Purbalingga, hari Senin tanggal 13 April 2020
Kondisi Ekonomi Indonesia Zaman Jepang
Kondisi Ekonomi Indonesia Zaman Jepang
Oleh : Topan
Tujuan Jepang
sebagai negara ekspansionisme imperialis
dan kolonialis adalah mencari
pasar-pasar baru untuk hasil-hasil industrinya sebab rakyatnya di dalam negeri
tetap mempunyai pendapatan rendah
sehingga daya beli dalam negeri juga tidak besar. Disamping itu Jepang sendiri
negara yang miskin akan bahan-bahan mentah dan pertambangan (Onghokham, 2014:
13).
Asia Tenggara yang disebut sebagai wilayah selatan
oleh Jepang dianggap sebagai wilayah yang penting. Penting adalah menguasai dan
mendapatkan sumber sumber bahan mentah untuk industry perang, terutama sekali
minyak. Jepang tidak hanya bermaksud untuk menguasai wilayah sumber ini, tetapi
juga untuk memotong garis perbekalan musuhya yang bersumber pada wilayah ini.
Telah diperkirakan bahwa perang akan berlansung lama, sehingga penguasaan
wilayah yang kaya akan bahan mentah akan sangat meringankan beban yang dipikul
oleh Jepang (Poesponegoro, 1992 : 40).
Struktur
ekonomi yang direncanakan akan bertumpu kepada wilayah-wilayah ekonomi yang
sanggup memenuhi kebutuhan sendiri, yang diberi nama “Lingkungan Kemakmuran
Bersama Asia Timur Raya”. Setelah pemerintah Hindia Belanda memperhitungkan
bahwa invasi Jepang tidak dapat ditahan lagi maka mulailah dilasanakan aksi
bumi hangus. Obyek-obyek vital dihancurkan, yang sebagian besar terdri atas
aparat produksi. Akibatnya ialah bahwa pada awal pendudukan Jepang hampir
seluruh kehidupan ekonomi lumpuh. Kehidupan ekonomi kemudian sepenuhnya berubah
dari keadaan normal menjadi ekonomi perang (Poesponegoro, 1992 : 41).
Jepang
mengambil alih semua kegiatan dan pengendalian ekonomi. Langkah pertama adalah
rehabilitasi prasarana ekonomi seperti jembatan, alat-alat transport,
telekomunikasi dan lain-lainnya yang bersifat fisik. Beberapa peraturan yang
bersifat kontrol terhadap kegiatan ekonomi dikeluarkan. Pengawas terhadap
penggunaan dan peredaran sisa-sisa persediaan barang dan barang-barang yang
disita dari musuh diperketat. Untuk mencegah meningkatnya harga barang dan
timbulnya pelbagai manipulasi, secara setempat dikeluarkan peraturan pengendalian
harga dan hukuman yang berat bagi pelanggarnya (Poesponegoro, 1992 : 41).
Harta
dan modal musuh disita dan menjadi hak pemerintahan Jepang. Khusus mengenai
perkebunan dikeluarkan Undang-undang No. 22/1942. Dalam undang-undang itu
dinyatakan bahwa Gunseikan (kepala
pemerintah militer) langsung mengawasi perkebungan kopi, kina, karet dan teh.
Pelaksanaan pengawasan dipegang oleh Saibai
Kigyo Kanrikodan (SKK). Selain sebagai pengawas SKK juga sebagai pelaksana
pembelian dan penentuan harga penjualan serta sebagai pemberi kredit kepada
perkebunan yang ditunjuk oleh Gunseikan
untuk direhabilitas. Sebagai pelaksana penguaaan perkebunan ditunjuk beberapa
perusahaan swasta Jepang. Hanya beberapa jenis perkebunan saja yang mendapat
perhatian dari pemerintah Jepang, khususnya karet dan kina. (Poesponegoro, 1992
: 41-42).
Kopi,
teh dan tembakau dipertahankan secara terbatas karena tiga tanaman ini
diklasifikasikan sebagai barang kenikmatan yang kurang berguna bagi perang maka
perkebunan ketiga jenis ini diganti dengan tanaman penghasil bahan makanan dan
tanaman jarak untuk pelumas. Di Jawa tanaman kopi ditebang dan di Sumatra diusahakan
menanam padi pada bekas perkebunan tembakau. Sejak Osamu Seirei No. 30/1944, SKK digantikan oleh Kigyo Saibaien (Peguasa Perkebunan) dengan peranan terbatas pada
pengusahaan kebun yang ditunjuk oleh Gunseikan.
Perkebunan Kina dan karet dipertahankan dan direhabilitasi. Kina merupakan
bahan obat-obatan yang vital bagi perang. Pabrik obat-obatan kina dipegang oleh
maskapai swasta Jepang Takaco. Untuk
perkebunan Karet, Jawa Timur terus melanjutkan perkebunan karetnya. Di Sumatra
perkebunan ini direhabilitasi seluas 672.000 Ha (216 perkebunan). Karena
pentingnya perkebunan kina dan karet maka kerusakan kedua perkebunan ini
relatih kecil dimana kina hanya 3 % dan karet hanya 7 % (Poesponegoro, 1992 :
42-43).
Industri
gula diusahakan kembali dengan modal swasta Jepang dengan merehabilitasi
sebagian pabrik yang telah dirusak dan dibumihanguskan oleh Belanda. Namun
demikian Jepang kekurangan tenaga ahli. Untuk mencukupi kebutuhan itu personil
ahli Belanda masih digunakan. Dari jumlah pabrik di Jawa yang semula 85 buah,
yang berhasil direhabilitasi ada 13 pabrik. Pengawas industri gula didirikanlah
Togyo Rengokai (Persatuan Perusahaan
Gula). Jawa surplus gula dengan mengekspor ke Jepang dan Taiwan. Dengan kondisi
ini produksi gula setiap tahunnya dikurangi. Sampai tahun 1945 produksi gula di
Jawa hanya mencapai 84.000 ton saja. Gunseikan
mengeluarkan Osamu Seirei No. 31/1944
yang menyatakan bahwa rakyat dilarang menanam tebu dan membuat gula. Tujuannya
untuk mengurangi jumlah gula yang beredar dalam masyarakat dan untuk menekan
produksi. Selain itu pabrik-pabrik gula menjadi pabrik senjata atau
membongkarnya dan memindahkannya ke tempat lain untuk kepentingan perang.
Perusahaan gula diserahkan kepada beberapa maskapai swasta Jepang yaitu : Meiji Seito Kaisha, Okinawa Seito Kaisha,
Taiwan Seito Kaisha dan Dai Nippon
Seito Kaisha. Untuk distribusi dan penjualannya dilakukan oleh Jawa Hanbai Rengo Kumiai (Koperasi Pusat
Penjualan Gula Jawa). Untuk tambang-tambang penting khususnya minyak bumi,
pengusahaannya kembali dilakukan oleh Mitsui
Kabushiki Kaisha (Poesponegoro, 1992 : 43-44).
Di
bidang moneter, pemerintah pendudukan
Jepang berusaha mempertahankan nilai gulden
atau Rupiah Hindia Belanda. Tujuannya agar harga barang dapat dipertahankan
seperi sebelum perang dan untuk mengawasi lalu lintas permodalan dan arus
kredit. Uang Rupiah Hindia Belanda tetap dinyatakan berlaku sebagai tanda
pembayaran yang sah. Bank-bank bekas Belanda dilikwidasi berdasarkan undang-undang
No. 13/1942. Beberapa bank tersebut adalah De
Javashe Bank, Nedrlandsche Handels Maatschappij, Nederlands-Indische Escompto
Bank dan Batavia Bank. Untuk bank
milik Inggris dan asing lainnya (The
Chartered Bank of India, The Hongkong and Shanghai Corporation Ltd dan Overseas
Chinese Banking Corporation Ltd) masih diberi kesempatan untuk menyelesaikan
hutang-hutangnya sampai batas waktu 20 November 1942. Bank Jepang seperti Yokohama Ginko, Mitsui Ginko, Taiwan Ginko dan
Kana Ginko dibawah supervise Nanpo Keihatsu Kenso (Perbendaharaan
Untuk Kemajuan Wilayah Selatan) menggantikan tugas bank-bank asing dan bank
milik Belanda (Poesponegoro, 1992 : 44).
Bidang
perpajakan diadakan pemungutan dari berbagai sumber, termasuk pajak
penghasilan, terutama yang mempunyai penghasilan antara F. 30,000 setahun.
Antara orang Eropa dan orang Cina terdapat perbedaan pemungutan pajaknya, yaitu
berbanding 70 dan 35 kali dari jumlah yang dibayarkan pada masa penjajahan
Hindia Belanda (Poesponegoro, 1992 : 44).
Untuk
penjualan barang berdasarkan Osamu Seirei No. 38 / 1943 menetapkan bahwa semua
barang harus dijual dengan harga yang ditentukan. Barang-barang yang
diklasifikasi penting, dikuasai oleh pemerintah, baik penggunaannya maupun
distribusinya diawasi. Para penyimpan barang-barang yang diklasifikasi penting
harus melaporkan jumlah barang dan peredarannya, apabila barang itu terjual.
Barang penting terdiri dari golongan pertama adalah barang-barang yang
langsung kegunaannya bagi usaha perang
seperti mobil, sepeda motor, agregat (alat
pembangkit listrik pabrik) pelbagai barang dari baja, besi, alumunium. Untuk
golongan kedua adalah barang yang menyangkut kehidupan kebutuhan rakyat (Poesponegoro,
1992 : 45).
Larangan
pokok bagi barang penting jenis kedua adalah meindahkan barang dari satu tempat
ke tempat lain keluar syu (karisidenan).
Secara lokal tiap syu melaksanakan autarki (sistem ekonomi swasembada dan
perdagangan terbatas). Sektor ekspor dan impor selama perang ini lumpuh.
Amerika Serikat mengadakan blokade keras terhadap wilayah-wilayah yang diduduki
oleh Jepang (Poesponegoro, 1992 : 45).
Adanya
pengaturan-pengaturan, pembatasan-pembatasan dan penguasaan faktor-faktor
produksi oleh pemerintah, adalah ciri dari pada ekonomi perang. Setiap
lingkungan daerah harus melaksanakan autarki,
yang disesuaikan dengan situasi perang. Jawa dibagi atas 17 lingkungan autarki, Sumatra atas 3 lingkungan dan
daerah Minseifu (kantor pemerintahan
sipil yang berada langsung dibawah struktur komando angkatan laut kekaisaran
Jepang/ Kaigun) dibagi atas 3 lingkungan. Dalam pelaksanaan disentralisasi,
pulau Jawa sebagai satu bagian dari “Lingkungan Kemakmuran Bersama Asia Timur
Raya”, mempunyai dua tugas. Tugas pertama adalah memenuhi kebutuhan sendiri
untuk bertahan (Poesponegoro, 1992 : 45). Tugas kedua adalah mengusahakan
produksi barang-barang untuk kepentingan perang. Ini dibebankan kepada Jawa,
kepada para penguasa militer di Jawa dan dilaksanakan secara konsekuen.
Penduduk dan rakyat serta kekayaan pulau Jawa dikorbankan untuk pelaksanaan
itu. Kepentingan perang mendapat prioritas pertama (Poesponegoro, 1992 : 46).
Jepang
menggenjot produksi beras dengan cara perluasan lahan pertanian. Cara yang
dilakukan adalah mengganti perkebunan menjadi lahan pertanian. Pulau Jawa
dituntut untuk menhasilkan 50.000 ton beras dan 30.000 ton jagung. Akibat yang
parah lagi dari pada anjuran pemerintah ini adalah pengrusakan hutan-hutan.
Pada masa itu hutan di pulau Jawa tidak kurang dari 500.000 hektar yang
ditebang secara liar. Selain itu, pemerintah Jepang juga menyelenggarakan
bimbingan secara intesif kepada para petani melalui para penyuluh pertanian.
Sebenarnya cara ini adalah cara yang baik, karena pemerintah Jepang secara
tidak langsung telah memperkenalkan cara bertani modern. Tetapi kelemahan dari sistem
ini terletak pada organisasinya, para pelatih (shidokan) bukanlah orang yang benar-benar mengerti masalah
pertanian, sedangkan orang yang dilatih (shidoin)
hanya mendapat latihan yang sangat singkat. Ada faktor lain yang sangat mempengaruhi
turunnya produksi pangan yaitu jumlah pemotongan hewan yang meningkat dan
menurunnya angka kelahiran hewan yang berguna untuk pertanian (Poesponegoro,
1992 : 47).
Kondisi
ini ditambah lagi dengan aturan bahwa rakyat hanya diperbolehkan memiliki 40 %
saja dari hasil panen. Sedangkan 30 % harus disetor kepada pemerintah melalui Beikoku Seimeigyo Kumiai (Kumiai
Penggilingan Padi) dan dibeli dengan harga yang ditentukan oleh pemerintah.
Sedangkan 30 % lainnya disediakan untuk bibit yang harus disetor kepada lumbung
desa. Rakyat sendiri tidak menginginkan hal seperti itu maka sering terjadi
kecurangan dalam penyetoran padi karena harga padi di pasar gelap (Poesponegoro,
1992 : 48). Gagalnya penyetoran padi merupakan akibat perlawanan dari rakyat
desa. Akibat yang timbul adalah kekurangan bahan makanan, karena itu tidak
mengherankan jika di dalam rangka ini seringkali timbul kecurangan dan pasar
gelap. Harga resmi ditentukan 10 sen, sedangkan harga di pasar gelap tertinggi
F. 3.25 (Jakarta) dan yang terendah F.1.20 (Bojonegoro). Kelaparan melanda di
berbagai tempat, angka kematian tinggi. Di Wonosobo angka kematian mencapai
53.7 dan Purworejo 24.7. Selain kewajiban penyetoran padi, petani juga dibebani
pekerjaan wajib lainnya seperti menanam jarak. Ditambah lagi mereka juga
dipaksa terlibat dalam romusha. Ini membuat
jumlah petani berkurang. Ini beban yang menambah kesengsaraan bagi rakyat Indonesia. Penyakit kurang gizi
merajalela ditambah berbagai bencana alam (Poesponegoro, 1992 : 49). Seperti
wilayah-wilayah pendudukan lainnya, Indonesia menjadi suatu negeri yang tingkat
penderitaan, inflasi, ketekoran, pencatutan, korupsi, pasar gelap, dan
kematiannya adalah paling ekstrem (Ricklefs, 2005 : 300).
Beberapa
aspek dari korupsi dalam sistem wajib setor padi perlu dibahas lebih lanjut.
Karena kekacauan ekonomi masa perang, korupsi beras dilakukan dalam jumlah
besar. Laporan kepada Chuo Sangi In
(Dewan Penasehat Pusat) pada bulan Januari 1945, kita ambil dari Karisidenan
Pekalongan dalam setahunnya sejumlah 1.200 ton menguap. Sudah terlihat bahwa
tindak kejahatan menyalah gunakan jabatan memang telah meluas. Jepang mengganti
peranan Tionghoa pemilik penggilingan dengan lurah sebagai perantara dalam sistem
setoran padi, seperti dilihat di Karisidenan Pekalongan. Dengan begitu lurah
menjadi kunci dalam pengumpulan padi oleh Jepang dengan peluang baru buat
mengecoh dan menipu petani. Korupsi demikian meluasnya disemua tingkat,
sehingga sebuah kata lama ”tanggem” kini
digunakan secara popular untuk menyebut korupsi (Lucas, 2019 : 58-59).
Pada
masa pemerintahan Jepang, Jepang mulai mengubah tata cara menanam padi. Sebelumnya
para petani menanam padi secara acak, kemudian Jepang mulai mengenalkan ilmu
baru, yaitu menanam padi dengan sistem penanaman bergaris. Sistem ini
mengenalkan cara penanaman bibit padi dalam satu jalur yang ditentukan dengan
menggunakan tali atau bambu pada kedua sisi agar padi tersebut sejajar dan
rapi. Hal ini dilakukan Jepang agar petani mendapatkan hasil panen yang
meningkat karena teknik ini hanya membutuhkan sedikit bibit padi dan tenaga
kerja. Ini menguntungkan karena para petani lebih mudah dalam merawat dan
memanen (Restu S., 2018 : 98).
Masalah
lain adalah masalah sandang. Indonesia sebelum perang masih tergantung kepada
impor dari Belanda. Untuk menangani kondisi ini diupayakan percobaan penanaman
kapas dan usaha lain. Daerah yang dilakukan penanaman kapas antara lain
Cirebon, Malang, Kediri dan Bekasi. Setelah dua tahun daerah yang baik untuk
penanaman kapas adalah Kediri dan Besuki (Poesponegoro, 1992 : 49). Usaha pemintalan rakyat diupayakan dengan
pelatihan. Kampanye menolong orang tak berpakaian dilakukan oleh Jawa Hokokai
dan aparat pemerintah. Pada April 1944 diadakan “Pekan Pengumpulan Pakaian
Untuk Rakyat Jelata”. Sebagian rakyat sudah menggunakan karung untuk pakaian.
Bahkan ada yang menggunakan lembaran karet mentah sebagai satu satunya busana (Poesponegoro,
1992 : 50).
Kondisi
memaksa terjadinya difisit. Satu-satunya jalan adalah dengan mengeluarkan uang
baru. Jumlah mata uang yang beredar dalam masyarakat adalah 1,5 milyar di
samping cadangan yang tersimpan dalam bank lebih kurang 2,5 milyar. Sirkulasi
uang cukup besar, Jepang mengkampanyekan untuk menabung untuk menyedot sebagian
uang yang beredar. Semula di Jawa hasil kampanye itu sejumlah F. 20 juta dan
akhir Februari 1944 mencapai F. 127 juta (Poesponegoro, 1992 : 50).
Melihat seperti ini kebijakan Jepang terhadap rakyat
Indonesia mempunyai dua prioritas yaitu menghapus pengaruh-pengaruh Barat di
kalangan mereka dan memobilisasikan mereka demi kemenangan Jepang (Ricklefs, 2005
: 300).
Daftar Pustaka
Lucas, Anton. 2019. PERISTIWA TIGA DAERAH Revolusi Dalam Revolusi. Yogyakarta : Media
Pressindo
Onghokham. 2014. RUNTUHNYA
HINDIA BELANDA. Jakarta: Gramedia
Poesponegoro,
Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. 1992. SEJARAH NASIONAL INDONESIA VII. Jakarta : Balai Pustaka
Restu S.,
Alfrida. 2018. Di Bawah Bendera Fasisme
Kehidupan Anak-Anak di Yogyakarta Pada Masa Pendudukan Jepang 1942-1945.
Yogyakarta : Dialog Pustaka
Ricklefs,
M.C. 2005. SEJARAH INDONESIA MODERN.
Yogyakarta : Gadjah Mada University Press
Tridian octaviana nur indra. XI IPS 1
BalasHapusTridian octaviana nur indra. XI IPS 1
BalasHapus