Senin, 03 Desember 2018

PERUNDINGAN DAN PERLAWANAN


PERUNDINGAN DAN PERLAWANAN

KEDATANGAN PASUKAN SERIKAT DAN BELANDA SERTA PERUNDINGAN AWAL
Pasukan Serikat datang ke pulau Jawa dan Sumatra dibawah Komando Asia Tenggara (South East Asia Comand atau SEAC) di bawah pimpinan Laksamana Lord Louis Mountbatten. Perwira Serikat yang pertama kali datang ke Indonesia, yakni pada tanggal 14 September 1945, adalah Mayor Greenhalgh yang terjun dengan payung di lapangan udara Kemayoran. Tugas Greenhalgh adalah untuk mempersiapkan pembentukan markas besar Serikat di Jakarta.
Kedatangan Greenhalgh disusul oleh berlabuhnya kapal penjelajah Cumberland yang mendaratkan pasukan di Tanjung Priok pada tanggal 29 September 1945. Kapal itu membawa perwira Skadron Penjelajah V Inggris, yakni Laksamana Muda W.R. Patterson. Pasukan Serikat yang bertugas di Indonesia ini merupakan komando bawahan dengan tiga divisi dari SEAC yang diberi nama Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI) dan ada di bawah pimpinan Letnan Jenderal Sir Philip Christison. Tugas dari Pada AFNEI di Indonesia adalah melaksanakan perintah Gabungan kepada Staf Serikat yang diberikan kepada SEAC diantaranya ialah:
1.      menerima penyerahan dari tangan Jepang.
2.      membebaskan para tawanan perang dan interniran Serikat
3.      melucuti dan mengumpulkan orang Jepang untuk kemudian dipulangkan,
4.      menegakkan dan mempertahankan keadaan damai untuk kemudian diserahkan kepada pemerintah sipil,
5.      menghimpun keterangan tentang penjahat perang dan menuntut mereka di depan pengadilan Serikat..
Pasukan Serikat datang ke Indonesia disambut dengan kecurigaan setelah diketahui bahwa pasukan Serikat / Inggris itu datang membawa orang orang NICA (Netherlands Indies Civil Administration) yang dengan terang-terangan hendak menegakkan kembali kekuasaan Hindia Belanda. Keamanan merosot, NICA mempersenjatai kembali orang-orang KNIL yang baru dilepaskan dari tawanan Jepang. Terjadilah banyak provokasi dari mereka. Agaknya Christison telah memperhitungkan bahwa usaha pasukan-pasukan Serikat tidak akan berhasil tanpa bantuan Pemerintah Republik Indonesia. Karenanya Christison berunding dengan pemerintah RI dan mengakui defacto Republik Indonesia pada tanggal 1 Oktober 1945. Sejak itu masuklah pasukan Serikat ke wilayah RI. Pengakuan ini diperkuat dengan penegasan Christison bahwa ia tidak akan mencampuri persoalan yang menyangkut status ketatanegaraan Indonesia.
Kenyataannya lain; di kota-kota yang didatangi oleh pasukan Serikat lalu terjadi insiden bahkan pertempuran. Hal ini disebabkan karena pasukan pasukan Serikat / Inggris itu tidak menghormati kedaulatan RI, dengan cara menteror rakyat dan pimpinan Indonesia. Sementara itu perlawanan rakyat terhadap pasukan Serikat meningkat sampai akhir tahun 1945. Hal ini memunculkan kesempatan dari Panglima Angkatan Perang Belanda Laksamana Helfrich. Ia memerintahkan pasukannya untuk membantu pasukan Jenderal Christison melaksanakan tugas di Jawa Barat.
Pada tanggal 1 November 1945 pemerintah mengeluarkan sebuah maklumat politik. Dinyatakan dalam maklumat tersebut bahwa Pemerintah menginginkan pengakuan terhadap Negara dan Pemerintah Republik Indonesia dari Serikat maupun dari pihak Belanda yang dibuat sebelum Perang Dunia II dan berjanji akan mengembalikan semua milik asing atau memberi ganti rugi atas milik asing yang telah dikuasai oleh Pemerintah. Bersamaan dengan itu dikeluarkan pernyataan bahwa Pemerintah menyukai berdirinya partai-partai politik sebagai sarana pembantu perjuangan.. Sebagai realisasinya kabinet diganti menjadi kabinet ministerial. Sebagai perdana menteri ditunjuk Sutan Sjahrir.
Pemerintah Inggris yang ingin secepatnya melepaskan diri dari kesulitan pelaksanaan tugasnya di Indonesia mengirimkan Sir Archibald Clark Kerr sebagai duta istimewa ke Indonesia, sedang Belanda diwakili wakil gubernur jenderal Dr. H.J.Van Mook. Perundingan dimulai pada tanggal 10 Februari 1946. Dalam awal perundingan itu Van Mook menyampaikan pernyataan politik pemerintah Belanda yang terdiri atas 6 pasal yang mengulangi pidato Ratu Belanda tanggal 7 Desember 1942 yang isi pokoknya yaitu:
1.      Indonesia akan dijadikan Negara persemakmuran berbentuk federasi yang memiliki pemerintahan sendiri di dalam lingkungan kerajaan Nederland;
2.      Masalah dalam negeri diurus oleh Indonesia, sedang urusan luar negeri diurus oleh pemerintah Belanda;
3.      Sebelum dibentuknya persemakmuran akan dibentuk pemerintah peralihan selama 10 tahun;
4.      Indonesia akan dimaksukkan sebagai anggota PBB.
Pemerintah belum membalas usulan tersebut. Di dalam negeri muncul oposisi dari Persatuan Perjuangan yang berpendapat perundingan hanya dapat dilaksanakan atas dasasr pengakuan 100% terhadap RI. Dalam sidang KNIP di Solo (28 Februari – 2 Maret 1946) mayoritas suara menentang kebijakakan perdana menteri Sjahrir. Mandat dikembalikan kepada presiden. Tapi presiden menunjuk kembali sjahrir menjadi formatur kabinet dan menjabat kembali menjadi Perdana Menteri.  Pemerintah menyusun usulan balasan yang terdiri dari 12 fasal al:
1.      RI harus diakui sebagai Negara yang berdaulat penuh atas wilayah bekas Hindia Belanda;
2.      Pinjaman-pinjaman Belanda sebelum tanggal 8 Maret 1942 menjadi tanggungan pemerintah RI;
3.      Federasi Indonesia-Belanda akan dilaksanakan dalam masa tertentu, dan mengenai urusan luar negeri dan pertahanan di serahkan kepada suatu badan federasi yang terdiri atas orang-orang Indonesia dan Belanda;
4.      Tentara Belanda segera ditarik dari Indonesia dan jika perlu diganti dengan Tentara RI.
5.      Pemerintah Belanda harus membantu pemerintah Indonesia untuk dapat diterima sebagai anggota PBB.
6.      Selama perundingan berlangsung semua aksi militer hasus di hentikan dan fihak RI akan melakukan pengawasan terhadap pengungsian tawanan-tawanan Belanda dan interniran lainnya.
Usulan ditolak Van Mook. Van Mook mengajukan usul pribadi untuk mengakui RI sebagai wakil Jawa untuk mengadakan kerjasama dalam rangka pembentukan Negara Federal yang bebas dalam lingkungan kerajaan Belanda. Wakil semua bagian Hindia Belanda dan wakil semua golongan minoritas akan berkumpul untuk menetapkan struktur Negara Indonesia yang akan datang itu. Selanjutnya pasukan-pasukan Belanda akan mendarat untuk menggantikan tentara  Serikat.
Tanggal 27 Maret 1946 Sjahrir memberikan jawaban yang disertai konsep persetujuan dalam membentuk traktat yang isi pokoknya yaitu:
1.      Supaya pemerintah Belanda mengakui kedaulatan de facto RI atas Jawa dan Sumatra;
2.      Supaya RI dan Belanda bekerjasama membentuk RIS;
3.      RIS bersama-sama Nederland, Suriname, Curacao, menjadi peserta dalam suatu ikatan kenegaraan Belanda.
Perundingan di Jakarta antara Sutan Sjahrir dan Van Mook dengan disaksikan oleh Archibald Clark Kerr berakhir. Hasil perundingan oleh Van Mook akan dilaporkan kepada Pemerintah Belanda.
Dengan perantara Clark Kerr diadakan perundingan di Hooge Veluwe (negeri Belanda). Delegasi Indonesia terdiri dari Mr. Suwandi, dr. Sudarsono dan Mr. Abdul Karim  Pringgodigdo. Belanda di wakili Dr. Van Mook, Prof Logemann, Dr. Indenburgh, Dr. Van Royen, Prof. Van Asbeck, Sultan Hamid II dari Pontianak, dan Surio Santoso. Dalam perundingan ini Belanda menolak hasil pertemuan Sjahrir – Van Mook – Clark Kerr di Jakarta. Perundingan yang berlangsung selama 10 hari itu (14 – 25 April 1946) gagal. Untuk sementara waktu hubungan Indonesia Belanda terputus. Tanggal 2 Mei 1946 Van Mook kembali membawa usul pemerintahannya yang terdiri atas 3 pokok:
1.      Pemerintah Belanda mengakui RI sebagai bagian dari persemakmuran (gemeennebest) Indonesia yang berbentuk federasi (Serikat).
2.      Persemakmuran Indonesia Serikat di satu pihak dengan Nederland, Suriname dan Curacao di lain pihak akan merupakan bagian-bagian dari Kerajaan belanda;
3.      Pemerintah belanda akan mengakui de facto Kekuasaan RI atas Jawa, Madura dan Sumatra, dikurangi dengan daerah-daerah yang diduki oleh tentara Inggris dan Belanda.
Hal ini ditolak RI pada tanggal 17 Juni 1945 dengan membalas jawab sebagai berikut:
1.      RI berkuasa de facto atas Jawa, Madura, Sumatra ditambah dengan daerah-daerah yang dikuasi oleh tentara Inggris dan Belanda;
2.      RI menolak ikatan kenegaraan dan menghendaki penghentian pengiriman pasukan Belanda ke Indonesia, sedangkan pemerintah RI tidak akan menambah pasukannya;
3.      Pemerintah Republik menolak suatu periode peralihan dibawah kedaulatan Belanda.
Tekanan politik dilakukan dengan menyelenggarakan konferensi Malino (15-25 Juli 1946), dengan tujuan untuk membentuk negara-negara di daerah-daerah yang baru diserahterimakan oleh Inggris dan Australia.
Selain konferensi Malino, juga diselenggarakan konferensi di Pangkalpinang (1 Oktober 1946) khusus untuk golongan minoritas. Tekanan militer terus dilakukan Belanda dengan mengirimkan pasukan ke Indonesia. Pada bulan Agustus 1946 Lord Killearn datang ke Indonesia dan menemui Menteri Luar Negeri Sjahrir.
Pokok pembicaraan Sjahrir – Killearn adalah tiga hal:
1.      Masalah gerakan militer dan gencatan senjata. Untuk ini akan dikirim perwira TRI yang akan membahas detail teknis dengan markas besar Serikat di Jakarta.
2.      Mengenai masalah RAPWI (Relief of Allied Prisoners of War and Internees). Sjahrir juga menjanjikan akan mengirim perwira TRI yang ditugasi untuk membahas masalah tersebut.
3.      Masalah golongan minoritas. Indonesia berjanji tetap melindungi golongan minoritas.
Realisasinya tanggal 17 September 1946, dikirim delegasi TRI dalam rangka membicarakan gencatan senjata. Delegasi dipimpin Jend. Mayor Sudibjo dengan 6 anggotanya. Indonesia mengajukan nota yaitu:
1.      Gencatan senjata secara total di darat, laut dan udara;
2.      penghentian pemasukan pasukan Belanda ke Indonesia;
3.      Jaminan dari Serikat bahwa Serikat tidak akan menyerahkan senjata-senjatanya kepada pihak Indonesia;
4.      pembukaan atau kebebasan memakai jalan di darat, laut dan udara oleh pihak RI;
5.      Penyingkiran orang Jepang baik sipil maupun militer dari seluruh Indoensia.
Kabinet baru Sjahrir III melakukan perundingan dengan pihak Belanda selama 5 hari yaitu tanggal 9 – 14 oktober 1946 dengan hasil:
1.      Delegasi Indonesia, Inggris dan belanda mengadakan gencatan senjata atas dasar kedudukan militer pada waktu kini dan atas dasar kekuatan militer;
2.      Disetujui pembentukan Komisi Gencatan Senjata yang bertugas untuk menimbang dan memutuskan pelaksanaan gencatan senjata dan pengaduan terhadap pelanggaranya.
3.      Komisi ini bekerja sampai 30 November 1946.
4.      Disetujui bersama membentuk sub-komisi teknis yang berdiri atsa para kepala staf militer Inggris, Indonesia dan Belanda. Tugas sub-komisi ini adalah untuk selekasnya memberi perintah penghentian tembak-menembak, menyusun isntruksi untuk pedoman pelaksanaan gencatan senjata, membentuk badan arbitrase dll.
Sesuai dengan persetujuan itu pada akhir November dan awal Desember diadakan perundingan antara Indonesia dan Belanda untuk menetapkan garis demarkasi. Namun perundingan-perundingan ini tidak mencapai keputusan(Notosusanto, 1992: 121-132).

PERUNDINGAN LINGGAJATI:
            Setelah tercapai kesepakatan gencatan senjata maka awal November 1945, perundingan diadakan di Indonesia, bertempat di Linggajati.Lokasi Linggarjati diusulkan oleh Maria Ulfah Santoso (Menteri sosial), yang dekat dengan sjahrir. Ayah Maria pernah menjadi regent (Bupati) kuningan. Kebetulan, Residen Cirebon Hamdani, dan Bupati cirebon , Makmun Sumadipradja, juga sahabat Sjahrir. Delegasi Belanda mulannya mengkhawatirkan keamanan. Namun Sjahrir berhasil meyakinkan kemampuannya mengontrol wilayah tersebut (dikutip dari Edisi Khusus 100 Tahun Sjahrir Majalah Tempo Edisi 9 – 15 Maret 2009 Sutan Sjahrir Peran Besar Bung Kecil, Sub Judul: Linggarjati, Sebuah Jalan hal53). Sidang terlaksana pada 11 – 15 November 1946. Indonesia dipimpin oleh Sutan Syahrir, anggotanya Mr. Moh. Roem. Mr. Susanto Tirtoprojo dan AK. Gani. Sementara pihak Belanda dipimpin oleh Prof. Schermerhorn dengan beberapa anggota, yakni Van Mook, F. de Boor dan Van Poll. Sebagai penengah dan pemimpin sidang adalah Lord Killearn juga saksi yaitu Amir Syarifudin, dr. Leimena, dr. Sudarsono dan Ali Budiarjo. Presiden RI beserta wakil juga hadir.
Isi pokok perundingan Linggajati adalah:
1.      Pemerintah Belanda mengakui kekuasaan secara de facto pemerintahan RI atas wilayah Jawa, Madura dan Sumatra. Sedangkan daerah-daerah yang diduduki Sekutu atau Belanda secara berangsur-angsur akan dikembalikan kepada RI.
2.      Akan di bentuk NIS yang meliputi seluruh wilayah Hindia belanda (Indonesia) sebagai Negara berdaulat.
3.      Pemerintah Belanda dan RI akan membentuk Uni Indonesia Belanda yang dipimpin oleh raja Belanda.
4.      Pembentukan NIS dan Uni Indonesia Belanda diusahakan sudah selesai sebelum 1 Januari 1949.
5.      Pemerintah RI mengakui dan akan memulihkan seta melindungi hak milik asing.
6.      Pemerintah RI dan Belanda sepakat untuk mengadakan pengurangan jumlah tentara.
7.      Bila terjadi perselisihan dalam melaksanakan perundingan ini , akan menyerahkan masalahnya kepada komisi Arbitrase.
Setelah naskah diparaf timbulah pro dan kontra. Beberapa parpol menyatakan menentang yaitu Masyumi, PNI, Partai Wanita, Angkatan Comunis Muda (ACOMA), Partai Rakyat Indonesia, Laskar Rakyat Jawa barat, Partai Rakyat Jelata, sedangkan yang mendukung adalah PKI, Pesindo, BTI, Laskar Rakyat, Partai Buruh, Partai Kristen Indonesia (Parkindo) dan partai Katholik. Golongan penolak linggajati bergabung dalam Benteng Republik Indonesia. Pertentangan ini terus terjadi maka Pemerintah bertindak untuk mengubah perimbangan kekuatan di dalam KNIP supaya cenderung kepada sikap pro Linggajati. Pada bulan Desember 1946 dikeluarkan Peraturan Presiden No. 6/1946, yang bertujuan untuk menambah anggota Komite Nasional Indonesia Pusat. Peraturan Presiden No. 6 ini menggariskan pembebasan para pejabat negara yang aktif sebagai anggota KNIP, seruan kepada partai partai politik besar untuk memilih calon-calonnya sejumlah dua kali lipat jumlah hak perwakilan mereka dalam KNIP, serta penambahan wakil-wakil dari daerah di luar Jawa dan Madura. Peraturan presiden  di tentang partai anti Linggajati termasuk PNI dan Masyumi, kedua partai besar ini berpendapat bahwa peraturan presiden tersebut tidak sah, karena setelah ada kabinet, presiden tidak boleh melakukan tindakan yang bersifat legislative. Mereka juga memggugat bahwa dalam membuat peraturan itu Badan Pekerja KNIP tidak diajak berunding. Presiden mendapat pembelaan dari Partai Sosialis yang meyatakan bahwa peraturan Presiden tersebut adalah sah berdasarkan hak prerogative presiden. Presiden sendiripun menentang golongan anti Linggajati dengan menyatakan pada sidang pleno KNIP yaitu dinyatakan bahwa dengan penambahan anggota baru, susunan KNIP menjadi lebih sempurna dan lebih mewakili seluruh rakyat indonesia. Akhirnya sidang menerima Peraturan presiden tersebut, dan tanggal 28 Februari 1947 dilantik sejumlah 232 anggota baru KNIP. Dengan demikian  pemerintah berhasil memperoleh dukungan dari KNIP untuk meratifikasi persetujuan Linggajati (Notosusanto, 1992:132-134).
Naskah di paraf di Istana Rijswijk Jakarta. Isi perundingan harus disahkan oleh parlemen masing-masing,. Akhirnya isi perundingan disahkan KNIP pada 25 Maret 1947.

AGRESI MILITER BELANDA 1
Sekitar bulan Mei 1947 pihak Belanda sudah memutuskan bahw mereka harus menyerang Republik secara langsung. Biaya pemeliharaan suatu pasukan bersenjata sekitar 100.000 serdadu di Jawa, yang sebagian besar tidak aktif, merupakan pemborosan keuangan yang serius yang tidak mungkin dipikul oleh perekonomian negeri Belanda yang hancur karena perang. Apabila mereka ingin mempertahankan pasukan ini maka pihak Belanda memerlukan komoditi dari Jawa (khususnya gula) dan Sumatra (khususnya minyak dan karet). Kalangan militer Belanda merasa yakin bahwa kota-kota yang dikuasai Republik dapat ditaklukkan  dalam waktu dua  minggu dan seluruh wilayah Republik dalam waktu enam bulan (Ricklefs, 2005 : 338).
Pada tanggal 30 Juli 1947 tengah malam pihak Belanda melancarkan aksi polisional mereka yang pertama. Pasukan-pasukan bergerak dari Jakarta dan Bandung untuk menduduki Jawa Barat (tidak termasuk Banten), dan dari Surabaya untukmenduduki Madura dan Ujung Timur. Gerakan gerakan pasukan yang lebih kecil mengamankan wilayah Semarang. Dengan demikian, Belanda menguasai semua pelabuhan perairan dalam di di Jawa. Di Sumatera, perkebunan-perkebunan di sekitar Medan, instalasi-instalasi minyak dan batu bara di sekitar Palembang, dan daerah Padang diamankan. Pasukan pasukan Republik bergerak mundur dalam kebingunan dan menghancurkan apa  yang dapat mereka hancurkan. Di beberapa daerah terjadi aksi aksi pembalasan detik terakhir : orang-orang Cina di Jawa Barat dan kaum bangsawan yang dipenjarakan di Sumatera Timur dibunuh. Beberapa orang Belanda, termasuk van Mook , ingin melanjutkan merebut Yogyakarta dan membentuk suatu pemerintahan Republik yang lebih lunak. Tetapi pihak Amerika dan Inggris yang tidak menyukai aksi polisional tersebut menggiring Belanda untuk segera menghentikan penaklukan sepenuhnya terhadap Republik(Ricklefs, 2005 : 338-339).
Tujuan Belanda melakukan serangan atas RI yang dimulai sejak 21 Juli 1947 ialah penghancuran RI. Tetapi untuk mencapai tujuan itu Belanda tidak bisa melakukannya sekaligus. Karena itu pada fase pertama belanda harus mencapai sasaran sebagai berikut (Moedjanto,1988:15):
1.      Politik       : pengepungan ibu kota RI dan penghapusan RI dari peta (menghilangkan de facto RI);
2.      Ekonomi   : perebutan daerah-daerah penghasil bahan makanan (daerah beras di Jawa Barat dan Jawa timur) dan bahan eksport (perkebunan di Jawa Barat, Jawa Timur dan Sumatra serta pertambangan di Sumatra).
3.      Militer       : penghancuran TNI.
TNI dalam perang kemerdekaan I mempraktekkan sistem pertahanan linear  (mempertahankan garis pertahan) yang ternyata tidak efektif, sehingga TNI terusir dari kota-kota. Akan tetapi TNI tidak mengalami kehancuran, lalu bertahan di desa-desa.
Yang tampil sebagai pembela utama RI adalah India dan Australia. India membela RI karena solidaritas Asia terutama sesudah konferensi Inter Asia di New Delhi (Maret 1947) dimana RI ikut serta. Lagi pula hubungan RI India baik sekali antara lain karena politik beras Sjahrir, dan ketegasannya dalam membela semangat Piagam PBB. Ia (India) berpegang pada pasal 34 yaitu yang menyebut tentang pemeliharaan perdamaian dan keamanan dunia. Sedang Australia mendasarkan pembelaannya atas pasal 39 yang menyebut tentang adanya ancaman terhadap perdamaian dunia. Disamping itu Partai buruh Australia yang sedang berkuasa memang pada dasarnya bersimpati kepada perjuangan kemerdekaan.  Berdasarkan hal ini Indonesia dan Australia lalu mengajukan resolusi bersama DK – PBB agar Belanda dan RI segera menghentikan permusuhannya dan menyerahkan perselisihan mereka kepada komisi Arbitrase sesuai dengan pasal 17 persetujuan Linggajati resolusi bersama itu diajukan ke DK PBB tanggal 30 Juli 1947. Amerika mengajukan usul kompromi yang kemudian diterima DK PBB tanggal 1 Agustus 1947 (Inggris, Prancis dan Belgia abstain).
Isinya adalah mendesak Belanda dan RI untuk:
1.      menghentikan permusuhan;
2.      menyelesaikan perselisihan mereka dengan bantuan komisi Arbitrase atau cara damai lainya,dan melaporkan kepada DK PBB segala kemajuan yang dicapai.
Usul Rusia dan Polandia agar pasukan Belanda ditarik ke daerah asal penyerangan ditolak.
Pada tanggal 3 Agustus 1947 pemerintah Belanda menerima resolusi DK PBB dan memerintahkan kepada Van Mook agar penghentian tembak menembak dilaksanakan mulai malam hari tanggal 4/5 Agustus 1947, begitu juga RI. Tetapi banyak terjadi pelanggaran yang dibuat Belanda dengan membiarkan tentaranya bergerak terus dalam pengepungannya atas daerah RI.
Karena itu ketika Sjahrir beruntung dapat berbicara di depan sidang DK PBB pada tanggal 14 Agustus 1947, ia menyatakan kalau jalan satu-satunya untuk mengakhiri pertempuran ialah pembentukan komisi pengawas yang bertugas menjamin terlaksananya resolusi DK PBB. Ditambahkan pula perlunya DK menerima usul Australia secara keseluruhan dan penarikan pasukan Belanda ke tempat kedudukan sebelum penyerangan berlangsung. Dukungan kuat atas usulnya hanya datang dari Rusia dan Polandia. Suatu usul dari Rusia untuk membentuk komisi pengawas gencatan senjata didukung oleh Amerika, Australia, Brazilia, Columbia, Polandia dan Suria, tetapi diveto oleh Prancis, karena dianggap terlalu menguntungkan  RI. Ia hanya akan setuju pembentukan Komisi Konsuler (terdiri dari sejumlah konsul yang ada di Jakarta) yang bertindak sebagai pengawas dan yang harus melaporakn bagaimana pelaksanaan gencatan senjata kepada DK PBB. Akhirnya usul Amerika tanggal 25 Agustus 1947 diterima. Isi usul Amerika yang diterima menjadi keputusan DK ialah pembentukan suatu Committee of Good Offices (Komisi Jasa jasa baik) untuk membantu kedua pihak dalam menyelesaikan pertikaian mereka seperti tercantum pada pokok kedua dari resolusi 1 Agustus 1947. Atas dasar keputusan DK tersebut maka Belanda kemudian memilih Belgia, RI memilih Australia dan Kemudian kedua negara memilih negara ketiga, yaitu Amerika. Ini terjadi pada tanggal 18 September 1947. Komisi itu baru tiba di Indonesia pada akhir Oktober 1947 (Moedjanto,1988:15-17).
Pada tanggal 29 Agustus 1947 secara sepihak Belanda memproklamasikan apa yang dikenal sebagai garis (demarkasi) Van Mook menjadi garis batas antara daerah kedudukan masing-masing pihak pada saat gencatan senjata diselenggarakan. Daerah-daerah ini karena terletak dalam garis Van Mook harus ditinggalkan oleh RI.. Atas tindakan Van Mook wakil PM AK Gani mengirimkan tilgram ke Dewan Keamanan PBB pada 29 September 1947 membeberkan pelanggaran pelanggaran Belanda dan mendesak supaya DK PBB memerintahkan Belanda menarik mundur pasukannya ke tempat kedudukan sebelum penyerangan. Usul ini hanya dapat dukungan Rusia dan Australia, yang keduanya menjadi anggota DK, dan India (Moedjanto,1988:17-18).
Sementara itu Komisi Konsuler yang terdiri dari konsul-konsul Inggris, Australia, Perancis, Cina, Belgia dan AS melaporkan pada 14 dan 22 Oktober bahwa perintah gencatan senjata tidak dilakukan oleh Belanda. Perintah itu hanya mungkin ditaati bila DK bertindak lebih jauh. Akhirnya atas usul Amerika Serikat, DK memutuskan usul kompromi pada 1 November 1947. Isinya : Mendesak kedua pihak untuk berunding, baik langsung maupun dengan menggunakan jasa-jasa baik, baik langsung maupun dengan menggunakan KTN. Dinasihatkan pula bahwa resolusi 1 Agustus 1947 harus diartikan bahwa penggunaan tentara oleh masing-masing pihak yang berselisih untuk meperluas daerah pedudukan masing-masing sesudah 4 Agustus 1947 bertentangan dengan resolusi 1 Agustus 1947. Belanda tak mau mengindahkan peringatan tersebut, bahkan 10 hari sesudah resolusi 1 November Belanda mememperluas daerah pendudukannya di Madura, sehingga seluruh Madura dikuasainya. Kini AS tahu persis apa yang terjadi Indonesia baik dari anggota komisi maupun dari para wartawan, antara lain Arnold C. Brackman. Karena itu AS merasa tidak enak lagi untuk mendukung politik Belanda di Indonesia, sampai-sampai menlu Marshall memperingatkan Belanda jangan melakukan tindakan kekerasan lagi untuk merebut daerah RI dengan ancaman bantuan ekonomi dari AS (Marshall Plan) akan dihentikan. (Moedjanto,1988:17-18).

PERUNDINGAN RENVILLE
Akhrinya KTN bisa mempertemukan wakil-wakil Belanda dan RI pada 8 Desember 1947 di kapal Amerika Serikat, Renville yang berlabuh di pelabuhan Tanjung priok.
Dalam perundingan ini para delegasinya adalah sebagai berikut:
1.      Delegasi Indonesia dipimpin Mr. Amir Syarifuddin.
2.      Delegasi belanda dipimpin R. Abdul Kadir Wijoyoatmojo yang didampingi Dr. Van Mook.
3.      Delegasi KTN masing-masing : Richard Kirby (Australia), Paul Zealand(Belgia), dan Frank Graham (USA).
Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa Belanda menggunakan Abdul Kadir Wijoyoatmojo sebagai ketua delegasi. Mengapa Belanda berbuat demikian karena Belanda berstrategi diplomasi, Abdul Kadir Wijoyoatmojo lebih berbahaya dari pada Belanda asli. Perundingan ini membuat Amir Syarifudin berhadapan dengan kawan sendiri. Belanda memang berniat demikian untuk mengadu domba antar Diplomat Indonesia, biar bergumul bersilat lidah  antar kawan sendiri(Suprapto, 1985: 73-74).
Usul-usulnya yang pertama diterima oleh RI sepenuhnya, tetapi hanya sebagian diterima oleh Belanda. Begitu juga usul-usulnya yang kedua. Tawar menawar usul terjadi, sehingga sampai menjelang Natal 1947 belum tercapai persetujuan. Karena tentang Belanda maka KTN akhirnya mengeluarkan Pesan Natal (Christmas Message) tertanggal 26 Desember 1947 yang berisi usul-usul yang sangat lebih dekat dengan keinginan Belanda. Pesan Natal itu menghendaki perdamaian dengan garis Van Mook, suatu hal yang menjadi tuntutan Belanda, diterima sebagai batas kedudukan militer kedua pihak tetapi dengan catatan bahwa dalam waktu tidak kurang dari 3 bulan Belanda akan menarik tentaranya ke tempat kedudukan sebelum 21 Juli 1947, dan bahwa pemerintah RI akan difungsikan kembali setelah penarikan. Usul tersebut diterima RI. Sedangkan Belanda dalam jawabannya tertanggal 2 Januari 1948 hanya menerima sebagian dari usul KTN tersebut dengan memasukkannya ke dalam usul balasannya yang terdiri atas 12 pasal. Dalam usul balasan, yang nanti akan menjadi satu bagian dari naskah dasar-dasar politik Renville, Belanda antara lain mengusulkan bahwa:
1.      Agar bantuan KTN diteruskan;
2.      Agar dalam waktu tak kurang dari 6 bulan tetapi tidak lebih dari 1 tahun setelah penandatangan persetujuan, perundingan yang sukarela dan bebas tentang soal-soal pokok segera dilangsungkan;
3.      Pemilihan yang bebas akan diselenggarakan untuk penentuan nasib sendiri tentang hubungan politik rakyat sesuatu daerah dengan NIS;
4.      Tiap pihak akan menjamin kebebasan berkumpul, berbicara dan berpendapat dengan catatan bahwa kebebasan itu tidak akan dipakai untuk melakukan tindakan kekerasan atau pembalasan.
Niat Belanda yang tidak baik nampak lebih jelas ketika pada 25 Desember 1947 Belanda secara sepihak telah menyetujui berdirinya Negara Sumatra Timur yang meliputi daerah pendudukannya yang kaya. Jadi Belanda tanpa berembuk dengan RI ataupun KTN telah dengan semaunya menciptakan negara negara bagian di daerah yang dirampasnya dari RI. Pada tanggal 4 Januari 1948 Belanda membuka suatu konferensi yang dihadiri 10 wakil daerah, 3 diantaranya daerah rampasan dari RI yaitu Jawa Barat, Madura dan Sumatra Timur. Konferensi yang dihadiri PM Belanda, Beel, memutuskan persiapan kearah segera terbentuknya NIS sebagai suatu negara merdeka. RI diajak ikut serta dalam pemerintahan sementara, tetapi sebagai peserta minoritas sedangkan beberapa negara bagian made in Holland mempunyai suara sedikitnya dua kali lipat. Pada tanggal 9 Janurari 1948 Belanda menyampaikan nota penegasan kepada KTN untuk disampaikan kepada pihak RI. Dalam surat pengantarnya Belanda menyatakan bahwa RI harus menerima usul-usulnya dalam waktu 3 hari. Kalau tidak demikian Belanda bebas bertindak. Karena KTN tahu kalau pihak RI pasti akan menolak usul 12 pasal dari pihak Belanda dari garis status quo ciptaan Van Mook, maka untuk mengatasi jalan buntu KTN pada 11 Janurai 1948 menawarkan 6 pasal tambahan. Pelaksanaan pasal pasal ini akan menjamin bangsa Indonesia menentukan nasib sendri misalnya lewat plebisit. Di harapkan bahwa pasal-pasal ini akan memindahkan arena perjuangan dari garis demarkasi militer ke garis politik demokrasi. Sementara itu Belanda akan merasa puas karena pokok tambahan tersebut menentukan bahwa:
1.      Kedaulatan Nederland atas Indonesia sesudah massa peralihan akan diserahkan kepada NIS dimana RI akan merupakan suatu negara bagian.
2.      Dalam pemerintahan Federal Sementara yang akan dibentuk, tiap negara bagian akan mendapatkan perwakilan yang adil.
3.      Tiap Negara berhak minta KTN untuk membantu memecahkan perbedaan pendapat atau perselisihan pihak pihak yang bersangkutan yang mungkin timbul selama masa peralihan.
4.      Dalam waktu tidak kurang dari 6 bulan dan tidak lebih dari satu tahun dari saat penandantanganan persetujuan suatu plebisit akan diadakan untuk menentukan apakah berbagai penduduk di daerah-daerah Jawa, Madura dan Sumatra menginginkan daerahnya bergabung dengan RI atau negara bagian lain dari NIS, dengan kesaksian KTN bila dikehendaki oleh sesuatu pihak.
5.      Sesudah itu suatu konvensi yang dibentuk secara demokrasi akan menyusun konstitusi federal.
6.      Tiap negara (bagian) berhak tinggal di luar NIS atau menyelenggarakan hubungan khusus dengan NIS atau dengan Nederland.
Belanda mau menerima 6 pasal tambahan KTN kalau pihak RI juga berbuat sama. Ultimatum 9 Januari diperpanjang 48 jam. KTN kemudian bertemu dengan wakil RI di Kaliurang tanggal 13 Januari. RI mula-mula keberatan karena kawatir kalau RI akan kehilangan kekuasaannya di masa peralihan. Atas kekawatiran itu Graham menjamin RI dengan mengatakan You are what you are. Arti kata itu kira kira adalah anda adalah anda ( anda seperti keadaannya sekarang). Kedudukan RI tetap ada seperti sekarang dan mendapat jaminan bahwa RI akan mendapat perwakilan yang adil dalam NIS. KTN memperingatkan RI bahwa penolakan persetujuan gencatan senjata dengan Garis Demarkasi Van Mook, 12 pasal usul Belanda dan 6 pasal tambahan KTN berarti berakhirnya peranan KTN dan perselisihan Indonesia-Belanda akan kembali ke DK –PBB dimana veto Perancis tersedia untuk setiap usaha membentuk komisi Arbitase. Graham meyakinkan RI bahwa hanya dengan penerimaan ketiga naskah persetujuan itu pemerintah AS akan melindungi RI dari setiap tindakan kekerasan oleh Belanda. Sebaliknya kalau RI menerimannya, AS akan menggunakan segala pengaruhnya agar ketentuan plebisit yang bebas akan terselenggara di bawah pengawasan PBB. Hanya dengan jaminan begitulah RI mau menerima.  Pemimpin RI berkeyakinan bahwa plebisit yang bebas akan menghasilkan kemenangan bagi RI (Moedjanto,1988:19-22).
Tanggal 17 Januari ditandatangani naskah perjanjian Renville di atas kapal Renville milik USA, oleh delegasi Indonesia yang dipimpin oleh Mr. Amir Syarifuddin dan delegasi Belanda dipimpin Abdul Kadir Wijoyoatmojo. Perjanjian ini berisi 12 pasal yang pokok-pokok adalah sebagai berikut (Suprapto, 1985: 74-75):
1.      Bantuan KTN akan diteruskan untuk menyelesaikan pertikaian politik di Jawa, Sumatera dan Madura dengan prinsip perjanjian Linggarjati.
2.      Menjamin suara rakyat untuk menentukan kehendaknya dengan leluasa dan mereka sesuai Linggarjati. Dan menjamin kemerdekaan berkumpul-bersidang, mengemukakan pendapat, penyiaran, asli tidak dengan kekerasan  atau untuk pembalasan.
3.      Perubahan pemerintahan Pamong Praja di daerah-daerah hanya dengan persetujuan rakyat di daerah setelah menjamin keamanan, ketentraman tidak ada paksaan.
4.      Dalam perjanjian politik dilakukan juga persiapan lambat laun mengurangi tentara masing masing
5.      Setelah penandatanganan perjanjian penghentian permusuhan, akan diadakan kerjasama perdagangan, ekonomi dan pengangkutan.
6.      Tidak kurang dari 6 bulan tidak lebih dari setahun akan diadakan plebisit agar rakyat Indonesia menentukan kedudukan sendiri di dalam lapangan politik dalam hubungan dengan Negara Indonesia Serikat.
7.      Dewan yang akan menentukan UU Negara Indonesia akan dipilih secara demokratis.
8.      Setelah persetujuan ditandatangani dan salah satu pihak meminta kepada PBB untuk mengadakan suatu Badan pengawasan sampai saat diserahkannya kedaulatan oleh Pemerintah Belanda.
9.      Kemerdekaan bebas buat semua Bangsa Indonesia.
10.  Kerja sama antara Indonesia Belanda.
11.  Satu negara berdasarkan federasi yang berdaulat dengan satu UUD melalui jalan demokratis.
12.  Adanya UNI NIS dengan kerajaan Belanda dikepalai oleh turunan raja Belanda.
Alasan RI menerima Renville adalah adanya laporan dari berbagai panglima tentara kepada Presiden Sukarno yang menyatakan bahwa persedian amunisi beigitu menipis, serta adanya kepastian bahwa penolakan berarti serangan baru dari pihak Belanda secara lebih hebat, dan keterangan KTN bahwa itulah maksimum yang dapat dibuatnya, serta tiada jaminan bahwa DK PBB bisa menolong, menyebabkan pemimpin pemimpin RI bersedia menerima persetujuan Reville. Jadi kalau RI menolak ia harus berperang sendiri dengan korban yang pasti sangat besar. Atas dasar pertimbangan pertimbangan tersebut RI terpaksa menerima persetujuan Renville yang seluruhnya terdiri atas 3 naskah (Moedjanto,1988:22).
Di bawah ini adalah Konsekwensi perjanjian Renville(Sardiman, 1996):
1.      Wilayah RI semakin sempit.
2.      Penarikan anggota TNI ke daerah-daerah RI.
3.      Wilayah yang sempit memunculkan masalah kependudukan dan sosial ekonomi.
4.      Turunnya Kabinet Amir Syarifudin yang diganti kabinet Hatta yang mengeluarkan program Rekonstruksi dan Rasionalisasi (Re Ra) TNI, dalam bentuk pengurangan personil.
5.      Pembentukan negara-negara boneka oleh Belanda yang dilanjutkan dengan pembentukan BFO (Bijeenkomt Voor Federal Overleg) dengan ketuanya adalah Sultan Hamid II.

AGRESI MILITER BELANDA II
Pada jam 23.30 tanggal 18 Desember 1948 Cochran mendapat surat dari delegasi Belanda di Jakarta untuk disampaikan kepada KTN di Yogyakarta. Isinya: Belanda menyatakan tidak terikat lagi oleh persetujuan gencatan perang Renville. Tetapi ketika Cochran hendak mengawatkan isi surat itu ke Yogya ia dilarang oleh Belanda. Pada jam 23.45 sekretaris delegasi RI di Jakarta juga mendapat surat dengan isi yang sama dan mengalami kesukaran yang sama dalam pengiriman kabar itu ke Yogya. Bahkan satu jam kemudian ditahan. Meski hubungan dengan Belanda telah menjadi begitu jelek, tetapi pihak RI tidak mengira kalau Belanda berani menyerang, terutama karena para anggota KTN waktu itu berada di kaliurang. Lebih lagi karena Cochran menyatakan pula bahwa Belanda tidak akan menggunakan kekuatan militer. RI memperhitungkan bahwa Belanda berani menyerang baru kalau penyusunan pemerintahan negara-negara bagian buatan Belanda sudah selesai. RI menduga bahwa Belanda akan melakukan penyerangan dengan alasan RI mengganggu keamanan negara bagian yang berbatasan. Perhitungan RI yang keliru terlihat juga pada persiapan Presiden untuk berangkat ke India. Pada tanggal 19 Desember 1945 (hari Minggu) presiden menanti pesawat terbang yang dikirimkan Nehru untuk menjemputnya, sementara TNI akan menyelenggarakan latihan militer. Ketika Belanda menjatuhkan bom di Maguwo barulah diketahui kalau itu bukan latihan tetapi perang sungguh-sungguh. Hal ini pasti diperhitungkan juga oleh Belanda. Pada waktu itu PM Hatta juga sedang di Kaliurang untuk berunding dengan KTN(Moedjanto,1988:41).
Kabar pertama pembatalan persetujuan Renville di Yogyakarta berupa serbuan Belanda pada 19 Desember 1948 jam 05.30 pagi itu. Penyerangan dilakukan dengan pemboman atas Maguwo dan beberapa bangunan penting di Yogya, seperti RRI. Lalu diikuti dengan penerjunan 900 pasukan payung dan kemudian kesatuan lain. Dalam memasuki Yogya mereka dibantu oleh KNIL. Tentara Belanda kemudian menawan Presiden dan Wakil Presiden, Syahrir, sejumlah menteri termasuk Menlu Agus Salim.(Moedjanto,1988:42).
Kemudian menjelang siang hari , sidang kabinet selesai, termasuk pula sidang darurat BPKNIP yang telah mengambil keputusan tegas, bahwa pemerintah Indonesia (Tarjo,1984:20-21):
1.      Menyerahkan mandat / kekuasaan kepada:
a.       Mr. Syafrudin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintahan Darurat RI (PDRI) di Sumatra.
b.      L.N. Pallar di New Delhi, untuk meneruskan kegiatan Pemerintah RI, apabila di Sumatra gagal.
c.       Menteri-menteri di Jawa yang turut gerilya untuk meneruskan jalannya Pemerintah RI.
2.      Pemerintah mengeluarkan:
a.       Pengumuman Pemerintah yang ditanda tangani oleh Perdana Menteri Hatta.
b.      Pidato Kepala Negara yang ditujukan kepada Rakyat Indonesia seluruhnya.
3.      Memerintahkan kepada:
a.       Angkatan Perang RI untuk terus berjuang sampai titik darah penghabisan.
b.      Seluruh Rakyat Indoesia untuk melancarkan perjuangan dengan tak mengenal kompromi.
4.      Pemerintah mengambil keputusan:
a.       Tidak pergi meninggalkan kota, tetapi akan tetap berada di dalam kota.
b.      Melanjutkan perjuangan dengan jalan lain yang mungkin ditempuh oleh pemerintah.
Sebelum Presiden ditangkap, presiden masih sempat mengirimkan radiogram berisi pemberian kekuasaan negara kepada Menteri Kemakmuran Syafruddin Prawiranegara yang sedang mengadakan perjalanan di Sumatra, untuk membentuk pemerintah Darurat RI (PDRI). Andaikata karena sesuatu hal Syafruddin tidak bisa menjalankan tugas, Presiden memerintahkan Sudarsono, Palar dan Maramis yang ada di New Delhi untuk membentuk Pemerintah Pelarian (Exile Government).
Karenanya, komandan pasukan Belanda di Jawa Tengah, Jendral Meyer, mendesak Sukarno untuk memerintahkan rakyat menghentikan perlawanan, ia menolak.(Moedjanto,1988:42).
Tentang Agresi Militer Belanda ke II ini diceritakan oleh Bung Karno sebagai berikut:
Setelah menjatuhkan bom selama satu jam dengan diselingi oleh tembakan roket dari pesawat-pesawat P-51, Belanda menduduki pelabuhan udara. Pesawat Spitfire buatan Amerika yang terbang rendah menghujankan pelurunya kejalanan secara merata. Udara kota Yogyakarta gelap oleh pesawat terbang. 1.000 orang pasukan payung menduduki kantor pos, pemancar radio dan membakari mobil. Tentara Republik di Yogyakarta ditawan. Dan Belanda menjalankan peranan busuknya dengan mengangkut orang Republik ketempat tawanan di dalam gerbong yang tertutup rapat. Menjelang tengah hari mereka menduduki Yogyakarta.
Dua Jam sebelum dimulai pendaratan, Panglima besar TNI Jendral Sudirman, membangunkanku. Setelah menyampaikan informasi yang diterimanya terlebih dahulu, dia mendesak, saya minta dengan sangat agar Bung Karno turut menyingkir. Rencana saya hendak meninggalkan kota ini da masuk hutan. Ikutlah Bung Karno dengan saya. Aku berkata (Soekarno) Dirman engkau seorang prajurit. Tempatmu di medan pertempuran dengan anak buahmu. Dan tempatmu bukanlah tempat pelarian bagi saya. Saya harus tinggal disini dan mungkin bisa berunding untuk kita dan memimpin rakyat  kita semua.
Kemungkinan Belanda mempertaruhkan kepala Bung Karno. Jika bung Karno tetap tinggal disini, boleh jadi Bung dibunuh.
Dan kalau saya keluar dari sini, Belanda mungkin menembak saya. Dalam kedua hal ini saya mengadapi kematian, tapi jangan kuatir. Saya tidak takut.
Anak-anak kita menguburkan tentara Belanda yang mati. Kita perang dengan cara yang beradab, akan tetap (Sudirman mengepalkan tinjunya) Kami akan peringatkan kepada Belanda, kalau Belanda menyakiti Sukarno bagi mereka tak ada ampun lagi.Belanda akan mengalami pembunuhan besar-besaran.
Ruang duduk kami langsung menghadap keberanda. Sudirman melangkah keluar dan dengan cemas melihat ke udara. Ia masih belum melihat tanda-tanda. Apakah ada instruksi terakhir sebelum saya  berangkat  tanyanya.
Ia. Jangan adakan pertempuran dijalanan dalam kota. Kita tidak mungkin menang. Akan tetapi pindahkanlah tentaramu keluar kota, Dirman dan berjuanglah sampai mati. Saya perintahkan kepadamu untuk menyebarkan tetara ke desadesa............
Dengan terburu buru berangka tdari rumahnya anggota anggota cabinet berkumpul diruangan kecil dibelakan ruang resepsi, di leputi oleh serba macam kekacauan, mencoba membuat persiapan tergesa gesa yang mungkin dikerjakan dalam nenit menit terakhir itu. Dengan cepat dibuatlah rencana cabinet perang teerdiri atas menteri menteri yang sedang berada diluar kota Yogyakarta hari itu……….
Sebagaimana rencana kita dalam keadaan darurat seperti ini, maka permerintahan sementara Republik dipindahkan ke Sumatra.
Kami membuat pengumuman cepat untuk disiarkan melalui radio. Ia terdiri dari beberapa kalimat saja, akan tetapi oleh karena menyadari bahwa kami telah dikepung dan bahwa saat itu merupakan kesempatan yang terakhir, maka kami mengirimkan seorang kurir dan komunikasi kami yang terakir sebelum radio Republik Indonesia hilang diudara adalah berupa pesan kepada seluruh dunia.
Kantor telegrap berada dirumah seseorang yang tinggal tidak jauh dari situ. Sebelum ia ditutup, kami berhasil mengirimkan dua buah telegram. Satu ke Sumatra, menyerahkan kekuasaan penuh untuk membentuk pemerintah darurat. Yang satu lagi ke New Delhi tempat kedutaan kami yang terdekat, dengan instruksi supaya mengadakan hubungan dengan pemerintah darurat di Sumatra.
Kusuruh membakar dokumen-dokumen penting supaya tidak jatuh ketangan Belanda. Kami tidak mempunyai waktu guna memilih surat surat yang perlu diselamatkan, jadi semua arsip yang kami kumpulkan dari jaman Jepang sampai kejaman revolusi dimusnahkan semua. Secara kebetulan naskah Pancasila dan naskah UUD dapat diselamatkan.
Tindakanku yang terakhir ialah memanggil Mutahar kekamarku. Dengan ini aku memberikan tugas kepadamu untuk menjaga bendera kita dengan nyawamu. Ini tidak boleh jatuh ketangan musuh. Disatu waktu, jika Tuhan mengijinkannya engkau mengembalikanya kepadaku sendiri dan tidak kepada siapapun kecuali kepada orang yang menggantikanku sekiranya umurku pendek. Andai kata engaku gugur dalam menyelamatkan bendera ini, percayakanlah tugasmu ini kepada orang lain dan dia kemudian harus menyerahkannya ketanganku sendiri sebagaimana engkau seharusnya mengerjakannya.
Tentara Belanda terus mengalir melalui setiap jalanan kota. Tanggung jawabnya sungguh berat akhirnya ia (Mutahar) memecahkan kesulitan ini dengan mencabut benang jahitan yang memisahkan kedua belahan dari bendera itu. Bagian yang putih disembunyikan dalam bajunya. Bagian yang merah di dalam tas pakaian.
Jam 1.30 tentara Kolonial mengambil kedudukan diseberang istana. Pasukan pengawal istana yang kecil, kurang dari satu peleton, bertahan dengan gagah berani, akan tetapi karena menghadapi kekuatan yang jauh lebih besar aku memerintahkan supaya mereka meletakkan senjata. Lewat tengah hari aku menyuruh seorang pengawal dengan bendera putih. Guna meyakinkan diri pasukan Belanda menembaki ruangan depan dengan senapan mesin dan juga bagian dalam istana. Istana sudah dikepung demikan rapat, sehingga akupun bisa mendengar pembicaraan radio dari Kolonel Van Llangen yang bertugas untuk menyerbu. 
Jam lima sore pasukan Kolonial memasuki istana, memeriksa setiap ruangan, jendela, pintu dan jalan keluar, menempatkan pengawal didepan setiap tenpat itu dan melucuti semua senjata.
Jenderal yang memegang pimpinan mengirimkan pengawal terdiri dari enam orang untuk membawaku kemarkasnya dengan jip. Sesampainya di kator jenderal itu mendesak “Tuan Sukarno, perintahkan tentara tuan untuk menyerah. Kalau tuan tidak bersedia, seluruh kekuatan tuan akan dihacurkan dalam tempo seminggu. Ini saya sampaikan pada tuan. Riwayat negeri tuan dan tuan sendiri sudah tamat. ……..”
Sukarno menjawab “Jenderal, apakah saya menjawabnya sebagai seorang tawan, ataukah saya menjawabnya sebagai seorang Presiden? Kalau saya seorang Presiden, saya dapat berunding. Kalau saya seorang tawanan, saya tidak dapat memberika perintah itu”.
Selanjutnya tidak ada pembicaraan. Jenderal itu mengirimku (Sukarno) kembali keistana.
Jam 7 pagi tanggal 22, Kolonel Van Langen tanpa pemberitahuan terlebih dulu, memberiku kesempatan lima menit untuk mengemasi dua buah kopor kecil dan mengucapkan selamat tinggal kepada keluarga. Aku dinaikkan keatas pesawat B-25 dimana dilakukan tindakan keamanan yang teliti sempai detik terakhri……….(Adams, 1966: 376-381).
Belanda kemudian menyiarkan berita bohong kepada dunia. Untuk menghambat kebenaran berita tentang Indonesia tersiar ke dunia, Belanda melakukan sensor pers yang keras sampai 1 Januari 1949. Permintaan KTN untuk melakukan peninjauan dari udara ditolak, bahkan anggota-anggota militernya dipersilakan berangkat ke Jakarta dan ditawan sampai 7 Januari.1949. Tetapi meski demikian RI beruntung karena mempunyai 4 orang diplomat di luar negeri : Palar, Sudjatmoko, Sumitro dan Sudarpo. Mereka inilah yang leluasa membela RI di luar negeri. Disamping itu RI masih mempunyai radio gerilya yang sanggup memancarkan berita penyerangan dan perlawanan rakyat ke luar negeri (dari Jawa dikirim ke Sumatra, dari Sumatra ke Rangoon terus ke New Delhi)-(Moedjanto,1988:42).
Perjuangan untuk tetap melakukan perlawanan juga terjadi dari dalam istana Kerajaan. Hal ini terkisah sebagai berikut:
Sore harinya, kira kira pukul 17.00 datanglah di keraton Kolonel Van Langen, Komandan Tijgerbrigade Belanda yang berfungsi sebagai pengusa meliter untuk daerah Yogya. Kedatangannya disertai oleh pejabat Belanda bernama Westerhof, dan keduanya memperlihatkan kepada Hamengku buwono IX sebuah peta kota Yogya yang telah diberitanda-tanda oleh mereka. Kepada  Hamengku Bbuwono IX dikatakan bahwa ia boleh bergerak leluasa, tetapi dalam batas yang telah diberi warna merah oleh Belanda. Setelah diteliti, ternyata ruang gerak Hamengku buwono IX sangat terbatas, yaitu di daerah keraton saja. Dikabarkan bahwa hal yang sama juga dialami oleh Sri Paku Alam.
Panglima Besar Sudirman setelah meninggalkan keluarganya di rumah Mangkubumen berangkat keluar kota untuk memimpin perang gerilya menggerakkan perlawanan terhadap musuh.  Dalam sejarah pendudukan kota Yogya tercatat serangan serangan gerilya yang paling dashsyat pada januari 1949, suatu keadaan yang sungguh mengerikan bagi tentara pendudukan. Tak mengherankan bahwa selama periode itu para opsir Belanda tak ada yang berani bertugas di dalam kota, terutama pada malam hari mereka bermalam di kompleks Maguwo yang dijaga ketat. Dan hanya serdadu serdadu NICA yang bukan Belanda totok yang diwajibkan bertugas malam di kota Yogya.
Dari dalam keraton mulailah Hamengku Buwono IX sekarang menjalankan siasatnya. Pertama tama ia menyebarkan berita bahwa ia meletakkan jabatan sebagai kepala Daerah Istimewa Yoyakarta, kemidan diikuti oleh Sri Paku Alam. Cara penyebarluasan berita itu dengan penyampaian dari mulut ke mulut atau Fluistercampagne. Tujuan penyebaran berita ini, dalam keadaan Hamengku Buwono IX  dibatasi ruang geraknya, ia agar soal keamanan daerah Yogya menjadi tanggung jawab tentara pendudukan. Lagi pula dengan demikian Hamengku Buwono IX atau Paku Alam tak akan dapat diperalat atau disuruh melakukan tindakan-tindakan yang membantu musuh.
Dalam posisi yang makin lemah di dunia Internasional. Belanda berpikir bahwa harapan terakhirnya terletak pada raja ini dan mustahil bahwa ia tak akan mengingikan daerah, kekuasaan dan kekayaan yang lebih luas, lebih besar. Dan mulailah selama masa pendudukan Yogya itu dikirimkan seorang demi seorang utusan kepercayaan Belanda untuk mendekati Hamengku Buwono IX.
Sementara itu wilayah yang dikemukakan untuk imbalan bagi Hamengku Buwono IX ialah daerah Kedu dan Banyumas, kemudian ditambah dengan beberapa daerah di Jawa Timur. Dan akhirnya ditawarkan seluruh Jawa dan Madura dengan kekuasaan besar sebagai “Super Wali Negara”.
Utusan utusan itu tak pernah ada yang dapat bertemu muka dengan Sultan Hamengku Buwono IX sendiri. Selalu ia hanya meminta salah seorang saudaranya untuk menemui mereka dengan alasan bahwa Sultan sedang sakit (Roem dkk,1982:72-75).



PDRI (PEMERINTAHAN DARURAT REPUBLIK INDONESIA)
Radiogram yang dikirim tidak sampai, namun sebelumnya Syafrudin Prawiranegara sudah bertemu dan diberi mandate bila terjadi apa-apa perlu dibentuk pemerintahan darurat(Sardiman, 1996). Tentang radiogram dari Yogyakarta yang tidak pernah sampai di tangan Syafrudin Prawiranegara juga disampaikan dalam versi lain sebagai berikut:
Keputusan tentang PDRI ini diberitahukan kepada Mr. Sjafruddin Prawiranegaa yang sedang ada di Sumatra melalui siaran radio, namun ternyata yang bersangkutan tak menerima siaran tersebut. Tetapi anehnya, di Sumatra Mr. Sjafruddin telah memiliki gagasan serupa sehingga tanpa konsultasi satu sama lain atas inisiatif sendiri ia membentuk pemerintahan darurat RI berpusat  di Kototinggi (Roem dkk, 1982:71-72)
Ada pendapat lain tentang proses pembentukan PDRI yang dikisahkan oleh Islam Salim sebagai berikut:
Tidak dapat dipungkiri bahwa Menteri Sjafroeddin Prawiranegara yang pada tanggal 19 Desember 1948 itu belum menerima telegram pelimpahan mandat pelaksanaan untuk mengefektifkan pembentukan Pemerintah Darurat RI (PDRI) dari Yogyakarta semula bimbang dan ragu, sekalipun beliau sebelumnya sudah mengetahui adanya rencana pembentukan Pemerintah Darurat RI yang dimikian dalam hal Pemerintah pusat tidak dapat berfungsi lagi akibat suatu serangan Belanda. Sikap beliau tetap tidak berubah sekalipun melalui siaran umum RRI Yogyakarta telah mendengar adanya pesan Pemerintah pusat RI, agar beliau selekasnya membentuk suatu Pemerintahan Darurat RI.
Namun, keraguan Menteri Sjafroeddin Prawiranegara akhirnya hilang setelah beliau menerima sinyal dukungan tegas berupa desakan dari pihak Angkatan Perang RI cq Kolonel Hidajat dan Kapten Islam Salim. Pertemuan itu sendiri terjadi dalam keadaan yang cukup menegangkan, namun dalam waktu relatif singkat ternyata berhasil menelorkan tekad mendirikan Pemerintah Darurat RI itu. Akhirnya tanggal 22 Desember 1948 di desa Halaban Sumatra Tengah dekat Payakumbuh, Mr. Sjafruddin Prawiranegara bersedia membentuk PDRI lengkap dengan menteri-menteri kabinetnya (Salim, 1995: 43-44).
Peranan PDRI (Sardiman,1996):
1.      Dapat berfungsi sebagai mandataris RI.
2.      Berperan sebagai pemerintah pusat.
3.      Berhasil memberikan semangat perjuangan.
4.      Memiliki peranan sebagai arus informasi ke dunia.
5.      Perintah dari PDRI ke perwakilan RI di PBB (23 Desember 1945) yang isinya siap berunding dengan Belanda dengan Syarat:
a.       Pembebasan segera anggota dan pemerintah RI yang ditawan Belanda.
b.      Penarikan mundur pasukan Belanda.
c.       Pengakuan kedaulatan RI atas Jawa, Madura dan Sumatra.

SERANGAN UMUM 1 MARET 1949
Pihak belanda tidak segera mau menerima resolusi DK PBB 28 Januari 1949, sebab ia masih yakin bahwa RI memang tinggal namanya. Sementara itu Sri Sultan lewat radio dapat menangkap berita kalau DK PBB akan mengadakan sidang lagi dalam bulan Maret untuk membahas perkembangan di Indonesia. Sri Sultan berpikir apakah yang dapat diperbuat untuk mempengaruhi jalannya sidang badan tersebut. Salah satu yang baik diperbuat ialah kalau kita dapat menunjukkan bahwa RI masih ada dan TNI masih kuat. Dengan demikian propaganda Belanda yang menyatakan RI telah gulung tikar tidak mempan lagi. Untuk itu Sri Sultan mengirim surat kepada Jenderal Sudirman, yang menjawab untuk keperluan penyelenggaraan serangan itu hendaklah Sri Sultan merundingkannya dengan Komandan TNI setempat. Komandan TNI  setempat yang dimaksud adalah Letkol Suharto (Moedjanto,1988:51).
Menjelang  Serangan Umum Pangeran Prabuningrat, mengantar Letkol Suharto yang menyamar dengan berpakaian abdi dalem, untuk berunding dengan Sultan di rumah Pangeran. Malam itu mereka membicarakan rencana serangan yang akan dilakukan keesokan paginya. Serangan Umum semula direncanakan tanggal 28 Februari, tetapi rencana itu agaknya mengalami kebocoran sehingga diundurkan menjadi 1 Maret 1949 (Roem dkk,1982:80).
            Pagi hari itu, berbarengan dengan bunyi sirene tanda habisnya jam malam yang diterapkan Belanda ketika itu, secara serentak dari segala penjuru kota Yogya terdengar rentetan tembakan senjata. Pasukan Belanda yang sama sekali tak mengira akan datangnya serangan tak sempat keluar dari kubu kubu mereka dan hanya berusaha bertahan saja. Kemudian pada saat yang telah ditetapkan secara serentak para gerilyawan yang terdiri dari tentara TNI, tentara Pelajar dan rakyat  pejuang memasuki dan menduduki kota. Tanda khas perjuangan ketika memasuki kota ialah kalung dari janur kuning yang melingkar di leher para gerilyawan. Setelah enam jam berada di kota dan kelompok gerilyawan menduduki tempat masing masing yang telah ditentukan bagi mereka, komando untuk mengundurkan diri diberikan dan kembali secara serentak mereka taat meninggalkan kota menuju pangkalan masing-masing. Dengan demikian sewaktu bala bantuan pasukan Belanda berupa barisan tank datang dari arah Utara, para gerilyawan telah lenyap (Roem dkk,1982:80-81).
            Kota Yogyakarta selama 6 jam, jam 06.00, sampai jam 12.00 siang, dapat diduduki. Hanya dengan bantuan yang didatangkan dari Gombong dan Magelang Belanda berhasil memukul mundur para pejuang. Itulah yang dikenal sebagai 6 jam di Yogya. Berita serangan umum itu kemudian disiarkan RRI yang bergerilya di daerah Gunung Kidul, yang dapat ditangkap RRI di Sumatra. Selanjutnya dari Sumatra berita itu disiarkan ke Rangoon dan India dan dengan demikan Dunia tahu kalau Belanda bohong. Disamping itu berita ini disebarkan juga oleh wartawan asing yang berada di Indonesia. Ternyata serangan umum memang dapat mempengaruhi pandangan Dunia khususnya DK PBB. Jadi aksi militer dari para gerilyawan telah berfungsi dengan baik, yaitu membantu perjuangan lewat diplomasi (Moedjanto,1988:51-52).



PERSETUJUAN ROEM ROYEN
Pemerintah Amerika Serikat mendesak Belanda untuk melaksanakan resolusi 28 Januari1949. Pemerintah Amerika kini tegas sikapnya terhadap Belanda dan ini berarti kedudukan RI makin kuat. Mengapa pemerintah Amerika menjadi bersikap tegas? Sebabnya adalah:
1.      Suara Konggres harus diperhitungkan. Keseganan Belanda untuk melaksanakan resolusi 28 Januari bisa berakibat badan legislative ini memerintahkan kepada pemerintah Amerika untuk mengurangi atau menghentikan bantuan Marshall khusus untuk Belanda;
2.      Amerika tidak menghendaki PBB kehilangan prestise hanya karena persoalan Republik Indonesia;
3.      Amerika makin menyadari kekuatan militer republik Indonesia dengan sikap penduduknya yang no koperatif. Amerika yakin bahwa Belanda tidak mungkin menundukkan kekuatan militer dan sikap penduduk Republik Indonesia yang non koperatif itu;
4.      Keseganan Belanda mengembalikan pemimpin-pemimpin Republik yang anti komunis (yang terbukti dengan ketegasannya menumpas pemberontakan PKI di Madiun) ke Yogyakarta bisa memberi peluang kepada tokoh-tokok PKI untuk mengambil tempat mereka.
Ketegasan sikap pemerintah Amerika itu disampaikan oleh Menlu Amerika, Dean Acheson yang menggantikan Marshall, kepada menlu Belanda, Stikker, dalam pertemuan mereka di Washington pada 31 Maret 1949 (Moedjanto,1988:52-53).
Akibat dari hal diatas, pada 14 April 1949 perundingan dapat dibuka kembali. RI diwakili oleh Moh. Rum, sedang Belanda diwakili oleh Van Royen (Moedjanto,1988:53). Namun sebelumnya pada tanggal 23 Maret 1949 atas usul Kanada, Dewan Keamanan PBB menugaskan UNCI untuk turun tangan dan mengusahakan agar kedua belah pihak, RI dan Belanda, kembali ke meja  perundingan untuk penyelesaian pertikaian mereka secara damai. Atas dasar itu, pada tanggal 2 April 1949, Mr. Mohammad Roem mengirim surat kepada UNCI yang berisi pernyataan kesediaanya untuk melangsungkan perundingan pendahuluan di Jakarta. Demikianlah pada 14 April 1949 dilaksanakanlah perundingan pendahuluan antara Delegasi RI dengan Delegasi Belanda yang diketuai oleh ketua UNCI Merle Cochran. Pada pertemuan tanggal 21 April 1949 Dr. Van Royen menerangkan bahwa pemerintahanya bersedia untuk memulihkan Pemerintah RI ke Yogyakarta, sedangkan delegasi RI menyatakan hanya bersedia untuk membicarakan hal-hal yang bertalian dengan pelaksanaan praktis pemulihan pemerintah pusat RI ke Yogyakarta. Pada pertemuan pendahuluan pertama pada bulan April 1949 yang diketuai oleh pihak UNCI, Dr. Van Royen mengajukan suatu pertanyaan yang menatang “atas nama siapa Mr. Mohammad Roem akan bicara? Mohammad Roem dengan lantang menjawab: “Atas nama pribadi Presiden dan Wakil Presiden RI”. Mr. Mohammad Roem dapat lantang menyatakan hal demikian, karena beliau sebagai ahli hukum, cukup memahami bahwa PDRI berdiri bukanlah untuk menghapuskan Pemerintah Pusat RI, melainkan sekedar pemerintah sementara yang didirikan dan dikuasakan untuk secara darurat menggantikan Pemerintah yang sah dalam menghadapi agresi kolonial Belanda yang II. Mr. Sjafruddin Prawiranegara sebagai pimpinan PDRI tidak memilih predikat Presiden atau pun Perdana Menteri RI, melainkan sesuai dengan rencana semula, hanya sekedar menyebut dirinya sebagai ketua PDRI sesuai dengan mandat, sekalipun mandat yang bersangkutan mulanya tidak diterima (Salim, 1995:51).
Satu minggu kemudian setelah tanggal 14 April 1949 perundingan terhenti lagi karena Van Royen menafsirkan bahwa pemerintah Nederland akan memulihkan pemerintah dan pemimpin pemimpin RI hanya sesudah pemerintah RI memerintahkan kesatuan-kesatuan bersenjatanya untuk menghentikan gerilya mereka dan bekerja sama dalam memulihkan perdamaian dan pemeliharaan ketertiban dan keamanan, dan bersedia menghadiri KMB. Pendapat pihak RI sebaliknya. Pihak RI tidak mungkin melakukan hal-hal di atas karena pemimpin pemimpin RI terpencar-pencar, tiada kontak satu dengan yang lain. Kemacetan ini berlangsung sampai 1 Mei, ketika atas desakan keras dari wakil Amerika dalam UNCI, Cochran, pihak RI menerima ketentuan-ketentuan persetujuan, Cochran menjanjikan bantuan ekonomi Amerika sesudah penyerahan kedaulatan, tetapi kalau ditolak, Amerika tak akan membantu apapun juga. Adapun ketentuan persetujuan Roem Royen itu adalah:
1.      Pengeluaran perintah oleh pihak RI kepada kesatuan kesatuan bersenjata RI untuk menghentikan perang gerilya, sedangkan pemerintah dan pemimpin pemimpin RI dipulihkan kembali ke Yogya;
2.      Kerja sama dalam pemulihan perdamainan, dan pemeliharaan ketertiban dan keamanan;
3.      Belanda akan menyokong RI untuk menjadi Negara bagian dari RIS dengan mempunyai sepertiga suara dalam perwakilan Federal;
4.      Ikut serta dalam KMB di Den Haag untuk mempercepat penyerahan kedaulatan tanpa syarat, nyata dan lengkap.
Persetujuan (pernyataan janji dua pihak) banyak yang tidak memuaskan RI yaitu:
1.      Pemerintah RI hanya menguasai kembali Yogyakarta;
2.      Pegawai-pegawai RI diluar Yoyakarta boleh terus menjalankan fungsinya tetapi penarikan mundur tentara hanya dilakukan Belanda di Yogyakarta saja;
3.      Belanda tetap mengakui negara-negara bagian yang diciptakan dengan merampas daerah daerah RI;
4.      Dalam DPR Federal sementara, RI hanya diwakili oleh sepertiga dari seluruh jumlah anggota.
Akibat dari persetujuan Roem Royen adalah:
1.      Beel sebagai Wakil Tinggi Mahkota dari Belanda yang konservatif mengundurkan diri dan digantikan oleh Lovink.
2.      Beberapa partai menyesalkan penandanganan persetujuan Roem Royen yaitu PSI Syahrir dan Murba. Begitu juga pers Indonesia seperti Merdeka. Sedang PNI dan Masyumi baru menyatakan dukungannya pada 28 Mei 1949.
3.      Di sisi perjuangan fisik, gerilyawan juga ada yang tidak senang. Ini nampak dari makin giatnya gerilya.
4.      Sikap PDRI disiarkan tanggal 14 Juni 1949. PDRI hanya mau menyokong persetujuan Roem Royen atas dasar:
a.       Tentara RI tetap berada ditempat kedudukannya;
b.      Tentara Belanda harus ditarik dari daerah-daerah RI yang didudukinya;
c.       Pemulihan RI ke Yogya berlangsung tanpa syarat;
d.      Kedaulatan RI atas Jawa, Madura, Sumatra dan pulau-pulau sekitar harus diakui oleh Belanda sesuai dengan persetujuan Linggarjati.
(Moedjanto,1988:53-54).
Dengan disepakatinya prinsip-prinsip Roem Royen tersebut Pemerintah Darurat RI di Sumatra memerintahakan kepada Sultan Hamengkubuwono IX untuk mengambil alih pemerintahan  di Yogyakarta apabila Belanda mulai mundur dari Yogyakarta (Notosusanto, 1992:168).
Pihak angkatan Perang menyambut adanya persetujuan itu dengan perasaan curiga. Panglima Besar Angkatan Perang Jenderal Soedirman pada tanggal 1 Mei 1949 memperingatkan kepada para komandan kesatuan agar tidak memikirkan masalah perundingan. Pernyataan yang sama datang dari Panglima Tentara dan Territorium Jawa Kolonel A.H. Nasution tanggal 5 Mei 1949. Pernyataan itu mengetengahkan bahwa perundingan yang dilaksanakan itu hanyalah merupakan taktik perjuangan, dan diperingatkan kepada semua komandan agar membedakan antara gencatan senjata untuk kepentingan politik dan untuk kepentingan militer (Notosusanto,1992:168).
Sebagai tindak lanjut daripada persetujuan Roem Royen, pada tanggal 22 Juni diadakan perundingan formal antara RI, BFO dan Belanda di bawah pengawasan komisi PBB, dipimpin oleh Critchley (Australia). Hasil perundingan itu adalah:
  1. Pengembalian Pemerintah RI ke Yogyakarta dilaksanakan pada tanggal 24 Juni 1949. Karesidenan Yogyakarta dikosongkan oleh Tentara Belanda dan pada tanggal 1 Juli 1949 dan pemerintah RI kembali ke Yogyakarta setelah TNI menguasai keadaan sepenuhnya di daerah itu;
  2. Mengenai penghentian permusuhan akan dibahas setelah kembalinya pemerintah RI ke Yogyakarta;
  3. Konferensi Meja Bundar diusulkan akan diadakan di Den Haag.
Hasil permusyawaratan yang dicapai ini akan dicantumkan dalam sebuah memorandum. Setelah para pemimpin RI berkumpul kembali di Yogyakarta, maka pada tanggal 13 Juli 1949 jam 20.30, diadakan sidang kabinet RI yang pertama. Pada sempatan itu Mr. Sjafruddin Prawiranegara mengembalikan mandatnya kepada Wakil Presiden / Perdanan Menteri Moh. Hatta. Dalam sidang Kabinet diputuskan untuk mengangkat Sri Sultan Hamengkubuwono IX sebagai Menteri Pertahanan dan Koordinator Keamanan (Notosusanto, 1992: 169).

YOGYA KEMBALI
Kewibawaan PDRI nyata terlihat ketika Sultan pada 18 Juni 1949 menyampaikan perintah PDRI untuk penghentian tembak menembak kepada gerilyawan di daerah Yogyakarta sebagai persiapan pengosongan tentara Belanda. Pada tanggal 29 Juni 1949 Mereka telah meninggalkan Yogya. Inilah yang kemudian dikenal sebagai Hari Yogya kembali. Dalam penarikan tentara Belanda tidak terjadi insiden, kemudian segera gerilyapun masuk Yogyakarta menggantikan mereka. Enam hari kemudian pemimpin Republik yang ditawan kembali ke Yogyakarta. Tanggal 13 Juli 1949 Kabinet bersidang pertama kali setelah Agresi Militer Belanda II dan pada hari itu pula Syafrudin Prawiranegara mengembalikan mandat kepada Presiden. BP KNIP segera bersidang dan setelah berdebat selama seminggu badan ini menerima persetujuan Roem Royen dengan catatan dasar-dasar yang dicanangkan PDRI harus dipertahankan (Moedjanto,1988:55).

KONFERENSI ANTAR INDONESIA DAN PERUBAHAN SIKAP BELANDA
Tanggal 19-22 Juli 1949 di Yogyakarta, selanjutnya antara 30 Juli – 2 Agustus 1949 di Jakarta belangsunglah konferensi antar Indonesia yang dihadiri oleh wakil wakil RI dan BFO. Dalam konferensi itu diputuskan:
1.      BFO mengakui bahwa NIS akan menerima kedaulatan dari Belanda dan RI.
2.      Disetujui pula pembentukan Komite Persiapan Nasional yang terdiri dari wakil-wakil RI dan BFO untuk mengkoordinasi seluruh persiapan dan kegiatan yang harus diusahakan selama dan sesudah KMB sebagai suatu lembaga pusat untuk menjamin hubungan antara RI dan BFO;
3.      Negara-negara bagian tidak akan memiliki tentara sendiri yang terpisah-pisah.
4.      BFO sepenuhnya menyokong tuntutan RI supaya penyerahan kedaulatan menjadi nyata dan tanpa syarat, tanpa ikatan politik maupun ekonomi;
5.      RI setuju bahwa konstitusi NIS akan disusun dalam KMB di Den Haag, dan BFO akan memperoleh kedudukan yang kuat sekali; BFO akan memperloleh duapertiga perwakilan dalam DPR. Disamping itu RIS akan mempunyai Senat yang anggotanya terdiri dari 30 wakil BFO dan 2 wakil RI.
Pada tanggal 1 Agustus 1949 RI dan Belanda mencapai persetujuan penghentian tembak menembak yang akan mulai berlaku di Jawa pada 11 Agustus 1949, dan di Sumatra pada 15 Agustus 1949. Perintah penghentian akan dilakukan tanggal 3 Agustus 1949. Mengapa Belanda menampakkan perubahan sikap yang besar? Sebabnya:
1.      Mereka sadar bahwa kekuatan militernya tidak cukup kuat untuk memaksa RI tunduk kepadanya;
2.      Perang yang berkepanjangan akan berakibat hancurnya perkebunan dan pabrik pabrik modal Belanda. Untuk menghindarkan hal itu Belanda harus mengubah strateginya;
3.      Tekanan Amerika supaya Belanda menyerahkan kedaulatan kepada Indonesia tanpa syarat agar Indonesia tidak jatuh ke tangan Komunis.
Dengan tercapainya perkembangan tersebut dapatlah ditentukan permulaan KMB di Den Haag: 23 Agustus 1949 (Moedjanto,1988:56-57).

KONFERENSI MEJA BUNDAR
Pada tanggal 4 Agustus 1949 1949 telah diangkat delegasi Republik Indonesia yang terdiri dari : Dr. Moh Hatta, Mr. Moh. Roem, Prof. Dr. Mr. Supomo, dr. J. Leimena, Mr. Ali Sastroamidjojo, Ir. Djuanda, dr. Sukiman, Mr. Suyono Hadinonto, Dr. Sumitro Djojohadikusumo, Mr. Abdul Karim Pringgodigdo, Kolonel T.B. Simatupang, dan Mr. Sumardi. Sedang delegasi BFO dipimpin oleh Sultan Hamid II dari Pontianak. Pada tanggal 23 Agustus 1949 KMB dimulai di Den Haag. Konferensi selesai pada tanggal 2 November 1949(Notosusanto, 1992:171).
Tanggal 23 Agustus 1949 KMB dibuka secara resmi dengan Ketua perdana Menteri Belanda Dr. W. Dress dan sekretaris umum Dr. M.J. Prinsen. Dalam sidangnya menggunakan bahasa Belanda, Indonesia, Inggris dan Prancis (Suprapto, 1985: 99).
KMB menghasilkan naskah-naskah persetujuan yang lengkap mengatur hubungan antara Indonesia (RI dan BFO) dan Belanda, yang pada pokoknya terbagi menjadi dua bagian : induk dan anak persetujuan. Ketentuan yang paling penting dari persetujuan KMB ialah Piagam Penyerahan Kedaulatan, yang oleh Indonesia diartikan Piagam pengakukan Kedaulatan. Piagam ini menetapkan penyerahan (Pengakuan) kedaulatan yang lengkap dan tanpa syarat selambat-lambatnya pada 30 Desember 1949 oleh Belanda kepada RIS (Republik Indonesia Serikat) kecuali Irian Barat. RIS terdiri dari RI dan 15 negara (daerah) bagian ciptaan Belanda. Pemerintahan RIS diatur oleh konstitusi yang dibuat oleh para delegasi RI dan BFO selama KMB berlangsung, atas dasar persetujuan yang dicapai oleh wakil-wakil mereka dalam konferensi antar Indonesia. Penyerahan kedaulatan dilakukan segera tanpa melalui masa peralihan seperti ditentukan semula. Naskah yang lain ialah tentang status Uni Indonesia – Belanda. RIS dan Belanda bersama sama membentuk suatu Uni yang dikepalai raja Belanda untuk mengurus kepentingan bersama. Uni Indonesia – Belanda sifatnya ringan. Uni Indoesia Belanda memang bersifat ringan, terutama ditujukan untuk konsultasi bersama mengenai kepentingan umum kedua Negara. Raja Belanda mengepalai Uni sekedar sebagai simbul kesediaan kerjasama kedua Belah pihak. Tentang Uni yang nyata kelihatan hanyalah adanya sekretariat bersama, yang terdiri dari sekolompok Menteri dari kedua pihak yang harus mengadakan sidang minimum 2 X setahun, dan adanya Mahkamah Arbitrase Uni.
Sidang-sidang tersebut dimaksudkan untuk memecahkan soal-soal yang belum terselesaikan dalam KMB dan merupakan saluran untuk memecahkan persoalan persoalan kepentingan bersama. Keputusan sidang hanya sah bila diterima secara bulat dan disahkan oleh parlemen kedua pihak. Mahkamah Arbitrase bertugas memecahkan persoalan hukum yang menyangkut kedua negara. Anggota terdiri dari 6 orang yaitu 3 dari masing masing negara. Mereka diangkat untuk 10 tahun. Keputusan diambil dengan dasar mayoritas. Jika pemungutan suara memberikan hasil yang seimbang, kedua pihak setuju untuk menambah anggota ketujuh, yang diambilkan dari Mahkamah Internasional, atau lembaga lain yang disetujui oleh kedua pihak.
KMB juga mengatur tentang kerja sama militer. Di samping itu diatur pula tentang penarikan mundur pasukan Belanda ke luar Indonesia secepatnya, sedang KNIL akan direorganisasi (dinasiolanlisasi).
KMB juga memperhatikan hak milik orang asing di Indonesia. Menurut salah satu naskah KMB, RIS harus memulihkan hak-hak yang diberikan kepada orang asing oleh Undang -Undang India Belanda. Hak-hak itu bisa diperluas atau diperpanjang asal saja tidak bertentangan dengan kepentingan umum dan ekonomi RIS. Pengembilalihan dan nasionalisasi hanya boleh dilakukan dengan atau atas dasar Undang Undang dan dengan ganti rugi.
Pihak Belanda memperoleh kebebasan yang sangat luas dalam penyelenggaraan usaha ekonomi di Indonesia. Perusahaan perusahaan bersama dipimpin oleh orang Belanda, tetapi mereka wajib melatih orang-orang Indonesia untuk dipersiapkan mengambil alih pimpinan.
Permasalahan yang berat di pecahkan adalah masalah utang piutang yang diatur dalam naskah tersendiri dan Irian Barat, yang termuat dalam piagam penyerahan kedaulatan.  Belanda menuntut agar RIS menanggung utang India- Belanda sampai penyerahan kedaulatan, sedang pihak RIS hanya bersedia menanggung bagian sampai kedaulatan, sedang pihak RIS hanya bersedia menanggung bagian sampai Maret 1942, sebab kalau sampai 1949 itu berarti RIS harus membiayai sendiri penyerangan penyerangan Belanda yang dilakukan terhadap RI. Kedua pihak menemui jalan buntu. UNCI diminta turun tangan, tetapi Cochran memaksakan kehendaknya agar ia diterima sebagai satu-satunya orang dalam UNCI dengan putusan yang merugikan RIS. RIS terpaksa mau menerima karena Cochran memberikan janji bahwa Amerika akan membantu pembangunan ekonomi Indonesia bila RIS menerima usulnya, bila tidak, Amerika tidak mau membantu. Meskipun terdapat pengurangan dari jumlah yang dituntut Belanda, tetapi jumlah utang yang harus ditanggung oleh RIS sungguh tidak kepalang tanggung : f 4.300.000.000 atau hampir $ 1.130.000.000.
Tentang masalah Irian, menurut Kahin banyak pegawai Belanda di Indonesia tidak tertarik pada Irian Barat yang masih tertutup. Cukup keras juga suara umum di negeri Belanda yang tidak menghendaki Irian, termasuk di dalamnya para pengusaha yang cukup besar jumlahnya. Untuk menyelenggarakan pemerintah di Irian, Belanda mengeluarkan biaya f 10.000.000 tiap tahun. Tetapi pemerintah Belanda berpendapat bila Irian Jaya tidak ditahan, DPR Belanda tidak akan menerima persetujuan KMB (tak mau menderita kekalahan total). Karena itu menurut Kahin alasan menahan Irian bukan alasan ekonomis, tetapi lebih bersifat sosial psikologis. Belanda menganggap penahanan Irian Barat adalah simbul bahwa Belanda masih merupakan kekuatan Asia. Akhirnya UNCI turun tangan dan dalam piagam penyerahan masalah Irian ditunda satu tahun untuk dibicarakan lebih lanjut (Moedjanto,1988:57-59).

REPUBLIK INDONESIA SERIKAT DAN PERJUANGAN MENUJU NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA
RIS terdiri dari RI sebagai negara bagian yang terkuat dengan wilayah hampir sama dengan yang ditentukan oleh persetujuan Renville dengan penduduk 31 juta, dan 15 negara (daerah bagian) ciptaan Belanda. Negara Negara dan daerah bagian itu adalah:
1.      Negara Indonesia Timur
2.      Negara Sumatra Timur
3.      Negara Sumatra Selatan
4.      Negara Jawa timur
5.      Madura
6.      Jawa Barat (Negara Pasundan)
Disamping Belanda menciptakan 6 daerah yang berstatus negara Belanda juga menciptakan daerah yang berstatus daerah otonom yang berjumlah 9 buah yaitu:
1.      Daerah otonom (istimewa) Kalimantan Barat.
2.      Kalimantan Timur
3.      Dayak besar (Kalimantan Tengah sekarang).
4.      Daerah Banjar
5.      Kalimantan Tenggara
6.      Bangka, Biliton dan Riau kepulauan.
7.      Jawa Tengah
(Moedjanto,1988:60-67).
Setelah RIS berdiri, maka sesuai dengan konstitusinya, yang ditetapkan di Scheveningen pada 29 Oktober 1949 oleh wakil-wakil RI dan BFO yang menghadiri KMB. Dalam konstitusi RIS Pancasila ditetapkan menjadi Dasar Negara. Tiap Negara bagian (juga daerah bagian) mengirimkan 2 senator ke badan Perwakilan Federal yang terdiri dari dua kamar (bicameral). DPR RIS terdiri atas 150 anggota. Darinya RI diwakili oleh 50 orang anggota sedang dari negara (daerah) bagian lain-lainnya diatur menurut perbandingan jumlah penduduk. Dari 150 anggota itu terdapat masing masing 9, 6 dan 3 wakil orang Cina, Eropa dan Arab. DPR mempunyai hak inisiatif, dan undang undang pada umumnya memerlukan persetujuan 50 prosen jumlah anggota dalam suatu sidang yang dihadiri minimum 50 prosen jumlah anggota seluruhnya. Presiden adalah Kepala Negara dan panglima tertinggi Angkatan perang dan dipilih oleh sidang bersama Senat dan DPR. Dengan persetujuan kedua badan itu Presiden mengangkat 3 orang formatur kabinet dan salah seorang darinya menjadi Perdana Menteri. Dalam RIS tidak ada Wakil Presiden. Kekuasaan mengubah UUD terletak di tangan senat dan DPR. Sidang perubahan UUD memerlukan quorum 2/3 dari masing-masing badan. Keputusan perubahan UUD memerlukan dukungan 2/3 jumlah anggota yang hadir,jika pengubahan UUD dilakukan oleh DPR saja maka quorum yang diperlukan adalah ¾ dari seluruh anggota sendang keputrsan menjadi sah bila didukung oleh ¾ jumlah yang hadir. Pada 16 Desember 1949 Senat dan DPR RIS mengadakan sidang untuk memilih Presiden. Sukarno dengan suara bulat dipilih menjadi Presiden RIS yang pertama (dan yang terakhir) dan 17 Desember dilantik di Sitingggil (kraton Yogyakarta). Soekarno tetap menjadi Presiden RI (Negara bagian) namun karena ia terpilih menjadi Presiden RIS kewajibannya sebagai Presiden RI dilakukan oleh Pj. Presiden, Asaat. Selanjutnya Presiden mengangkat 4 orang formatur kabinet (lebih sorang dari yang ditetukan UUD). Mereka itu ialah:
1.      Moh Hatta (RI)
2.      Sultan Hamangkubowono IX (RI)
3.      Anak Agung (BFO)
4.      Sultan Hamid (BFO)
Dalam kabinet yang terbentuk 19 Desember, Hatta menjadi Perdana Menteri (Moedjanto,1988:68-69).
Prestise RI sebagai kampiun perjuangan kemerdekaan bertambah naik karena terjaminnya Law and Order, kelancaran pemerintahan dan relative korupsi tidak meluas seperti di negara-negara bagian lain. Sebagian besar masyarakat Indonesia tidak puas dengan bentuk federasi hasil KMB. Ketidakpuasan itu kemudian diwujudkan dalam bentuk tuntutan agar negara-negara bagian bersatu dengan RI atau RIS dilikuidasi. Kedudukan golongan pro RIS (federalis) menjadi lebih buruk karena diantara mereka ada yang berlaku jahat terhadap RIS sendiri. Diantara mereka ini terdapat Sultan Hamid dari Kalimantan Barat yang menjabat Menteri Negara. Ia bersekongkol dengan Westerling, pembantai rakyat di Sulawesi Selatan yang dengan APRAnya  yang berkekuatan besar hendak menolong Hamid untuk membunuh Merteri Pertahanan Sultan Yogya, sekretaris Jendral kementerian tersebut, Ali Budiharjo dan kepala Satf Angkatan Perang, Kolonel Simatupang. Karena tuntutan bergabung dengan RI makin meluas, DPR RIS dengan dukungan kaum federalis mendukung dikeluarkannya Undang Undang Darurat pada 7 Maret yang mengatur bagaimana penggabungan suatu negara bagian dengan RI dapat dilakukan. Setelah ini maka pemerintah-pemerintah Jawa Timur, Jawa Tengah dan Madura diterima keinginannya untuk bergabung dengan RI. Pada akhir Maret 1950 tinggal 4 negara bagian saja dalam RIS: Kalimantan Barat, Sumatra Timur, NIT dan RI yang telah diperluas. RIS mengirim Komisi Penyelidik dan atas nasihatnya DPR RIS menerima Undang-Undang penggabungan Kalimantan Barat dengan RI pada 22 April 1950. Pada 21 April Presiden Sukawati memaklumkan kesediaan NIT untuk bergabung dengan RI menjadi Negara Kesatuan. Yang diikuti wilayah lain kecuali RMS. (Moedjanto,1988:70-72).
Melihat dukungan kembali ke NKRI beigitu luas, maka diselenggarakanlah pertemuan Hatta, Sukawati dan Mansur, masing-masing mewakili RIS, NIT dan Sumatra Timur. Mereka setuju untuk membentuk NKRI, tinggal persoalannya bagaimana cara  kembali ke NKRI itu. Sesuai dengan usul DPR Sumatra Timur, Hatta setuju bahwa proses kembali ke NKRI di tempuh tidak melalui penggabungan dengan RI tetapi dengan RIS.
Pemerintah RIS khawatir kalau-kalau penggabungan ke RI akan menimbulkan kegoncangan dan dianggap oleh bekas KNIL di Sumatra Timur sebagai satu provokasi (pancingan) seperti yang terjadi di Ambon. Sehubungan dengan itu maka diadakanlah konferensi yang dihadiri oleh wakil-wakil RIS, yang mewakii juga Sumatra Timur dan NIT, dengan wakil-wakil RI di Jakarta. Konferensi mencapai persetujuan pada 19 Mei 1950 dan ketentuannya adalah sebagai berikut:
1.      Persetujuan tentang kesediaan bersama melaksanakan Negara Kesatuan sebagai jelmaan dari RI proklamasi 17 Agustus 1945.
2.      UUD Negara Kesatuan diperpadat dengan mengubah konstitusi Sementara RIS dengan memasukkan bagian-bagian essensial dari UUD –RI (1945).
3.      Dalam UUDS (1950) dimasukkan pokok pikiran: “hak milik adalah suatu fungsi sosial”.
4.      Perubahan ketentuan Konstitusi RIS antara lain:
a.       Senat dihapuskan;
b.      DPRS terdiri dari gabungan DPR – RIS dan BP – KNIP – RI, ditambah dengan anggota yang diangkat Presiden atas usul pemerintah RIS dan RI;
c.       DPRS –RIS dan BP – KNIP merupakan Majelis Perubahan UUD;
d.      Presiden ialah Presiden Sukarno;
e.       Dewan Menteri harus bersifat parlementer.
5.      DPA dihapuskan.
Persetujuan ini ditandatangani masing masing oleh Hatta yang mewakili RIS dan Halim yang mewakili RI. Penyusunan UUDS (1950) selesai pada bulan Juli dan disetujui oleh pemerintah RIS dan RI pada 20 Juli 1950 (Moedjanto,1988:72-73).
Latar belakang proses kembalinya Negara RIS ke NKRI dilakukan dengan mengubah konstitusi RIS adalah:
1.      Penggabungan negara-negara bagian ada yang mungkin menimbulkan kegoncangan khusus yang menyangkut bekas KNIL.
2.      Jika seluruh negara bagian bergabung dengan RI, maka hubungan dengan luar negeri akan mengalami kesulitan, karena RIS  yang tinggal adalah RI negara bagian, sedang yang menyelenggarakan hubungan dengan luar negeri ialah RIS yang telah dilikuidasi. Hal ini betujuan agar pengakuan dunia luar terpelihara maka secara yuridis peleburan negara (RIS) harus dihindarkan.
Untuk kembali ke NKRI cukup dilakukan dengan mengubah konstitusinya saja. Jadi secara yurudis NKRI adalah perubahan dari RIS, bukan perubahan dari RI negara bagian. RI negara bagian tidak bisa menyelenggarakan hubungan Internasional. Tetapi NKRI sebagai jelmaan RIS dapat,  karena ia adalah negara yang merdeka dan berdaulat penuh (Moedjanto,1988:73-74).
Pada tanggal 15 Agustus 1950 Presiden Sukarno menandatangani rancangan UUD, yang kemudian dikenal sebagai Undang Undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950 (UUDS 1950).
Pada tanggal 17 Agustus 1950 dengan resmi RIS di bubarkan dan dibentuk kembali Negara kesatuan yang diberi nama Republik Indonesia(Notosusanto,1992:209-210).











1 komentar:

  1. Salam kepada semua warga negara Indonesia, nama saya INDALH HARUM, TOLONG, saya ingin memberikan kesaksian hidup saya di sini di platform ini sehingga semua warga negara Indonesia berhati-hati dengan pemberi pinjaman di internet, Tuhan mendukung saya melalui ibu yang baik, LASSA JIM , Setelah beberapa waktu mencoba mendapatkan pinjaman dari lembaga keuangan, dan menolak, maka saya memutuskan untuk mendaftar melalui pinjaman online tetapi saya curang dan saya kehilangan lebih dari 50 juta rupiah dengan pemberi pinjaman yang berbeda karena saya mencari pinjaman (Rp800) setelah membayar biaya dan tidak mendapat pinjaman. Saya menjadi sangat putus asa dalam mendapatkan pinjaman, jadi Salam kepada semua warga negara Indonesia, nama saya INDALH HARUM, TOLONG, saya ingin memberikan kesaksian hidup saya di sini di platform ini sehingga semua warga negara Indonesia berhati-hati dengan pemberi pinjaman di internet, Tuhan mendukung saya melalui ibu yang baik, LASSA JIM, Setelah beberapa waktu mencoba mendapatkan pinjaman dari lembaga keuangan, dan menolak, jadi saya memutuskan untuk mendaftar melalui pinjaman online tetapi saya menipu dan kehilangan lebih dari 50 juta rupiah dengan Pemberi pinjaman karena saya mencari pinjaman (Rp800) setelah membayar biaya dan tidak mendapat pinjaman. Saya menjadi sangat putus asa dalam mendapatkan pinjaman, jadi saya berdiskusi dengan seorang teman saya, Harum kemudian memperkenalkan saya kepada Ny. LASSA JIM, seorang pemberi pinjaman di sebuah perusahaan bernama ACCESS LOAN FIRM sehingga teman saya meminta saya untuk melamar ibu LASSA, jadi saya mengumpulkan keberanian dan menghubungi Ms. LASSA.
    Saya mengajukan pinjaman 2 miliar rupiah dengan tingkat bunga 2%, sehingga pinjaman disetujui tanpa tekanan dan semua pengaturan dilakukan dengan transfer kredit, karena tidak memerlukan jaminan dan keamanan untuk transfer pinjaman yang baru saja saya katakan kepada dapatkan perjanjian lisensi, aplikasi mereka untuk mentransfer kredit saya dan dalam waktu kurang dari 48 jam pinjaman itu disetorkan ke rekening bank saya.
    Saya pikir itu hanya lelucon sampai saya menerima telepon dari bank saya bahwa akun saya dikreditkan dengan jumlah 2 miliar. Saya sangat senang bahwa Tuhan akhirnya menjawab doa saya dengan memesan pinjaman saya dengan pinjaman asli saya, yang memberi saya keinginan hati saya. mereka juga memiliki tim ahli yang akan memberi tahu Anda tentang jenis bisnis yang ingin Anda investasikan dan cara menginvestasikan uang Anda, sehingga Anda tidak akan pernah bangkrut lagi dalam hidup Anda. Semoga Tuhan memberkati Mrs. LASSA JIM untuk membuat hidup saya lebih mudah, jadi saya sarankan siapa pun yang tertarik mendapatkan pinjaman untuk menghubungi Mrs. LASSA melalui email: lassajimloancompany@gmail.com

    Anda juga dapat menghubungi nomor JIM ibu LASSA whatsApp +1(301)969-1955.

    Akhirnya, saya ingin berterima kasih kepada Anda semua karena telah meluangkan waktu untuk membaca kesaksian sejati dalam hidup saya tentang kesuksesan saya dan saya berdoa agar Tuhan akan melakukan kehendak-Nya dalam hidup Anda. Sekali lagi nama saya adalah INDALH HARUM, Anda dapat menghubungi saya untuk informasi lebih lanjut melalui email saya: Indalhharum@gmail.com

    BalasHapus