Senin, 03 Desember 2018

SAMBUTAN DI DAERAH-DAERAH


SAMBUTAN DI DAERAH-DAERAH
Di Surabaya selama bulan September terjadi perebutan senjata di arsenal (gudang misiu) Don Bosco dan perebutan Markas Pertahanan Jawa Timur, maupun pangkalan Angkatan Laut Ujung dan markas-markas tentara Jepang serta pabrik-pabrik yang tersebar di seluruh kota. Pada tanggal 19 September 1945, terjadi insiden bendera di Hotel Yamato, Insiden ini pecah ketika orang-orang Belanda bekas tawanan Jepang menduduki Hotel Yamato, dengan dibantu oleh serombongan pasukan Serikat yang diterjunkan di Gunungsari, untuk mendirikan Markas RAPWI. Orang Belanda tersebut mengibarkan bendera mareka di puncak hotel tersebut.
Sudah barang tentu hal ini memancing kemarahan para pemuda. Hotel tersebut diserbu oleh para pemuda, setelah permintaan Residen Sudirman dengan cara baik-baik untuk menurunkan bendera Belanda ditolak oleh penghuni hotel. Bentrokan tidak dapat dihindarkan. Beberapa orang pemuda berhasil memanjat atap hotel serta menurunkan bendera Belanda yang berkibar diatasnya. Mereka merobek warna birunya dan mengibarkannya kembali sebagai Merah Putih. Sasaran perebutan selanjutnya adalah Markas Kempetai dan yang dianggap sebagai lambang kekejaman pemerintah Jepang yang terletak di depan kantor Gubernur yang sekarang. Pada tanggal 1 Oktober 1945, markas itu diserbu oleh rakyat, Gedung dipertahankan dengan gigih oleh pihak Jepang, namun jatuh ke tangan rakyat setelah pertempuran selama 5 jam. Dalam perebutan ini 25 orang pemuda gugur dan 60 luka-luka sedangkan 15 orang prajurit Jepang mati (Notosusanto,1992:102-103)
Di Yogyakarta, perebutan kekuasaan secara serentak dimulai pada tanggal 26 september 1945. Sejak pukul 10 pagi semua pegawai instansi pemerintah dan perusahaan-perusahaan yang di kuasai oleh Jepang mengadakan aksi pemogokan. Mereka memaksa orang-orang Jepang agar menyerahkan semua kantor mereka kepada orang Indonesia. Pada tanggal 27 September 1945, KNI Daerah Yogyakarta mengumumkan bahwa kekuasaan di Daerah itu telah berada di tangan pemerintah RI. Pada hari itu juga di Yogyakarta terbit surat kabar Kedaulatan Rakjat. Para pemuda yang tergabung dalam BKR berusaha untuk memperoleh senjata. Usaha untuk melucuti Jepang melalui perundingan sama sekali gagal. Pada tanggal 7 Oktober malam para pemuda BKR bersama dengan pemuda Polisi Instimewa bergabung menuju ke kota baru. Mereka menyerbu tangsi Otsuka Butai. Pada hari itu juga Otsuka Butai menyerah. Korban yang jatuh pada peneyrbuan ini 18 orang pemuda polisi gugur (Notosusanto, 1992: 103).
Di Bandung pertempuran diawali oleh usaha pemuda untuk merebut pangkalan udara andir dan pabrik senjata bekas ACW (Artillerie Constructie Winkel) dan terus berlangsung sampai kedatangan Serikat di kota Bandung (Notosusanto, 1992:104).
Di luar Jawapun sambutan rakyat sangat luar biasa. Di Sulawesi Para pemuda mulai mengorganisasi  diri dan merencanakan untuk merebut gedung-gedung vital, seperti studio radio dan tangsi Polisi. Kelompok pemuda tersebut terdiri dari kelompok Barisan Berani Mati (Bo-ei Tai-Shin), bekas kaigun Heiho dan pelajar SMP. Pada tanggal 28 Oktober mereka bergerak menuju sasarannya dan mendudukinya. Karena peristiwa itu pasukan Australia yang telah ada, bergerak melucuti para pemuda. Sejak itu pusat gerakan pemuda dipindahkan dari Ujung pandang ke Polombangkeng (Notosusanto, 1992:104). Di Sulawesi Utara, Pada tanggal 14 Februari 1946, pemuda pemuda Indonesia anggota KNIL, yang tergabung pada Pasukan Pemuda Indonesia (PPI) mengadakan gerakan di Tangsi Putih dan Tangsi Hitam di Teling, Manado. Mereka membebaskan para tahanan yang di curigai pro Republik Indonesia antara lain Taulu, Wuisan, Sumanti, GA Maengkom, Kusno Dhanupojo,GE Duhan. Sebaliknya mereka menahan komandan Garnisun Manado dan semua pasukan Belanda di Teling dan penjara Manado. Dengan diawali  peristiwa itu pemuda menguasai markas Belanda di Tomohon dan Tondano. Berita mengenai perebutan kekuasaan mereka dikirim ke pemerintah pusat di Yogyakarta dan mengeluarkan Maklumat No. 1 yang ditandatangani oleh Ch. Ch. Taulu. Pemerintah sipil dibentuk tangggal 16 Februari dan sebagai residen dipilih BW Lapian. Satuan lokal Tentara Indonesia disusun dengan pimpinan kolektif: Ch.Ch. Taulu, SD. Wuisan, dan J. Kaseger (Notosusanto, 1992: 105).

1 komentar: