara merdeka, tapi “meningkatkan kehidupan seluruh penduduk Hindia Belanda dengan cara-cara yang sesuai dengan hukum, serta menghilangkan ketimpangan dan ketentuan hukum yang tak sesuai”. Namun hal ini pun ditolak oleh pemerintah pada 11 Maret 1913. Alasannya, perubahan rumusan dalam anggaran dasar tidak menjamin perubahan sikap IP dalam praktek (Parakitri T. Simbolon1995 : 248 – 249).
Pimpinan IP terus berjuang. Mereka minta menghadap gubernur Jenderal. Pada 13 Maret 1913 mereka diterima. IP diwakili Douwes Dekker (ketua), Tjipto Mangoenkoesoemo (wakil) dan J.G. Van Ham (sekretaris). Pada kesempatan inilah pemerintah mengulangi keputusannya untuk tidak akan mengakui organisasi yang mengancam tata pemerintahan Hindia Belanda. Ketika itu, angggota IP diperkirakan berjumlah 7.000 jiwa, 1.500 diantaranya bumi putra. Dengan demikian berakhir sudah keberadaan singkat dari partai politik yang pertama di Hindia Belanda. Namun demikian, kegiatan para pemimpin dan anggotanya jalan terus. Kongres orang Hindia dilaksanakan seminggu sesudahnya. Baru pada saat itu IP mengumumkan dirinya bubar. Untuk menampung cita-citanya, para anggotanya disarankan masuk organisasi Insulinde, organisasi yang berdiri pada tahun 1907 dan mayoritas anggotanya Indo (Parakitri T. Simbolon1995 : 249).
Sebuah perlawanan telah dilakukan oleh pimpinan pimpinan Indische partij, yaitu seperti cerita di bawah ini:
Menjelang November 1913, pemerintah jajahan bermaksud mengadakan pesta besar untuk merayakan 100 tahun kemerdekaan Nederland dari Prancis. Tidak lama setelah IP dilarang, Soewardi Soerjaningrat dan dr. Tjipto Mangoenkoesoemo memprakarsai terbentuknya Komite Bumipoetra untuk menghadapi rencana perayaan itu. Pada 8 juli 1913, komite ini mengumumkan diri beserta para pemimpinnya. Tjipto adalah ketua, Soejatiman Soerjokoesoemo alias Soetatmo(BO) sebagai wakil keuta, Soewardi Soerjaningrat sebagai sekretaris, dan Wignjadisastra (SI) sebagai bendahara, Ny. Soeraja Roem dan Abdoel Moeis anggota. Pada 19 Juli 1913 , Komite Boemipoetra menerbitkan artikel Soewardi Soerjaningrat dalam De Expres, berjudul Als Ik eens Nederlander was, seandainya saya orang Belanda. Dengan gaya menyindir yang tajam, pada pokoknya tulisan itu mengatakan, seandainya Soewardi orang Belanda, ia akan sangat malu merayakan hari kemerdekaan negerinya ditengah masyarakat Hindia yang terjajah. Lebih dari itu, perayaan tersebut akan mengingatkan rakyat Hindia bahwa mereka bukan rakyat yang merdeka. Oleh karena itu, dalam rangka perayaan tersebut Komite Boemipoetra akan mengirim telegram kepada ratu Belanda yang berisi permintaan agar dicabutlah pasal 111 RR yang melarang organisasi politik, dan agar secepatnya dibentuk parlemen di Hindia Belanda. Artikel ini dalam bahasa Belanda dan kemudian diterjemahkan dalam bahasa Melayu untuk bisa dibaca dan dipahami oleh banyak orang. Pemerintah Hindia Belanda sangat marah. Pada 31 Juli 1913 , Dewan Hindia Belanda mengadakan rapat untuk menentukan tindakan terhadap ketiga tokoh IP itu. Rapat memutuskan, atas segala perbuatan mereka di Bandung, ketiga tokoh IP akan dikenakan hukuman berdasarkan hak istimewa Gubernur Jenderal menurut pasal 47 RR, Ini berarti mereka harus dibuang. Pada 31 Juli 1913, Gubernur Jenderal Idenburg mengirim berita mengenai keputusan itu ke Nederland, dan 1 Agustus 1913, Menteri Jajahan Pleijte mengirim jawabannya ke Batavia bahwa keputusan itu telah di terimannya, dan akan disampaikan kepada Ratu. Sesudahnya, mereka dibawa ke pembuangan: Nederland (Parakitri T. Simbolon1995 : 256 – 257).
Selain tulisan Soewardi Soerjaningrat ternyata Cipto dan Douwes Dekker pun memberi kritikan kepada pihak pemerintah Hindia Belanda. Cipto Mangunkusumo melontarkan kritik terhadap Belanda. Ia menulis karangan dengna judul “Kekuatan atau ketakutan”, dimuat di harian De Expres. Isinya tentang kritik terhadap tindakan belanda yang sewenang wenang dan tidak Demokratis. Douwes Dekker menulis kritikannya dengan judul “Pahlawan kita dr. Cipto Mangunkusumo dan RM Suwardi Suryaningrat”( Sardiman dan Kusriyantinah, 1996: 25).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar