Kamis, 30 Agustus 2018

PERISTIWA SEKITAR PROKLAMASI KEMERDEKAAN INDONESIA


PERISTIWA SEKITAR PROKLAMASI KEMERDEKAAN INDONESIA

Disusun oleh
Topan Dwiono Purbaya
Pendidik di SMA Negeri 1 Kutasari

Berita Kekalahan Jepang Didengar Oleh Pemuda dan Gerakan Pemuda Untuk Mendesak Proklamasi
Desas-desus bahwa Jepang harus atau akan mengadakan kapitulasi dengan Sekutu memacu aksi beberapa organisasi bawah tanah yang telah bersepakat untuk bangkit melawan Jepang bila Sekutu mendarat. Bahkan pada tanggal 10 Agustus 1945, setelah mendengar siaran radio (yang kebetulan tidak disegel oleh pemerintah militer Jepang), bahwa Jepang sudah memutuskan untuk menyerah, Syahrir mendesak Hatta agar bersama Soekarno, untuk segera memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, dan menyakinkan bahwa Hatta bisa mengharapkan dukungan dari para gerilyawan dan banyak unit Peta (Kahin,1995: 170). Pada tanggal 14 Agustus 1945, kira-kira pukul 10 pagi kelompok pemuda mengadakan pertemuan di Kebun Binatang yang waktu itu disebut Garden Hall di ruang billiard. Kemudian dengan penuh rasa tanggungjawab, para pemuda tersebut telah mengambil keputusan penting yakni: pemuda siap berjuang sampai titik darah penghabisan, persatuan total dari semua unsur dalam masyarakat, dan siap menjalani latihan secara intensif untuk membela tanah air. Ketika pihak Jepang datang untuk membubarkan mereka, Chairul Saleh menyuruh Nasrun, yang baru selesai berpidato segera lari, menghindari penangkapan (Hadi Soewito, 1993: 28-29).
Tanggal 14 Agustus 1945, pada sore hari kira-kira pukul tiga, beberapa Pemuda Radikal berkumpul disebuah pekarangan yang banyak pohon pisangnya, tidak jauh dari lapangan terbang kemayoran. Mereka adalah Chaerul Saleh, Asmara Hadi, A.M. Hanafi, Sudiro, S.K. Trimurti dan Sajuti Melok. Dengan dipelopori Chaerul Saleh, pemuda berkumpul disitu, menantikan kembalinya Bung Karno dan Bung Hatta dari Saigon. Begitu kapal terbang sudah mendarat, pemuda sudah bersiap-siap mencari kesempatan agar bisa mendekati Bung Karno. Ketika orang-orang Jepang mulai pergi, Bung Karno dan Bung Hatta menuju ke mobilnya, para pemudapun bergegas mendekatinya. “Selamat datang kembali Bung Karno, Bung Hatta. Kami semua menunggu oleh-oleh yang Bung-Bung bawa dari Saigon”, kata Chaerul Saleh, orang pertama yang menyalami kedua pemimpin Indonesia tersebut. “Pokoknya, kemerdekaan sudah dekat. Kita semua harus siap”, kata Bung Karno. Para pemuda  mengikuti ucapan Soekarno dengan cermat. “Tapi kami tidak mau kemerdekaan hadiah”. “Kami tak mau janji-janji Jepang itu”, kata Chaerul Saleh. Oleh karena itu para pemuda mendesak :”Proklamirkan kemerdekaan bangsa kita sekarang juga! Jepang sudah kalah, Jepang sudah dibom! Jenderal Terauchi tentu tidak bilang itu ke pada Bung Karno”. Mendengar kata-kata Chaerul Saleh ini, Bung Karno agak terhenyak. “Kita tidak bisa membicarakan soal itu disini, lihat itu , Kempetai mengawasi kita. Bubarlah! Nanti kita bicara lagi”, ujar Soekarno, lalu ia masuk ke dalam mobil dimana Bung Hatta sudah duduk. Kemudian mobil pun pergi. Chaerul sudah minta supaya semua sel-sel organisasi pemuda di kumpulkan untuk berapat lagi malam itu juga (Hanafi, 1996: 15-17).
 Pada tanggal 14 Agustus 1945 itu juga, Sjahrir memberitahukan Soekarno dan Hatta bahwa Jepang sudah meminta diadakannya gencatan senjata dan sekali lagi berusaha mendesak mereka memproklamirkan kemerdekaan. Soekarno dan Hatta yang belum begitu yakin bahwa Jepang telah menyerah, merasa bahwa para gerilyawan belum lagi mampu menghimpun kekuatan untuk mengalahkan Jepang, dan khawatir bila hal ini mengakibatkan pertumpahan darah yang sia-sia (Kahin,1995: 170).
Namun demikian,  dengan keyakinan Sjahrir bahwa Soekarno bersedia untuk segera memproklamirkan kemerdekaan, maka deklarasi kemerdekaan berisi kata-kata sangat anti Jepang yang telah disiapkan Sjahrir dan kawan-kawannya, segera mengorganisir para gerilyawan dan pelajar Jakarta untuk mengadakan demonstrasi umum dan kerusuhan-kerusuhan militer.
Tembusan dan deklarasi kemerdekaan mereka yang anti Jepang itu sudah dikirim kesemua pelosok pulau Jawa untuk segera diterbikan begitu Soekarno memproklamirkan kemerdekaan yang diharapkan bakal terlaksana pada tanggal 15 Agustus 1945. Setelah persiapan-persiapan mulai dilakukan, menjadi jelas bahwa Soekarno dan Hatta tidak bersedia memproklamirkan kemerdekaan pada tanggal 15 Agustus 1945. Sjahrir tidak dapat menghubungi semua pemimpin organisasinya pada waktu yang tepat untuk memberitahukan pembatalan ini. Revolusi satu-satunya telah meletus di Cirebon pada tanggal 15  Agustus 1945 dibawah Dr. Sudarsono, tetapi dipadamkan Jepang (Kahin,1995: 170-171).
            Revolusi di Cirebon terkisah sebagai berikut: begitu Jepang kalah perang,  Sjahrir ingin kemerdekaan Indonesia di kumandangkan secepatnya, Proklamasi Cirebon dibacakan lebih cepat. Tugu berwarna putih dengan ujung lancip menyerupai pensil  berdiri tegak di tengah jalan di dekat alun-alun kejaksaan, Cirebon. Tugu yang sama dengan tinggi sekitar tiga meter, menancap di halaman Kepolisian Sektor Waled di kota yang sama. Di tugu itu, pada tanggal 15 Agustus 1945, dokter Soedarsono membacakan teks proklamasi. Saat Soedarsono membacakan teks proklamasi, sekitar 150 orang memenuhi alun-alun kejaksaan. Sebagian besar anggota Partai Nasional Indonesia Pendidikan. Soedarsono sendiri adalah tokoh gerakan bawah tanah pimpinan Sjahrir di Cirebon. Setalah siaran radio BBC pada 14 Agustus 1945 mewartakan kekalahan Jepang oleh Sekutu, Sjahrir berambisi menyiarkan kemerdekaan tanah air secepatnya. Sjahrir menunggu Bung Karno dan Bung Hatta untuk menandatangai teks porklamasi sebelum 15 Agustus 1945, Sjahrir  khawatir proklamasi yang muncul selewat tanggal itu dianggap bagian dari diskusi pertemuan antara Soekarno, Hatta dan Marsekal Terauchi di Saigon. Ternyata harapannya tidak tercapai. Sayang jejak teks proklamasi yang dibacakan Soedarsono tak berbekas. Tak ada yang memiliki dokumennya. Des Alwi (anak angkat Sjahrir) mengingat sebaris teks proklamasi versi kelompok gerakan bawah tanah: “Kami bangsa Indonesia dengan ini memproklamirkan kemerdekaan Indonesia karena kami tak mau dijajah dengan siapa pun juga”. Berdasarkan Rudolf Mrazek, Sjahrir mengatakan teks proklamasinya diketik sepanjang 300 kata. Teks itu bukan berarti anti Jepang atau anti Belanda. “Pada dasarnya menggambarkan penderitaan rakyat di bawah pemerintahan Jepang dan rakyat Indonesia tidak mau diserahkan ke tangan pemerintahan kolonial lain”. Terdapat versi lain tentang penyusunan teks proklamasi versi Cirebon. Menurut Maroeto Nitimihardjo, lewat kesaksian anaknya, Hadidjojo Nitimihardjo, Soedarsono tak pernah menerima teks proklamasi yang disusun Sjahrir. Maroeto adalah salah satu pendiri PNI Pendidikan. Informasi diperoleh Maroeto ketika bertemu dengan Soedarsono di desa Parapatan, sebelah barat Palimanan, selang satu hari sebelum teks di bacakan di Cirebon. Soedarsono mengira Maroeto membawakan teks Proklamasi dari Sjahrir. “Saya sudah bersepeda 60 kilometer hanya untuk mendengar, Sjahrir tidak berbuat apa-apa. Katakan kepada Sjahrir saya akan membuat proklamasi di Cirebon,” ungkap Hadidjojo (dikutip dari TEMPO Edisi Khusus 100 Tahun Sjahrir, Edisi 9-15 Maret 2009, SUTAN SJAHRIR PERAN BESAR BUNG KECIL, CIREBON MERDEKA LEBIH DULU, hal 42).
Di Jakarta, pada sore hari tanggal 15 Agustus 1945 datang ke rumah Moh. Hatta dua orang pemuda. Soebadio Sastrosatomo dan Soebianto. Keduanya mengatakan “Jepang sudah menyerah kepada Sekutu”. Mereka mendesak bantuan Hatta, supaya kemerdekaan Indonesia jangan dinyatakan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, yang terkenal sebagai buatan Jepang, tetapi oleh Sukarno sendiri sebagai pemimpin rakyat atas nama rakyat, diucapkan  dengan perantaraan corong radio dan ditujukan ke seluruh Dunia. Hatta mengatakan kepada mereka, “bahwa Jepang dengan perantaraan Marsekal Terauchi di Dalat telah mengakui kemerdekaan Indonesia yang pelaksanaannya akan diselenggarakan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia besok pagi jam 10 di Pejambon”. “Itu harus di halangi”, kata mereka (pemuda) dengan suara yang lantang. “Bung Karno sendiri harus mengucapkannya di muka corong radio atas nama rakyat Indonesia”. Hatta menerangkan apa sebab Sukarno tidak bisa dan tidak mau merampas hak Panitia Persiapan Kemerdekaan. Ditegaskan, pula bahwa “hal ini sama saja kalau pernyataan kemerdekaan itu diucapkan oleh sukarno sebagai Ketua PPKI, yang sejak semula bekerja sama dengan Jepang dan oleh Belanda dituduh sebagai penghkhianat”. Lebih dari setengah jam terjadi pertengkaran, masing-masing mencoba meyakinkan yang lain tetapi tidak berhasil keduanya menegaskan pendirian  mereka yang disebut revolusioner. Hatta mempertahankan pendirian yang rasionil, yang tidak menghabiskan tenaga dengan percuma. Karena dua pemuda tidak dapat menyakinkan Hatta, mereka pergi mengatakan: ”Di saat revolusi kami rupanya tidak dapat membawa Bung serta, Bung tidak revolusioner”. Hatta tersenyum dan menjawab , “bahwa aku juga ingin mengadakan revolusi dan mengadakan organisasinya dulu. Tindakan yang akan engkau adakan itu bukalah revolusi tapi “Putsch”, seperti yang dilakukan dahulu di Munchen tahun 1923 oleh Hitler, tetapi gagal”. Mendengar itu dua pemuda ini malahan lebih marah dan terus pergi dengan mengucapkan perkataan:”Bung Hatta tidak bisa diharapkan untuk revolusi” (Tobing, 1986 :212).
Pada tanggal 15 Agustus 1945. Sehabis berbuka puasa, para pemuda mahasiswa mengadakan pertemuan rahasia di kebun Jarak, belakang Laboratorium Bakteriologi, Pegangsaan Timur 16 (di buku SNI VI karya Nugroho Notosusanto cuma dijelaskan di jalan Pegangsaan Timur, sedangkan di buku karya A.M. Hanafi berjudul MENTENG 31 MEMBANGUN JEMBATAN DUA ANGKATAN disebutkan di Kebon Jarak di Eykman Instituut itupun terjadi tanggal 14 Agustus 1945, selain itu pada buku MAHASISWA AGKATAN ’45 PRAPATAN 10 : PENGABDIANNYA 1 karya Eri Soedewo dijelaskan rapat dilakukan di halaman belakang Instituut Koningin Wilhelmina di Pengangsaan Timur 17). Yang hadir ialah Darwis, Johar Nur, Subadio Sastrosatomo, Subianto, Margono, Aidit, Sunyoto, Abubakar Lubis, Eri Sudewo, Wahidin, Karimudin, Suroto Kunto, Pardjono, kemudian disusul oleh Wikana dan Armansyah ( Pada buku karya A.M. Hanafi berjudul MENTENG 31 MEMBANGUN JEMBATAN DUA ANGKATAN terdapat juga tokoh pemuda antara lain: Pardjono, A.M. Hanafi, Djohar Nur, dan Yusuf Kunto).  Pertemuan ini dipimpin Chairul Saleh  untuk merundingkan, bagaimana menghadapi situasi, terutama dalam menghadapi Soekarno – Hatta (Hadi Soewito, 1993: 31-31). Kehadiran Yusuf Kunto dalam rapat dipandang sangat penting karena sebagai orang BEPANG (mata-mata Jepang), penjelasannya kepada pemuda bahwa Jepang memang sudah bertekuk lutut, bisa sangat dipercaya dan meyakinkan (Hanafi, 1996: 21).
Akhirnya diputuskan bahwa: (1) Bung Karno dan Bung Hatta harus didesak untuk mau memproklamasikan kemerdekaan pada hari itu juga. (2) Wikana dan soebadio (Pada buku CHAIRUL SALEH TOKOH KONTROVERSIAL karya Dra. Irna H.N. Hadi Soewito  dan SNI VI karya Nugroho Notosusanto dinyatakan bahwa wakil pemuda adalah Wikana bersama Darwis)  ditentukan sebagai utusan yang akan mendesak bung Karno supaya menyatakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan jangan sampai dinyatakan atas nama PPKI (Panitia Penyelidik Kemerdekaan Indonesia). (3) Pembagian tugas yang tegas antara mahasiswa dan pemuda. (4) Diadakan persiapan-persiapan untuk merebut kekuasaan dari tangan Jepang dan sementara diadakan pos-pos komando. Perebutan kekuasaan dan senjata akan diadakan malam hari sesudah proklamasi diumumkan (Soedewo dkk, 1984: 64). (5) Kemerdekaan Indonesia adalah hak dan soal rakyat Indonesia sendiri, tidak tergantung kepada siapa pun dan kerajaan manapun. Untuk menyatakan bahwa Indonesia sudah sanggup merdeka, harus dinyatakan dengan jalan proklamasi (Soewito, 1993:29).
Mengapa Bung Karno dan Bung Hatta harus didesak pemuda, karena pada sore hari itu Soebianto dan Soebadio, sebelum ke tempat berkumpul ini mengatakan mereka telah mendatangi Bung Hatta di mana ketika itu ada Sjahrir. Mereka berdua ini baru saja kembali dari Bung Karno mengusahakan supaya Bung Karno mau menyatakan sendiri kemerdekaan Indonesia Indoneisa dan tidak melalui PPKI. Soebadio dan Soebianto menyatakan, bahwa Bung Karno menolak, karena sudah ditetapkan oleh Bung Hatta bahwa besok pagi tanggal 16 Agustus 1945 akan diadakan rapat Panitia untuk menentukan soal kemerdekaan Indonesia – seperti yang sudah dijelaskan pada alinea sebelumnya (Soedewo dkk, 1984: 64-65).
Setelah keputusan diambil maka berangkatlah Wikana dimana Subadio dan Yusuf kunto turut serta sebagai anggota utusan. Aidit juga ikut, memboncengkan Wikana dengan sepeda (Hanafi, 1996: 21). Setelah kedua wakil pemuda itu berangkat ke Pengangsaan Timur 56, maka Chaerul Saleh pun pergi ke Menteng 31. Disana ia menemui Sukarni dan beberapa perwira Peta, serta kelompok pemuda (Soewito, 1993: 29). Sebelum ke Menteng 31 Chaerul telah berunding dengan Sukarni dan beberapa perwira Peta, apa yang akan dilaksanakan apabila Sukarno-Hatta menolak desakan pemuda, untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia (Soewito, 1993: 30).
            Ketika tiba di rumah Bung Karno di Pegangsaan Timur 56, disitu sudah ada Bung Hatta, Mr. Subardjo, Mr. Iwa Kusumasumantri, Joyopranoto dan Dr. buntaran. Sebagai juru bicara utusan, Wikana segera menjelaskan kepada Bung Karno maksud kedatangan mereka. Seusai mendengarnya, Bung Karno meminta diberikan waktu sebentar guna meminta pertimbangan tokoh-tokoh yang hadir ketika itu. Kemudian beliau meminta Bung Hatta menjelaskan kepada utusan. Jawaban mereka, yang pada pokoknya meminta penangguhan waktu pernyataan Proklamasi yaitu menunggu sampai ada pemberitahuan resmi tentang  bertekuk lututnya Jepang dan setelah mendengar pertimbangan Gunseikanbu. Jawaban Bung Hatta: “Saya juga pernah muda. Juga pernah berkepala panas dan berhati panas. Setelah tua, hati panas dulu itu tetap saja panas hanya saja dikawal oleh kepala dingin. Karena itu kami tidak setuju kalau pemuda-pemuda yang memproklamasikan kemerdekaan, kecuali jika saudara-saudara memang sudah siap. Boleh coba! Saya ingin melihat kesanggupan saudara-saudara”.
Wikana menjawab: “Kami tidak bertanggung-jawab terhadap apapun yang bakal terjadi, jika besok siang proklamasi belum juga diumumkan. Sedangkan kami para pemuda akan menunjukkan kesanggupan kami sebagaimana yang saudara kehendaki itu” (Hanafi, 1996: 21-23). Mendengar ancaman itu Ir. Soekarno menjadi marah dan melontarkan kata-kata yang bunyinya kurang lebih sebagai berikut: “Inilah leherku, Saudara boleh membunuh saya sekarang juga. Saya tidak bisa melepaskan tanggung jawab saya sebagai ketua PPKI. Karena itu saya tanyakan kepada wakil-wakil PPKI besok”(Notosusanto, 1992: 80). 
Wikana rupanya terperanjat melihat sambutan Sukarno yang tidak disangkanya, lalu berkata: “Maksud kami bukan membunuh Bung, melainkan kami mau mmperingatkan, apabila kemerdekaan Indonesia tidak dinyatakan malam ini juga, besok rakyat akan bertindak dan membunuh orang-orang yang dicurigai, yang dianggap pro Belanda”(Tobing, 1986:213). Berhubungan dengan suasana yang begitu panas, supaya diadakan istirahat barang 15 menit, Hatta mengajak Sukarno, Subardjo dan dr. Buntaran mengundurkan diri sebentar ke dalam tengah rumah. Pada pembicaraan tokoh tua berempat diperoleh kata sepakat bahwa apabila pemuda bersikap keras untuk memproklamasikan Indonesia Merdeka pada malam itu juga, lebih baik mereka mencari seorang pemimpin sebagai penyokong revolusi. Kemudian setelah itu rapat dengan pemuda dimulai lagi di serambi muka, pendapat kesepakatan tadi dikemukakan sebagai putusan yang terakhir bagi Sukarno. Perundingan seketika macet, karena pemuda tidak mau mengambil jalan lain. Lalu rapat diputuskan bubar saja. Sukarno mengundurkan diri ke dalam dan yang lain pulang kerumah masing-masing. Hatta diantar oleh Subardjo pulang dengan mobilnya (Tobing, 1986:214).
Menjelang sahur sekitar pukul 01.30 dini hari, utusan pemuda meninggalkan rumah Bung Karno setelah disusul oleh Darwis dan Djohar Nur, karena merasa bahwa perundingan telah berlangsung terlalu lama (Hanafi, 1996: 21-23).
            Hari sudah larut malam. Sebagaimana telah disepakati, Wikana bersama Darwis melaporkan hasil pertemuannya dengan Sukarno – Hatta kepada kawan-kawan yang sudah menunggu di Cikini 71. Di ruang belakang Baperpi, ada Chaerul Saleh, dr. Muwardi, Johar Nur, beberapa pemuda serta para penghuni rumah pondokan tersebut. Enggan, lesu dan murung, kedua utusan itu melaporkan kegagalan yang mereka alami. Ternyata Sukarno – Hatta tidak dapat diyakinkan dengan gertakan Wikana. Dalam suasana yang tegang itu, Johar Nur dengan tegas nyeletuk “angkat saja!”. Namun ia  tidak tahu bagaimana melaksanakannya. Sebelum pertemuan di Cikini 71 mengambil keputusan, datanglah Sukarni dan dengan cara berbisik-bisik . Ini ciri khasnya Sukarni dalam menyampaikan sesuatu kepada Chairul. Di jalanan, di depan rumah pondokan, Singgih menunggu di dalam  mobil (Soewito, 1993: 29-30). Bersama Chairul Saleh mereka telah bersepakat untuk melaksanakan keputusan rapat pada waktu itu, yaitu antara lain “Menyingkirkan Ir. Sukarno dan Drs. Moh. Hatta ke luar kota dengan tujuan untuk menjauhkan mereka dari segala pengaruh Jepang”. Guna menghindari kecurigaan dan tindakan Jepang, Shodanco Singgih mendapat kepercayaan untuk melaksanakan rencana tersebut (Notosusanto, 1992:81). Pertemuan tersebut kemudian bubar dan mereka kembali ke kelompok masing-masing (Soewito, 1993: 30).

Peristiwa Pengamanan Soekarno Hatta Ke Rengas Dengklok
Kira-kira pukul 4 dini hari, selagi para pemuda bergerak menyebar ke pelosok kota dan pinggiran Jakarta untuk mempersiapkan rakyat menyambut Proklamasi, sebuah mobil membawa Chairul ke rumah Winoto Danuasmoro di jalan Pekalongan untuk meminjam mobil Fiat. Kemudian mengantarkan dr. Muwardi ke Pegangsaan Timur 56, untuk membangunkan Bung Karno. Sukarni, Singgih dan Jusuf Kunto melanjutkan perjalanan ke Oranye Boulevard (sekarang Jl. Diponegoro), rumah Bung Hatta (Soewito, 1993: 30).
Malam itu di rumah Bung Karno, dr. Muwardi enggan membangunkan Soekarno. Setelah Chaerul dan Winoto Danuasmoro datang, barulah dr. Muwardi menjalankan tugas. Kepada Bung Karno juga dilaporkan bahwa keadaan sudah memuncak genting! Keamanan di Jakarta tak bisa ditanggung lagi, oleh karena itu Bung Karno harus segera berangkat ke luar kota! (Soewito, 1993: 31).
Kejadian pra peristiwa Rengas Dengklok digambarkan Soekarno sebagai berikut:
Jam 3 Pagi aku masih bangun. Aku tidak bisa tidur dan duduk dikamar makan seorang diri, makan sahur. Keadaan dalam rumah sunyi sepi. Semua orang tidur. Kamar makan kami langsung menghadap kepekarangan dan pintunya terbuka sedikit. Terdengarlah sayup suara mendesir dari balik semak dan serombongan pemuda berpakaian seragam masuk dengan diam-diam. Sukarni (Dalam buku CHAIRUL SALEH TOKOH KONTROVERSIAL karya Dra. Irna N.H. Hadi Soewito menyatakan yang menjemput Soekarno adalah dr. Muwardi, Sukarni bertugas menjemput Moh Hatta) pakai pistol dan sebilah pisau panjang. Dia mencabut pisaunya, “Berpakaianlah Bung. . . .  . sudah tiba saatnya”.
 Ia, kataku marah , sudah tiba saatnya untuk dibunuh! Jika aku yang memimpin pemberontakanmu ini dan gagal, aku kehilangan kepala, engkaupun juga…….begitu pun yang lain. Anak buah mati ada gantinya, tapi pemimpin? Kalau aku mati, coba siapa pikirmu yang akan memimpin rakyat, bila datang waktunya yang tepat?”. Menantanglah pemuda lain sambil mengayunkan pedangnya, “ Oleh karena itu kami akan melarikan Bung keluar kota ditengah malam buta ini. Sudah kami putuskan untuk membawa Bung ketempat yang aman”. “Aaaachh”, aku menghembuskan napas, “ Tindakanmu salah, salah sama sekali. Tidakkah engkau dapat mengerti bahwa permainanmu ini akan menemui kegagalan? Aku tahu bagaimana kecintaamu terhadap tanah air. Kuhargai semangatmu yang berkobar-kobar itu. Tapi hanya itu yang kau miliki. Engkau harus bijaksana dan bekerja dengan kepala dingin. “Sekarang ini saatnya”,  lagi-lagi mereka menyuarakan dengan tidak sabar, “sekarang ! Sekarang! Selagi Jepang sedang patah semangat”.Sekarang mereka dalam putus asa. Sekaranglah saatnya kita angkat senjata” (Adams, 1966: 319-320).
Peristiwa Penculikanpun berlangsung seperti yang diceritakan Soekarno:
Dimalam buta sesaat sebelum fajar aku masuk kedalam kamar untuk menemui Fatmawati. Dia duduk diatas tempat tidur menggendong Guntur yang masih bayi dipangkuannya. Ia sudah lebih dulu terbangun oleh suara gaduh ketika kusampaikan kepadanya supaya berpakaian dan dengan cepat mengisi tas, Fatmawati tidak bertanya apa-apa. Dengan tenang, dilakukannya apa yang telah kukatakan. Kami berdua keluar dengan tenang. Tak guna lagi untuk bersoal jawab. “Jepang akan menembak orang preman (berpakaian sipil bukan militer. red penyusun) kalau kelihatan naik mobil diwaktu malam”, kata seorang pemuda sambil mengulurkan kepadaku sepasang uniform(seragam. red penyusun), pakailah ini”
“Bagaimana Ibu Fatmawati? Tanyaku.
“Tidak apa-apa, Anggota PETA biasa berjalan dengan keluarganya”, dijawabnya. Bagaimanapun juga, aku mengenakan pakaian seragam itu menutupi piyamaku.
Dua buah kendaraan berdiri dipinggir jalan. Dalam kendaraan yang depan duduk Hatta dengan wajah yang membayangkan perasaan jemu. Dalam kendaraan kedua lebih banyak tentara dan kaleng-kaleng makanan, cukup untuk beberapa hari. Setelah berada diluar kota, aku menanyakan tujuan kami, akan tetapi tak seorangpun menjawab. Perjalanan terhenti ketika mobil Fiat itu dihentikan dipinggir jalan, sementara Fatmawati menyusukan Guntur.
Di daerah yang telah direncanakan dimana tidak ada penjagaan Jepang, kami dipindah keatas truk dari garnizun PETA Jakarta. Truk tanpa penutup atas ataupun samping dan tidak bertempat duduk. Fatmawati dan Guntur duduk di sebelah supir, kami jongkok dibelakang bersama-sama dengan 20 prajurit. “Hanya Kendaraan Militer yang dapat mengangkut kita ketempat tujuan”, kata Sukarni.” “Di sepanjang jalan ini kendaraan lain akan menarik perhatian Jepang. Tapi dengan cara begini kita kelihatan seperti pasukan yang bergerak. Kalau kita distop, kita dapat menjawab bahwa kita sedang menuju pos lain”.
“Kenapa tidak ini saja dipakai dari permulaan?”, tanyaku (Sukarno).
“Tentu menyolok sekali, kalau membawa kendaraan pasukan ke sebuah rumah dalam kota, apalagi kerumah Bung Karno. Dan kita harus hati-hati, untuk menghindarkan patroli. Ada desas desus bahwa Jepang akan menangkapi para pemimpin kita”(Adams, 1966: 321-322).
Sedangkan di rumah Moh. Hatta terjadi juga “penjemputan”. Pada pagi hari saat Hatta akan bangun sahur, Sukarni dan kawan-kawannya sudah menunggu di luar dan ruangan tengah rumah. Sukarni menceritakan, karena Bung Karno tidak mau memproklamasikan kemerdekaan Indonesia tadi malam, pemuda sudah memutuskan untuk bertindak sendiri. Nanti menjelang pukul 12 tengah hari 15.000 rakyat akan menyerbu ke kota dan bersama-sama dengan mahasiswa dan Peta melucuti Jepang. Bung Karno dan Bung Hatta kami bawa ke Rengas Dengklok untuk meneruskan pimpinan pemerintahan Republik Indonesia dari sana. Hatta mencoba meyakinkan Sukarni bahwa yang direncanakan pemuda itu adalah suatu fantasi belaka dan akan terbentur pada realita. Sekalipun Jepang sudah menyerah, tentaranya di Jawa masih utuh. “Dengan menyerang kekuatan Jepang di Jakarta, saudara-saudara bukan melaksanakan revolusi, tetapi melakukan “Putsch” yang akan membunuh revolusi”. Sukarni menjawab: “Ini sudah menjadi keputusan kami semua dan tidak dapat dipersoalkan lagi. Bung ikut saja bersama Bung Karno pergi ke Rengas Dengklok”. Setelah meninggalkan beberapa pesan kepada adik Hatta dan dua orang kemenakan yang diam dirumah, Hatta ikut dengan mereka dalam sebuah oto (mobil) untuk menuju rumah Sukarno. Sukarno beserta Fatmawati dan Guntur yang baru berumur 9 bulan telah siap untuk berangkat. Begitulah beberapa oto yang dikawal oleh beberapa pemuda berangkat ke Rengas Dengklok, yang Hatta sendiri waktu itu belum tahu dimana letaknya (Tobing, 1986 : 214 - 215). 
Alasan Rengas Dengklok dipilih menjadi tempat pemuda melarikan Soekarno Hatta adalah: (1)Lokasi Rengas Dengklok dengan daerah Ujung Krawangnya merupakan daerah belakang sebelah Timur Jakarta, sehingga baik sekali dijadikan pangkalan mundur. (2) Tepat sebagai awal langkah penyerangan atau terobosan dengan jalan kaki ke Jakarta. (3) Rengas Dengklok dan Cimalaya sudah dalam posisi mengancam terhadap keberadaan Jepang di Cikampek. (4) Pos-pos Indonesia yang tersebar di Tanjung Pura, Krawang, Cimalaya, Sungai Batu, Cabangbungin, Pedes dan Rengas Dengklok, sewaktu-waktu terjadi pemberontakan, secara otomasi sudah siap. Dimana merupakan pos-pos yang dapat berfungsi sebagai alat propaganda yang menyebar ke seluruh rakyat sekeliling yang berjumlah lebih dari setengah juta. (5) Letaknya di pelosok yang agak jauh dari jalan raya Jakarta – Cikampek – Cirebon. (6) Di Rengas Dengklok ada Suyono Hadipranoto (Siegfried), kawan seperjuangan Sukarni, dr. Sucipto, dan Chaerul Saleh, baik di Indonesia Muda (IM), ataupun di Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI).(7) Letak Rengas Dengklok tidak jauh dari Jakarta kira-kira 85 Km (Hadi Soewito, 1993: 31-31) atau kira-kira 15 Km (Notosusanto, 1992 : 82). (8) Antara anggota Peta Daidan Purwakarta dan Daidan Jakarta terdapat hubungan erat sejak mereka mengadakan latihan bersama-sama (Notosusanto, 1992: 82).
Rengas Dengklok pun jadi saksi peristiwa penting di Negeri Ini, seperti yang di ceritakan oleh Soekarno dibawah ini:
Setelah hari mendekati jam sembilan pagi rombongan sampai di kota yang terpencil Rengas Dengklok dan kami turun tepat ditengah persawahan. Pasukan patroli mengamankan daerah sekitarnya itu, oleh karena itu kami berjalan dengan tenang. Di tengah sawah ada sebuah pondok bambu berbentuk rumah panggung, kami disuruh naik kepondok itu. Separoh  dari pengiring kami menjaga ditempat, sedang yang selebihnya mengadakan pengintaian. Lewat tengah hari tempat persebunyian itu dinyatakan tidak aman. Jadi kami dipindahkan untuk sementara ke masjid yang berdekatan. Ketika menerima tanda aman kami lalu dibariskan menyusuri sepanjang sungai kedaerah pinggir dari lingkungan asrama PETA, dimana berdiri sebuah rumah yang tidak begitu menarik jauh dari jalanan dan pekarangannya penuh dengan babi. Rumah itu kepunyaan seorang petani Tionghoa. Letnan yang bertugas melangkah masuk. Dalam beberapa menit pemiliknya beserta keluarganya yang terdiri dari tujuh orang, termasuk bayi dengan patuh keluar dengan alat tidurnya.
“Kemana mereka pergi?”, tanyaku
“Kerumah anaknya yang paling tua, tidak jauh dari sini”. Tadi pagi saya datangi anaknya yang kedua yang saya kenal”, letnan itu menerangkan, “ dan minta pinjam rumahnya selama tiga empat hari”. Saya katakan, “bahwa tamu-tamu penting akan datang dari Jakarta dan memerlukan tempat bermalan”. “Saya tidak menyebut nama Bung Karno”.
“Mengapa Justru rumah ini?”, Tanyaku.
“Inilah satu-satunya rumah dekat asrama yang cukup besar untuk menempatkan rombongan Bung Karno dan. . . . . . . “ dengan gerak kepalanya dia menunjuk kearah keluar. Aku mengikuti arah pandangnya, dan melihat selusin pemuda sedang berjaga-jaga. Semua memegang senapan dengan sangkur terhunus. Selusin pemuda yang menjaga jalanan.
Daerah yang kecil itu berada dalam keadaan perang, Letnan Umar menerangkan kepadaku.”Tanggal 14 (Agustus 1945 .red penyusun) saya menerima pesan dari Jakarta, bahwa pemberontakan akan dimulai hari ini, jadi saya mendatangi ketua gerakan pemuda. Saya sampaikan kepadanya, bahwa tanggal 15 malam kita akan menghadapi pekerjaan besar dan saya memerlukan pasukannya untuk membantu PETA. Karena itu seluruh kota sudah dimobilisir. Dan siap.”
Kami menunggu disana sepanjang hari. Mereka memperlakukan kami cukup baik. Bahkan mengirimkan susu untuk Guntur. Tidak ada tindakan kekerasan. Sesungguhnya tidak ada yang terjadi. Pun di Jakarta. Secara teratur kurir menyelundup pulang pergi. Setiap ada yang datang aku menanyakan “Bagaimana kabarnya? Apakah sudah dimulai pemberontakan besar?”  “Belum ada  berita dari Jakarta”, Gerutu mereka.
Jam enam di waktu Magrib, setelah kami selesai berbuka, Ahmad Subardjo datang dengan mobil Skoda buatan Tjeko yang sudah reot. “Saya datang untuk menjemput Bung Karno”, kata Ahmad Subardjo.
“Bagaimana ? Apa yang terjadi ?”, tanyaku.
“Tidak satupun yang terjadi. Tidak ada revolusi. Tidak satupun, selain dari setiap orang ribut bertanya-tanya di mana Bung Karno”, kata Ahmad Subardjo.
Dalam tempo lima belas menit kami telah mempunyai tiga kendaraan untuk kembali pulang. Kendaraan kami berjalan dengan perlahan. . . . .perlahan sekali. Oleh karena ketiga-tiganya sudah sangat tua (Adams, 1966: 322-325).
Peristiwa Rengas Dengklokpun diceritakan Moh. Hatta sebagai berikut:
Sebelum sampai di Kerawang terdapat simpang jalan yang menuju Rengas Dengklok. Oto (mobil) berhenti dan di sana kami disuruh pindah ke dalam sebuah pick up dengan alasan, bahwa oto sedan  terlalu besar untuk melalui jalan ke Rengas Dengklok. Apakah benar alasan itu ? Setelah beberapa lama melewati jalan ke Rengas Dengklok dengan pick up, nyatalah bagiku, bahwa Sukarni cs mengambil siasat ini, supaya sopir oto yang kami pakai mula-mula tidak tahu ke mana kami dibawa. Dari persimpangan jalan tadi mereka disuruh pulang ke Jakarta.
Sesampainya di Rengas dengklok kami dibawa ke sebuah asrama Peta, yang penghuninya tidak lebih dari 40-50 orang. Komandannya ialah seorang Cudanco dr. Sutjipto. Kami disuruh naik ke  sebuah ruangan, yang lantai papannya dialas dengan tikar pandan seluruhnya. Tidak ada sebuah kursi di dalamnya. Ruangan itu rupanya ruang tidur prajurit Peta. Tidak lama sesudah kami duduk bersila dalam ruangan itu, dibawa lagi masuk ke dalam rumah seorang Camat Rengas dengklok. Ia segera mengenal kami dan dengan suara keras ia bertanya: “Buat apa kita ini dibawa ke mari?”. Sukarno menjawab: “Kita disini ditawan karena pemuda mau mengadakan revolusi dan menggempur serta menangkapi Jepang yang ada di Jawa ini. Pemuda sudah mulai berani, sebab Jepang sudah menyerah kepada Sekutu”. Setelah kami kurang lebih satu jam duduk di sana, kami diberitahukan, bahwa sudah ada sebuah rumah tuan tanah Tionghoa yang dikosongkan untuk kami. Jauh nya kira-kira 300 m dari sana dan kami diminta pindah ke tempat lain. Tetapi Camat Rengas Dengklok yang ikut serta ditawan itu, ditawan di asrama Peta itu.
Sudah lebih dari dua jam kami beristirahat dirumah itu, belum juga kelihatan terjadi apa-apa. Kerja kami tak lain dari mengasuh dan memangku Guntur, Berganti-ganti. Ia ingin minum tetapi susu tidak ada. Susu kaleng yang dibawa dari Jakarta dibawa kembali oleh oto sedan yang kami tumpangi mula-mula. Waktu pindah ke pick up pemuda yang membawa kami ke Rengas Dengklok lupa memindahkan barang-barang yang dibawa Fatmawati. Waktu kami memangku Guntur berganti-ganti, aku mengalami suatu yang lucu. Selagi ia duduk di pangkuanku, Guntur kencing dan celanaku dibasahi dekat lutut. Sungguh pun ia  cepat-cepat kuturunkan ke lantai, kecelakaan sudah terjadi. Aku tidak dapat bersalin celana, karena sepotong pakaian pun tidak ada  yang kubawa dari Jakarta. Waktu kemenakanku di Jakarta mau menyediakan beberapa helai pakaian untuk dibawa, aku menolak karena dalam perasaan aku tidak lama meninggalkan Jakarta. Maka celana yang basah sebagian itu terpaksa kupakai terus sampai kering dengan sendirinya.
Kira-kira pukul 12.30 tengah hari aku minta tolong kepada pemuda yang menjaga di muka pintu halaman, supaya Sukarni diminta datang. “Siapa itu, Tuan?”-katanya - kuterangkan bahwa yang kumaksud ialah seorang dari pemuda yang mengantarkan kami ke rumah itu. Dan kukatakan bahwa ia memberitahukan saya di asrama Peta. Pemuda itu pergi.
Tak lama ia kembali dengan Sukarni, yang bertanya kepadaku: “Ada apa Bung?” Aku bertanya kepada dia, “apakah Revolusi yang akan bermula pukul 12 tengah hari sudah bermula? Apakah 15.000 rakyat yang akan menyerbu kedudukan Jepang bersama-sama mahasiswa dengan Peta sudah masuk ke kota? Sukarni mengatakan, ia belum dapat kabar. Kalau betul, kukatakan, Revolusimu sudah gagal. Buat apa kami beristirahat disini apabila di Jakarta tidak terjadi apa-apa?” Sukarni belum yakin, bahwa revolusi yang direncanakan itu sudah gagal. Apa yang sebenarnya terjadi dalam hatinya, aku tak tahu, tetapi ia sudah pergi meninggalkan kami.
Guntur sudah lama diam, karena ada seorang pemuda yang membawa susu kaleng untuk dia. Kami pun bercakap-cakap aja.
Kira-kira jam 3 Sore datang Sukarni memberitahukan, bahwa Sucokan Sutardjo (Residen Sutardjo) yang tiba di Rengas Dengklok dalam perjalanan memeriksa persediaan beras, sudah ia tangkap dan ditahan di asrama Peta. Ia bertanya apakah ia dibiarkan saja disana atau di bawa ketempat kami. Kami jawab, bawa saja ia ke sini, bersama dengan kami.
Tidak lama sesudah itu Sutardjo datang, diiringkan oleh Sukarni, dengan jalan menekur dan muka kusut. Setelah ia melihat kami, berubah air mukanya dan berseru dari jarak kira-kira 15 meter : “Eh Bung Karno dan Bung Hatta juga disini. Nyonya Fatmawati dan Guntur ikut serta ke mari?” Kami bersalam-salaman dan Sukarni terus meninggalkan kami. Muka Sutardjo yang kusut bermula, sudah mulai berseri-seri. Rupanya, katanya, sejak Jepang menyerah pemuda kita mulai berani. “Baik itu dan merekalah yang akan menggantikan kita memimpin rakyat”,  Sambil sedikit berolok-olok aku mengatakan pada Sutardjo; “Tahukah saudara, bahwa saudara ini berada dalam tahanan Peta, yang Daidanconya anak saudara sendri. Hanya markasnya jauh dari sini, di Purwakarta”.
ia Menjawab: “Ya itu aku tahu, tetapi aku gembira anak-anak kita mulai berani”. Sutardjo menceritakan bahwa ia sedang berkeliling memeriksa beras, Sesampainya di Rengas Dengklok ia ditahan oleh pemuda di bawah pimpinan Sukarni. Ia tidak mengetahui apa sebabnya.
Pada kira-kira pukul 6 Sukarni datang lagi, memberitahukan, bahwa Mr. Subardjo datang. Ia disuruh oleh Gunseikan untuk mengambil kami semua, membawa kembali ke Jakarta. “Apakah ia biar saja menunggu di luar atau dipersilakan datang ke mari”. Kami katakan, bawa saja dia kemari. Sukarni pergi dan kembali bersama-sama Subardjo. Subardjo mengatakan, bahwa di Jakarta biasa saja, tidak ada terjadi apa-apa. Dan terhadap Sukarni dikatakannya: ”Buat apa pemimpin-pemimpin kita berada disini, sedangkan bahwa hal yang harus dibereskan selekas-lekasnya di Jakarta”. Atas pernyataanku, apakah Panitia Persiapan Kemerdekaan jadi berapat tadi pagi, Mr. Subardjo menjawab: “Apa yang akan dikerjakan mereka. Saudara-saudara yang mengundang mereka rapat tidak ada, berada disini”. Untuk main-main saja  aku berkata: “Kalau untuk aku, aku lebih senang beristirahat disini sampai besok pagi. Besok pagi saja kita pulang. Semuanya sudah terlambat. Kerja yang seharusnya selesai tadi pagi, tidak jadi dikerjakan”.
Yang lebih dahulu memprotes ialah Fatmawati, “Kalau buat Bung, tidak apa-apa, tetapi bagaimana Guntur kalau kita mesti tinggal sampai besok pagi, susu sedikit yang diberikan untuk dia tadi sekarang sudah habis.Ayo Bung, kita pulang sekarang juga”.
Sukarni dan subardjo memperkuat pendapat Fatmawati dan aku tentu menurut(Tobing, 1986: 215-217).
Di Rengas Dengklok Soekarno dan Hatta ditempatkan di Rumah keluarga Tionghoa yang bernama I Song. Rumah tersebut cukup besar dengan akomodasi yang cukup baik bagi ukuran Dengklok. Kedatangan  mereka sangat mengagetkan, karena tidak biasa menerima tamu. Lagi pula beberapa pengawal yang bersenjata, ikut masuk rumah. Keluarga I Song tidak diperkenankan meninggalkan rumah dan dilarang memberitahukan kepada siapa pun ke pihak mana saja tentang kedatangan tamu-tamu tersebut (Soewito,1993:32-33).
Kepulangan ke Jakartapun di ceritakan Hatta:
Waktu berangkat pulang, Fatmawati dan Guntur menumpang mobil Sutardjo. Kami lainnya dalam oto Subardjo, Sukarni duduk di muka disebelah sopir, kami dibelakang dengan Sukarno di tengah-tengah. Setelah beberapa waktu berjalan kelihatan langit merah sebelah Barat tanda ada yang terbakar. Terus Sukarni berkata: Bung, rakyat sudah mulai berontak, membakari rumah orang Tionghoa. Lebih baik kita kembali ke Rengas Dengklok. Tunggu dulu, kata Sukarno. Baiklah kita periksa lebih lanjut. Mobil dihentikan dan sopir disuruh menengok. Tidak jauh ia pergi dan kembali dengan menyatakan: ”Itu hanya rakyat yang membakar jerami” Lalu perjalanan ke Jakarta diteruskan.
      Kami tiba di Jakarta kira-kria jam 8 malam. Sutardjo mengantarkan Fatmawati dan Guntur pulang dan sesudah itu ia pulang kerumahnya. Kami terus ke rumahku untuk mengatur cara bagaimana meneruskan rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, yang tidak jadi diadakan paginya (Tobing, 1986:217-218).
Soekarno juga menceritakan tentang kepulangan rombongan dari Rengas Dengklok ke Jakarta sebagai berikut:
Di tengah jalan salah satu ban meletus dan dia terpaksa berhenti memperbaikinya. Subardjo menceritakan yang terjadi di Jakarta. Jam sepuluh pagi seharusnya ada sidang dari Badan Persiapan Kemerdekaan guna membicarakan susunan kata-kata dari naskah Proklamasi. Ketika anggota mulai berkumpul, sedangkan Sukarno tidak kelihatan, maka seperti dihembus angin tersebarlah berita tentang penculikan. Orang saling bertanya. Wikana, salah seorang yang merencanakan penculikan, memberitahukan tempat persembunyian kepada Subardjo. Subardjo adalah orang perantara yang paling tepat, oleh karena ia mempunyai hubungan dengan golongan pemuda dan lagi pula ia kawan dari Sukarno. Selain dari itu ia bekerja sebagai penghubung dari Angkatan laut Jepang Atasannya, Laksamana Maeda, adalah orang yang bersimpati pada perjuangan kami. Melalui Subarjo Laksamana itu menawarkan rumahnya sebagai tempat yang aman dan terlindungi untuk menyusun naskah Proklamasi Kemerdekaan Republik yang sudah lama ditunggu-tunggu. “Kita sangat memerlukan perlindungannya”, Subardjo menerangkan, “Tentara Jepang mengancam setiap orang yang menyebarkan berita bahwa Jepang sudah menyerah dan bahwa kita akan merebut kekuasaan. Kenpeitai melakukan penangkapan dimana-mana. Jepang sudah kalap. Disiplinnya berantakan. Semua orang ketakutan”.
Banyak pemuda berkumpul di depan Pegangsaan Timur 56. Isteriku dengan bayinya langsung masuk kerumah. Setiba di rumah aku mendapat kabar bahwa Kenpeitai datang di pagi itu dan berulang-kali mendesak mertuaku, “Dimana Sukarno……… tidak mungkin tuan tidak tahu di mana menantu dan anak tuan…” Dan mertuaku tetap menjawab, “Saya tidak tahu. Saya tidak tahu apa apa. Saya lagi tidur sewaktu dia pergi”. Dengan ujung bayonet mereka mengirimnya kemarkas Kenpeitai (Adams, 1966: 325-326).

Penyusunan Teks Proklamasi
Sesampainya di Jakarta pada pukul 23.00 WIB rombongan menuju rumah Laksamana Maeda di Jalan Imam Bonjol No. 1 setelah Sukarno dan Hatta singgah di rumah masing-masing terlebih dahulu. Sebelumnya Sukarno dan Hatta telah menemui Somubuco, Mayor Jenderal Nishimura untuk menjajagi sikapnya mengenai Proklamasi Kemerdekaan. Yang menemani mereka adalah Laksamana Maeda bersama Shigetada Nishijima dan Tomegoro Yoshizumi serta Miyoshi sebagai penerjemah. Pada pertemuan tersebut tidak dicapai kata sepakat. Sukarno-Hatta bertekad untuk melangsungkan rapat PPKI, mereka menekankan kepada Nishimura bahwa Jenderal Besar Terauci telah menyerahkan pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia kepada PPKI.
Di lain pihak Nishimura menegaskan garis kebijaksanaan Panglima Tentara Keenambelas di Jawa, yakni bahwa dengan menyerahnya Jepang kepada Serikat berlaku ketentuan bahwa tentara Jepang tidak diperbolehkan lagi mengubah status quo. Sejak tengah hari sebelumnya tentara Jepang semata-mata sudah merupakan alat Serikat dan diharuskan tunduk kepada pemerintah Serikat. Berdasarkan garis kebijaksanaan itu Nishimura melarang Sukarno-Hatta untuk mengadakan rapat PPKI dalam rangka pelaksanaan Proklamasi kemerdekaan (Notosusanto, 1992:83).
Setelah pertemuan itu Sukarno dan Hatta kembali ke rumah Maeda. Rumah Laksamana Jepang itu dianggap tempat yang aman dari tindakan pemerintah militer yang di Jawa dipegang oleh Angkatan Darat. Kedudukan Maeda sebagai kepala Kantor Penghubung Angkatan Laut di daerah kekuasaan Angkatan Darat memungkinkannya berhubungan dengan Mr. Ahmad Subardjo dan sejumlah pemuda Indonesia yang bekerja pada kantornya. Berdasarkan hubungan baik itu rumah Maeda dijadikan tempat pertemuan antara pelbagai golongan Pergerakan Nasional baik golongan tua maupun golongan pemuda (Notosusanto, 1992: 84).
Di ruang makan rumah itu dirumuskanlah naskah Proklamasi kemerdekaan Indonesia. Maeda mengundurkan diri ke kamar tidurnya dilantai kedua. Miyoshi sebagai orang kepercayaan Nishimura bersama tiga tokoh pemuda yakni Sukarni, Mbah Diro dan B.M. Diah menyaksikan Ir. Sukarno, Drs. Moh. Hatta dan Mr. Ahmad Subardjo membahas perumusan naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Yang lain menunggu di serambi muka. Ir. Soekarnolah yang menuliskan konsep Proklamasi pada secarik kertas, sedangkan Drs. Moh. Hatta dan Mr. Ahmad Subardjo menyumbangkan pikiran secara lisan. Kalimat pertama merupakan saran Mr. Ahmad Subardjo yang diambil dari rumusan Dokuritsu Junbi Cosaksi. Sedangkan kalimat terakhir merupakan sumbangan pikiran Drs. Moh Hatta. Rumusan tersebut berbunyi:
Proklamasi
Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-2 jang mengenai pemindahan kekuasaan d.l.l., diselengarakan dengan tjara seksama dan dalam tempoh jang sesingkat-singkatnja.
Djakarta, 17-8-‘05
Wakil-2 bangsa Indonesia,
(Notosusanto, 1992: 84-85).
Soekarno menceritakan kondisi penulisan teks proklamasi tersebut sebagai berikut:
Tidaklah pernyataan ini dituliskan diatas perkamen dari emas. Kalimat-kalimat ini hanya digoreskan pada secarik kertas. Seseorang memberikan buku catatan bergaris-garis biru seperti yang dipakai pada buku tulis anak sekolah. Aku menyobeknya selembar dan dengan tanganku sendiri menuliskan kata-kata proklamasi sepanjang garis biru itu.
            Pun tidak kami melakukannya menurut tradisi dengan memakai pena bulu yang dicelupkan. Siapakah yang sempat memikirkan soal itu? Kami bahkan tidak menyimpan pena yang bersejarah yang menggoreskan kata-kata yang akan hidup untuk selama-lamanya. Aku tahu bahwa presiden-presiden dari Amerika Serikat membagi-bagikan pena-pena yang digunakannya untuk menanda tangani undang-undang penting; akan tetapi aku, yang dihadapkan pada detik besar bersejarah, bahkan tidak ingat dari mana datangnya pena yang kupakai. Kukira aku meminjamnya dari seseorang (Adams, 1966: 328-329).
Setelah kelompok yang menyendiri di ruangan makan itu selesai dengan merumuskan naskah Proklamasi maka kemudian mereka menuju ke serambi muka untuk menemui hadirin yang telah berkumpul Waktu saat itu menunjukkan pukul 04.00 WIB. Ir. Soekarno mulai membuka pertemuan menjelang subuh itu dengan membacakan rumusan naskah Proklamasi yang masih merupakan konsep (Notosusanto, 1992: 85).
Setelah konsep teks proklamasi ini selesai, maka dalam kenyataannya ada beberapa perkataan yang dicoret yaitu kata “pemindahan” diganti dengan “penyerahan”. Namun selanjutnya beberapa anggota yang tergabung dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia merasa keberatan memakai kata “Penyerahan”. Menurut mereka, kata-kata ini seakan-akan menggambarkan bahwa Jepang harus menyerahkan kemerdekaan kepada Indonesia. Sementara Jepang sendiri harus mempertahankan “Status quo”. Akhrinya kata-kata ini pun dirobah lagi dengan ”pemindahan”. Karena mempunyai arti yang tepat, yaitu selain tidak terkandung tindakan agresif, maupun dipaksakan, juga mempunyai arti lunak dengan menggeser sesuatu dari suatu tempat ke tempat lain tanpa kesulitan ataupun   kekerasan. Kata ”pemindahan” inilah yang akhirnya dipakai. Begitu pula halnya dengan perkataan “dioesahakan”. Kata-kata ini seakan-akan mengandung pengertian bahwa ada orang lain yang mengusahakan, yaitu usaha Jepang kepada Indonesia. Menurut para peminpin Indonesia hal ini kurang tepat karena Jepang waktu itu tidak mempunyai kekuatan apa pun. Oleh karena itu kata-kata ini diganti dengan ”diselenggarakan” yang berarti bahwa kemerdekaan ini diselenggarakan sendiri oleh bangsa Indonesia (Djamaluddin, 1992: 53-56).
Kepada mereka yang hadir Ir. Sukarno menyarakan agar bersama-sama menandatangani naskah Proklamasi selaku wakil-wakil bangsa Indonesia. Saran itu diperkuat oleh Drs. Moh. Hatta dengan mengambil contoh kepada naskah “Declaration of Independence” Amerika Serikat. Usul itu ditentang oleh pihak pemuda yang tidak setuju kalau tokoh golongan tua yang disebut sebagai “budak-budak Jepang” turut menandatangani naskah Poroklamasi. Tetapi kemudian salah seorang tokoh pemuda, yakni Sukarni mengusulkan agar supaya yang menandatangi naskah Proklamasi cukup dua orang saja, yakni Sukarno-Hatta atas nama bangsa Indonesia. Bukankah mereka berdua yang pada masa  itu dimana-mana dikenal sebagi pemimpin utama bangsa Indonesia?  Usul ini disetujui para tokoh yang datang ( Notosusanto, 1992: 85).
 Setelah merobah beberapa kata dalam konsep proklamasi tersebut, Bung Karno yang didampingi Bung Hatta dan Pak Soebardjo membacakan sekali lagi teks yang sudah menjalani perobahan itu. Setelah disetujui semua anggota, maka Bung Karno memanggil seorang pemuda yang kebetulan lewat di depannya untuk mengetik. Yang lewat itu adalah Sayuti Melik. “Ti,Ti, tik ini”, ujar Bung Karno. B.M. Diah yang sejak semula bernaluri wartawan, ikut serta bersama Sayuti Melik ke kamar sebelah. Setelah selesai mengetik, kertas Proklamasi asli yang hanya diletakkan saja di atas meja sewaktu Sayuti Melik menyerahkan teks yang diketik kepada Bung Karno di simpan B.M. Diah dalam saku.  Setelah ditik lalu diserahkan kembali kepada Bung Karno dan Bung Hatta. Kedua pemimpin bangsa itu pun lalu membubuhi tandatangannya atas nama bangsa Indonesia. (Djamaluddin, 1992: 53-56).
Ada tiga perubahan yang terdapat pada naskah bersih itu, yakni:
1.      “tempoh” diganti menjadi “tempo”.
2.      “wakil-wakil bangsa Indonesia” diganti dengan “Atas nama Bangsa Indonesia”.
3.      “Djakarta, 17-8-05” diganti ”Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen ‘05”.
Jadi ketikan tersebut berbunyi:
PROKLAMASI
Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan Kemerdekaan Indonesia.
Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l. diselenggarakan dengan tjara seksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnya.
                                                Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen ‘05
                                                      Atas nama bangsa Indonesia
                                                           
                                                            Soekarno/Hatta

                                                      (tanda tangan Soekarno)
                                                      (tanda tangan Hatta).
(Notosusanto, 1992: 86).
Tentang tempat pembacaan. Sukarni melaporkan bahwa Lapangan Ikada telah dipersiapkan bagi berkumpulnya masyarakat Jakarta untuk mendengar pembacaan Naskah Proklamasi. Ir. Sukarno tidak setuju karena sangat riskan terjadi bentrokan. Karena itu ia mengusulkan supaya upacara Proklamasi dilakukan dirumahnya di Jalan Pengangsaan Timur No. 56 saja. Usul itu disetujui (Notosusanto, 1992:86-87).

Pembacaan Teks Proklamasi
Pada pukul 05.00 (waktu Jawa pada jaman Jepang), para pimpinan dan pemuda keluar dari ruangan rumah Laksamana Maeda, mereka pulang kerumah masing-masing dan mempersiapkan proklamasi kemerdekaan.  Sebelum pulang Bung Hatta berpesan kepada para pemuda yang bekerja pada pers dan kantor berita terutama B.M. Diah untuk memperbanyak teks Proklamasi dan menyiarkannya ke seluruh dunia (Notosusanto, 1992: 89).
Pagi itu tanggal 17 Agustus, di asrama segera diadakan rapat untuk menetapkan langkah-langkah selanjutnya yang perlu diambil sehubungan dengan akan dilakukannya proklamasi yang akan diumumkan Bung Karno pada pukul 10.00 pagi tanggal 17 Agustus 1945. Rapat antara lain mengambil keputusan sebagai berikut:
1.      Di samping pembacaan Proklamasi di Pegangsaan Timur 56, di Asrama Prapatan 10 akan diadakan juga proklamasi itu yang berfungsi sebagai duplo/cadangan pengganti jika di Pegangsaan Timur 56 terjadi apa-apa, misalnya diserbu kempeitai, maka masyarakat mengetahui, bahwa proklamasi kemerdekaan bangsa dan tanah air sudah dilakukan.
2.      Mengirimkan pasukan mahasiswa ke Pegangsaan Timur untuk menjaga keamanan jalannya upacara proklamasi.
3.      Sesudah terjadinya proklamasi mahasiswa diperintahkan menyebar ke seluruh kota untuk menyebarluaskan isi teks proklamasi yang telah dibacakan secara resmi oleh Bung Karno, dimana Soekarno Hatta mewakili bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaan Republik Indonesia.
4.      Mengirimkan empat orang mahasiswa ke Hoosyokoku (gedung radio) di Merdeka Barat supaya teks proklamasi diusahakan disiarkan melalui radio.
5.      Mengundang golongan pemuda untuk berkumpul pada sore harinya sesudah buka puasa di Asrama Prapatan 10 untuk bersama-sama merundingkan langkah-langkah apa saja yang perlu diambil untuk mengisi dan melaksanakan tugas-tugas setelah adanya proklamasi kemerdekaan Indonesia.
6.      Para mahasiswa masing-masing diharuskan memilih tugas apa yang diingininya guna membantu terlaksanannya pengambilalihan pemerintahan dan sebagainya. Supaya selalu disiplin dan siap menerima komando yang diberikan oleh pimpinan.
7.      Memperketat penjagaan asrama untuk menghadapi segala macam kemungkinan, diantaranya pemerintah Jepang yang diperkirakan memusuhi proklamasi ini (Soedewo dkk, 1984: 81-82).
Pada pagi hari itu juga rumah Ir. Soekarno dipadati oleh sejumlah massa pemuda yang berbaris secara teratur dan tertib. Untuk menjaga keamanan upacara pembacaan Proklamasi, dr. Muwardi meminta kepada Cudanco Latief Hendraningrat untuk menugaskan beberapa orang anak buahnya berjaga-jaga disekitar rumah Ir. Soekarno. Permintaan ini di penuhi oleh Cudanco Latief dan beberapa orang prajurit Peta berjaga-jaga disekitar jalan kereta api yang membujur ke belakang rumah itu. Disamping itu di ksatrian mereka di Jaga monyet telah disiagakan pasukan yang dipimpin oleh Syodanco Arifin Abdurrahman. Sementara itu persiapan di Pegangsaan Timur sendiri cukup sibuk. Wakil Walikota Suwiryo memerintahkan kepada Mr. Wilopo untuk mempersiapkan peralatan yang diperlukan, yaitu mikrofon dan beberapa pengeras suara. Mr. Wilopo dan Nyonoprawoto pergi ke rumah Gunawan pemilik toko radio Satria di Salemba Tengah 24, untuk meminjam mikrofon dan pengeras suara. Gunawan mengijinkan dan mengirimkan seorang pemuda kepercayaannya untuk melayani penggunaannya. Sedangkan Sudiro (sekertaris Ir. Soekarno) memerintahkan kepada S. Suhud komandan Pengawal Rumah Ir. Soekarno, untuk menyiapkan satu tiang bendera. Karena situasi yang tegang Suhud tidak ingat bahwa di depan rumah masih ada dua tiang besi yang tidak di gunakan.
Ia tidak ingat sama sekali untuk memindahkan salah satu tiang itu. Malahan ia mencari sebatang bambu yang berada di belakang rumah. Bambu itu dibersihkan dan diberi tali, lalu ditanam beberapa langkah saja dari teras. Bendera yang dijahit dengan tangan yang akan dikibarkan, sudah disiapkan oleh ibu Fatmawati Sukarno. Bentuk dan ukuran bendera itu tidak standar, karena kainnya berukuran tidak sempurna (Notosusanto, 1992:90-91).
Adapun acara yang ditentukan dalam upacara itu, diatur sebagai berikut:
1.      Pembacaan Proklamasi.
2.      Pengibaran bendera Merah Putih.
3.      Sambutan Walikota Suwirjo dan Muwardi.
Para pemuda sudah tidak sabar, mereka mendesak dr. Muwardi agar segera mengingatkan Ir. Soekarno bahwa hari telah siang. Karena desakan mereka, dr. Muwardi memberanikan diri untuk mengetuk pintu kamar Ir. Sukarno. Setelah dibukakan pintu, ia menyampaikan keinginan para pemuda. Bung Karno menolak desakan para pemuda itu. Ia menyatakan bahwa ia tidak mungkin melakukannya sendiri tanpa hadirnya Drs. Moh. Hatta. Ia harus menunggu hadirnya Hatta. Dr Muwardi masih mendesak dan menyatakan bahwa hal itu lebih baik dikerjakan oleh Ir. Soekarno sendiri saja tanpa kehadiran Bung Hatta. Karena naskah Proklamasi toh sudah ditandatangani berdua. Karena didesak juga, Ir Soekarno menjawab dengan nada marah: “Saya tidak akan membacakan Proklamasi kalau Hatta tidak ada. Kalau Mas Muwardi tidak mau menunggu silahkan membaca Proklamasi sendiri”. Justru pada saat itu dari halaman luar terdengar suara berseru “Bung Hatta datang”. Lima menit sebelum acara di mulai, Hatta datang. Ia berpakaian putih-putih dan langsung menuju kekamar Soekarno. Sambil menyambut kedatangan Hatta, Soekarno bangkit dari tempat tidurnya dan langsung berpakaian. Juga ia mengenakan stelan putih-putih (Notosusanto, 1992: 92).
            Tepat pada waktunya, tanggal 17 Agustus 1945 setelah para pemuda, sejumlah Barisan Pelopor dan undangan hadir di halaman Pegangsaan Timur 56, tampillah Suwirjo di depan corong radio dan mengucapkan pidato. Isinya, selain mengucap terima kasih atas kedatangan segenap hadirin, juga menegaskan apa perlunya mereka pagi itu berkumpul disitu. Yaitu untuk mendengarkan dan menyaksikan Proklamasi Kemerdekaan (Panitia Peringatan 70 Tahun Wilopo, 1979: 410).
            Beberapa menit sebelum pukul 10.00WIB, Cudanco Latief Hendraningrat mengetuk pintu kamar Ir. Soekarno, dan setelah dibukakan pintu bertanya: “ Apakah bung Karno sudah siap?”. Kedua pemimpin itu mengangguk, lalu keluar bersama-sama menuju tempat yang tersedia, diiringi oleh Nyonya Fatmawati Soekarno. Upacara berlangsung tanpa protokol. Segera Latief memberi aba-aba kepada seluruh barisan pemuda, yang telah menunggu sejak pagi. Semua berdiri tegak dengan sikap sempurna. Latief mempersilahkan Ir. Soekarno, Soekarno dan Hatta maju beberapa langkah dari tempatnya semula. Soekarno mendekati mikrofon. Dengan suara yang mantap dan jelas ia mengucapkan pidato pendahuluan yang singkat sebelum membacakan teks Proklamasi Kemerdekaan:
   “Saudara-saudara sekalian! Saya telah minta saudara hadir di sini untuk menyaksikan suatu peristiwa maha penting dalam sejarah kita.
Berpuluh-puluh tahun kita bangsa Indonesia telah berjuang untuk kemerdekaan tanah air kita. Bahkan telah beratus-ratus tahun.
Gelombangnya aksi kita untuk mencapai kemerdekaan kita itu ada naiknya ada turunnya, tetapi jiwa kita tetap menuju ke arah cita-cita. Juga di dalam jaman Jepang, usaha kita untuk mencapai kemerdekaan nasional tidak berhenti. Di dalam Jaman Jepang ini tampaknya saja kita menyandarkan diri kepada mereka, Tetapi pada hakekatnya, tetap kita menyusun tenaga kita sendri, tetap kita percaya kepada kekuatan sendiri. Sekarang tibalah saatnya kita benar-benar mengambil nasib bangsa dan nasib tanah air kita di dalam tangan kita sendri. Hanya bangsa yang berani mengambil nasib dalam tangan sendiri, akan dapat berdiri dengan kuatnya. Maka kami, tadi malam telah mengadakan musyawarat dengan pemuka-pemuka rakyat Indonesia dari seluruh Indonesia, Permusyawaratan itu seia-sekata berpendapat, bahwa sekaranglah datang saatnya untuk menyatakan kemerdekaan kita.
Saudara-saudara!
Dengan ini kami menyatakan kebulatan tekad itu. Dengarkanlah Proklamasi kami:
PROKLAMASI
               Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan Kemerdekaan Indonesia.
Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan dan lain-lain, di selenggarakan dengan tjara seksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnya.
 Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05
Atas nama bangsa Indonesia
Soekarno / Hatta
(tanda tangan Soekarno)
(tanda tangan Hatta)
Demikianlah saudara-saudara!
Kita sekarang telah merdeka. Tidak ada satu ikatan lagi yang mengikat tanah air kita dan bangsa kita! Mulai saat ini kita menyusun Negara kita! Negara Merdeka, Negara Republik Indonesia merdeka, kekal dan abadi. Insya’ Allah, Tuhan memberkati kemerdekan kita itu”.
Tepat pada saat pengucapan proklamasi itu pengeras suara yang dipakai rusak. Hal ini mungkin disebabkan kabel-kabel rusak, terinjak-injak oleh massa. Acara selanjutnya dengan pengibaran bendera Merah Putih. Soekarno dan Hatta maju beberapa langkah menuruni anak tangga terakhir dari serambi muka, lebih kurang dua meter di depan tiang. S. Suhud mengambil bendera dari atas baki yang telah disediakan, dan mengikatnya pada tali dengan bantuan Cudanco Latief. Bendera dinaikkan perlahan-lahan. Tanpa ada yang memimpin, para hadirin spontan menyanyikan lagu  Indonesia Raya. Bendera dikerek dengan lambat sekali untuk menyesuaikan iramanya dengan lagu Indonesia Raya yang cukup panjang (Notosusanto, 1992: 92-94). Selesai itu terdengar anggota PETA dikamar kerja Soekarno berteriak melalui telpon, “Ia, Sudah selesai!”(Adams, 1966: 333).
Seusai pengerekan bendera diteruskan dengan sambutan dari Walikota Suwirjo dan dr. Muwardi. Seusai upacara, kemudian mereka saling bertukar fikiran sebentar, lalu masing-masing meninggalkan tempat (Notosusanto, 1992: 94).

DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Adams, Cindy. 1966. BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA. Jakarta: Gunung Agung.
Djamaluddin, Dasman. 1992. BUTIR-BUTIR PADI B.M. DIAH (Tokoh Sejarah yang Menghayati Zaman). Jakarta: Pustaka Merdeka
Djohan, Bahder.1980. BAHDER DJOHAN PENGABDIAN KEMANUSIAAN. Jakarta: PT. Gunung Agung.
Hanafi, A.M. 1996. MENTENG 31 Markas Pemuda Revolusi Angkatan 45 Membangun Jembatan Dua Angkatan. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Kahin, George Mc Turnan. 1995. NASIONALISME DAN REVOLUSI DI INDONESIA. Jakarta/ Surakarta: Kerjasama Penerbit UNS Press dan Pustaka Sinar Harapan.
Malik, Adam. 1978. MENGABDI REPUBLIK Jilid II: Angkatan 45. Jakarta: Gunung Agung.
Martosewojo, soejono., Eri Soedewo dan kawan-kawan, 1984. MAHASISWA ’45 PRAPATAN – 10 : PENGABDIANNYA 1. Bandung: Patma.
Notosusanto, Nugroho dan Marwati Djoened Poesponegoro. 1992. SEJARAH NASIONAL INDONESIA VI. Jakarta: Balai Pustaka.
Panitia Peringatan 70 Tahun Wilopo. 1979. WILOPO 70 TAHUN. Jakarta: Gunung Agung.
Suprapto, Bibit. 1985. PERKEMBANGAN KABINET DAN PEMERINTAHAN DI INDONESIA. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Soebagijo I.N., 1985. HARSONO TJOKROAMINOTO MENGIKUTI JEJAK PERJUANGAN SANG AYAH. Jakarta: PT Gunung Agung.
___________ . 1979. WILOPO 70 TAHUN. Jakarta: Gunung Agung.
Soewito, Irna H.N. Hadi. 1993. CHAIRUL SALEH TOKOH KONTROVERSIAL. Jakarta: PT. Mutiara Rachmat.
Tobing, K.M.L.  1986. PERJUANGAN POLITIK BANGSA INDONESIA. Jakarta: P.T. Gunung Agung.

Majalah:
Edisi Khusus 100 Tahun Sjahrir,TEMPO, Edisi 9 – 15 Maret 2009, SUTAN SJAHRIR PERAN  BESAR BUNG KECIL.