PERTEMPURAN-PERTEMPURAN AWAL KEMERDEKAAN
1. Perang Ambarawa.
Sesudah
mendaratnya Brigade Artileri dari Divisi India ke 23, di Semarang pada
tanggal 20 Oktober 1945, mereka diperkenankan untuk mengurus tawanan perang
yang berada di penjara Ambarawa dan Magelang. Ternyata mereka diboncengi NICA yang kemudian bekas tawanan
tersebut dipersenjatai. Hal ini mengakibatkan terjadinya insiden di Magelang tanggal 26 Oktober 1945. Insiden berhenti setelah datangnya Sukarno dan Brigjend Bethell di
Magelang tangggal 2 November 1945, tersepakatilah hal-hal sebagai berikut:
a.
Sekutu akan tetap menempatkan pasukannya di Magelang,
untuk melakukan kewajibannya melindungi dan mengurus evakuasi APWI. Jumlah pasukan Serikat ditentukan
terbatas bagi keperluan melaksanakan tugasnya.
b.
Jalan Raya Magelang Ambarawa terbuka bagi lalu lintas Indonesia
dan Serikat.
c.
Serikat tidak akan mengakui aktivitas NICA dalam badan-badan yang berada di bawah kekuasaannya.
Perjanjian ini
diingkari dalam bentuk penambahan pasukan di Magelang. Terjadilah pertempuran
tanggal 20 November 1945 di Ambarawa. Antara TKR pimpinan Sumarto melawan
pasukan Serikat. Serikat tanggal 21 November 1945 menarik pasukannya ke Ambarawa.
Pecah perang besar dalam kota
Ambarawa tanggal 22 November 1945. Pasukan-pasukan yang bertempur adalah
berasal dari Boyolali, Salatiga, Kertasura. Dari Magelang Divisi V Purwokerto pimpinan Imam Adrongi tanggal 21 November 1945
menyerang dan berhasil mengalahkan pasukan Serikat di Desa Pingit. Pengepungan
diteruskna dengan tambahan kekuatan batalyon Yogyakarta
(Batalyon 10 Divisi III pimpinan Mayor Soeharto, Batalyon 8 pimpinan Mayor
Sardjono dan Batalyon Sugeng). Pihak Sekutu mendatangkan tank, maka TKR menarik
diri ke daerah Bedono yang dibantu Resimen II pimpinan M. Sarbini dan Polisi
Istimewa pimpinan Onie Sastroatmodjo. Gerakan pasukan Serikat berhasil di tahan
di Desa Jambu. Di Desa Jambu dibentuklah Markas Pimpinan Pertempuran yang
berlokasi di Magelang. Sejak itu Ambarawa dibagi empat sektor yaitu Sektor
Utara, Selatan Timur dan Barat. Tanggal 26 November 1945 Letkol Isdiman gugur,
dan kemudian digantikan Kolonel Sudirman. Sekutu kalah dan mundur dari Desa
Banyu Biru pada tanggal 5 Desember 1945. Pada tanggal 11 Desember 1945 Kolonel
Sudirman merencanakaan pemukulan terakhir dengan rencana:
1.
Serangan mendadak yang serentak dari semua sektor.
2.
Masing-masing komandan sektor memimpin pelaksanaan
serangan.
3.
Pasukan-pasukan Badan-badan perjuangan (laskar),
sebagai tenaga cadangan.
4.
Ditentukan hari serangan tanggal 12 Desember 1945 pukul
04.30 WIB.
Rencana
dijalankan dan pasukan Serikat yang bertahan di Benteng Willem dikepung selama
empat hari empat malam. Tanggal 15 Desember 1945 Sekutu mundur dari Ambarawa.
Tanggal ini dijadikan sebagai hari Infanteri.
Ambarawa adalah sebuah kota
kecil yang sangat penting karena:
a.
Posisi Ambarawa yang strategis.
b.
Posisi pasukan Serikat di Ambarawa mengancam kota Surakatra, Magelang dan Yogyakarta.
2. Pertempuran Medan Area
Pasukan
Serikat pimpinan Brigadir Jenderal T.E.D. Kelly mendarat di Sumatera Utara
tanggal 9 Oktober 1945, dimana pasukan ini diboncengi NICA. Sikap RI Sumatera Utara memperkenankan mereka menempati Hotel
di Medan seperti De Boer, Grand Hotel dan Hotel Astoria. Selain itu pasukan mereka
ditempatkan di Binjai dan Tanjung Morawa. Sehari setelah pendaratan, RATWI mendatangi kamp tawanan di Pulu, Berayan,
Saentis, Rantau Prapat, Pematang Siantar dan Berastagi. Untuk pembebasan dan
pengiriman ke Medan
atas persetujuan Gubernur M. Hassan. Namun ternyata mereka (dari para tawanan)
dibentuk Medan Batalyon KNIL dengan sifat yang sangat congkak. Insiden
pertama terjadi di hotel jalan Bali, Medan tanggal 13 Oktober 1945, dengan dirampasnya
dan diinjak-injaknya lencana Merah putih oleh salah satu penghuni Hotel.
Hal ini
mengakibatkan hotel tersebut diserang . Insiden menyebar ke Pematang Siantar
dan Brastagi. Tanggal 10 Oktober 1945 TKR Sumatera Timur dibentuk dengan Pimpinan Achmad Tahir. Pada tanggal 15
Oktober 1945 Badan-badan perjuangan berfusi menjadi Pemuda Republik Indonesia
Sumatra Timur yang bulan berikutnya berubah menjadi PESINDO. Ditambah lagi laskar-laskar
dari kepartaian seperti Barisan Merah (PKI), Hizbullah (Masyumi), Pemuda Parkindo (Parkindo) dan Napindo-Nasional Pelopor
Indonesia (PNI). Pada tanggal 18 Oktober 1945 T.E.D. Kelly juga memberikan
ultimatum penyerahan senjata. Hal ini menciptakan teror yang akhirnya tidak menjamin keamanan pasukan
Inggris. Pada tanggal 1 Desember 1945 terpasanglah papan bertuliskan FIXED
BOUNDARIES MEDAN AREA di semua sudut kota Medan.
Papan ini sebagai perlambang akan dilakukannya pembersihan bagi unsur Republik.
Tanggal 10 Desember 1945 Inggris menyerang TKR di Trepes. Seorang perwira
Inggris pun di culik dan truk-truk perang Inggris dihancurkan. Hal ini mengakibatkan
Jenderal T.E.D. Kelly mengeluarkan ultimatum penyerahan senjata dan yang
melanggar akan ditembak mati. Pada bulan April 1946 tentara Inggris mendesak
pemerintahan RI keluar dari kota Medan.
Gubernur, Markas Divisi TKR, Walikota RI
pindah ke Pematang Siantar. Tanggal 10 Agustus 1946 di Tebing Tinggi
dibentuklah KOMANDAN RESIMEN LASKAR RAKYAT MEDAN AREA yang berkedudukan di Sudi
Mengerti (Trepes). Di bawah komando inilah mereka meneruskan perjuangan di
Medan Area.
3. Perang Di Yogyakarta.
Bentuk
semangat mempertahankan kemerdekaan dengan merebut instansi, kantor dan pabrik
yang dikuasai Jepang. Pada tanggal 27 Sepetember 1945 Komite Nasional Indonesia
Daerah Yogyakarta mengumumkan bahwa seluruh kekuasaan pamerintah telah berada
di tangan RI. Dengan itu konsekwensinya adalah pimpinan kantor penting harus
berada di tangan orang Indonesia.
Tanggal 5 Oktober 1945 gedung Cokan Kantai berhasil direbut dan dijadikan
kantor Komite Nasional Indonesia Daerah. Tanggal 6 Oktober 1945 diadakan perundingan
antara pihak Indonesia dan Jepang, Indonesia diwakili Mohamad Saleh (KNI), R.P.
Sudarsono dan Bardosono (BKR), sedangkan Jepang diwakili Butaico, Mayor Otsuka,
Kempeitaico sasaki, Kapten Ito dan Kiamboco. Pertemuan dilaksanakan di Markas
Osha Butai di Kotabaru.
Pada
perundingan ini pihak Indonesia
mendesak supaya Jepang menyerahkan senjata dan kekuasaannya. Namun ditolak,
karena harus menunggu keputusan Jenderal Nakamura di Magelang. Tanggal 7
Oktober 1945 jam 03.00 WIB rakyat, laskar dan TKR serta pasukan Polisi Istimewa
menyerang pihak Jepang di Kotabaru. Hal ini mengakibatkan Butaico Pingit
menyerah. Namun Butaico Kotabaru belum menyerah. Perang terus berlangsung, dan
pejuang RI berhasil masuk ke markas Otsuka melewati Riol (gorong-gorong).
Otsuka mau menyerah asal dihadapkan pada Yogya Koo (Kepala Daerah) Sri Sultan
Hamangkubuwono IX.
Tanggal 7
Oktober 1945 kurang lebih pukul 10.00 WIB Markas Kotabaru dikuasai rakyat Indonesia.
Kemenangan ini dilanjutkan pada penguasaan di Maguwo yang dipimpin oleh R.P. Sudarsono.
4. Bandung Lautan Api.
Paska
Proklamasi, rakyat Bandung
mulai menguasai kantor-kantor penting. Bulan Oktober 1945 di Bandung telah
terbentuk Majelis Dewan Perjuangan. Pimpinan panglima TKR Aruji Katowinata.
Dengan anggota wakil-wakil TKR dan kelaskaran. Pada bulan yang sama, Sekutu
masuk kota Bandung
dan menempati Bandung Utara. Tanggal 21 November 1945 Sekutu mengeluarkan
ultimatum:
a.
Rakyat dan pemuda harus menyerahkan semua senjata yang
telah direbut dari tangan Jepang kepada Sekutu.
b.
Bandung Utara harus sudah dikosongkan dari orang-orang
Republik selambat-lambatnya tanggal 29 November 1945 (Batas Bandung Utara dan
Selatan adalah rel kereta api).
Pada tanggal
24 sampai 25 November 1945 rakyat Bandung melancarkan
serangan terhadap posisi Sekutu dan NICA. Tanggal 27 November 1945 pertempuran
berkobar disekitar pabrik kina di jalan Riau, serta hotel Preanger dan Homan.
Tanggal 28 November pertempuran terjadi di Gedung Sate. Tanggal 1 Desember
1945 terjadi pertempuran di Timur Laut Kota. Inggris melakukan
pembersihan. Pemuda membalas dengan pembakaran rumah Belanda di sepanjang Ring Boulevard.
Inggris membalas dengan pengeboman di Cicadas dan Lengkong Besar. Tanggal 23
Maret 1946, Inggris mengeluarkan ultimatum yang berisi agar TRI mengosongkan
seluruh kota Bandung
dan mundur keluar kota dengan jarak 11 km. Pemerintah RI
dengan pertimbangan, menyetujui. A.H.
Nasution selaku panglima Divisi III TRI, menyiarkan perintah sebagai berikut:
1.
Semua pegawai dan rakyat harus keluar kota sebelum pukul 24.00 WIB.
2.
Tentara melakukan bumi hangus terhadap semua bangunan
yang ada.
3.
Sesudah matahari terbenam, supaya Bandung Utara
diserang dan juga dilakukan bumi hangus sebesar-besarnya.
Perintah
dilaksanakan dengan pembumi
hangusan Bandung.
5. Operasi Lintas Laut Banyuwangi-Bali.
Tanggal 13
Desember 1945 pejuang Bali menyerang pos-pos
AL Jepang, namun gagal. Beberapa pejuang meminta bantuan ke Jawa seperti :
Letkol I gusti Ngurah Rai, Kapten Wisnu, Kapten Subroto Aryo Mataram dan Wayan
Ledang.
Tanggal 3
Maret 1946 sekutu yang diboncengi Belanda masuk ke Bali.
Arti penting Bali:
·
Sebagai batu loncatan untuk menyerbu Jawa Timur (sebagai
lumbung pangan).
·
Sebagai daerah yang berposisi penghubung dengan Australia.
Berkaiatan
dengan ini dibentuklah:
a.
Pasukan M (pasukan Markadi atau pasukan Merdeka)
sebagai pasukan induk.
b.
Pasukan Sunda Kecil dibawah pemimpin Ngurah Rai.
c.
Pasukan Sandi CIS (Combat Intelligent Section) yang
terdiri dari para pelajar.
Bulan april 1946,
penyeberangan Banyuwangi – Bali dilakukan.
Gelombang pertama pasukan Waroka dari TRI AL Banyuwangi pimpinan Kapten Laut A.
Waroka dengan sasaran celukan Bawang. Gelombang ke dua, pimpinan letkol Ngurah
Rai dan diperkuat Mahadewa. Pasukan diberankatkan dari Muncar dengan sasaran
Yeh Kuning dan terus ke Mundut Malang. Penyeberangan ini bertemu dengan patroli
Belanda dan akibatnya Cokorde Rai Gambir dan Cokorde Dharma Putra gugur.
Sebagian
sampai di Yeh Kuning, Ngurah Rai kembali ke Muncar. Tanggal 4 April 1946
rombongan Ngurah Rai berhasil mendarat di Pulukan untuk seterusnya menuju
Munduk Malang. Gelombang ketiga. Pasukan M berangkat pada tanggal 4 April 1946
berkekuatan empat pleton, sasaranya adalah Candi Kusuma. Rombongan ini
dipergoki dua motor boat Belanda. Terjadi pertempuran, satu motor boat
tenggelam, sedangkan pihak Indonesia
gugur dua orang yakni Sumeh Darsono dan Sidik. Pasukan M pulang ke Banyuwangi
karena, kapal berlobang dan ombak tinggi. Keesokan harinya pasukan M kembali
berlayar sampi ke Klatakan, Melaya dan Candikusuma. Sesampainya di Bali
dibentuklah Markas Gabungan Gerakan Sunda Kecil (MGGSK). Bulan Juli 1946
pasukan tempur pimpinan kapten Sestuhadi dan pertempuran terus terjadi di
wilayah Gilimanuk, Cekik, penginman, Candikusuma, Cupek, Negara, Sarikuning,
Pulukan, Gunung Sari, Klatakan, Munduk, Malang, Tabanan dan Celukan Bawang.
6. Pertempuran lima Hari di Semarang.
Dengan
menyerahnya Jepang terhadap Sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945, dan disusul dengan
diproklamasikannya Republik Indonesia 17 Agustus 1945, maka seharusnya tamatlah
kekuasaan Jepang di Indonesia. Dan ditunjuknya Mr. Wongsonegoro sebagai
penguasa Republik di Jawa Tengah dan pusat pemerintahannya di Semarang, maka
adalah kewajiban Pemerintah di Jawa Tengah mengambilalih keuasaan yang selama
ini dipegang Jepang, termasuk bidang pemerintahan, kemanan dan ketertibannya. Maka
terbentuklah BKR yang kemudian menjadi TKR. Di beberapa tempat di Jawa Tengah
telah terjadi pula kegiatan pelucutan senjata Jepang tanpa kekerasan antara
lain di Banyumas, tapi terjadi kekerasan justru di ibu kota
Semarang. Kido Butai (pusat ketentaraan Jepang di
Jatingaleh) nampak tidak memberikan persetujuaannya secara menyeluruh meskipun
dijamin oleh Wongsonegoro, bahwa senjata tersebut tidak untuk melawan Jepang. Permintaan
yang berulang-ulang Cuma menghasilkan senjata yang tak seberapa, dan itupun senjata-senjata
yang sudah agak usang.
Kecurigaan BKR
dan pemuda semakin bertambah setelah Sekutu mulai mendaratkan pasukannya di
pulau Jawa. pihak Indonesia
khawatir Jepang akan menyerahkan senjata-senjatanya kepada sekutu, dan
berpendapat kesempatan memperoleh senjata harus dimanfaatkan sebelum Sekutu
mendarat di Semarang.
Karena sudah pasti pasukan Belanda yang bergabung dengan Sekutu akan ikut dalam
pendaratan itu yang tujuannya menjajah Indonesia lagi.
Pertempuran lima hari di semarang dimulai menjelang
minggu malam tanggal 15 Oktober 1945. Keadaan kota Semarang
sangat mencekam apalagi di jalan-jalan dan kampung-kampung dimana ada pos BKR
dan pemuda tampak dalam keadaan siap. Pasukan pemuda terdiri dari beberapa kelompok
yaitu BKR, Polisi Instimewa, AMRI, AMKA (Angkatan Muda Kereta Api) dan
orgainsasi para pemuda lainnya. Dapat pula kita tambahkan disini, bahwa markas
Jepang dibantu oleh pasukan Jepang sebesar 675 orang, yang mereka dalam
perjalanan dari Irian ke Jakarta, tapi karena persoalan logistik, pasukan ini
singgah di Semarang. Pasukan ini merupakan pasukan tempur yang mempunyai
pengalaman di medan
perang Irian. Keadaan kontas sekali, karena para pemuda pejuang kita harus
menghadapi pasukan Jepang yang berpengalaman tempur dan lebih lengkap
persenjataannya, sementara kelompok pasukan pemuda belum pernah bertempur, dan
hampir-hampr tidak bersenjata. Juga sebagian besar belum pernah mendapat
latihan, kecuali diantarannya dari pasukan Polisi instimewa, anggota BKR, dari
ex PETA dan HEIHO yang pernah mendapat pendidikan dan latihan militer, tapi
tanpa pengalaman tempur(http://id.wikipedia.org/wiki/Pertempuran_lima_hari
dikutip tanggal 6 Agustus 2009).
Diawali dengan
berontaknya 400 tentara Jepang yang bertugas membangun pabrik senjata di
Cepiring dekat Semarang.
Pertempuran antara pemberontak Jepang melawan Pemuda ini berkobar sejak dari Cepiring
hingga Jatingaleh yang terletak dibagian atas kota. Di Jatingaleh ini pasukan Jepang yang
dipukul mundur menggabungkan diri dengan pasukan Kidobutai yang memang berpangkalan di tempat tersebut.(Tanggal 14
Oktober 1945).
Suasana kota Semarang
menjadi panas. Terdengar bahwa pasukan Kidobutai
Jatingaleh akan segera mengadakan serangan balasan terhadap para Pemuda Indonesia.
Situsasi hangat bertambah panas dengan meluasnya desas-desus yang
menggelisahkan masyarakat, bahwa cadangan air minum di Candi (Siranda) telah
diracuni. Pihak Jepang yang disangka telah melakukan peracunan lebih memperuncing
keadaan dengan melucuti 8 orang polisi Indnoesia yang menjaga tempat tersebut
untuk menghindarkan peracunan cadangan air minum itu.
Dr. Karyadi,
kepala laboratorium pusat rumah sakit rakyat (Purasara) ketika mendengar berita
ini langsung meluncur ke Siranda untuk mengecek kebenarannya. Tetapi beliau
tidak pernah samapi tujuan, jenasahnya diketemukan di jalan Pandanaran semarang, karena dibunuh
oleh tentara Jepang. Keesokan harinya tanggal 15 Oktober 1945 jam 03.00 pasukan
Kidobutai benar-benar melancarkan
serangannya ke tengah-tengah kota Semarang.
Markas BKR kota Semarang
menenpati komplek bekas sekolah MULO di
Mugas. Di belakangnya terdapat sebuah bukit rendah dari sinilah di waktu fajar Kidobutai melancarkan serangan mendadak
terhadap Markas BKR. Secara tiba-tiba mereka melancarkan serangan dari dua
jurusan dengan tembakan tekidanto
(pelempar granat) dan senapan mesin yang gencar. Diperkirakan pasukan Jepang
yang menyerang berjumlah 400 orang. Setelah memberikan perlawanan selama
setengah jam , pimpinan BKR akhirnya menyadari markasnya tak mungkin dapat
dipertahankan lagi dan untuk mengindari kepungan tentara Jepang pasukan BKR mengundurkan diri meninggalkan markasnya.
Juga di depan
markas Kempetai terjadi pertempuran
sengit antara pasukan Jepang melawan para pemuda yang bertahan di bekas gendung
NIS (Lawang
sewu) dan Gubernuran. Pasukan gabungan yang terdiri dari BKR, Polisi Instimewa
dan AMK melawan secara ggih, sehingga banyak jatuh korban di kedua belah pihak.
Meskipun dalam
pertempuran tahap pertama pihak Jepang bagian Timur dapat berhasil menduduki beberapa tempat penting,
mereka tidak dapat bertahan karena selalu mendapat serangan dari BKR dan
Pemuda. Terpaksa mereka meninggalkan tempat-tempat tersebut, yang kemudian
dikuasai kembali oleh para Pemuda. Demikianlah pasukan silih berganti antara
Jepang dan pemuda menempati posisi strategis.
Selain
menangkap Mr. Wongsonegoro, Jepang juga menangkap pimpinan Rumah Sakit Purusara
yaitu Dr. Sukaryo, Komandan Kompi BKR ialah ex Sudanco Mirza Sidharta dan
banyak pimpinan-pimnpinan lainnya. Untuk menuntut balas, bantuan dari luar kota terus berdatangan yang menggabungkan diri dengan para
Pemuda yang ada di dalam kota.
Pasukan BKR dan para pemudanya dari Pati bergabung dengan pasukan Mieza Sidharta
dan mengadakan serangan balasan terhadap jepang yang telah menguasai
tempat-tempat penting dalam kota, sehingga berlangsung dengan sengitnya, Taktik
gerilya-kota dapat dilaksanakan dengna mengindari peretempuran terbuka, dengan
tiba-tiba menyerang dan segera menghilang. Sekalipun belum ada komando
terpusat, namun datangnya serangan terhadap jepang selalu bergantian dan
bergelombang. Keberanian mereka
benar-benar patut dibanggakan, sehingga menyulitkan Jepang menguasai kota. Markas Jepang di
Jatingaleh pun tak luput dari serangan BKR dan para pemudanya yang menimbulkan
korban yang tidak sedikit kepada pihak Jepang. Gerak maju Jepang selanjutnya
tidak berjalan lancar, karena tertahan di depan kantor listrik, bahkan sempat
dipukul mundur. Akibat serangan Jepang yang membabi buta, petugas PMI tidak
dapat bergerak leluasa, yang menyebabkan korban pertempuran sangat menyedihkan,
Mereka yang menderita luka-luka tidak dapat perawatan yang semestinya dan
mayat-mayat bergelimpangan dibeberapa tempat sampai membusuk karena tidak
segera dikubur.
Petugas lain
bermarkas di Hotel du Pavillion ialah
dapur umum dimana pejuang mendapatkan makanan., tetapi setelah pertempuran
meluas, selanjutnya para pemuda mendapat bantuan dari rakyat dengan bergotong
royong menyediakan makanannya, walaupun mereka sendiri saat itu juga
kekurangan.
Diperkirakan
2.000 pasukan Jepang terlibat dalam pertempuran besar-besaran melawan pemuda Indonesia.
Senjata-senjata modern dan lengkap dilawan semangat joang yang menyala dari
rkayat Semarang.
Di tempat yang paling seru pertempurann terjadi di Simpang Lima (tugu Muda). Puluhan Pemuda yang
terkepung oleh Jepang dibantai dengan kejam. Pemuda dan pasukan rakyat dari
luar kota sekitar Semarang menunjukkan kesetiakawanannya. Bala
bantuan mengalir terus ke Semarang.
Mereka yang baru datang, langsung terjun terus ke kancah pertempuran.
Setelah BKR
berhasil mengadakan konsolidasi dan mendapat bantuan dari daerah lain di Jawa Tengah,
situasi menjadi berbalik pada saat Jepang berada dalam keadaan kritis. Untuk
mengatasi situasi itu serangan makin diperhebat. Banyaknya korban dikalangan
penduduk telah meninggikan para pemuda untuk menuntut balas. Jepang kembali mendekati Mr. Wongsonegoro
yang didesak untuk menghentikan pertempuran. Dari hasil peninjauan dapat
diketahui banyak rakyat yang tewas dalam pertempuran. Oleh karena desakan Jepang
untuk menghentikan pertempuran, diterima oleh Mr. Wongsonegoro. Pertimbanan
lain adalah untuk menyusun kembali kekuatan dalam menghadapi musuh yang
sebenarnya, ialah tentara Sekutu yang diboncengi tentara Belanda yang segera
akan mendarat di Semarang, Jawa Tengah (http://id.wikipedia.org/wiki/Pertempuran_lima_hari
dikutip tanggal 6 Agustus 2009).
Tanggal 17
Oktober 1945 tercapai perundingan dan kesepakatan tentang gencatan senjata, namun
pertempuran berlanjut sampai dengan tanggal 18 Oktober 1945.
Perundingan
antara Kasman dan Sartono dengan Jenderal Nakamura. Nakamura mengancam bila
pemuda Semarang
tidak menyerahkan senjata yang telah dirampas dengan waktu sampai tanggal 19
Oktober 1945 pukul 10.00 maka akan diserang. Namun hal ini tidak pernah terjadi
karena Tanggal 19 Oktober 1945 Inggris diberitakan mendarat di Semarang.
7.
Pertempuran
Surabaya.
Tanggal 11
Oktober 1945 para pejuang Surabaya
mulai menghadapi tindakan-tindakan Belanda yang semakin brutal. Pemuda-pemuda Indonesia menyerbu daerah yang
menjadi pos NICA.. Tanggal 25 Oktober 1945 Sekutu dari Brigade 49 dibawah
pimpinan Brigadir Jend. AWS Mallaby, mendarat di Surabaya. Mereka terdiri dari kesatuan
tentara Inggris, termasuk Gurkha. Dan bertugas untuk melucut senjata tentara
jepang. Kemudian diadakan pertemuan antara wakil-wakil pemerintah RI dengan
Mallaby. Hasil pertemuan itu antara lain sebagai beriku:
a.
Inggris berjanji, bahwa kedatangan tentaranya tidak
disertai angkatan perang Belanda.
b.
Disetujui kerjasama antara Sekutu dengan pihak Indonesia
untuk menjamin keamanan dan ketentraman. Dalam hal ini Inggris telah mengakui
RI secara de Facto.
c.
Akan segera dibentuk Kontak Biro agar kerja sama
terlaksana dengan baik.
d.
Inggris hanya akan melucuti senjata tentara Jepang.
Inggris
diijinkan masuk kota.
Ternyata inggris ingkar janji. Tanggal 26 Oktober 1945 malam pasukan Field
Security Section pimpinan Kapten Shaw menyerbu penjara Kalisosok untuk
membebaskan Kolonel Huiyer (AL Belanda). Keesokan nya Inggris menduduki
Pangkalan Udara Tanjung Perak, Kantor Pos Besar, Gedung Internatio dan objek
vital lainnya.Tanggal 27 Oktober pesawat Inggris menyebar pamplet yang berisi
perintah agar rakyat Surabaya dan Jawa Timur menyerahkan kembali senjata yang
dirampas dari Jepang. Tanggal 27 Oktober siang terjadilah kontak senjata . Tanggal 28
Oktober kedudukan Inggris terdesak. Tanggal 29 Oktober beberapa objek vital
direbut kembali. Pihak Sekutu segera menghubungi Presiden Soekarno untuk
memadamkan pertempuran. Soekarno, Moh Hatta dan Amir Syarifudin datang bersama
jend. Hawthorn dan mereka berunding dengan Mallaby. Perundingan menghasilkan
gencatan senjata. Menteri Penerangan menegaskan kembali beberapa kesepakatan
berikut:
1.
Dibentuk suatu Kontak Biro yang anggotanya dari pihak Indonesia
dan Inggris.
2.
Daerah pelabuhan dijaga bersama.
3.
Daerah Darmo, daerah kamp interniran oerang Eropa
dijaga Sekutu.
4.
Tawanan dari kedua belah pihak harus dikembalikan
kepada masing-masing pihak.
Masih terjadi
beberapa pertempuran. Anggota Kontak Biro mendatangi tempat-tempat tersebut.
Tempat terakhir yang dikunjungi adalah gedung Bank Internatio di dekat Jembatan
Merah. Terbunuhlah Mallaby disini. Christison sebagai panglima AFNEI menuntuk
rakyat Surabaya menyerah, kalau tidak Surabaya akan
dibumihanguskan. Kemudian Inggris mendatangkan pasukan pimpinan Jend. G.C.
Mansergh. Tanggal 7 November 1945 Mansergh menulis surat
yang menuduh bahwa Gubernur Suryo tidak menguasai keadaan dan seluruh kota sudah dikuasai oleh
para perampok. Gubernur Suryo Tanggal 9 November mengirim surat balasan yang isinya menolak tuduhan
tersebut. Akhirnya tanggal 9 Oktober 1945 Mansergh mengeluarkan ultimatum, agar
rakyat Surabaya
yang bersenjata harus melapor dan menyerahkan senjatanya ke Inggris. Kemudian
semua harus menandatangi dokumen sebagai tanda menyerah tanpa syarat kepada
tentara Inggris, Batas waktu yang ditentukan adalah pukul 06.00 tanggal 10
November 1945. Kalau tidak diindahkan sampai batas waktu tersebut, maka Inggris
akan mengerahkan semua kekuatan darat, laut dan udara untuk menghancurkan Surabaya. Rakyat Surabaya
menolak dan diserbu luar biasa, yang berakibat mundurnya rakyat Surabaya dari kota Surabaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar