Rabu, 08 April 2020

MILITER ZAMAN JEPANG

Purbalingga, hari  Rabu tanggal 8 April 2020


Militer Zaman Jepang (Heiho dan Peta)
Oleh : Topan

Pengerahan kaum pemuda dan kaum pelajar dalam barisan-barisan semi militer itu sepenuhnya mendukung Jepang yang menderita kekurangan man power. Sehubungan dengan itu, dalam bulan April 1943 dikeluarkan pengumuman yang isinya memberi kesempatan kepada pemuda Indonesia untuk menjadi pembantu prajurit Jepang (Heiho). Para Heiho adalah prajurit Indonesia yang langsung ditempatkan di dalam organisasi militer Jepang, baik Angkatan Darat maupun Angkatan Laut. Syarat- syarat penerimaan ialah mereka harus berbadan sehat, berkelakuan baik dan berumur antara 18-25 tahun dan pendidikan terendah ialah sekolah dasar. Jumlah Heiho dari saat didirikan sampai berakhirnya pendudukan Jepang adalah sebanyak 42.000 orang (Jawa 24.000, Timor 2.504, dan daerah lain 15.000). Menurut orang Jepang anggota Heiho lebih terlatih d dalam bidang militer dari pada Tentara pembela Tanah Air (Peta), karena kedudukannya sebagai pengganti prajurit Jepang di waktu perang. Diantaranya terdapat angota Heiho sebagai pemegang senjata anti pesawat, tank, artileri medan, pengemudi dan lain-lain. Tetapi tidak seorang Heiho pun yang berpangkat perwira. Pangkat perwira hanya untuk orang Jepang. Hal ini berbeda dengan Peta (Poesponegoro, 1992 : 33).
Dilingkungan Tentara Keenambelas di Jawa Madura PETA dilatih oleh suatu seksi khusus pada bagian intelijen (seksi khusus = Tokubetsu Han, disingkat Beppan). Sebelum Peta didirikan, Beppan melatih pemuda Indonesia untuk tugas intelijen. Kemudian berkembang pada latihan khusus dalam Seinen Dojo (panti latihan pemuda) di  Tanggerang. Disini 40 pemuda dari seluruh Jawa dilatih. Seinen Dojo dibuka pada awal 1943. Pada pertengahan tahun dibuka angkatan ke dua. Menjelang latihan angkatan kedua keluarlah perintah pembentukan Tentara Peta kepada Beppan. Panglima Letnan Jenderal Kumakici Harada memutuskan agar pembentukan Tentara PETA dibuat sedemikian rupa, sehingga seolah-olah merupakan usul dari bangsa Indonesia sendiri. Untuk itu dicarilah pribadi yang cocok dan akhirnya dipilih seorang pemimpin nasionalis Indonesia, yakni Gatot Mangkupradja yang dianggap bersimpati kepada Jepang, untuk mengajukan permohonan kepada Gunseikan supaya dibentuk sebuah tentara yang segenap anggotanya terdiri atas orang Indonesia. Dituliskanlah surat oleh Gatot Mangkupradja pada tanggal 7 September 1943. Kemudian permintaan dikabulkan dengan dikeluarkanya sebuah peraturan dengan sebutan Osamu Seirei No. 44 pada tanggal 3 Oktober 1943. Peraturan itu menetapkan dibentuknya Tentara Peta secara formal (Poesponegoro, 1992 : 34).
Ada lima macam pangkat di dalam PETA yang sesungguhnya adalah nama untuk jabatan  yakni daidanco (komandan batalyon), cudanco (komandan kompi), shodanco (komandan pleton), budanco (komandan regu), dan giyohei (prajurit sukarela). Perwira-perwira yang menjadi daidanco dipilih dari kalangan tokoh-tokoh masyarakat atau orang-orang yang terkemuka di daerahnya seperti pegawai pemerintah, pemimpin agama atupun ulama, pamongpraja, kaum politikus, penegak hukum dan sebagainya. Cudanco dipilih dari kalangan mereka yang telah bekerja, tetapi belum mencapai pangkat dan jabatan yang tinggi seperti guru-guru sekolah atau juru tulis. Sedangkan shodanco  umumnya dipilih dari kalangan pelajar-pelajar sekolah lanjutan atas atau sekolah lanjutan pertama. Adapun budanco dan giyuhei dipilih dari kalangan pemuda dari tingkatan sekolah (Poesponegoro, 1992 : 34-35).
Ada beberapa motivasi yang mendorong masuk Peta. Sebagian besar para daidanco yang berasal dari pemimpin pergerakan nasional Islam memasuki Peta dengan perasaan segan. Mereka kena bujukan para “ahli Islam” dari Beppan seperti Abdulhamid Ono dan Muhammad Abdul Muniam Inada. Mereka tidak cocok dengan cara hidup orang Jepang seperti minum-minuman keras, seikerei kearah Tokyo. Inilah yang membuat mereka tidak kerasan pada posisinya sebagai perwira Peta.  Mereka memiliki tingkat pendidikan yang paling tinggi, sehingga sikap merekapun paling kritis terhadap propaganda Jepang. Selain golongan tadi, ada juga yang masuk Peta dengan sikap acuh tak acuh dan ada juga yang sekedar untuk mencari nafkah karena waktu itu sulit mencari pekerjaan yang sesuai. Ada yang beranggapan bahwa dengan masuk Peta berarti terhindar dari kecurigaan Jepang, karena pernah menjadi  anggota militer Belanda. Ada juga yang karena diperintahkan atasannya masuk Peta, tetapi merekapun bukannya tidak suka masuk Peta. Sedangkan sebagian besar yang masuk Peta dengan antusias adalah terutama dari kalangan shodanco. Mereka berasal dari bangku sekolah dan menganggap harus membantu bangsa Jepang untuk kemenangann perangnya di Pasifik. Dengan kemenangan itu mereka mengharapkan akan terwujud pula cita-cita bangsa Indonesia untuk merdeka. Bagi mereka Peta merupakan tempat latihan yang luas untuk menghasilkan tenaga-tenaga militer yang mampu membela tanah airnya kelak (Poesponegoro, 1992 : 35-36).
Calon perwira Peta mendapat latihan di Bogor dalam lembaga Jawa Boei Giyugun Kanbu Renseitai (Korps Latihan Pemimpin Tentara Sukarela Pembela Tanah Air di Jawa) – kemudian berganti dengan Jawa Bo-ei Giyugun Kanbu Kyoikutai (Korps Pendidikan Pemimpin Tentara Sukarela Pembela Tanah Air di Jawa).  Setelah selesai mengikuti pendidikan di tempat tersebut anggota Peta ditempatkan di dalam daidan-daidan (terdapat 66 daidan / batalyon) yang tersebar di Jawa-Madura dan Bali (Poesponegoro, 1992 : 36).
Organisasi ini merupakan suatu tentara sukarela Indonesia yang pada akhir perang beranaggotakan 37.000 orang di Jawa dan sekitar 20.000 orang di Sumatera (organisasi ini biasa dikenal dengan nama Jepang Giyugun, prajurit sukarela). Tidak seperti Heiho, Peta tidak secara resmi menjadi bagian dari balatentara Jepang melainkan dimaksudkan sebagai pasukan gerilya pembantu guna melawan serbuan pihak Sekutu. Diantara banyak perwira Peta, terdapat seorang guru sekolah Muhammadiyah yang bernama Soedirman  yang akan menjadi salah seorang tokoh militer terkemuka pada masa revolusi. Disiplin Peta sangat ketat dan ide-ide Nasionalis Indonesia dimanfaatkan dalam indoktrinasi (Ricklefs, 2005 : 308-309).
Manfaat yang didapat pemuda-pemuda Indonesia selama menjadi anggota Peta adalah lebih bersifat inspiratif dari pada instruktif. Gemblengan-gemblengan di dalam daidan Peta memberikan mereka kepercayaan kepada diri sendiri bahwa merekapun mampu berjuang melawan kekuatan yang lebih kuat dan lebih terlatih. Orang Jepang memperlihatkan kepada bangsa Indonesia, bahwa sebagai orang Asia mereka tidak hanya dapat tegak berdiri sebagai bangsa merdeka, melainkan juga mampu mencapai tingkat yang sama dengan orang Barat (Poesponegoro, 1992 : 37).


Daftar Pustaka
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. 1992. SEJARAH NASIONAL INDONESIA VI. Jakarta : Balai Pustaka
Ricklefs, M.C. 2005. SEJARAH INDONESIA MODERN. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press

Bersambung. . . . .

1 komentar:

  1. ayo segera bergabung dengan kami hanya dengan minimal deposit 20.000
    dapatkan bonus rollingan dana refferal ditunggu apa lagi
    segera bergabung dengan kami di i*o*n*n*q*q

    BalasHapus