PERISTIWA
SEKITAR PROKLAMASI KEMERDEKAAN INDONESIA
Disusun oleh
Topan Dwiono Purbaya
Pendidik di SMA
Negeri 1 Kutasari
Berita Kekalahan Jepang
Didengar Oleh Pemuda dan Gerakan Pemuda Untuk Mendesak Proklamasi
Desas-desus bahwa Jepang harus atau
akan mengadakan kapitulasi dengan
Sekutu memacu aksi beberapa organisasi bawah tanah yang telah bersepakat untuk
bangkit melawan Jepang bila Sekutu mendarat. Bahkan pada tanggal 10 Agustus
1945, setelah mendengar siaran radio (yang kebetulan tidak disegel oleh
pemerintah militer Jepang), bahwa Jepang sudah memutuskan untuk menyerah,
Syahrir mendesak Hatta agar bersama Soekarno, untuk segera memproklamirkan
kemerdekaan Indonesia, dan menyakinkan bahwa Hatta bisa mengharapkan dukungan
dari para gerilyawan dan banyak unit Peta (Kahin,1995: 170). Pada tanggal 14
Agustus 1945, kira-kira pukul 10 pagi kelompok pemuda mengadakan pertemuan di
Kebun Binatang yang waktu itu disebut Garden
Hall di ruang billiard. Kemudian dengan penuh rasa tanggungjawab, para
pemuda tersebut telah mengambil keputusan penting yakni: pemuda siap berjuang sampai titik
darah penghabisan, persatuan total dari semua unsur dalam masyarakat, dan siap
menjalani latihan secara intensif
untuk membela tanah air. Ketika pihak Jepang datang untuk membubarkan mereka,
Chairul Saleh menyuruh Nasrun, yang baru selesai berpidato segera lari,
menghindari penangkapan (Hadi Soewito, 1993: 28-29).
Tanggal 14 Agustus 1945, pada sore
hari kira-kira pukul tiga, beberapa Pemuda Radikal
berkumpul disebuah pekarangan yang banyak pohon pisangnya, tidak jauh dari
lapangan terbang kemayoran. Mereka adalah Chaerul Saleh, Asmara Hadi, A.M.
Hanafi, Sudiro, S.K. Trimurti dan Sajuti Melok. Dengan dipelopori Chaerul
Saleh, pemuda berkumpul disitu, menantikan kembalinya Bung Karno dan Bung Hatta
dari Saigon. Begitu kapal terbang sudah mendarat, pemuda sudah bersiap-siap
mencari kesempatan agar bisa mendekati Bung Karno. Ketika orang-orang Jepang
mulai pergi, Bung Karno dan Bung Hatta menuju ke mobilnya, para pemudapun
bergegas mendekatinya. “Selamat datang
kembali Bung Karno, Bung Hatta. Kami semua menunggu oleh-oleh yang Bung-Bung
bawa dari Saigon”, kata Chaerul Saleh, orang pertama yang menyalami kedua
pemimpin Indonesia tersebut. “Pokoknya,
kemerdekaan sudah dekat. Kita semua harus siap”, kata Bung Karno. Para
pemuda mengikuti ucapan Soekarno dengan
cermat. “Tapi kami tidak mau kemerdekaan
hadiah”. “Kami tak mau janji-janji Jepang itu”, kata Chaerul Saleh. Oleh
karena itu para pemuda mendesak :”Proklamirkan
kemerdekaan bangsa kita sekarang juga! Jepang sudah kalah, Jepang sudah dibom!
Jenderal Terauchi tentu tidak bilang itu ke pada Bung Karno”. Mendengar
kata-kata Chaerul Saleh ini, Bung Karno agak terhenyak. “Kita tidak bisa membicarakan soal itu disini, lihat itu , Kempetai mengawasi
kita. Bubarlah! Nanti kita bicara lagi”, ujar Soekarno, lalu ia masuk ke
dalam mobil dimana Bung Hatta sudah duduk. Kemudian mobil pun pergi. Chaerul
sudah minta supaya semua sel-sel organisasi pemuda di kumpulkan untuk berapat
lagi malam itu juga (Hanafi, 1996: 15-17).
Pada tanggal 14 Agustus 1945 itu juga, Sjahrir
memberitahukan Soekarno dan Hatta bahwa Jepang sudah meminta diadakannya
gencatan senjata dan sekali lagi berusaha mendesak mereka memproklamirkan
kemerdekaan. Soekarno dan Hatta yang belum
begitu yakin bahwa Jepang telah menyerah, merasa bahwa para gerilyawan belum
lagi mampu menghimpun kekuatan untuk mengalahkan Jepang, dan khawatir bila hal
ini mengakibatkan pertumpahan darah yang sia-sia (Kahin,1995: 170).
Namun demikian, dengan keyakinan Sjahrir bahwa Soekarno
bersedia untuk segera memproklamirkan kemerdekaan, maka deklarasi kemerdekaan berisi kata-kata sangat anti Jepang yang
telah disiapkan Sjahrir dan kawan-kawannya, segera mengorganisir para
gerilyawan dan pelajar Jakarta untuk mengadakan demonstrasi umum dan kerusuhan-kerusuhan militer.
Tembusan dan deklarasi
kemerdekaan mereka yang anti Jepang itu sudah dikirim kesemua pelosok pulau
Jawa untuk segera diterbikan begitu Soekarno memproklamirkan kemerdekaan yang
diharapkan bakal terlaksana pada tanggal 15 Agustus 1945. Setelah
persiapan-persiapan mulai dilakukan, menjadi jelas bahwa Soekarno dan Hatta
tidak bersedia memproklamirkan kemerdekaan pada tanggal 15 Agustus 1945.
Sjahrir tidak dapat menghubungi semua pemimpin organisasinya pada waktu yang
tepat untuk memberitahukan pembatalan ini. Revolusi satu-satunya telah meletus
di Cirebon pada tanggal 15 Agustus 1945
dibawah Dr. Sudarsono, tetapi dipadamkan Jepang (Kahin,1995: 170-171).
Revolusi
di Cirebon terkisah sebagai berikut: begitu Jepang kalah perang, Sjahrir ingin kemerdekaan Indonesia di
kumandangkan secepatnya, Proklamasi Cirebon dibacakan lebih cepat. Tugu
berwarna putih dengan ujung lancip menyerupai pensil berdiri tegak di tengah jalan di dekat
alun-alun kejaksaan, Cirebon. Tugu yang sama dengan tinggi sekitar tiga meter,
menancap di halaman Kepolisian Sektor Waled di kota yang sama. Di tugu itu,
pada tanggal 15 Agustus 1945, dokter Soedarsono membacakan teks proklamasi.
Saat Soedarsono membacakan teks proklamasi, sekitar 150 orang memenuhi
alun-alun kejaksaan. Sebagian besar anggota Partai Nasional Indonesia
Pendidikan. Soedarsono sendiri adalah tokoh gerakan bawah tanah pimpinan
Sjahrir di Cirebon. Setalah siaran radio BBC pada 14 Agustus 1945 mewartakan
kekalahan Jepang oleh Sekutu, Sjahrir berambisi menyiarkan kemerdekaan tanah
air secepatnya. Sjahrir menunggu Bung Karno dan Bung Hatta untuk menandatangai
teks porklamasi sebelum 15 Agustus 1945, Sjahrir khawatir proklamasi yang muncul selewat
tanggal itu dianggap bagian dari diskusi pertemuan antara Soekarno, Hatta dan
Marsekal Terauchi di Saigon. Ternyata harapannya tidak tercapai. Sayang jejak
teks proklamasi yang dibacakan Soedarsono tak berbekas. Tak ada yang memiliki
dokumennya. Des Alwi (anak angkat Sjahrir) mengingat sebaris teks proklamasi
versi kelompok gerakan bawah tanah: “Kami
bangsa Indonesia dengan ini memproklamirkan kemerdekaan Indonesia karena kami
tak mau dijajah dengan siapa pun juga”. Berdasarkan Rudolf Mrazek, Sjahrir
mengatakan teks proklamasinya diketik sepanjang 300 kata. Teks itu bukan
berarti anti Jepang atau anti Belanda. “Pada dasarnya menggambarkan penderitaan
rakyat di bawah pemerintahan Jepang dan rakyat Indonesia tidak mau diserahkan
ke tangan pemerintahan kolonial lain”. Terdapat versi lain tentang penyusunan
teks proklamasi versi Cirebon. Menurut Maroeto Nitimihardjo, lewat kesaksian
anaknya, Hadidjojo Nitimihardjo, Soedarsono tak pernah menerima teks proklamasi
yang disusun Sjahrir. Maroeto adalah salah satu pendiri PNI Pendidikan. Informasi
diperoleh Maroeto ketika bertemu dengan Soedarsono di desa Parapatan, sebelah
barat Palimanan, selang satu hari sebelum teks di bacakan di Cirebon.
Soedarsono mengira Maroeto membawakan teks Proklamasi dari Sjahrir. “Saya sudah bersepeda 60 kilometer hanya
untuk mendengar, Sjahrir tidak berbuat apa-apa. Katakan kepada Sjahrir saya akan membuat proklamasi di Cirebon,” ungkap
Hadidjojo (dikutip dari TEMPO Edisi Khusus 100 Tahun Sjahrir, Edisi 9-15 Maret
2009, SUTAN SJAHRIR PERAN BESAR BUNG KECIL, CIREBON MERDEKA LEBIH DULU, hal
42).
Di Jakarta, pada sore hari tanggal 15
Agustus 1945 datang ke rumah Moh. Hatta dua orang pemuda. Soebadio Sastrosatomo
dan Soebianto. Keduanya mengatakan “Jepang
sudah menyerah kepada Sekutu”. Mereka mendesak bantuan Hatta, supaya kemerdekaan Indonesia jangan dinyatakan oleh
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, yang terkenal sebagai buatan Jepang,
tetapi oleh Sukarno sendiri sebagai pemimpin rakyat atas nama rakyat,
diucapkan dengan perantaraan corong
radio dan ditujukan ke seluruh Dunia. Hatta mengatakan kepada mereka, “bahwa Jepang dengan perantaraan Marsekal
Terauchi di Dalat telah mengakui kemerdekaan Indonesia yang pelaksanaannya akan
diselenggarakan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia besok pagi jam 10
di Pejambon”. “Itu harus di halangi”,
kata mereka (pemuda) dengan suara yang lantang. “Bung Karno sendiri harus mengucapkannya di muka corong radio atas nama
rakyat Indonesia”. Hatta menerangkan apa sebab Sukarno tidak bisa dan tidak
mau merampas hak Panitia Persiapan Kemerdekaan. Ditegaskan, pula bahwa “hal ini sama saja kalau pernyataan
kemerdekaan itu diucapkan oleh sukarno sebagai Ketua PPKI, yang sejak semula
bekerja sama dengan Jepang dan oleh Belanda dituduh sebagai penghkhianat”.
Lebih dari setengah jam terjadi pertengkaran, masing-masing mencoba meyakinkan
yang lain tetapi tidak berhasil keduanya menegaskan pendirian mereka yang disebut revolusioner. Hatta mempertahankan pendirian yang rasionil, yang tidak menghabiskan tenaga
dengan percuma. Karena dua pemuda tidak dapat menyakinkan Hatta, mereka pergi
mengatakan: ”Di saat revolusi kami
rupanya tidak dapat membawa Bung serta, Bung tidak revolusioner”. Hatta
tersenyum dan menjawab , “bahwa aku juga
ingin mengadakan revolusi dan mengadakan organisasinya dulu. Tindakan yang akan
engkau adakan itu bukalah revolusi tapi “Putsch”, seperti yang dilakukan dahulu
di Munchen tahun 1923 oleh Hitler, tetapi gagal”. Mendengar itu dua pemuda
ini malahan lebih marah dan terus pergi dengan mengucapkan perkataan:”Bung Hatta tidak bisa diharapkan untuk
revolusi” (Tobing, 1986 :212).
Pada tanggal 15 Agustus 1945. Sehabis
berbuka puasa, para pemuda mahasiswa mengadakan pertemuan rahasia di kebun
Jarak, belakang Laboratorium Bakteriologi, Pegangsaan Timur 16 (di
buku SNI VI karya Nugroho Notosusanto cuma dijelaskan di jalan Pegangsaan
Timur, sedangkan di buku karya A.M. Hanafi berjudul MENTENG 31 MEMBANGUN
JEMBATAN DUA ANGKATAN disebutkan di Kebon Jarak di Eykman Instituut itupun terjadi tanggal 14 Agustus 1945, selain itu
pada buku MAHASISWA AGKATAN ’45 PRAPATAN 10 : PENGABDIANNYA 1 karya Eri Soedewo
dijelaskan rapat dilakukan di halaman belakang Instituut Koningin Wilhelmina di Pengangsaan Timur 17). Yang hadir
ialah Darwis, Johar Nur, Subadio Sastrosatomo, Subianto, Margono, Aidit,
Sunyoto, Abubakar Lubis, Eri Sudewo, Wahidin, Karimudin, Suroto Kunto,
Pardjono, kemudian disusul oleh Wikana dan Armansyah ( Pada buku karya A.M.
Hanafi berjudul MENTENG 31 MEMBANGUN JEMBATAN DUA ANGKATAN terdapat juga tokoh
pemuda antara lain: Pardjono, A.M. Hanafi, Djohar Nur, dan Yusuf Kunto). Pertemuan ini dipimpin Chairul Saleh untuk merundingkan, bagaimana menghadapi
situasi, terutama dalam menghadapi Soekarno – Hatta (Hadi Soewito, 1993:
31-31). Kehadiran Yusuf Kunto dalam rapat dipandang sangat penting karena
sebagai orang BEPANG (mata-mata
Jepang), penjelasannya kepada pemuda bahwa Jepang memang sudah bertekuk lutut,
bisa sangat dipercaya dan meyakinkan (Hanafi, 1996: 21).
Akhirnya diputuskan bahwa: (1) Bung Karno dan Bung Hatta harus didesak
untuk mau memproklamasikan kemerdekaan pada hari itu juga. (2) Wikana dan soebadio (Pada buku CHAIRUL
SALEH TOKOH KONTROVERSIAL karya Dra. Irna H.N. Hadi Soewito dan SNI VI karya Nugroho Notosusanto
dinyatakan bahwa wakil pemuda adalah Wikana bersama Darwis) ditentukan sebagai utusan yang akan mendesak
bung Karno supaya menyatakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan jangan sampai
dinyatakan atas nama PPKI (Panitia Penyelidik Kemerdekaan Indonesia). (3) Pembagian tugas yang tegas antara
mahasiswa dan pemuda. (4) Diadakan persiapan-persiapan untuk
merebut kekuasaan dari tangan Jepang dan sementara diadakan pos-pos komando.
Perebutan kekuasaan dan senjata akan diadakan malam hari sesudah proklamasi
diumumkan (Soedewo dkk, 1984: 64). (5) Kemerdekaan Indonesia adalah hak dan
soal rakyat Indonesia sendiri, tidak tergantung kepada siapa pun dan kerajaan
manapun. Untuk menyatakan bahwa Indonesia sudah sanggup merdeka, harus
dinyatakan dengan jalan proklamasi (Soewito, 1993:29).
Mengapa Bung Karno dan Bung Hatta harus didesak pemuda,
karena pada sore hari itu Soebianto dan Soebadio, sebelum ke tempat berkumpul
ini mengatakan mereka telah mendatangi Bung Hatta di mana ketika itu ada
Sjahrir. Mereka berdua ini baru saja kembali dari Bung Karno mengusahakan
supaya Bung Karno mau menyatakan sendiri kemerdekaan Indonesia Indoneisa dan
tidak melalui PPKI. Soebadio dan Soebianto menyatakan, bahwa Bung Karno
menolak, karena sudah ditetapkan oleh Bung Hatta bahwa besok pagi tanggal 16
Agustus 1945 akan diadakan rapat Panitia untuk menentukan soal kemerdekaan
Indonesia – seperti yang sudah dijelaskan
pada alinea sebelumnya (Soedewo dkk, 1984: 64-65).
Setelah keputusan diambil maka
berangkatlah Wikana dimana Subadio dan Yusuf kunto turut serta sebagai anggota
utusan. Aidit juga ikut, memboncengkan Wikana dengan sepeda (Hanafi, 1996: 21).
Setelah kedua wakil pemuda itu berangkat ke Pengangsaan Timur 56, maka Chaerul
Saleh pun pergi ke Menteng 31. Disana ia menemui Sukarni dan beberapa perwira
Peta, serta kelompok pemuda (Soewito, 1993: 29). Sebelum ke Menteng 31 Chaerul
telah berunding dengan Sukarni dan beberapa perwira Peta, apa yang akan
dilaksanakan apabila Sukarno-Hatta menolak desakan pemuda, untuk
memproklamasikan kemerdekaan Indonesia (Soewito, 1993: 30).
Ketika
tiba di rumah Bung Karno di Pegangsaan Timur 56, disitu sudah ada Bung Hatta,
Mr. Subardjo, Mr. Iwa Kusumasumantri, Joyopranoto dan Dr. buntaran. Sebagai
juru bicara utusan, Wikana segera menjelaskan kepada Bung Karno maksud
kedatangan mereka. Seusai mendengarnya, Bung Karno meminta diberikan waktu
sebentar guna meminta pertimbangan tokoh-tokoh yang hadir ketika itu. Kemudian
beliau meminta Bung Hatta menjelaskan kepada utusan. Jawaban mereka, yang pada
pokoknya meminta penangguhan waktu pernyataan Proklamasi yaitu menunggu sampai
ada pemberitahuan resmi tentang bertekuk
lututnya Jepang dan setelah mendengar pertimbangan Gunseikanbu. Jawaban Bung
Hatta: “Saya juga pernah muda. Juga
pernah berkepala panas dan berhati panas. Setelah tua, hati panas dulu itu
tetap saja panas hanya saja dikawal oleh kepala dingin. Karena itu kami tidak
setuju kalau pemuda-pemuda yang memproklamasikan kemerdekaan, kecuali jika
saudara-saudara memang sudah siap. Boleh coba! Saya ingin melihat kesanggupan
saudara-saudara”.
Wikana menjawab: “Kami
tidak bertanggung-jawab terhadap apapun yang bakal terjadi, jika besok siang
proklamasi belum juga diumumkan. Sedangkan kami para pemuda akan menunjukkan
kesanggupan kami sebagaimana yang saudara kehendaki itu” (Hanafi, 1996:
21-23). Mendengar ancaman itu Ir. Soekarno menjadi marah dan melontarkan
kata-kata yang bunyinya kurang lebih sebagai berikut: “Inilah leherku, Saudara boleh membunuh saya sekarang juga. Saya tidak
bisa melepaskan tanggung jawab saya sebagai ketua PPKI. Karena itu saya
tanyakan kepada wakil-wakil PPKI besok”(Notosusanto, 1992: 80).
Wikana rupanya terperanjat melihat sambutan Sukarno yang
tidak disangkanya, lalu berkata: “Maksud
kami bukan membunuh Bung, melainkan kami mau mmperingatkan, apabila kemerdekaan
Indonesia tidak dinyatakan malam ini juga, besok rakyat akan bertindak dan
membunuh orang-orang yang dicurigai, yang dianggap pro Belanda”(Tobing,
1986:213). Berhubungan dengan suasana yang begitu panas, supaya diadakan
istirahat barang 15 menit, Hatta mengajak Sukarno, Subardjo dan dr. Buntaran
mengundurkan diri sebentar ke dalam tengah rumah. Pada pembicaraan tokoh tua
berempat diperoleh kata sepakat bahwa apabila pemuda bersikap keras untuk
memproklamasikan Indonesia Merdeka pada malam itu juga, lebih baik mereka
mencari seorang pemimpin sebagai penyokong revolusi. Kemudian setelah itu rapat
dengan pemuda dimulai lagi di serambi muka, pendapat kesepakatan tadi
dikemukakan sebagai putusan yang terakhir bagi Sukarno. Perundingan seketika
macet, karena pemuda tidak mau mengambil jalan lain. Lalu rapat diputuskan
bubar saja. Sukarno mengundurkan diri ke dalam dan yang lain pulang kerumah
masing-masing. Hatta diantar oleh Subardjo pulang dengan mobilnya (Tobing,
1986:214).
Menjelang sahur sekitar pukul 01.30 dini
hari, utusan pemuda meninggalkan rumah Bung Karno setelah disusul oleh Darwis
dan Djohar Nur, karena merasa bahwa perundingan telah berlangsung terlalu lama
(Hanafi, 1996: 21-23).
Hari
sudah larut malam. Sebagaimana telah disepakati, Wikana bersama Darwis
melaporkan hasil pertemuannya dengan Sukarno – Hatta kepada kawan-kawan yang
sudah menunggu di Cikini 71. Di ruang belakang Baperpi, ada Chaerul Saleh, dr.
Muwardi, Johar Nur, beberapa pemuda serta para penghuni rumah pondokan
tersebut. Enggan, lesu dan murung, kedua utusan itu melaporkan kegagalan yang
mereka alami. Ternyata Sukarno – Hatta tidak dapat diyakinkan dengan gertakan
Wikana. Dalam suasana yang tegang itu, Johar Nur dengan tegas nyeletuk “angkat saja!”. Namun ia tidak tahu bagaimana melaksanakannya. Sebelum
pertemuan di Cikini 71 mengambil keputusan, datanglah Sukarni dan dengan cara
berbisik-bisik . Ini ciri khasnya Sukarni dalam menyampaikan sesuatu kepada
Chairul. Di jalanan, di depan rumah pondokan, Singgih menunggu di dalam mobil (Soewito, 1993: 29-30). Bersama Chairul
Saleh mereka telah bersepakat untuk melaksanakan keputusan rapat pada waktu
itu, yaitu antara lain “Menyingkirkan Ir.
Sukarno dan Drs. Moh. Hatta ke luar kota dengan tujuan untuk menjauhkan mereka
dari segala pengaruh Jepang”. Guna menghindari kecurigaan dan tindakan
Jepang, Shodanco Singgih mendapat kepercayaan untuk melaksanakan rencana
tersebut (Notosusanto, 1992:81). Pertemuan tersebut kemudian bubar dan mereka
kembali ke kelompok masing-masing (Soewito, 1993: 30).
Peristiwa Pengamanan Soekarno
Hatta Ke Rengas Dengklok
Kira-kira pukul 4 dini hari, selagi
para pemuda bergerak menyebar ke pelosok kota dan pinggiran Jakarta untuk
mempersiapkan rakyat menyambut Proklamasi, sebuah mobil membawa Chairul ke
rumah Winoto Danuasmoro di jalan Pekalongan untuk meminjam mobil Fiat. Kemudian mengantarkan dr. Muwardi
ke Pegangsaan Timur 56, untuk membangunkan Bung Karno. Sukarni, Singgih dan
Jusuf Kunto melanjutkan perjalanan ke Oranye
Boulevard (sekarang Jl. Diponegoro), rumah Bung Hatta (Soewito, 1993: 30).
Malam itu di rumah Bung Karno, dr. Muwardi enggan
membangunkan Soekarno. Setelah Chaerul dan Winoto Danuasmoro datang, barulah
dr. Muwardi menjalankan tugas. Kepada Bung Karno juga dilaporkan bahwa keadaan
sudah memuncak genting! Keamanan di Jakarta tak bisa ditanggung lagi, oleh
karena itu Bung Karno harus segera berangkat ke luar kota! (Soewito, 1993: 31).
Kejadian pra peristiwa Rengas Dengklok digambarkan
Soekarno sebagai berikut:
Jam 3 Pagi aku masih bangun. Aku tidak
bisa tidur dan duduk dikamar makan seorang diri, makan sahur. Keadaan dalam
rumah sunyi sepi. Semua orang tidur. Kamar makan kami langsung menghadap
kepekarangan dan pintunya terbuka sedikit. Terdengarlah sayup suara mendesir
dari balik semak dan serombongan pemuda berpakaian seragam masuk dengan
diam-diam. Sukarni (Dalam buku CHAIRUL SALEH TOKOH KONTROVERSIAL karya Dra.
Irna N.H. Hadi Soewito menyatakan yang menjemput Soekarno adalah dr. Muwardi,
Sukarni bertugas menjemput Moh Hatta) pakai pistol dan sebilah pisau panjang.
Dia mencabut pisaunya, “Berpakaianlah
Bung. . . . . sudah tiba saatnya”. “
Ia, kataku marah , sudah tiba
saatnya untuk dibunuh! Jika aku yang memimpin pemberontakanmu ini dan gagal,
aku kehilangan kepala, engkaupun juga…….begitu pun yang lain. Anak buah mati
ada gantinya, tapi pemimpin? Kalau aku mati, coba siapa pikirmu yang akan
memimpin rakyat, bila datang waktunya yang tepat?”. Menantanglah pemuda lain sambil
mengayunkan pedangnya, “ Oleh karena itu
kami akan melarikan Bung keluar kota ditengah malam buta ini. Sudah kami
putuskan untuk membawa Bung ketempat yang aman”. “Aaaachh”, aku menghembuskan napas, “ Tindakanmu salah, salah sama sekali. Tidakkah engkau dapat mengerti
bahwa permainanmu ini akan menemui kegagalan? Aku tahu bagaimana kecintaamu
terhadap tanah air. Kuhargai semangatmu yang berkobar-kobar itu. Tapi hanya itu
yang kau miliki. Engkau harus bijaksana dan bekerja dengan kepala dingin. “Sekarang ini saatnya”, lagi-lagi mereka menyuarakan dengan tidak
sabar, “sekarang ! Sekarang! Selagi
Jepang sedang patah semangat”. “Sekarang
mereka dalam putus asa. Sekaranglah saatnya kita angkat senjata” (Adams,
1966: 319-320).
Peristiwa Penculikanpun berlangsung seperti yang
diceritakan Soekarno:
Dimalam buta sesaat sebelum fajar aku
masuk kedalam kamar untuk menemui Fatmawati. Dia duduk diatas tempat tidur
menggendong Guntur yang masih bayi dipangkuannya. Ia sudah lebih dulu terbangun
oleh suara gaduh ketika kusampaikan kepadanya supaya berpakaian dan dengan
cepat mengisi tas, Fatmawati tidak bertanya apa-apa. Dengan tenang,
dilakukannya apa yang telah kukatakan. Kami berdua keluar dengan tenang. Tak
guna lagi untuk bersoal jawab. “Jepang
akan menembak orang preman (berpakaian sipil bukan militer. red penyusun) kalau kelihatan naik mobil diwaktu malam”, kata
seorang pemuda sambil mengulurkan kepadaku sepasang uniform(seragam. red penyusun), pakailah
ini”
“Bagaimana Ibu Fatmawati? Tanyaku.
“Tidak apa-apa, Anggota PETA biasa berjalan dengan keluarganya”, dijawabnya. Bagaimanapun juga, aku
mengenakan pakaian seragam itu menutupi piyamaku.
Dua buah kendaraan berdiri dipinggir
jalan. Dalam kendaraan yang depan duduk Hatta dengan wajah yang membayangkan
perasaan jemu. Dalam kendaraan kedua lebih banyak tentara dan kaleng-kaleng
makanan, cukup untuk beberapa hari. Setelah berada diluar kota, aku menanyakan
tujuan kami, akan tetapi tak seorangpun menjawab. Perjalanan terhenti ketika
mobil Fiat itu dihentikan dipinggir
jalan, sementara Fatmawati menyusukan Guntur.
Di daerah yang telah direncanakan dimana
tidak ada penjagaan Jepang, kami dipindah keatas truk dari garnizun PETA Jakarta. Truk tanpa penutup atas ataupun samping dan
tidak bertempat duduk. Fatmawati dan Guntur duduk di sebelah supir, kami
jongkok dibelakang bersama-sama dengan 20 prajurit. “Hanya Kendaraan Militer yang dapat mengangkut kita ketempat tujuan”,
kata Sukarni.” “Di sepanjang jalan ini
kendaraan lain akan menarik perhatian Jepang. Tapi dengan cara begini kita
kelihatan seperti pasukan yang bergerak. Kalau kita distop, kita dapat menjawab
bahwa kita sedang menuju pos lain”.
“Kenapa tidak ini saja dipakai dari permulaan?”, tanyaku (Sukarno).
“Tentu menyolok sekali, kalau membawa kendaraan pasukan ke sebuah rumah
dalam kota, apalagi kerumah Bung Karno. Dan kita harus hati-hati, untuk menghindarkan
patroli. Ada desas desus bahwa Jepang akan menangkapi para pemimpin kita”(Adams, 1966: 321-322).
Sedangkan di rumah Moh. Hatta terjadi juga “penjemputan”.
Pada pagi hari saat Hatta akan bangun sahur, Sukarni dan kawan-kawannya sudah
menunggu di luar dan ruangan tengah rumah. Sukarni menceritakan, karena Bung
Karno tidak mau memproklamasikan kemerdekaan Indonesia tadi malam, pemuda sudah
memutuskan untuk bertindak sendiri. Nanti menjelang pukul 12 tengah hari 15.000
rakyat akan menyerbu ke kota dan bersama-sama dengan mahasiswa dan Peta
melucuti Jepang. Bung Karno dan Bung Hatta kami bawa ke Rengas Dengklok untuk
meneruskan pimpinan pemerintahan Republik Indonesia dari sana. Hatta mencoba
meyakinkan Sukarni bahwa yang direncanakan pemuda itu adalah suatu fantasi belaka dan akan terbentur pada realita. Sekalipun Jepang sudah
menyerah, tentaranya di Jawa masih utuh. “Dengan
menyerang kekuatan Jepang di Jakarta, saudara-saudara bukan melaksanakan
revolusi, tetapi melakukan “Putsch” yang akan membunuh revolusi”. Sukarni
menjawab: “Ini sudah menjadi keputusan
kami semua dan tidak dapat dipersoalkan lagi. Bung ikut saja bersama Bung Karno
pergi ke Rengas Dengklok”. Setelah meninggalkan beberapa pesan kepada adik
Hatta dan dua orang kemenakan yang diam dirumah, Hatta ikut dengan mereka dalam
sebuah oto (mobil) untuk menuju rumah
Sukarno. Sukarno beserta Fatmawati dan Guntur yang baru berumur 9 bulan telah
siap untuk berangkat. Begitulah beberapa oto
yang dikawal oleh beberapa pemuda berangkat ke Rengas Dengklok, yang Hatta
sendiri waktu itu belum tahu dimana letaknya (Tobing, 1986 : 214 - 215).
Alasan Rengas Dengklok dipilih menjadi tempat pemuda
melarikan Soekarno Hatta adalah: (1)Lokasi Rengas Dengklok dengan daerah
Ujung Krawangnya merupakan daerah belakang sebelah Timur Jakarta, sehingga baik
sekali dijadikan pangkalan mundur. (2) Tepat sebagai awal langkah penyerangan
atau terobosan dengan jalan kaki ke Jakarta. (3) Rengas Dengklok dan Cimalaya sudah
dalam posisi mengancam terhadap keberadaan Jepang di Cikampek. (4) Pos-pos Indonesia yang tersebar di
Tanjung Pura, Krawang, Cimalaya, Sungai Batu, Cabangbungin, Pedes dan Rengas
Dengklok, sewaktu-waktu terjadi pemberontakan, secara otomasi sudah siap.
Dimana merupakan pos-pos yang dapat berfungsi sebagai alat propaganda yang
menyebar ke seluruh rakyat sekeliling yang berjumlah lebih dari setengah juta. (5) Letaknya di pelosok yang agak jauh
dari jalan raya Jakarta – Cikampek – Cirebon. (6) Di Rengas Dengklok ada Suyono
Hadipranoto (Siegfried), kawan seperjuangan Sukarni, dr. Sucipto, dan Chaerul
Saleh, baik di Indonesia Muda (IM), ataupun di Perhimpunan Pelajar-Pelajar
Indonesia (PPPI).(7) Letak Rengas Dengklok tidak jauh dari
Jakarta kira-kira 85 Km (Hadi Soewito, 1993: 31-31) atau kira-kira 15 Km
(Notosusanto, 1992 : 82). (8) Antara anggota Peta Daidan Purwakarta
dan Daidan Jakarta terdapat hubungan erat sejak mereka mengadakan latihan
bersama-sama (Notosusanto, 1992: 82).
Rengas Dengklok pun jadi saksi peristiwa penting di
Negeri Ini, seperti yang di ceritakan oleh Soekarno dibawah ini:
Setelah hari mendekati jam sembilan
pagi rombongan sampai di kota yang terpencil Rengas Dengklok dan kami turun
tepat ditengah persawahan. Pasukan patroli mengamankan daerah sekitarnya itu,
oleh karena itu kami berjalan dengan tenang. Di tengah sawah ada sebuah pondok
bambu berbentuk rumah panggung, kami disuruh naik kepondok itu. Separoh dari pengiring kami menjaga ditempat, sedang
yang selebihnya mengadakan pengintaian. Lewat tengah hari tempat persebunyian
itu dinyatakan tidak aman. Jadi kami dipindahkan untuk sementara ke masjid yang
berdekatan. Ketika menerima tanda aman kami lalu dibariskan menyusuri sepanjang
sungai kedaerah pinggir dari lingkungan asrama PETA, dimana berdiri sebuah
rumah yang tidak begitu menarik jauh dari jalanan dan pekarangannya penuh
dengan babi. Rumah itu kepunyaan seorang petani Tionghoa. Letnan yang bertugas
melangkah masuk. Dalam beberapa menit pemiliknya beserta keluarganya yang
terdiri dari tujuh orang, termasuk bayi dengan patuh keluar dengan alat
tidurnya.
“Kemana mereka pergi?”, tanyaku
“Kerumah anaknya yang paling tua, tidak jauh dari sini”. Tadi pagi saya
datangi anaknya yang kedua yang saya kenal”, letnan itu menerangkan, “ dan minta pinjam rumahnya
selama tiga empat hari”. Saya katakan,
“bahwa tamu-tamu penting akan datang dari Jakarta dan memerlukan tempat
bermalan”. “Saya tidak menyebut nama Bung Karno”.
“Mengapa Justru rumah ini?”, Tanyaku.
“Inilah satu-satunya rumah dekat asrama yang cukup besar untuk
menempatkan rombongan Bung Karno dan. . . . . . . “ dengan gerak kepalanya dia menunjuk
kearah keluar. Aku mengikuti arah pandangnya, dan melihat selusin pemuda sedang
berjaga-jaga. Semua memegang senapan dengan sangkur terhunus. Selusin pemuda
yang menjaga jalanan.
Daerah yang kecil itu berada dalam
keadaan perang, Letnan Umar menerangkan kepadaku.”Tanggal 14 (Agustus 1945 .red penyusun) saya menerima pesan dari
Jakarta, bahwa pemberontakan akan dimulai hari ini, jadi saya mendatangi ketua
gerakan pemuda. Saya sampaikan kepadanya, bahwa tanggal 15 malam kita akan menghadapi
pekerjaan besar dan saya memerlukan pasukannya untuk membantu PETA. Karena itu
seluruh kota sudah dimobilisir. Dan siap.”
Kami menunggu disana sepanjang hari.
Mereka memperlakukan kami cukup baik. Bahkan mengirimkan susu untuk Guntur.
Tidak ada tindakan kekerasan. Sesungguhnya tidak ada yang terjadi. Pun di
Jakarta. Secara teratur kurir menyelundup pulang pergi. Setiap ada yang datang
aku menanyakan “Bagaimana kabarnya?
Apakah sudah dimulai pemberontakan besar?” “Belum
ada berita dari Jakarta”, Gerutu
mereka.
Jam enam di waktu Magrib, setelah kami
selesai berbuka, Ahmad Subardjo datang dengan mobil Skoda buatan Tjeko yang sudah reot. “Saya datang untuk menjemput Bung Karno”, kata Ahmad Subardjo.
“Bagaimana ? Apa yang terjadi ?”, tanyaku.
“Tidak satupun yang terjadi. Tidak ada revolusi. Tidak satupun, selain
dari setiap orang ribut bertanya-tanya di mana Bung Karno”, kata Ahmad Subardjo.
Dalam tempo lima belas menit kami
telah mempunyai tiga kendaraan untuk kembali pulang. Kendaraan kami berjalan dengan
perlahan. . . . .perlahan sekali. Oleh karena ketiga-tiganya sudah sangat tua
(Adams, 1966: 322-325).
Peristiwa Rengas Dengklokpun diceritakan Moh. Hatta
sebagai berikut:
Sebelum sampai di
Kerawang terdapat simpang jalan yang menuju Rengas Dengklok. Oto (mobil)
berhenti dan di sana kami disuruh pindah ke dalam sebuah pick up dengan alasan, bahwa oto sedan terlalu besar untuk melalui jalan ke Rengas
Dengklok. Apakah benar alasan itu ? Setelah beberapa lama melewati jalan ke
Rengas Dengklok dengan pick up,
nyatalah bagiku, bahwa Sukarni cs mengambil siasat ini, supaya sopir oto yang
kami pakai mula-mula tidak tahu ke mana kami dibawa. Dari persimpangan jalan
tadi mereka disuruh pulang ke Jakarta.
Sesampainya di Rengas
dengklok kami dibawa ke sebuah asrama Peta, yang penghuninya tidak lebih dari
40-50 orang. Komandannya ialah seorang Cudanco dr. Sutjipto. Kami disuruh naik
ke sebuah ruangan, yang lantai papannya
dialas dengan tikar pandan seluruhnya. Tidak ada sebuah kursi di dalamnya.
Ruangan itu rupanya ruang tidur prajurit Peta. Tidak lama sesudah kami duduk
bersila dalam ruangan itu, dibawa lagi masuk ke dalam rumah seorang Camat
Rengas dengklok. Ia segera mengenal kami dan dengan suara keras ia bertanya: “Buat apa kita ini dibawa ke mari?”.
Sukarno menjawab: “Kita disini ditawan
karena pemuda mau mengadakan revolusi dan menggempur serta menangkapi Jepang
yang ada di Jawa ini. Pemuda sudah mulai berani, sebab Jepang sudah menyerah
kepada Sekutu”. Setelah kami kurang lebih satu jam duduk di sana, kami diberitahukan,
bahwa sudah ada sebuah rumah tuan tanah Tionghoa yang dikosongkan untuk kami.
Jauh nya kira-kira 300 m dari sana dan kami diminta pindah ke tempat lain.
Tetapi Camat Rengas Dengklok yang ikut serta ditawan itu, ditawan di asrama
Peta itu.
Sudah lebih dari dua jam
kami beristirahat dirumah itu, belum juga kelihatan terjadi apa-apa. Kerja kami
tak lain dari mengasuh dan memangku Guntur, Berganti-ganti. Ia ingin minum
tetapi susu tidak ada. Susu kaleng yang dibawa dari Jakarta dibawa kembali oleh
oto sedan yang kami tumpangi mula-mula. Waktu pindah ke pick up pemuda yang membawa kami ke Rengas Dengklok lupa
memindahkan barang-barang yang dibawa Fatmawati. Waktu kami memangku Guntur
berganti-ganti, aku mengalami suatu yang lucu. Selagi ia duduk di pangkuanku,
Guntur kencing dan celanaku dibasahi dekat lutut. Sungguh pun ia cepat-cepat kuturunkan ke lantai, kecelakaan
sudah terjadi. Aku tidak dapat bersalin celana, karena sepotong pakaian pun
tidak ada yang kubawa dari Jakarta.
Waktu kemenakanku di Jakarta mau menyediakan beberapa helai pakaian untuk
dibawa, aku menolak karena dalam perasaan aku tidak lama meninggalkan Jakarta.
Maka celana yang basah sebagian itu terpaksa kupakai terus sampai kering dengan
sendirinya.
Kira-kira pukul 12.30
tengah hari aku minta tolong kepada pemuda yang menjaga di muka pintu halaman,
supaya Sukarni diminta datang. “Siapa
itu, Tuan?”-katanya - kuterangkan bahwa yang kumaksud ialah seorang dari
pemuda yang mengantarkan kami ke rumah itu. Dan kukatakan bahwa ia memberitahukan
saya di asrama Peta. Pemuda itu pergi.
Tak lama ia kembali
dengan Sukarni, yang bertanya kepadaku: “Ada
apa Bung?” Aku bertanya kepada dia, “apakah
Revolusi yang akan bermula pukul 12 tengah hari sudah bermula? Apakah 15.000
rakyat yang akan menyerbu kedudukan Jepang bersama-sama mahasiswa dengan Peta
sudah masuk ke kota? Sukarni mengatakan, ia belum dapat kabar. Kalau betul,
kukatakan, Revolusimu sudah gagal. Buat apa kami beristirahat disini apabila di
Jakarta tidak terjadi apa-apa?” Sukarni belum yakin, bahwa revolusi yang
direncanakan itu sudah gagal. Apa yang sebenarnya terjadi dalam hatinya, aku
tak tahu, tetapi ia sudah pergi meninggalkan kami.
Guntur sudah lama diam,
karena ada seorang pemuda yang membawa susu kaleng untuk dia. Kami pun bercakap-cakap
aja.
Kira-kira jam 3 Sore
datang Sukarni memberitahukan, bahwa Sucokan Sutardjo (Residen Sutardjo) yang
tiba di Rengas Dengklok dalam perjalanan memeriksa persediaan beras, sudah ia
tangkap dan ditahan di asrama Peta. Ia bertanya apakah ia dibiarkan saja disana
atau di bawa ketempat kami. Kami jawab, bawa saja ia ke sini, bersama dengan
kami.
Tidak lama sesudah itu
Sutardjo datang, diiringkan oleh Sukarni, dengan jalan menekur dan muka kusut.
Setelah ia melihat kami, berubah air mukanya dan berseru dari jarak kira-kira
15 meter : “Eh Bung Karno dan Bung Hatta
juga disini. Nyonya Fatmawati dan Guntur ikut serta ke mari?” Kami
bersalam-salaman dan Sukarni terus meninggalkan kami. Muka Sutardjo yang kusut
bermula, sudah mulai berseri-seri. Rupanya, katanya, sejak Jepang menyerah
pemuda kita mulai berani. “Baik itu dan
merekalah yang akan menggantikan kita memimpin rakyat”, Sambil sedikit berolok-olok aku mengatakan
pada Sutardjo; “Tahukah saudara, bahwa
saudara ini berada dalam tahanan Peta, yang Daidanconya anak saudara sendri.
Hanya markasnya jauh dari sini, di Purwakarta”.
ia Menjawab: “Ya itu aku tahu, tetapi aku gembira anak-anak kita mulai berani”.
Sutardjo menceritakan bahwa ia sedang berkeliling memeriksa beras, Sesampainya
di Rengas Dengklok ia ditahan oleh pemuda di bawah pimpinan Sukarni. Ia tidak
mengetahui apa sebabnya.
Pada kira-kira pukul 6
Sukarni datang lagi, memberitahukan, bahwa Mr. Subardjo datang. Ia disuruh oleh
Gunseikan untuk mengambil kami semua,
membawa kembali ke Jakarta. “Apakah ia
biar saja menunggu di luar atau dipersilakan datang ke mari”. Kami katakan,
bawa saja dia kemari. Sukarni pergi dan kembali bersama-sama Subardjo. Subardjo
mengatakan, bahwa di Jakarta biasa saja, tidak ada terjadi apa-apa. Dan
terhadap Sukarni dikatakannya: ”Buat apa
pemimpin-pemimpin kita berada disini, sedangkan bahwa hal yang harus dibereskan
selekas-lekasnya di Jakarta”. Atas pernyataanku, apakah Panitia Persiapan
Kemerdekaan jadi berapat tadi pagi, Mr. Subardjo menjawab: “Apa yang akan dikerjakan mereka. Saudara-saudara yang mengundang
mereka rapat tidak ada, berada disini”. Untuk main-main saja aku berkata: “Kalau untuk aku, aku lebih senang beristirahat disini sampai besok
pagi. Besok pagi saja kita pulang. Semuanya sudah terlambat. Kerja yang
seharusnya selesai tadi pagi, tidak jadi dikerjakan”.
Yang lebih dahulu
memprotes ialah Fatmawati, “Kalau buat
Bung, tidak apa-apa, tetapi bagaimana Guntur kalau kita mesti tinggal sampai
besok pagi, susu sedikit yang diberikan untuk dia tadi sekarang sudah habis.Ayo
Bung, kita pulang sekarang juga”.
Sukarni dan subardjo
memperkuat pendapat Fatmawati dan aku tentu menurut(Tobing, 1986: 215-217).
Di Rengas Dengklok Soekarno dan Hatta ditempatkan di
Rumah keluarga Tionghoa yang bernama I Song. Rumah tersebut cukup besar dengan
akomodasi yang cukup baik bagi ukuran Dengklok. Kedatangan mereka sangat mengagetkan, karena tidak biasa
menerima tamu. Lagi pula beberapa pengawal yang bersenjata, ikut masuk rumah.
Keluarga I Song tidak diperkenankan meninggalkan rumah dan dilarang
memberitahukan kepada siapa pun ke pihak mana saja tentang kedatangan tamu-tamu
tersebut (Soewito,1993:32-33).
Kepulangan ke Jakartapun di ceritakan Hatta:
Waktu berangkat pulang,
Fatmawati dan Guntur menumpang mobil Sutardjo. Kami lainnya dalam oto Subardjo,
Sukarni duduk di muka disebelah sopir, kami dibelakang dengan Sukarno di
tengah-tengah. Setelah beberapa waktu berjalan kelihatan langit merah sebelah
Barat tanda ada yang terbakar. Terus Sukarni berkata: Bung, rakyat sudah mulai berontak,
membakari rumah orang Tionghoa. Lebih
baik kita kembali ke Rengas Dengklok. Tunggu dulu, kata Sukarno. Baiklah kita
periksa lebih lanjut. Mobil dihentikan dan sopir disuruh menengok. Tidak jauh
ia pergi dan kembali dengan menyatakan: ”Itu
hanya rakyat yang membakar jerami” Lalu perjalanan ke Jakarta diteruskan.
Kami tiba di Jakarta kira-kria jam 8 malam. Sutardjo
mengantarkan Fatmawati dan Guntur pulang dan sesudah itu ia pulang kerumahnya.
Kami terus ke rumahku untuk mengatur cara bagaimana meneruskan rapat Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia, yang tidak jadi diadakan paginya (Tobing,
1986:217-218).
Soekarno juga menceritakan tentang kepulangan rombongan
dari Rengas Dengklok ke Jakarta sebagai berikut:
Di tengah jalan salah satu ban meletus
dan dia terpaksa berhenti memperbaikinya. Subardjo menceritakan yang terjadi di
Jakarta. Jam sepuluh pagi seharusnya ada sidang dari Badan Persiapan
Kemerdekaan guna membicarakan susunan kata-kata dari naskah Proklamasi. Ketika
anggota mulai berkumpul, sedangkan Sukarno tidak kelihatan, maka seperti
dihembus angin tersebarlah berita tentang penculikan. Orang saling bertanya.
Wikana, salah seorang yang merencanakan penculikan, memberitahukan tempat
persembunyian kepada Subardjo. Subardjo adalah orang perantara yang paling
tepat, oleh karena ia mempunyai hubungan dengan golongan pemuda dan lagi pula
ia kawan dari Sukarno. Selain dari itu ia bekerja sebagai penghubung dari
Angkatan laut Jepang Atasannya, Laksamana Maeda, adalah orang yang bersimpati
pada perjuangan kami. Melalui Subarjo Laksamana itu menawarkan rumahnya sebagai
tempat yang aman dan terlindungi untuk menyusun naskah Proklamasi Kemerdekaan
Republik yang sudah lama ditunggu-tunggu. “Kita
sangat memerlukan perlindungannya”, Subardjo menerangkan, “Tentara Jepang mengancam setiap orang yang
menyebarkan berita bahwa Jepang sudah menyerah dan bahwa kita akan merebut
kekuasaan. Kenpeitai melakukan penangkapan dimana-mana. Jepang sudah kalap.
Disiplinnya berantakan. Semua orang ketakutan”.
Banyak pemuda berkumpul di depan
Pegangsaan Timur 56. Isteriku dengan bayinya langsung masuk kerumah. Setiba di
rumah aku mendapat kabar bahwa Kenpeitai
datang di pagi itu dan berulang-kali mendesak mertuaku, “Dimana Sukarno……… tidak mungkin tuan tidak tahu di mana menantu dan
anak tuan…” Dan mertuaku tetap menjawab, “Saya tidak tahu. Saya tidak tahu apa apa. Saya lagi tidur sewaktu dia
pergi”. Dengan ujung bayonet
mereka mengirimnya kemarkas Kenpeitai (Adams,
1966: 325-326).
Penyusunan Teks
Proklamasi
Sesampainya di Jakarta pada pukul
23.00 WIB rombongan menuju rumah Laksamana Maeda di Jalan Imam Bonjol No. 1
setelah Sukarno dan Hatta singgah di rumah masing-masing terlebih dahulu.
Sebelumnya Sukarno dan Hatta telah menemui Somubuco,
Mayor Jenderal Nishimura untuk menjajagi sikapnya mengenai Proklamasi
Kemerdekaan. Yang menemani mereka adalah Laksamana Maeda bersama Shigetada
Nishijima dan Tomegoro Yoshizumi serta Miyoshi sebagai penerjemah. Pada
pertemuan tersebut tidak dicapai kata sepakat. Sukarno-Hatta bertekad untuk melangsungkan
rapat PPKI, mereka menekankan kepada Nishimura bahwa Jenderal Besar Terauci
telah menyerahkan pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia kepada PPKI.
Di lain pihak Nishimura menegaskan garis kebijaksanaan
Panglima Tentara Keenambelas di Jawa, yakni bahwa dengan menyerahnya Jepang
kepada Serikat berlaku ketentuan bahwa tentara Jepang tidak diperbolehkan lagi
mengubah status quo. Sejak tengah
hari sebelumnya tentara Jepang semata-mata sudah merupakan alat Serikat dan
diharuskan tunduk kepada pemerintah Serikat. Berdasarkan garis kebijaksanaan
itu Nishimura melarang Sukarno-Hatta untuk mengadakan rapat PPKI dalam rangka
pelaksanaan Proklamasi kemerdekaan (Notosusanto, 1992:83).
Setelah pertemuan itu Sukarno dan
Hatta kembali ke rumah Maeda. Rumah Laksamana Jepang itu dianggap tempat yang
aman dari tindakan pemerintah militer yang di Jawa dipegang oleh Angkatan
Darat. Kedudukan Maeda sebagai kepala Kantor Penghubung Angkatan Laut di daerah
kekuasaan Angkatan Darat memungkinkannya berhubungan dengan Mr. Ahmad Subardjo
dan sejumlah pemuda Indonesia yang bekerja pada kantornya. Berdasarkan hubungan
baik itu rumah Maeda dijadikan tempat pertemuan antara pelbagai golongan
Pergerakan Nasional baik golongan tua maupun golongan pemuda (Notosusanto,
1992: 84).
Di ruang makan rumah itu dirumuskanlah
naskah Proklamasi kemerdekaan Indonesia. Maeda mengundurkan diri ke kamar
tidurnya dilantai kedua. Miyoshi sebagai orang kepercayaan Nishimura bersama
tiga tokoh pemuda yakni Sukarni, Mbah Diro dan B.M. Diah menyaksikan Ir.
Sukarno, Drs. Moh. Hatta dan Mr. Ahmad Subardjo membahas perumusan naskah
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Yang lain menunggu di serambi muka. Ir.
Soekarnolah yang menuliskan konsep Proklamasi pada secarik kertas, sedangkan
Drs. Moh. Hatta dan Mr. Ahmad Subardjo menyumbangkan pikiran secara lisan.
Kalimat pertama merupakan saran Mr. Ahmad Subardjo yang diambil dari rumusan Dokuritsu Junbi Cosaksi. Sedangkan
kalimat terakhir merupakan sumbangan pikiran Drs. Moh Hatta. Rumusan tersebut
berbunyi:
Proklamasi
Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-2
jang mengenai pemindahan kekuasaan d.l.l., diselengarakan dengan tjara seksama
dan dalam tempoh jang sesingkat-singkatnja.
Djakarta, 17-8-‘05
Wakil-2 bangsa Indonesia,
(Notosusanto, 1992: 84-85).
Soekarno menceritakan kondisi penulisan teks proklamasi
tersebut sebagai berikut:
Tidaklah pernyataan ini
dituliskan diatas perkamen dari emas. Kalimat-kalimat ini hanya digoreskan pada
secarik kertas. Seseorang memberikan buku catatan bergaris-garis biru seperti
yang dipakai pada buku tulis anak sekolah. Aku menyobeknya selembar dan dengan
tanganku sendiri menuliskan kata-kata proklamasi sepanjang garis biru itu.
Pun tidak kami melakukannya menurut tradisi dengan
memakai pena bulu yang dicelupkan. Siapakah yang sempat memikirkan soal itu?
Kami bahkan tidak menyimpan pena yang bersejarah yang menggoreskan kata-kata
yang akan hidup untuk selama-lamanya. Aku tahu bahwa presiden-presiden dari
Amerika Serikat membagi-bagikan pena-pena yang digunakannya untuk menanda
tangani undang-undang penting; akan tetapi aku, yang dihadapkan pada detik
besar bersejarah, bahkan tidak ingat dari mana datangnya pena yang kupakai.
Kukira aku meminjamnya dari seseorang (Adams, 1966: 328-329).
Setelah kelompok yang menyendiri di
ruangan makan itu selesai dengan merumuskan naskah Proklamasi maka kemudian
mereka menuju ke serambi muka untuk menemui hadirin yang telah berkumpul Waktu
saat itu menunjukkan pukul 04.00 WIB. Ir. Soekarno mulai membuka pertemuan menjelang
subuh itu dengan membacakan rumusan naskah Proklamasi yang masih merupakan
konsep (Notosusanto, 1992: 85).
Setelah konsep teks proklamasi ini
selesai, maka dalam kenyataannya ada beberapa perkataan yang dicoret yaitu kata
“pemindahan”
diganti dengan “penyerahan”. Namun selanjutnya beberapa anggota yang tergabung
dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia merasa keberatan memakai kata “Penyerahan”.
Menurut mereka, kata-kata ini seakan-akan menggambarkan bahwa Jepang harus
menyerahkan kemerdekaan kepada Indonesia. Sementara Jepang sendiri harus
mempertahankan “Status quo”. Akhrinya kata-kata ini pun dirobah lagi dengan ”pemindahan”.
Karena mempunyai arti yang tepat, yaitu selain tidak terkandung tindakan agresif, maupun dipaksakan, juga
mempunyai arti lunak dengan menggeser sesuatu dari suatu tempat ke tempat lain
tanpa kesulitan ataupun kekerasan. Kata
”pemindahan”
inilah yang akhirnya dipakai. Begitu pula halnya dengan perkataan “dioesahakan”.
Kata-kata ini seakan-akan mengandung pengertian bahwa ada orang lain yang
mengusahakan, yaitu usaha Jepang kepada Indonesia. Menurut para peminpin
Indonesia hal ini kurang tepat karena Jepang waktu itu tidak mempunyai kekuatan
apa pun. Oleh karena itu kata-kata ini diganti dengan ”diselenggarakan” yang
berarti bahwa kemerdekaan ini diselenggarakan sendiri oleh bangsa Indonesia
(Djamaluddin, 1992: 53-56).
Kepada mereka yang hadir Ir. Sukarno
menyarakan agar bersama-sama menandatangani naskah Proklamasi selaku
wakil-wakil bangsa Indonesia. Saran itu diperkuat oleh Drs. Moh. Hatta dengan
mengambil contoh kepada naskah “Declaration
of Independence” Amerika Serikat. Usul itu ditentang oleh pihak pemuda yang
tidak setuju kalau tokoh golongan tua yang disebut sebagai “budak-budak Jepang” turut menandatangani naskah Poroklamasi.
Tetapi kemudian salah seorang tokoh pemuda, yakni Sukarni mengusulkan agar
supaya yang menandatangi naskah Proklamasi cukup dua orang saja, yakni
Sukarno-Hatta atas nama bangsa Indonesia. Bukankah mereka berdua yang pada
masa itu dimana-mana dikenal sebagi
pemimpin utama bangsa Indonesia? Usul
ini disetujui para tokoh yang datang ( Notosusanto, 1992: 85).
Setelah merobah beberapa kata dalam konsep
proklamasi tersebut, Bung Karno yang didampingi Bung Hatta dan Pak Soebardjo
membacakan sekali lagi teks yang sudah menjalani perobahan itu. Setelah
disetujui semua anggota, maka Bung Karno memanggil seorang pemuda yang
kebetulan lewat di depannya untuk mengetik. Yang lewat itu adalah Sayuti Melik.
“Ti,Ti, tik ini”, ujar Bung Karno.
B.M. Diah yang sejak semula bernaluri wartawan, ikut serta bersama Sayuti Melik
ke kamar sebelah. Setelah selesai mengetik, kertas Proklamasi asli yang hanya
diletakkan saja di atas meja sewaktu Sayuti Melik menyerahkan teks yang diketik
kepada Bung Karno di simpan B.M. Diah dalam saku. Setelah ditik lalu diserahkan kembali kepada
Bung Karno dan Bung Hatta. Kedua pemimpin bangsa itu pun lalu membubuhi
tandatangannya atas nama bangsa Indonesia. (Djamaluddin, 1992: 53-56).
Ada tiga perubahan yang terdapat pada naskah bersih itu,
yakni:
1. “tempoh”
diganti menjadi “tempo”.
2. “wakil-wakil bangsa Indonesia” diganti dengan “Atas
nama Bangsa Indonesia”.
3. “Djakarta, 17-8-05” diganti ”Djakarta, hari 17 boelan
8 tahoen ‘05”.
Jadi ketikan tersebut berbunyi:
PROKLAMASI
Kami bangsa Indonesia
dengan ini menjatakan Kemerdekaan Indonesia.
Hal-hal jang mengenai
pemindahan kekoeasaan d.l.l. diselenggarakan dengan tjara seksama dan dalam
tempo jang sesingkat-singkatnya.
Djakarta, hari 17
boelan 8 tahoen ‘05
Atas nama bangsa Indonesia
Soekarno/Hatta
(tanda tangan Soekarno)
(tanda tangan Hatta).
(Notosusanto, 1992: 86).
Tentang tempat pembacaan. Sukarni melaporkan bahwa
Lapangan Ikada telah dipersiapkan bagi berkumpulnya masyarakat Jakarta untuk
mendengar pembacaan Naskah Proklamasi. Ir. Sukarno tidak setuju karena sangat
riskan terjadi bentrokan. Karena itu ia mengusulkan supaya upacara Proklamasi
dilakukan dirumahnya di Jalan Pengangsaan Timur No. 56 saja. Usul itu disetujui
(Notosusanto, 1992:86-87).
Pembacaan Teks
Proklamasi
Pada pukul 05.00 (waktu Jawa pada
jaman Jepang), para pimpinan dan pemuda keluar dari ruangan rumah Laksamana
Maeda, mereka pulang kerumah masing-masing dan mempersiapkan proklamasi
kemerdekaan. Sebelum pulang Bung Hatta
berpesan kepada para pemuda yang bekerja pada pers dan kantor berita terutama
B.M. Diah untuk memperbanyak teks Proklamasi dan menyiarkannya ke seluruh dunia
(Notosusanto, 1992: 89).
Pagi itu tanggal 17 Agustus, di asrama
segera diadakan rapat untuk menetapkan langkah-langkah selanjutnya yang perlu
diambil sehubungan dengan akan dilakukannya proklamasi yang akan diumumkan Bung
Karno pada pukul 10.00 pagi tanggal 17 Agustus 1945. Rapat antara lain
mengambil keputusan sebagai berikut:
1. Di samping pembacaan Proklamasi di
Pegangsaan Timur 56, di Asrama Prapatan 10 akan diadakan juga proklamasi itu
yang berfungsi sebagai duplo/cadangan
pengganti jika di Pegangsaan Timur 56 terjadi apa-apa, misalnya diserbu kempeitai, maka masyarakat mengetahui,
bahwa proklamasi kemerdekaan bangsa dan tanah air sudah dilakukan.
2. Mengirimkan pasukan mahasiswa ke
Pegangsaan Timur untuk menjaga keamanan jalannya upacara proklamasi.
3. Sesudah terjadinya proklamasi
mahasiswa diperintahkan menyebar ke seluruh kota untuk menyebarluaskan isi teks
proklamasi yang telah dibacakan secara resmi oleh Bung Karno, dimana Soekarno
Hatta mewakili bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaan Republik Indonesia.
4. Mengirimkan empat orang mahasiswa ke Hoosyokoku (gedung radio) di Merdeka Barat
supaya teks proklamasi diusahakan disiarkan melalui radio.
5. Mengundang golongan pemuda untuk
berkumpul pada sore harinya sesudah buka puasa di Asrama Prapatan 10 untuk
bersama-sama merundingkan langkah-langkah apa saja yang perlu diambil untuk
mengisi dan melaksanakan tugas-tugas setelah adanya proklamasi kemerdekaan
Indonesia.
6. Para mahasiswa masing-masing
diharuskan memilih tugas apa yang diingininya guna membantu terlaksanannya
pengambilalihan pemerintahan dan sebagainya. Supaya selalu disiplin dan siap
menerima komando yang diberikan oleh pimpinan.
7. Memperketat penjagaan asrama untuk
menghadapi segala macam kemungkinan, diantaranya pemerintah Jepang yang
diperkirakan memusuhi proklamasi ini (Soedewo dkk, 1984: 81-82).
Pada pagi hari itu juga rumah Ir.
Soekarno dipadati oleh sejumlah massa pemuda yang berbaris secara teratur dan
tertib. Untuk menjaga keamanan upacara pembacaan Proklamasi, dr. Muwardi
meminta kepada Cudanco Latief
Hendraningrat untuk menugaskan beberapa orang anak buahnya berjaga-jaga
disekitar rumah Ir. Soekarno. Permintaan ini di penuhi oleh Cudanco Latief dan beberapa orang
prajurit Peta berjaga-jaga disekitar jalan kereta api yang membujur ke belakang
rumah itu. Disamping itu di ksatrian mereka di Jaga monyet telah disiagakan
pasukan yang dipimpin oleh Syodanco
Arifin Abdurrahman. Sementara itu persiapan di Pegangsaan Timur sendiri cukup
sibuk. Wakil Walikota Suwiryo memerintahkan kepada Mr. Wilopo untuk
mempersiapkan peralatan yang diperlukan, yaitu mikrofon dan beberapa pengeras suara. Mr. Wilopo dan Nyonoprawoto
pergi ke rumah Gunawan pemilik toko radio Satria di Salemba Tengah 24, untuk
meminjam mikrofon dan pengeras suara.
Gunawan mengijinkan dan mengirimkan seorang pemuda kepercayaannya untuk melayani
penggunaannya. Sedangkan Sudiro (sekertaris Ir. Soekarno) memerintahkan kepada
S. Suhud komandan Pengawal Rumah Ir. Soekarno, untuk menyiapkan satu tiang
bendera. Karena situasi yang tegang Suhud tidak ingat bahwa di depan rumah
masih ada dua tiang besi yang tidak di gunakan.
Ia tidak ingat sama sekali untuk memindahkan salah satu
tiang itu. Malahan ia mencari sebatang bambu yang berada di belakang rumah.
Bambu itu dibersihkan dan diberi tali, lalu ditanam beberapa langkah saja dari
teras. Bendera yang dijahit dengan tangan yang akan dikibarkan, sudah disiapkan
oleh ibu Fatmawati Sukarno. Bentuk dan ukuran bendera itu tidak standar, karena
kainnya berukuran tidak sempurna (Notosusanto, 1992:90-91).
Adapun acara yang ditentukan dalam upacara itu, diatur
sebagai berikut:
1. Pembacaan Proklamasi.
2. Pengibaran bendera Merah Putih.
3. Sambutan Walikota Suwirjo dan Muwardi.
Para pemuda sudah tidak sabar, mereka mendesak dr.
Muwardi agar segera mengingatkan Ir. Soekarno bahwa hari telah siang. Karena
desakan mereka, dr. Muwardi memberanikan diri untuk mengetuk pintu kamar Ir.
Sukarno. Setelah dibukakan pintu, ia menyampaikan keinginan para pemuda. Bung
Karno menolak desakan para pemuda itu. Ia menyatakan bahwa ia tidak mungkin
melakukannya sendiri tanpa hadirnya Drs. Moh. Hatta. Ia harus menunggu hadirnya
Hatta. Dr Muwardi masih mendesak dan menyatakan bahwa hal itu lebih baik
dikerjakan oleh Ir. Soekarno sendiri saja tanpa kehadiran Bung Hatta. Karena
naskah Proklamasi toh sudah ditandatangani berdua. Karena didesak juga, Ir
Soekarno menjawab dengan nada marah: “Saya
tidak akan membacakan Proklamasi kalau Hatta tidak ada. Kalau Mas Muwardi tidak
mau menunggu silahkan membaca Proklamasi sendiri”. Justru pada saat itu
dari halaman luar terdengar suara berseru “Bung
Hatta datang”. Lima menit sebelum acara di mulai, Hatta datang. Ia
berpakaian putih-putih dan langsung menuju kekamar Soekarno. Sambil menyambut
kedatangan Hatta, Soekarno bangkit dari tempat tidurnya dan langsung
berpakaian. Juga ia mengenakan stelan putih-putih (Notosusanto, 1992: 92).
Tepat
pada waktunya, tanggal 17 Agustus 1945 setelah para pemuda, sejumlah Barisan
Pelopor dan undangan hadir di halaman Pegangsaan Timur 56, tampillah Suwirjo di
depan corong radio dan mengucapkan pidato. Isinya, selain mengucap terima kasih
atas kedatangan segenap hadirin, juga menegaskan apa perlunya mereka pagi itu
berkumpul disitu. Yaitu untuk mendengarkan dan menyaksikan Proklamasi
Kemerdekaan (Panitia Peringatan 70 Tahun Wilopo, 1979: 410).
Beberapa
menit sebelum pukul 10.00WIB, Cudanco
Latief Hendraningrat mengetuk pintu kamar Ir. Soekarno, dan setelah dibukakan
pintu bertanya: “ Apakah bung Karno sudah
siap?”. Kedua pemimpin itu mengangguk, lalu keluar bersama-sama menuju
tempat yang tersedia, diiringi oleh Nyonya Fatmawati Soekarno. Upacara
berlangsung tanpa protokol. Segera
Latief memberi aba-aba kepada seluruh barisan pemuda, yang telah menunggu sejak
pagi. Semua berdiri tegak dengan sikap sempurna. Latief mempersilahkan Ir.
Soekarno, Soekarno dan Hatta maju beberapa langkah dari tempatnya semula.
Soekarno mendekati mikrofon. Dengan
suara yang mantap dan jelas ia mengucapkan pidato pendahuluan yang singkat
sebelum membacakan teks Proklamasi Kemerdekaan:
“Saudara-saudara sekalian! Saya telah minta
saudara hadir di sini untuk menyaksikan suatu peristiwa maha penting dalam
sejarah kita.
Berpuluh-puluh tahun kita bangsa Indonesia telah berjuang untuk
kemerdekaan tanah air kita. Bahkan telah beratus-ratus tahun.
Gelombangnya aksi kita untuk mencapai kemerdekaan kita itu ada naiknya
ada turunnya, tetapi jiwa kita tetap menuju ke arah cita-cita. Juga di dalam
jaman Jepang, usaha kita untuk mencapai kemerdekaan nasional tidak berhenti. Di
dalam Jaman Jepang ini tampaknya saja kita menyandarkan diri kepada mereka,
Tetapi pada hakekatnya, tetap kita menyusun tenaga kita sendri, tetap kita
percaya kepada kekuatan sendiri. Sekarang tibalah saatnya kita benar-benar
mengambil nasib bangsa dan nasib tanah air kita di dalam tangan kita sendri.
Hanya bangsa yang berani mengambil nasib dalam tangan sendiri, akan dapat
berdiri dengan kuatnya. Maka kami, tadi malam telah mengadakan musyawarat
dengan pemuka-pemuka rakyat Indonesia dari seluruh Indonesia, Permusyawaratan
itu seia-sekata berpendapat, bahwa sekaranglah datang saatnya untuk menyatakan
kemerdekaan kita.
Saudara-saudara!
Dengan ini kami menyatakan kebulatan tekad itu. Dengarkanlah Proklamasi
kami:
PROKLAMASI
Kami bangsa
Indonesia dengan ini menjatakan Kemerdekaan Indonesia.
Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan dan lain-lain, di
selenggarakan dengan tjara seksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnya.
Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen
05
Atas nama bangsa Indonesia
Soekarno / Hatta
(tanda tangan Soekarno)
(tanda tangan Hatta)
Demikianlah saudara-saudara!
Kita sekarang telah merdeka. Tidak ada satu ikatan lagi yang mengikat
tanah air kita dan bangsa kita! Mulai saat ini kita menyusun Negara kita!
Negara Merdeka, Negara Republik Indonesia merdeka, kekal dan abadi. Insya’
Allah, Tuhan memberkati kemerdekan kita itu”.
Tepat pada saat pengucapan proklamasi
itu pengeras suara yang dipakai rusak. Hal ini mungkin disebabkan kabel-kabel
rusak, terinjak-injak oleh massa. Acara selanjutnya dengan pengibaran bendera
Merah Putih. Soekarno dan Hatta maju beberapa langkah menuruni anak tangga
terakhir dari serambi muka, lebih kurang dua meter di depan tiang. S. Suhud
mengambil bendera dari atas baki yang telah disediakan, dan mengikatnya pada
tali dengan bantuan Cudanco Latief.
Bendera dinaikkan perlahan-lahan. Tanpa ada yang memimpin, para hadirin spontan
menyanyikan lagu Indonesia Raya. Bendera
dikerek dengan lambat sekali untuk menyesuaikan iramanya dengan lagu Indonesia
Raya yang cukup panjang (Notosusanto, 1992: 92-94). Selesai itu terdengar
anggota PETA dikamar kerja Soekarno berteriak melalui telpon, “Ia, Sudah selesai!”(Adams, 1966: 333).
Seusai pengerekan bendera diteruskan
dengan sambutan dari Walikota Suwirjo dan dr. Muwardi. Seusai upacara, kemudian
mereka saling bertukar fikiran sebentar, lalu masing-masing meninggalkan tempat
(Notosusanto, 1992: 94).
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Adams, Cindy. 1966. BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT
INDONESIA. Jakarta: Gunung Agung.
Djamaluddin, Dasman.
1992. BUTIR-BUTIR PADI B.M. DIAH
(Tokoh Sejarah yang Menghayati Zaman). Jakarta: Pustaka Merdeka
Djohan, Bahder.1980. BAHDER DJOHAN PENGABDIAN KEMANUSIAAN.
Jakarta: PT. Gunung Agung.
Hanafi, A.M. 1996. MENTENG 31 Markas Pemuda Revolusi
Angkatan 45 Membangun Jembatan Dua Angkatan. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.
Kahin, George Mc
Turnan. 1995. NASIONALISME DAN
REVOLUSI DI INDONESIA. Jakarta/ Surakarta: Kerjasama Penerbit UNS Press
dan Pustaka Sinar Harapan.
Malik, Adam. 1978. MENGABDI REPUBLIK Jilid II: Angkatan 45.
Jakarta: Gunung Agung.
Martosewojo, soejono.,
Eri Soedewo dan kawan-kawan, 1984. MAHASISWA
’45 PRAPATAN – 10 : PENGABDIANNYA 1. Bandung: Patma.
Notosusanto, Nugroho
dan Marwati Djoened Poesponegoro. 1992. SEJARAH
NASIONAL INDONESIA VI. Jakarta: Balai Pustaka.
Panitia Peringatan 70
Tahun Wilopo. 1979. WILOPO 70 TAHUN.
Jakarta: Gunung Agung.
Suprapto, Bibit. 1985. PERKEMBANGAN KABINET DAN PEMERINTAHAN DI
INDONESIA. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Soebagijo I.N., 1985. HARSONO TJOKROAMINOTO MENGIKUTI JEJAK
PERJUANGAN SANG AYAH. Jakarta: PT Gunung Agung.
___________ . 1979. WILOPO 70 TAHUN. Jakarta:
Gunung Agung.
Soewito, Irna H.N.
Hadi. 1993. CHAIRUL SALEH TOKOH
KONTROVERSIAL. Jakarta: PT. Mutiara Rachmat.
Tobing, K.M.L. 1986. PERJUANGAN
POLITIK BANGSA INDONESIA. Jakarta: P.T. Gunung Agung.
Majalah:
Edisi Khusus 100 Tahun
Sjahrir,TEMPO, Edisi 9 – 15 Maret 2009, SUTAN SJAHRIR PERAN BESAR BUNG KECIL.
Nama:Mei Laelatul
BalasHapusKelas :XI ips 2
No absen :22
Nama:Mei Laelatul
BalasHapusKelas :XI ips 2
No absen :22
Nama:Uci Afifah Dirgantara
BalasHapusKelas:XI Ips 2
No absen:32
Nama :Fina Rohmatu Alifah
BalasHapusKelas :XI IPS 2
Absen :11
Nama : Alyani 'Ainun Nafis
BalasHapusKelas : XI IPS 2
No Absen : 03
Nama : Adila Wanodyatama
BalasHapusKelas : XI IPS 1
No. Absen : 02
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusNama:Mukharom nur fitriana
BalasHapusKelas:XI IPS 2
Nama : Khumaira Solihati
BalasHapusKelas : XI IPS 2
No.Absen : 17
Nama : Nanda Febiana
BalasHapusKelas : XI IPS 1
No absen :19
Nama : Meilia Nur Amaliah
BalasHapusKelas : XI IPS 1
No.absen : 17
Nama: Isna Hikmah R
BalasHapusKelas: XI IPS 1
No.absen: 14
Nama :Atik Tri Puji Isnanto
BalasHapusKelas :XI IPS 1
No.absen :6
Nama :fitriyah
BalasHapusKelas :11 ips 1
Nomor :11
Nama: Tri khomsiah
BalasHapusKelas : XI IPS 1
No absen:31
Nama : Marvella Dias Ambarwati
BalasHapusKelas : XI IPS 1
No.Abs : 16
Nama:Reni Anjarwati
BalasHapusKelas:XI IPS 1
NO.Absen:24
Nama :Sindi mukti karisma
BalasHapusKelas : XI IPS 1
NO.Absen :28
Nama:Anggie Dian Septiani
BalasHapusKelas: XI IPS 4
Absen:5
NAMA:KRISNA
BalasHapusKELAS:XI IPS IV
NO ABSEN:18
Nama :Agista
BalasHapusKelas :XI IPS 4
No.abs :01
Nama:Ade wulandari
BalasHapusKelas:XI IPS 2
No absen: 01
Nama :Liza Apriliani
BalasHapusKelas :XI IPS 4
Noabsen:20
Nama :Erfiando Al Bazzi
BalasHapusKelas:XI IPS 4
No :14
Nama:Muhammad Saeful Bahri
BalasHapusKelas:XI IPS 4
No.Absen:22
Nama : Lisa Agustina
BalasHapusKelas : XI IPS 4
No.Absen : 19
Nama:Dea Tiara Karisma
BalasHapusKelas:XI IPS 4
NO.Absen:10
Nama : Ajeng Alisiya Putri
BalasHapusKelas : XI IPS 4
No. Ab : 02
Nama :Defina Rahayu
BalasHapusKelas :XI IPS 4
No. Abs :11
Nama :Dipta kanya
BalasHapusKelas:11 ips 4
No absen:13
Nama :Dipta kanya
BalasHapusKelas:11 ips 4
No absen:13
Nama: Nadiyah Nuur Fauziyah
BalasHapusKelas: 11 Ips 4
Absen: 23
Nama : Dina Astriyani Januar
BalasHapusKelas : 11 IPS 4
No.abs : 12
Nama : Nur Oktaviyani
BalasHapusKelas : 11 IPS 1
No.abs : 20
Nama : Efa Lutfiana
BalasHapusKelas : 11 IPS 1
No.abs : 09
Nama : Ari kusweningsih
BalasHapusKelas : 11 IPS 4
No.abs : 06
Nama: Astri novianti
BalasHapusKelas: 11 IPS 4
No.abs: 08
Nama:Restu Dwi Yunimla
BalasHapusKelas:XI Ips 3
No.abs:22
Nama :Dwi Linda Fatihah
BalasHapusKelas:XI IPS 3
No.Absen:11
Nama : Anzali maridatul khanifa
BalasHapusKelas : XI IPS 3
Absen : 05
Nama :Rahma Yuliana
BalasHapusKelas:XI IPS 3
NO.Abs:21
Nama : Sindi Veronika
BalasHapusKelas : XI IPS 3
No.abs: 30
Nama : Afinda Dewi Destanti
BalasHapusKelas : XI IPS 3
No.absen : 03
Nama:Alfanza Ramadhani
BalasHapusKelas:XI IPS 4
No.Absen:03
Nama:Desi Widiana
BalasHapusKelas:XI IPS 3
NO.Absen: 08
Nama: Salma Istinganah
BalasHapusKelas: XI ips 3
No. Absen: 28
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusNama:Puput Riasih
BalasHapusKelas:11 ips 3
No.Abs:20
Nama : Defi Latifah
BalasHapusKelas: XI IPS 3
No.Absen : 07
Nama : Safalina
BalasHapusKelas : XI IPS 3
No.Absen : 27
Nama : Dwi Nofiana
BalasHapusKelas : XI IPS 3
No. Absen : 12
Nama :Tisa nur cahyanita
BalasHapusKelas :XI IPS 3
No.abs:33
Nama:Afifah
BalasHapusKelas:XI IPS 3
No.Absen:02
Nama:Yuyun oktaviana
BalasHapusKelas:XI IPS 4
Absen:34
Nama : Rahma Dyah Sabilla
BalasHapusKelas : 11 IPS 4
No. Absen : 26
Nama :Selvin triana
BalasHapusKelas :11 Ips 2
No.Abs:30
Nama:Wulandari
BalasHapusKelas:XI IPS2
NO.Abs:34
Nama: Awan Lingga Putra
BalasHapusKelas:XI IPS 1
NO.ABSEN :07
Nama:andika saputra
BalasHapusKls:X mipa 2