Purbalingga hari Jumat tanggal 10 April 2020
Kondisi Budaya Saat Zaman Jepang
Oleh : Topan
Jepang
sepenuhnya mengendalikan media komunikasi masssa seperti surat kabar, majalah,
kantor berita, radio, film, sandiwara dan sebagainya. Surat kabar dan majalah
terbit tanpa ijin istimewa akan tetapi diawasi oleh badan-badan sensor.
Pikiran-pikiran atau pendapat yang tiada sesuai dengan kehendak Jepang dilarang
(Poesponegoro, 1992 : 52). Dibawah ini data tentang surat kabar dan majalah
jaman Jepang (Poesponegoro, 1992 : 55 – 58):
NO
|
SAAT JAMAN HINDIA BELANDA
|
WAKTU PERGANTIAN/ PENDIRIAN
|
KOTA
|
JAMAN JEPANG
|
PIMPINAN SAAT JAMAN JEPANG
|
OPLAAG/ket
|
1
|
Tjahaja Timoer dan Pemandangan
|
April 2062 (1942)
|
|
Asia Raja
|
Sukardjo Wirjopranoto
|
18.000
|
2
|
|
8 Desember 2062 (1942)
|
Jakarta
|
Jawa Shinbun (berbahasa Jepang)
|
Bunshiro Suzuki
|
Sumber pemberitaan bagi semua surat kabar di Jawa
|
3
|
|
|
Jakarta
|
Kung Yung Pao (bahasa Cina)
|
Oei Tiang Tjoei
|
5.000
|
4
|
Sipatahunan dari Paguyuban Pasundan dan Nicork Express
|
|
Bandung
|
Tjahaja
|
Otto Iskandardinata
|
8.000
|
5
|
Mataram milik Belanda
|
|
Yogyakarta
|
Sinar Matahari
|
R. Sudjito
|
5.000
|
6
|
Sedyo Tomo milik orang Indonesia (tidak boleh terbit)
|
|
|
|
|
|
7
|
De Locomotief, Matahari, Soeara Semarang dan Daja Oepaja (dihentikan)
|
|
Semarang
|
Sinar Baroe
|
Parada Harahap
|
7.000
|
8
|
Semua surat kabar milik orang Indonesia, Belanda dan
Cina
(dihentikan)
|
|
Surabaya
|
Soeara Asia
|
R. Tukul Surohadinoto
|
23.000
|
9
|
Majalah : Djawa Baroe, Pandji Poestaka, soeara Kita dan
Warta Syu.
|
|
|
|
|
Oplaag surat kabar dan majalah terbatas karena kurangnya
kertas, tinta dan prasarana lain.
|
Semua suratkabar
yang diterbitkan oleh Jepang baik di Jawa maupun di Sumatra dicetak oleh
percetakan suratkabar-suratkabar Belanda dahulu, sehingga bila dilihat rupa dan
bentuknya relatif baik, namun isinya dapat dikatakan mengalami kemunduran
(Poesponegoro, 1992 : 55-56). Pada
tanggal 2 Februari 2063 (1943) pemerintah pendudukan Jepang mendirikan
perserikatan (gabungann) suratkabar-suratkabar Jawa yang diberi nama Jawa Shinbunkai. Ditunjuk sebagai ketua
perserikatan, Bunshiro Suzuki dari Jawa
Shinbun, sedangkan Sukardjo Wirjopranoto dari Asia Raja ditunjuk sebagai
ketua muda serta beberapa anggota pengurus lainnya atas pengankatan Gunseikan. Sejak saat itu pengawasan dan
pengaturan isi, bentuk, jumlah maupun daerah peredaran surat kabar ditentukan
dan dipegang oleh Jawa Shinbunkai. Disamping
itupula didirikan pula badan sensor pers (Poesponegoro, 1992 : 56). Jepang
mengangkat dan menempatkan beberapa orang wartawan berbangsa Jepang yang diberi
kedudukan sebagai penasehat (shidobuco)
pada Jawa Shinbunkai. Akan tetapi
dalam kenyataannya para shidobuco itu
lebih banyak menimbulkan kesukaran-kesukaran dari pada membantu memperlancar
penerbitannya (Poesponegoro, 1992 : 57).
Jepang juga menerbitkan suratkabar Kana
Jawa Shinbun yang memakai bahasa Jepang dengan mempergunakan huruf katakana (Poesponegoro, 1992 : 60).
Seperti
diketahui bahwa radio tidak kurang pentingnya sebagai alat propaganda, karena
itu Jepang menguasai radio baik swasta maupun semi pemerintah seperti
Perserikatan-Perserikatan Radio Ketimuran (PPRK), Nederlands-Indische Radio Omroep Maatschappij (NIROM). Setelah
dihentikan, kemudian Jepang mendirikan badan yang mengurus dan menyelenggarakan
siaran radio. Badan ini diberi nama Hoso
Kanrikyoku. Untuk Jawa dipimpin oleh Tomabeci yang mempunyai delapan cabang
di daerah yang disebut Hosokyoku.
Kedelapan cabang tersebut yaitu :Jakarta, Bandung, Purwokerto, Yogyakarta,
Semarang, Malang, Surabaya, dan Surakarta. Cabang-cabang tersebut di pimpin
oleh Jepang sendiri. Di Jakarta dipimpin oleh Shimamura. Di kabupaten dibentuk Shodanso dengan tugas menyelenggarakan
penyiaran propaganda, reparasi / servis radio, dan penyegelan radio serta
penetapan gelombang-gelombang mana yang boleh didengarkan. Pada masa pendudukan
Jepang, radio umum dipasang hampir di setiap tempat yang ramai sampai di
pelosok-pelosok desa dengan maksud agar rakyat dapat mendengarkan siaran
propaganda Jepang (Poesponegoro, 1992 : 58).
Sarana
komunikasi, pers dan radio pada masa pendudukan Jepang melainkan peranan
penting dalam menyebarluaskan serta meningkatkan semangat nasional rakyat
Indonesia, karena mereka dapat mendengar dan membaca pidato-pidato dan
tulisan-tulisan para tokoh pergerakan nasional Indonesia (Poesponegoro, 1992 :
59).
Suratkabar dan
radio turut menyebar luaskan pemakaian bahasa Indonesia. Indonesia sendiri
sangat terisolasi dari hubungan dengan dunia luar (tertutup). Lenyapnya bahasa
Belanda dari dunia perguruan dan dari pergaulan sehari-hari memberikan
kesempatan yang baik bagi pemakaian dan pengembangan bahasa Indonesia. Demikian
kerasnya larangan pemakaian bahasa Belanda, sehingga boleh dikatakan di semua
toko, rumah makan, perusahaan, perkumpulan dan lain-lainnya papan nama atau papan
iklan yang berbahasa Belanda diganti dengan berbahasa Indonesia atau berbahasa
Jepang. Film atau gambar-gambar yang memakai bahasa Belanda dilarang beredar (Poesponegoro,
1992 : 59-60).
Perkembangan
bahasa Indonesia ketika itu boleh dikatakan dipaksakan, agar dalam waktu
secepat-cepatnya dapat menjadi alat komunikasi yang dapat digunakan ke seluruh
pelosok untuk semua bidang. Bertambah lama jalannya perang, bertambah banyak
orang Indonesia memakai bahasa Indonesia, maka bertambah kuat pulalah terasa
hubungan antara sesamanya. Bahasa Indoesia menjadi sarana komunikasi serta wahana
integrasi bangsa Indonesia (Poesponegoro, 1992 : 60-61).
Pada tanggal 20
Oktober 2603 (1943), atas desakan tokoh Indonesia didirikanlah Komisi (penyempurnaan)
Bahasa Indonesia. Tugasnya adalah menentukan terminologi, yaitu istilah-istilah
modern, serta menyusun suatu tata bahasa normatif dan menentukan kata-kata yang
umum bagi bahasa Indonesia, susunan anggota komisi ini adalah : Mori (kepala
kantor pengajaran – Ketua), Iciki (wakil ketua), Mr. R. Suwandi (penulis), Mr.
S. Takdir Alisjahbana (Penulis Ahli), dan beranggotakan Abas St. Pamuntjak, Mr.
Amir Sjarifuddin, Armijn Pane, dr. Aulia, Prof. Dr. Hoesein Djajadiningrat,
Drs. Moh. Hatta, S. Mangunsarkoro, Dr. R. Ng. Purbatjaraka, R.P Prawiradinata,
Dr. Prijono, H. Agus Salim, Sanusi Pane, Ir. Soekarno, Mr. R.M. Sumarang.
Mereka mulai membuka Kantor Komisi Bahasa Indonesia dengan peralatan dan staf
yang serba kurang. Soal penetapan nama “Bahasa Indonesia” selalu di tunda-tunda,
barulah setelah kekalahan di ambang pintu mereka mengijinkan pemakaian nama ”Bahasa
Indonesia” (Poesponegoro, 1992 : 61). Keputusan yang telah diambil oleh Komisi
ini tidak pernah diumumkan. Akan tetapi berkat ketekunan dari para anggota komisi
maka pada akhir masa pendudukan Jepang di Indonesia telah dapat ditetapkan
kira-kira 7.000 istilah (Poesponegoro, 1992 : 62).
Sastra jaman
pendudukan Jepang bersifat menimbulkan semangat, patriotisme dan menganjurkan
semangat bekerja. Karya sastra sesuai dengan
anjuran pemerintah saat itu harus ditujukan kearah usaha memenangkan “Perang Asia
Timur Raya”. Untuk mengarahkan agar supaya karya-karya seniman (roman, sajak,
lagu, lukisan, sandiwara dan film) itu jangan menyimpang dari tujuan Jepang
maka didirkanlah Keimin Bunka Shidosho
(Poesponegoro, 1992 : 62-63). Karya-karya sastra yang mendukung politik Tiga A
atau yang sejenis seperti “Tjinta Tanah
Sutji” (Nur Sutan Iskandar), “Palawidja”
(Karim Halim), “Angin Fudji”
(Usmar Ismail) adalah karya sastra yang sejalan dengan propaganda Jepang untuk
menggelorakan semangat berjuang dan berkorban untuk kepentingan “Asia Timur
Raya”. Karya-karya seperti itulah yang diinginkan oleh Jepang. Karya sastra
yang bertentangan dengan atau menentang kebijaksanaan dan kepentingan Jepang
tidak boleh terbit dan beredar (Poesponegoro, 1992 : 63). Bahkan kalau
diketahui penciptanya ia harus berhadapan dengan kempetai. Seperti misalnya sajak Chairil Anwar “Siap Sedia” yang menyebabkan pengarangnya harus bermukim dalam
tahanan beberapa waktu (Poesponegoro, 1992 : 64).
Mengenai
kegiatan seni musik komponis Cornel Simanjuntak menciptakan antara lain lagunya
“Tanah Tumpah Darahku” yang
menggambarkan rasa cinta terhadap tanah air. Begitu juga dengan lagunya “Maju Putra Putri Indonesia” yang
membangunkan semangat kesadaran bangsa Indonesia untuk membangun “Jawa Baru”
dalam rangka “Asia Timur Raya” (Poesponegoro, 1992 : 65).
Kedatangan Jepang juga membawa dampak yang
sangat besar bagi bangsa Indonesia karena perkembangan seni sandiwara yang
sangat pesat, baik dalam seni pertunjukan ataupun kesusastraannya. Jepang
menyadari bahwa kesenian sandiwara dapat menjadi modal utama dalam menyampaikan
propaganda-propaganda anti Barat atau untuk mendukung Jepang mengalahkan Sekutu
dalam Perang Dunia II. Tampaknya rakyat
mudah dipengaruhi dengan menggunakan konsep pertunjukan ini karena sifat dari
pertunjukan sandiwara yang disampaikan secara langsung. Semangat perjuangan
atau nasionalisme yang dipentaskan dapat membakar api perjuangan dalam diri
rakyat. Terlebih pertunjukan ini ada beberapa diantaranya yang dilakukan secara
gratis. Bahkan ada pula naskah-naskah sandiwara yang sengaja dicetak oleh Keimin Bunka Shidosho (Pusat Kebudayaan)
untuk diedarkan kepada masyarakat, dengan tujuan agar dapat dipentaskan juga
oleh kelompok sandiwara-sandiwara di berbagai daerah (Sofansyah, 2019 : 45).
Masyarakat Jawa
pada masa awal pendudukan Jepang sedikit sekali mendapatkan hiburan, dalam hal
ini Keimin Bunka Shidosho telah
memainkan perannya dalam memberikan hiburan bagi masyarakat Jawa yang umumnya
hanyalah masyarakat kecil yang pada zaman penjajahan Belanda dan tidak pernah
mendapatkan kesempatan untuk menikmati hiburan. K. Jasoda sebagai pemimpin
kelompok kesenian sandiwara di dalam Keimin
Bunka Shidosho berupaya untuk memberikan hiburan bagi masyarakat kecil di
Jawa dengan jalan memerintahkan perkumpulan-perkumpulan sandiwara untuk melakukan
pertunjukkan keliling di wilayah-wilayah Jawa. Beberapa perkumpulan sandiwara
yang mendapat tugas dari Keimin Bunka
Shidosho untuk berkeliling diantaranya Tjahaja
Timoer, Bintang Soerabja, Warnasari, Miss Tjitjih (Sofansyah, 2019 : 46).
Jepang berusaha
menyampaikan propaganda yang dapat diterima oleh masyarakat Indonesia. Jepang
kemudian mensiasati propagandanya dengan menggabungkannya dengan kesenian-kesenian
yang berkembang di masanya. Oleh karena itu, perhatian Jepang adalah bagaimana meningkatkan efek propaganda tanpa
merusak aspek-aspek hiburannya, meski fungsi sandiwara sebagai pertunjukkan
hiburan menjadi nomor dua (Sofansyah, 2019 : 47).
Ada beberapa
organisasi yang dibentuk Jepang melalui Sendenbu
dalam menangani aktivitas sandiwara diantaranya Sekolah Tonil, Jawa Engeki Kyokai atau Perserikatan Oesaha Sandiwara Djawa
(POSD), dan Keimin Bunka Shidosho atau
Pusat Kebudayaan. Sekolah Tonil yang dibentuk sekitar Agustus 1942 di Jakarta
memiliki tujuan untuk meningkatkan mutu sandiwara yang mulai meredup setelah
munculnya film-film Barat pada masa akhir penjajahan Belanda. Sekolah ini juga
pada dasarnya untuk mendidik dan menghasilkan penulis naskah profesional, aktor
atau staf lainnya. Namun setelah kurang lebih tujuh bulan berdiri, Sekolah
Tonil akhirnya ditutup pada 3 Januari 1943. Penutupan sekolah dikarenakan sudah
cukup banyak pelajar-pelajar yang telah menuntut ilmu di sekolah ini dan banyak
diantaranya telah bergabung menjadi anggota dalam perkumpulan sandiwara. Selain
itu lebih khususnya, aka ada rencana yang lebih besar dan lebih sempurna dari
badan pendidikan yang kelak akan didirkan kembali (Sofansyah, 2019 : 49).
Setelah penutupan
Sekolah Tonil, Sendenbu pada 19
Januari 1943 mengeluarkan beberapa peraturan untuk mengawasi jalannya kegiatan
seni sandiwara di Jawa dan khususnya di Jakarta. Peraturan ini berlaku untuk
sandiwara modern dan tradisional (Sofansyah, 2019 : 49). Isi peraturan tersebut adalah : (1) semua
cerita yang hendak dimainkan harus dikirm dahulu ke kantor Hoodoka, Gambir Selatan No. 3 Jakarta untuk diperiksa, (2) yang
diserahkan ke kantor tersebut bukan hanya isi cerita atau kesimpulan saja,
tetapi cerita yang lengkap dengan bagian-bagian lakonnya serta semua
pembicaraan yang akan dilakukan dalam permainan itu, (3) cerita itu harus
ditulis dengan bahasa yang digunakan oleh orang yang bermain pada waktu
mengadakan pertunjukan, (4) semua perkumpulan yang terus menerus atau sering
mengadakan pertunjukan, diwajibkan mendaftarkan nama kelompoknya dan nama orang
yang bertanggung jawab pada kelompok tersebut (Sofansyah, 2019 : 50).
Keimin Bunka Shidosho berdiri pada 1 April 1943 di Jakarta. Ini adalah organisasi di luar Sendenbu sebagai pusat kebudayaan yang
bergerak di bidang kesenian. Organisasi ini dipimpin oleh seorang Jepang
bernama S. Oja. Tujuan dari organisasi ini adalah untuk menyesuaikan kebudayaan
yang ada dengan cita-cita Asia Timur Raya, bekerja dan melatih ahli-ahli
kebudayaan Nippon dan Indonesia
bersama-sama, memajukan kebudayaan Indonesia (Sofansyah, 2019 : 50-51). Selain
itu Keimin Bunka Shidosho bertugas
untuk : menghapus kebudayaan Barat serta paham kesenian untuk kesenian yang tidak
cocok dengan sikap ketimuran, membangun kebudayaan Timur untuk dijadikan dasar
bagi memajukan bangsa Asia Timur, dan menghimpun para seniman untuk membantu
tercapainya kemenangan akhir dalam peperangan Asia Timur Raya (Sofansyah, 2019
: 51).
Terdapat lima
bagian di dalam Keimin Bunka Shidosho,
yaitu (1) bagian kesusastraan; (2) bagian film; (3)bagian lukisan dan ukiran;
(4) bagian musik ; (5) bagian sandiwara dan tari. Setiap bagian dipimpin oleh
seorang ahli seni dari Jepang dan diadampingi seorang Indonesia (Sofansyah,
2019 : 51). Pada bagian sandiwara dan tari dipimpin oleh K. Jasoeda dan
didampingi Winarno. Pada tanggal 2 April 1943 diadakan pertemuan pengurus Keimin Bunka Shidosho untuk pertama
kalinya. Pertemuan ini menghasilkan keputusan antara lain menanamkan dan
menyebarkan kesenian dan kebudayaan Nippon.
Selain itu juga mendidik dan melatih para ahli kesenian di segala bidang, serta
dapat memberikan penghargaan setinggi-tingginya bagi mereka yang berkarya di bidang
kesenian. Mereka yang berprestasi dapat dikirim ke Nippon untuk memperkenalkan keseniannya (Sofansyah, 2019 : 51).
Dengan
pembentukan organisasi ini naskah drama dapat disensor sebelum dipentaskan. Keimin Bunka Shidosho juga sering
menyelenggarakan sayembara berhadiah penulisan naskah sandiwara. Naskah dari para
pemenang sandiwara tersebut kemudian dikumpulkan dan diterbitkan ke dalam satu
buku yang bernama Keboedajaan Timoer (Sofansyah,
2019 : 52-53). Naskah cerita yang diterima oleh Keimin Bunka Shidosho kemudian diberikan kepada kelompok-kelompok sandiwara
untuk dipentaskan berkeliling kota. Beberapa yang lain dimuat dalam majalah
umum pada masa pendudukan Jepang yaitu Djawa
Baroe dengan maksud agar naskah cerita tersebut juga dapat dipentaskan oleh
kelompok kelompok sandiwara kecil di daerah-daerah di luar kontrol langsung Keimin Bunka Shidosho. Cerita-cerita
yang dimuat umumnya bertemakan tentang gotong-royong, cinta tanah air, tentara
sukarela, romusha, dan kebruatalan
Belanda (Sofansyah, 2019 : 53).
Tidak semua
seniman mengikuti keinginan Jepang. Mengetahui realitas yang ada seperti romusha misalnya, tidak sedikit yang
kemudian membangkang dari pemerintah Jepang. Salah seorang tokoh seniman yang
berasal dari Surabya menjadi korban dari kempetai
adalah Cak Durasim. Seorang seniman ludruk
yang memimpin perkumpulan ludruk
di Surabaya. Alasan dari kempetai
menangkap Cak Durasim adalah karena di dalam pementasan ludruknya, Cak Durasim menambahkan kidung jula-juli yang mengkritik pemerintah Jepang saat itu. “Pagupon omahe doro, melok Nippon soyo
sengsoro” dalam kidung jula juli
ini memiliki arti bahwa ketika zaman pendudukan Jepang ternyata lebih susah dan
sengsara dari pada zaman sebelumnya. Ludruk
pimpinan Cak Durasim dikenal dengan Ludruk
Organizatie amatlah terkenal
keberaniannya dalam menyindir dan mengkritisi pemerintah baik Belanda maupun
Jepang (Sofansyah, 2019 : 108).
Salah satu
seni pertunjukan yang lain adalah yang
dikenal masyarakat umum saat itu dengan “lampu
sorot”. Pertunjukkan ini sejenis dengan layar
tanjep yang biasa diadakan di lapangan pada malam hari. Masyarakat sangat
antusias menyaksikan pertunjukan ini. Sambil membawa senthir mereka berjalan kaki dan berbondong-bondong dari rumah
menuju ke lapangan. Terkadang masyarakat hanya menggunakan cahaya bulan untuk
menerangi perjalanan mereka. Banyak pedagang dilapangan seperti pedangan kacang rebus. Anak-anak
berlarian bersama teman sebayanya dibarengi dengan orang-orang yang saling
mengobrol. Ketika tim penyelenggara selesai mempersiapkan perlengkapan (kain
putih terbentang, lampu mulai menyorot), masyarakat langsung duduk (Restu S.,
2018 : 100).
Masyarakat akan
disuguhkan sebuah film dengan isi propaganda Jepang. Seperti film yang bercerita
tentang kemakmuran orang-orang yang menjadi romusha
(Restu S., 2018 : 101). Pada waktu itu film dokumenter yang disebut bunka eiga terasa sekali dengan nuansa
propaganda. Ada beberapa tema yang diutamakan untuk menggiatkan bekerja dan
meningkatkan daya ekonomi seperti “Bekerja”, “Romusha”, “Karung Goni di Jawa”, “Menanam
Kapas”, “Mari Menggandakan Hasil Jarak”, “Penanaman Bibit”, “Kerja Gembira”, “Ubi
Jalur”, “Menggarap sawah” dan sebaginya. Film-film ini tidak hanya ditayangkan
di bioskop, akan tetapi juga diputar oleh tim keliling secara gratis (Restu S.,
2018 : 102).
Pada 31 Agustus
1943, Sinar matahari menerbitkan berita yang memuat aturan dari Gunseikanbu yang harus ditaati para
penonton film. Isinya “penonton harap
membuka topi dan duduk dengan sopan, karena dalam gambar ini akan
dipertunjukkan gambar-gambar Tenno Heika dan keluarga, para penonton harus melepas
topi”. Demikian tulisan yang ditampilkan pertama kali di layar putih
sebelum film diputar. Bagi masyarakat yang mengenakan penutup kepala seperti
peci, sorban, blangkon/ketoe oedeng,
kain keodoeng perempoean, diijinkan untuk
tetap mengenakannya (Restu S., 2018 : 103).
Daftar Pustaka
Poesponegoro,
Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. 1992. SEJARAH NASIONAL INDONESIA VI. Jakarta : Balai Pustaka
Restu S.,
Alfrida. 2018. Di Bawah Bendera Fasisme
Kehidupan Anak-Anak di Yogyakarta Pada Masa Pendudukan Jepang 1942-1945.
Yogyakarta : Dialog Pustaka
Sofansyah, Dio
Yulian. 2019. PROPAGANDA ROMUSHA
SANDIWARA DARI JEPANG. Yogyakarta : Matapadi Presindo
nama liratania
BalasHapuskelas X ips 2