INDISCHE PARTIJ (IP)
Oleh Topan
Pada tanggal 6
September 1912 terbentuklah di Bandung sebuah organisasi baru bernama Partai
Hindia atau Indische Partij (IP). Pendiri organisasi ini adalah E.F.E. Douwes Dekker, Tjipto
Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat.
Ketiganya bekerja di suratkabar de
Expres yang diterbitkan oleh Douwes Dekker pada 1 Maret 1912, sepulangnya
belajar di Eropa. Mereka kemudian terkenal sebagai Tiga Serangkai. IP merupakan
partai politik yang pertama di Hindia Belanda. IP hendak menyatukan seluruh
penduduk yang mengakui Hindia sebagai Tanah air mereka untuk mencapai Hindia
Bebas dari Nederland (Indie Los Van
Nederland), hal ini dengan jelas tercantum sebagai tujuannya (Parakitri T.
Simbolon1995 :246-247). Tujuan tersebut dirumuskan sebagai berikut (Parakitri
T. Simbolon1995 : 532):
”Membangunkan kecintaan (patriottisme)
seluruh orang Hindia (Indiers) terhadap Tanah air Hindia yang menghidupnya, dan
menyatukan mereka berdasarkan persamaan hak dan kewajiban, untuk membawa
kemakmuran bagi tanah air Hindia dan mencapai kehidupan bangsa yang merdeka”.
Sedangkan cara
cara yang dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut adalah (Nugroho Notosusanto,
1992: 187-188):
1
|
Memelihara
Nasionalisme Hindia dengan meresapkan cita-cita kesatuan kebangsaan semua Indiers ; meluaskan pengetahuan umum
tentang sejarah budaya Hindia, mengasosiasikan intelek secara bertingkat ke
dalam suku dan inter suku yang masih hidup berdampingan pada masa ini,
menghidupkan kesadaran diri dan kepercayaan kepada diri sendiri.
|
2
|
Memberantas
rasa kesombongan rasial dan keistimewaan ras baik dalam bidang ketatanegaraan
maupun dalam bidang kemasyarakatan.
|
3
|
Memberantas
usaha-usaha untuk membangkitkan kebencian agama dan sektarisme yang bisa
mengakibatkan indier asing satu
sama lain, sehingga dapat memupuk kerjasama atas dasar nasional
|
4
|
Memperkuat
daya tahan rakyat Hindia dengan memperkembangkan individu kearah aktivitas
yang lebih besar secara tehnis dan memperkuat kekuatan batin dalam soal
kesusilaan.
|
5
|
berusaha untuk
mendapatkan persamaan hak bagi semua orang Hindia.
|
6
|
Memperkuat
daya rakyat Hindia untuk dapat mempertahankan Tanah Air dari serangan Asing.
|
7
|
Mengadakan unifikasi, perluasan, pendalaman dan
mengHindiakan pengajaran, yang di dalam semua hal harus ditujukan kepada
kepentingan ekonomis Hindia, di mana tidak diperbolehkan adanya perbedaan
perlakuan karena ras, sex atau kasta dan harus dilaksanakan sampai
tingkat yang setinggi tingginya yang bisa dicapai.
|
8
|
Memperbesar
pengaruh pro hindia di dalam pemerintahan.
|
9
|
Memperbaiki
keadaan ekonomi bangsa Hindia, terutama dengan memperkuat mereka yang
ekonominya lemah.
|
Indische Partij
berdiri di atas dasar nasionalisme yang luas menuju kemerdekaan Indonesia.
Indonesia sebagai “National Home”
semua orang keturunan bumi putra, Belanda, Cina, Arab dan sebagainya, yang
mengakui Hindia sebagai tanah air dan kebangsaannya. Paham ini pada waktu dulu
dikenal dsebagai Indisch Nationalisme,
yang kemudian hari dikenal dengan Indonesisch
Nationalisme atau Nasionalisme Indonesia. Pasal-pasal ini pulalah yang
menyatakan Indische Partij sebagai partai politik yang pertama di Indonesia.
Bahwa IP adalah suatu partai yang radikal
juga dinyatakan oleh Douwes Dekker bahwa didirikannya ini adalah merupakan
“penantangan perang dari pihak budak koloni yang membayar belasting kepada kerajaan penjajah, pemungut pajak”( Nugroho Notosusanto,
1992: 188).
Kebencian
pemerintah makin besar ketika pada hari Natal 25 Desember 1912, IP secara resmi
mengumumkan pembentukannya. Dalam peresmiannya tersebut IP melaksanakan pawai
kekuatan, rally, lengkap dengan
bendera berwarna dasar hitam; sesuatu yang baru pertama kali terjadi di Hindia
Belanda. Pada kesempatan itu Dauwes Dekker dengan lantang menegaskan bahwa “berdirinya IP adalah merupakan suatu
pernyataan perang dari dunia terang
terhadap dunia gelap, dunia kebaikan terhadap dunia kejahatan, dunia peradaban
terhadap dunia angkara murka (tirani) dari para budak pembayar pajak terhadap
Negara pemungutnya”( Parakitri T. Simbolon1995 : 247).
Bentuk lencana
dari Indische Partij, berakar pada tradisi Jawa. Lencana IP berbentuk tameng
lonjong memanjang ke atas. Di tepinya bertuliskan Rawe-Rawe Rantas,
malang-malang putung (Hancurkan semua yang menjadi penghalang). Dari sisi kanan
memancar sinar matahari terbit yang menyinari tiga buah teratai dari kegelapan.
Di atas tameng itu berdiri burung Garuda, burung dari cerita mitologi yang
memegang keris Majapahit (berliku) pada kaki sebelah kanan dan keris Mataram
(lurus) pada kaki sebelah kiri. Berdiri pada sebelah matahri ialah Kresna
(titisan kebijaksanaan dewa-dewa dan pemelihara dunia) memegang tameng, pada
sebuah bunga teratai berdiri Arjuna (ahli perang dan murid Kresna). Lencana
yang terurai di atas dimuat pada akhir karangan S. Surjaningrat tanggal 9 Juni
1919 di De Nieuwe Amsterdammer (Catatan
belakang dari buku KI HADJAR DEWANTARA DAN TAMAN SISWA DALAM SEJARAH INDONESIA
MODERN Karya Abdurrachman Surjomihardjo tahun penerbitan 1986 hal 80 Jakarta :
Sinar Harapan).
Banyak rencana
yang dipikirkan pemerintah untuk menekan gerakan ini, terutama tokoh tokohnya,
termasuk Douwes Dekker. Langkah paling keraslah yang akan diambil pemerintah.
Hal ini terlihat saat IP sedang mengajukan anggaran dasarnya untuk
memperoleh pengakuan resmi pemerintah, Douwes Dekker dipenjarakan selama 14 hari
karena mengecam pemerintah perihal rencana menutup Afdeling B Gymnasium Willem
III(Afdeling B Gymnasium Willem III, sekolah ini merupakan satu satunya tempat
pendidikan calon pejabat pemerintahan Eropa di Hindia Belanda yang dapat
diikuti oleh anak anak Indo Eropa. Parakitri T. Simbolon1995 : 248).
Pada tanggal 4 Maret 1913 sebagaimana yang telah disarankan oleh Dewan
Hindia Belanda (Raad Ban Nederlans-Indie), pemerintah menolakmengakui IP
sebagai badan hokum berdasarkan pasal III RR(Pasal ini berbunyi perkumpulan dan
pertemuan yang menyangkut kenegaraan atau yang dianggap dapat mengancam
ketertiban dan keamanan dilarang diseluruh Hindia Belanda. Terhadap pelanggaran
atas ketentuan ini dikenakan tindakan hukum sesuai dengan keadaan-Parakitri T.
Simbolon1995 :539). Menghadapi penolakan itu IP mencoba melunakkan isi
pasal-pasal yang menjadi ganjalan. Tujuan IP tidak lagi terang-terangan
menyebut Negara merdeka, tapi “meningkatkan
kehidupan seluruh penduduk Hindia Belanda dengan cara-cara yang sesuai dengan
hukum, serta menghilangkan ketimpangan dan ketentuan hukum yang tak sesuai”.
Namun hal ini pun ditolak oleh pemerintah pada 11 Maret 1913. Alasannya,
perubahan rumusan dalam anggaran dasar tidak menjamin perubahan sikap IP dalam
praktek (Parakitri T. Simbolon1995 : 248 – 249).
Pimpinan IP
terus berjuang. Mereka minta menghadap gubernur Jenderal. Pada 13 Maret 1913
mereka diterima. IP diwakili Douwes Dekker (ketua), Tjipto Mangoenkoesoemo (wakil)
dan J.G. Van Ham (sekretaris). Pada kesempatan inilah pemerintah mengulangi
keputusannya untuk tidak akan mengakui organisasi yang mengancam tata
pemerintahan Hindia Belanda. Ketika itu, angggota IP diperkirakan berjumlah
7.000 jiwa, 1.500 diantaranya bumi putra. Dengan demikian berakhir sudah
keberadaan singkat dari partai politik yang pertama di Hindia Belanda. Namun
demikian, kegiatan para pemimpin dan anggotanya jalan terus. Kongres orang
Hindia dilaksanakan seminggu sesudahnya. Baru pada saat itu IP mengumumkan
dirinya bubar. Untuk menampung cita-citanya, para anggotanya disarankan masuk
organisasi Insulinde, organisasi yang
berdiri pada tahun 1907 dan mayoritas anggotanya Indo (Parakitri T.
Simbolon1995 : 249).
Sebuah
perlawanan telah dilakukan oleh pimpinan pimpinan Indische partij, yaitu
seperti cerita di bawah ini:
Menjelang
November 1913, pemerintah jajahan bermaksud mengadakan pesta besar untuk
merayakan 100 tahun kemerdekaan Nederland dari Prancis. Tidak lama setelah IP
dilarang, Soewardi Soerjaningrat dan dr. Tjipto Mangoenkoesoemo memprakarsai
terbentuknya Komite Bumipoetra untuk menghadapi rencana perayaan itu. Pada 8
juli 1913, komite ini mengumumkan diri beserta para pemimpinnya. Tjipto adalah
ketua, Soejatiman Soerjokoesoemo alias Soetatmo(BO) sebagai wakil keuta,
Soewardi Soerjaningrat sebagai sekretaris, dan Wignjadisastra (SI) sebagai bendahara,
Ny. Soeraja Roem dan Abdoel Moeis anggota. Pada 19 Juli 1913 , Komite
Boemipoetra menerbitkan artikel Soewardi Soerjaningrat dalam De Expres, berjudul Als Ik eens Nederlander was,
seandainya saya orang Belanda. Dengan gaya menyindir yang tajam, pada pokoknya
tulisan itu mengatakan, seandainya Soewardi orang Belanda, ia akan
sangat malu merayakan hari kemerdekaan negerinya ditengah masyarakat Hindia
yang terjajah. Lebih dari itu, perayaan tersebut akan mengingatkan rakyat
Hindia bahwa mereka bukan rakyat yang merdeka. Oleh karena itu, dalam
rangka perayaan tersebut Komite Boemipoetra akan mengirim telegram kepada ratu
Belanda yang berisi permintaan agar dicabutlah pasal 111 RR yang melarang
organisasi politik, dan agar secepatnya dibentuk parlemen di Hindia Belanda.
Artikel ini dalam bahasa Belanda dan kemudian diterjemahkan dalam bahasa Melayu
untuk bisa dibaca dan dipahami oleh banyak orang. Pemerintah Hindia Belanda
sangat marah. Pada 31 Juli 1913 , Dewan Hindia Belanda mengadakan rapat untuk
menentukan tindakan terhadap ketiga tokoh IP itu. Rapat memutuskan, atas segala
perbuatan mereka di Bandung, ketiga tokoh IP akan dikenakan hukuman berdasarkan
hak istimewa Gubernur Jenderal menurut pasal 47 RR, Ini berarti mereka harus
dibuang. Pada 31 Juli 1913, Gubernur Jenderal Idenburg mengirim berita mengenai
keputusan itu ke Nederland, dan 1 Agustus 1913, Menteri Jajahan Pleijte
mengirim jawabannya ke Batavia bahwa keputusan itu telah di terimannya, dan
akan disampaikan kepada Ratu. Sesudahnya, mereka dibawa ke pembuangan: Nederland (Parakitri T. Simbolon1995 :
256 – 257).
Selain tulisan Soewardi Soerjaningrat ternyata Cipto dan Douwes Dekker
pun memberi kritikan kepada pihak pemerintah Hindia Belanda. Cipto Mangunkusumo melontarkan kritik
terhadap Belanda. Ia menulis karangan dengna judul “Kekuatan atau ketakutan”,
dimuat di harian De Expres. Isinya
tentang kritik terhadap tindakan belanda yang sewenang wenang dan tidak
Demokratis. Douwes Dekker menulis
kritikannya dengan judul “Pahlawan kita dr. Cipto Mangunkusumo dan RM
Suwardi Suryaningrat”( Sardiman dan Kusriyantinah, 1996: 25).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar