Militer Zaman Jepang (Heiho dan Peta)
Oleh : Topan
Pengerahan kaum
pemuda dan kaum pelajar dalam barisan-barisan semi militer itu sepenuhnya mendukung
Jepang yang menderita kekurangan man
power. Sehubungan dengan itu, dalam bulan April 1943 dikeluarkan pengumuman
yang isinya memberi kesempatan kepada pemuda Indonesia untuk menjadi pembantu
prajurit Jepang (Heiho). Para Heiho adalah prajurit Indonesia yang
langsung ditempatkan di dalam organisasi militer Jepang, baik Angkatan Darat
maupun Angkatan Laut. Syarat- syarat penerimaan ialah mereka harus berbadan sehat,
berkelakuan baik dan berumur antara 18-25 tahun dan pendidikan terendah ialah
sekolah dasar. Jumlah Heiho dari saat
didirikan sampai berakhirnya pendudukan Jepang adalah sebanyak 42.000 orang (Jawa
24.000, Timor 2.504, dan daerah lain 15.000). Menurut orang Jepang anggota Heiho lebih terlatih d dalam bidang militer
dari pada Tentara pembela Tanah Air (Peta), karena kedudukannya sebagai
pengganti prajurit Jepang di waktu perang. Diantaranya terdapat angota Heiho sebagai pemegang senjata anti
pesawat, tank, artileri medan, pengemudi dan lain-lain. Tetapi tidak seorang Heiho pun yang berpangkat perwira.
Pangkat perwira hanya untuk orang Jepang. Hal ini berbeda dengan Peta
(Poesponegoro, 1992 : 33).
Dilingkungan
Tentara Keenambelas di Jawa Madura PETA dilatih oleh suatu seksi khusus pada
bagian intelijen (seksi khusus = Tokubetsu
Han, disingkat Beppan). Sebelum Peta didirikan, Beppan melatih pemuda
Indonesia untuk tugas intelijen. Kemudian berkembang pada latihan khusus dalam Seinen Dojo (panti latihan pemuda)
di Tanggerang. Disini 40 pemuda dari
seluruh Jawa dilatih. Seinen Dojo
dibuka pada awal 1943. Pada pertengahan tahun dibuka angkatan ke dua. Menjelang
latihan angkatan kedua keluarlah perintah pembentukan Tentara Peta kepada
Beppan. Panglima Letnan Jenderal Kumakici Harada memutuskan agar pembentukan
Tentara PETA dibuat sedemikian rupa, sehingga seolah-olah merupakan usul dari
bangsa Indonesia sendiri. Untuk itu dicarilah pribadi yang cocok dan akhirnya
dipilih seorang pemimpin nasionalis Indonesia, yakni Gatot Mangkupradja yang
dianggap bersimpati kepada Jepang, untuk mengajukan permohonan kepada Gunseikan supaya dibentuk sebuah tentara
yang segenap anggotanya terdiri atas orang Indonesia. Dituliskanlah surat oleh
Gatot Mangkupradja pada tanggal 7 September 1943. Kemudian permintaan
dikabulkan dengan dikeluarkanya sebuah peraturan dengan sebutan Osamu Seirei No. 44 pada tanggal 3
Oktober 1943. Peraturan itu menetapkan dibentuknya Tentara Peta secara formal
(Poesponegoro, 1992 : 34).
Ada lima macam
pangkat di dalam PETA yang sesungguhnya adalah nama untuk jabatan yakni daidanco
(komandan batalyon), cudanco
(komandan kompi), shodanco (komandan
pleton), budanco (komandan regu), dan
giyohei (prajurit sukarela).
Perwira-perwira yang menjadi daidanco
dipilih dari kalangan tokoh-tokoh masyarakat atau orang-orang yang terkemuka di
daerahnya seperti pegawai pemerintah, pemimpin agama atupun ulama, pamongpraja,
kaum politikus, penegak hukum dan sebagainya. Cudanco dipilih dari kalangan mereka yang telah bekerja, tetapi
belum mencapai pangkat dan jabatan yang tinggi seperti guru-guru sekolah atau
juru tulis. Sedangkan shodanco umumnya dipilih dari kalangan pelajar-pelajar
sekolah lanjutan atas atau sekolah lanjutan pertama. Adapun budanco dan giyuhei dipilih dari kalangan pemuda dari tingkatan sekolah (Poesponegoro,
1992 : 34-35).
Ada beberapa motivasi
yang mendorong masuk Peta. Sebagian besar para daidanco yang berasal dari pemimpin pergerakan nasional Islam
memasuki Peta dengan perasaan segan. Mereka kena bujukan para “ahli Islam” dari
Beppan seperti Abdulhamid Ono dan Muhammad Abdul Muniam Inada. Mereka tidak
cocok dengan cara hidup orang Jepang seperti minum-minuman keras, seikerei kearah Tokyo. Inilah yang
membuat mereka tidak kerasan pada posisinya sebagai perwira Peta. Mereka memiliki tingkat pendidikan yang paling
tinggi, sehingga sikap merekapun paling kritis terhadap propaganda Jepang.
Selain golongan tadi, ada juga yang masuk Peta dengan sikap acuh tak acuh dan
ada juga yang sekedar untuk mencari nafkah karena waktu itu sulit mencari
pekerjaan yang sesuai. Ada yang beranggapan bahwa dengan masuk Peta berarti
terhindar dari kecurigaan Jepang, karena pernah menjadi anggota militer Belanda. Ada juga yang karena
diperintahkan atasannya masuk Peta, tetapi merekapun bukannya tidak suka masuk
Peta. Sedangkan sebagian besar yang masuk Peta dengan antusias adalah terutama
dari kalangan shodanco. Mereka berasal
dari bangku sekolah dan menganggap harus membantu bangsa Jepang untuk
kemenangann perangnya di Pasifik. Dengan kemenangan itu mereka mengharapkan
akan terwujud pula cita-cita bangsa Indonesia untuk merdeka. Bagi mereka Peta
merupakan tempat latihan yang luas untuk menghasilkan tenaga-tenaga militer
yang mampu membela tanah airnya kelak (Poesponegoro, 1992 : 35-36).
Calon perwira Peta
mendapat latihan di Bogor dalam lembaga Jawa
Boei Giyugun Kanbu Renseitai (Korps Latihan Pemimpin Tentara Sukarela
Pembela Tanah Air di Jawa) – kemudian berganti dengan Jawa Bo-ei Giyugun Kanbu Kyoikutai (Korps Pendidikan Pemimpin
Tentara Sukarela Pembela Tanah Air di Jawa).
Setelah selesai mengikuti pendidikan di tempat tersebut anggota Peta
ditempatkan di dalam daidan-daidan (terdapat
66 daidan / batalyon) yang tersebar
di Jawa-Madura dan Bali (Poesponegoro, 1992 : 36).
Organisasi ini
merupakan suatu tentara sukarela Indonesia yang pada akhir perang
beranaggotakan 37.000 orang di Jawa dan sekitar 20.000 orang di Sumatera (organisasi
ini biasa dikenal dengan nama Jepang Giyugun,
prajurit sukarela). Tidak seperti Heiho,
Peta tidak secara resmi menjadi bagian dari balatentara Jepang melainkan
dimaksudkan sebagai pasukan gerilya pembantu guna melawan serbuan pihak Sekutu.
Diantara banyak perwira Peta, terdapat seorang guru sekolah Muhammadiyah yang
bernama Soedirman yang akan menjadi
salah seorang tokoh militer terkemuka pada masa revolusi. Disiplin Peta sangat
ketat dan ide-ide Nasionalis Indonesia dimanfaatkan dalam indoktrinasi (Ricklefs,
2005 : 308-309).
Manfaat yang
didapat pemuda-pemuda Indonesia selama menjadi anggota Peta adalah lebih
bersifat inspiratif dari pada instruktif. Gemblengan-gemblengan di
dalam daidan Peta memberikan mereka
kepercayaan kepada diri sendiri bahwa merekapun mampu berjuang melawan kekuatan
yang lebih kuat dan lebih terlatih. Orang Jepang memperlihatkan kepada bangsa
Indonesia, bahwa sebagai orang Asia mereka tidak hanya dapat tegak berdiri
sebagai bangsa merdeka, melainkan juga mampu mencapai tingkat yang sama dengan
orang Barat (Poesponegoro, 1992 : 37).
Daftar Pustaka
Poesponegoro,
Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. 1992. SEJARAH NASIONAL INDONESIA VI. Jakarta : Balai Pustaka
Ricklefs, M.C.
2005. SEJARAH INDONESIA MODERN.
Yogyakarta : Gadjah Mada University Press
Bersambung. . .
. .
ayo segera bergabung dengan kami hanya dengan minimal deposit 20.000
BalasHapusdapatkan bonus rollingan dana refferal ditunggu apa lagi
segera bergabung dengan kami di i*o*n*n*q*q