SAMBUTAN DI DAERAH-DAERAH
Di Surabaya
selama bulan September terjadi perebutan senjata di arsenal (gudang misiu) Don
Bosco dan perebutan Markas Pertahanan Jawa Timur, maupun pangkalan Angkatan
Laut Ujung dan markas-markas tentara Jepang serta pabrik-pabrik yang tersebar
di seluruh kota.
Pada tanggal 19 September 1945, terjadi insiden bendera di Hotel Yamato,
Insiden ini pecah ketika orang-orang Belanda bekas tawanan Jepang menduduki
Hotel Yamato, dengan dibantu oleh serombongan pasukan Serikat yang diterjunkan
di Gunungsari, untuk mendirikan Markas RAPWI.
Orang Belanda tersebut mengibarkan bendera mareka di puncak hotel tersebut.
Sudah barang
tentu hal ini memancing kemarahan para pemuda. Hotel tersebut diserbu oleh para
pemuda, setelah permintaan Residen Sudirman dengan cara baik-baik untuk
menurunkan bendera Belanda ditolak oleh penghuni hotel. Bentrokan tidak dapat
dihindarkan. Beberapa orang pemuda berhasil memanjat atap hotel serta
menurunkan bendera Belanda yang berkibar diatasnya. Mereka merobek warna
birunya dan mengibarkannya kembali sebagai Merah Putih. Sasaran perebutan
selanjutnya adalah Markas Kempetai
dan yang dianggap sebagai lambang kekejaman pemerintah Jepang yang terletak di
depan kantor Gubernur yang sekarang. Pada tanggal 1 Oktober 1945, markas itu
diserbu oleh rakyat, Gedung dipertahankan dengan gigih oleh pihak Jepang, namun
jatuh ke tangan rakyat setelah pertempuran selama 5 jam. Dalam perebutan ini 25
orang pemuda gugur dan 60 luka-luka sedangkan 15 orang prajurit Jepang mati (Notosusanto,1992:102-103)
Di Yogyakarta,
perebutan kekuasaan secara serentak dimulai pada tanggal 26 september 1945.
Sejak pukul 10 pagi semua pegawai instansi pemerintah dan perusahaan-perusahaan
yang di kuasai oleh Jepang mengadakan aksi pemogokan. Mereka memaksa
orang-orang Jepang agar menyerahkan semua kantor mereka kepada orang Indonesia.
Pada tanggal 27 September 1945, KNI Daerah Yogyakarta mengumumkan bahwa
kekuasaan di Daerah itu telah berada di tangan pemerintah RI. Pada hari itu
juga di Yogyakarta terbit surat
kabar Kedaulatan Rakjat. Para pemuda yang tergabung dalam BKR berusaha untuk
memperoleh senjata. Usaha untuk melucuti Jepang melalui perundingan sama sekali
gagal. Pada tanggal 7 Oktober malam para pemuda BKR bersama dengan pemuda
Polisi Instimewa bergabung menuju ke kota
baru. Mereka menyerbu tangsi Otsuka Butai.
Pada hari itu juga Otsuka Butai
menyerah. Korban yang jatuh pada peneyrbuan ini 18 orang pemuda polisi gugur (Notosusanto,
1992: 103).
Di Bandung
pertempuran diawali oleh usaha pemuda untuk merebut pangkalan udara andir dan
pabrik senjata bekas ACW (Artillerie Constructie Winkel) dan terus berlangsung
sampai kedatangan Serikat di kota Bandung (Notosusanto,
1992:104).
Di luar
Jawapun sambutan rakyat sangat luar biasa. Di Sulawesi Para pemuda mulai mengorganisasi diri dan merencanakan untuk merebut
gedung-gedung vital, seperti studio radio dan tangsi Polisi. Kelompok pemuda
tersebut terdiri dari kelompok Barisan Berani Mati (Bo-ei Tai-Shin), bekas kaigun Heiho dan pelajar SMP. Pada tanggal
28 Oktober mereka bergerak menuju sasarannya dan mendudukinya. Karena peristiwa
itu pasukan Australia
yang telah ada, bergerak melucuti para pemuda. Sejak itu pusat gerakan pemuda
dipindahkan dari Ujung pandang
ke Polombangkeng (Notosusanto, 1992:104). Di Sulawesi Utara, Pada tanggal 14
Februari 1946, pemuda pemuda Indonesia anggota KNIL, yang tergabung pada
Pasukan Pemuda Indonesia (PPI) mengadakan gerakan di Tangsi Putih dan Tangsi
Hitam di Teling, Manado. Mereka membebaskan para tahanan yang di curigai pro
Republik Indonesia antara
lain Taulu, Wuisan, Sumanti,
GA Maengkom, Kusno Dhanupojo,GE
Duhan. Sebaliknya mereka menahan komandan Garnisun Manado
dan semua pasukan Belanda di Teling dan penjara Manado. Dengan diawali peristiwa itu pemuda menguasai markas Belanda
di Tomohon dan Tondano. Berita mengenai perebutan kekuasaan mereka dikirim ke
pemerintah pusat di Yogyakarta dan
mengeluarkan Maklumat No. 1 yang ditandatangani oleh Ch. Ch. Taulu. Pemerintah
sipil dibentuk tangggal 16 Februari dan sebagai residen dipilih BW Lapian.
Satuan lokal Tentara Indonesia
disusun dengan pimpinan kolektif:
Ch.Ch. Taulu, SD. Wuisan, dan J. Kaseger (Notosusanto, 1992: 105).
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus