MASA DEMOKRASI LIBERAL DI INDONESIA
KABINET NATSIR (6 September 1950-27 April 1951).
Tanggal 22 Agustus 1950 Presiden
Sukarno mengangkat Muhammad Natsir sebagai formatir (pembentuk) kabinet. M.
Natsir memerlukan 15 hari untuk membentuk kabinetnya. Natsir memilih partner kelompok PSI Syahrir dalam
kabinetnya. M. Natsir selesai menyusun kabinetnya yang diberi nama Kabinet
Natsir dengan dirinya sendiri sebagai perdana Menteri. Kabinet ini diresmikan
dengan keputusan Presiden No. 9 tahun 1950 tertanggal 6 September 1950
(Suprapto,1985: 126).
Komposisi kabinet Natsir adalah sebagai berikut:
1. Perdana Menteri : Muhammad
Natsir (Masyumi).
2. Wakil Perdana Menteri : Sultan Hamengku Buwono IX.
3. Menteri Luar Negeri :
Mr. Muh. Rum (Masyumi).
4. Menteri Dalam Negeri : Mr. Assaat.
5. Menteri Pertahanan : Dr. Abdul
Halim.
6. Menteri Kehakiman : Mr.
Wongsonegoro (PIR).
7. Menteri Penerangan : M.A. Pelaupesy
(Demokrat).
8. Menteri Keuangan : Mr. Syafruddin
Prawiranegara (Masyumi).
9. Menteri Perdagangan dan Perindustrian :
Dr. Sumitro Joyohadikusumo (PSI).
10. Menteri Pertanian : Mr. Tandiono
Menu (PSI).
11. Menteri Pengangkutan dan Perhubungan : Ir. Juanda.
12. Menteri Pekerjaan Umum dan Pembangunan : Prof. Ir. H. Johannes (PIR).
13. Menteri PP & K : Prof. Dr.
Bahder Johan.
14. Menteri Kesehatan : Dr. J. Leimena
(Parkindo).
15. Menteri Sosial : F.S. Haryadi
(Katholik).
16. Menteri Perhubungan :
R.P. Suroso (Parindra).
17. Menteri Agama : K.H.A. Wahid
Hasyim (Masyumi).
18. Menteri Negara : Harsono
Cokroaminoto (PSII).
(Suprapto,1985:
127).
Program Kerja Kabinet adalah:
1. Mempersiapkan dan meyelenggarakan Pemilihan Umum,
untuk Konstituante dalam waktu
singkat.
2. Mencapai konsolidasi dan menyempurnakan susunan
pemerintah serta membentuk peralatan Negara yang bulat.
3. Menggiatkan usaha mencapai keamanan dan ketentraman.
4. Memperkembangkan dan memperkokoh kekuatan ekonomi
rakyat sebagai dasar bagi melaksanakan ekonomi nasional yang sehat.
Melaksanakan keragaman antara buruh dan majikan.
5. Membantu pembangunan perumahan rakyat serta memperluas
usaha-usaha yang meninggikan derajat kesehatan dan kecerdasan rakyat.
6. Menyempurnakan organisasi Angkatan Perang dan pemulihan bekas anggota tentara
dan gerilya ke dalam masyarakat.
7. Memperjuangkan penyelesaian soal Irian Barat dalam
tahun ini.
(Suprapto,1985:
128).
Keberhasilan Kabinet Natsir:
1.
Tanggal 27 September 1950, Majelis Umum PBB dengan
suara bulat menerima Indonesia
menjadi anggota PBB yang ke 60. Pada tanggal 28 September 1950 diadakan upacara
pengibaran bendera Merah putih di markas PBB. Setelah resmi menjadi anggota,
maka Indonesia
mengirim delegasinya secara resmi untuk mengikuti sidang umum PBB. Susunan
Delegasi tersebut adalah: Mr. Muh. Rum sebagai ketua, L.M. Palar sebagai Wakil
ketua dan beranggotakan: Dr. Darmosetiawan, Mr. Sujono, Prawoto Mangkusasmito,
Mr. Sumanang, Mr. Tambunan (Suprapto, 1985: 128-129).
2.
Karena perang Korea
yang berakibat hasil produksi Indonesia
terutama karet mendapat pasaran baik (Moedjanto, 1988: 84).
3.
Hubungan kabinet dan pimpinan militer baik, hal ini disebabkan
karena Simatupang (KSAP) dan Nasution (KSAD) termasuk golongan administrator (Moedjanto,
1988: 84).
4.
Pada tanggal 14 Oktober 1950 Parlemen mengadakan
pemilihan Wakil Presiden. Ada
8 calon Wakil Presiden. Yang terpilih adalah Drs. Muh. Hatta. Hasil pemilihan
tersebut tergambar pada keterangan dibawah ini:
a. Drs. Muh Hatta :
113 suara.
b. Mr. Iwa Kusuma Sumantri : 1 suara.
c.
N. Burhanuddin : 1 suara.
d. Sutan Syahrir : 1 suara.
e.
Dr. Sukiman : 2 suara.
f.
Mr. Muh. Yamin : 2 suara.
g.
Nerus Ginting
Suka : 1 suara.
h. Ki Hajar Dewantara : 19 suara.
i.
Blanco (Abstein) : 6 suara.
Maka usul
parlemen tanggal 14 Oktober 1950 dengan keputusan Presiden ditetapkan Drs.
Muhammad Hatta sebagai wakil Presiden pada tanggal 16 Oktober 1950 ( Suprapto,
1985: 129).
Permasalahan dan ketidakberhasilan Kabinet:
1.
Tanggal 10 Oktober 1950 Ibnu Hajar memberontak di
Kalimantan Selatan (Suprapto, 1985: 130).
2.
Terjadi permasalahan pendidikan. Persoalan tersebut
adalah tersiarnya dalam beberapa surat
kabar tentang terjadinya kebocoran bahan-bahan ujian untuk sekolah Menengah.
Pada saat itu semua ujian dipusatkan dan soal-soal dicetak di Jakarta, yang kemudian disebarkan ke
daerah-daerah. Ternyata sebelum soal ujian itu diedarkan, sudah ada yang
mengetahui lebih dahulu, atau ujian itu sudah bocor. Sementara itu terdengar suara-suara
bahwa Dewan Perwakilan Rakyat Sementara DPRS akan mengajukan iterpelasi untuk meminta
pertanggungjawaban Menteri PP&K. Segera diadakan penyelidikan. Tidak
diperoleh bukti bahwa kertas ujian yang dicetak itu telah lolos, karena menurut
pihak percetakan penjagaan cukup ketat dilakukan. Setelah diteliti lebih
mendalam barulah diketahui duduk persoalannya. Salah seorang pegawai percetakan
Negara, tempat soal ujian itu dicetak, ternyata mempunyai daya ingat yang luar
biasa. Ia dapat menghafal semua bahan-ahan ujian itu di luar kepala, sehingga
apa yang telah dibacanya terekam dalam ingatanya. Setelah sampai diluar tempat
bekerjanya, pegawai tersebut dapat menyusun kembali segala soal-soal itu persis
seperti apa yang telah dibacanya. Kemudian soal-soal itu dijualnya kepada orang
yang memerlukannya dengan harga yang lumayan.
Akhirnya pegawai tersebut dapat ditangkap dan dibawa ke depan
pengadilan. Setelah ia mengaku atas semua perbuatannya itu. Maka kebocoran
ujian itu pun selesai (Djohan,
1980:116-117).
3.
Parlemen sementara yang diketuai Sartono (PNI)
merupakan lawannya, bukan partner. RUU-Pemilu (RUU = Rencana Undang-Undang)
yang telah disampaikan kepada parlemen oleh Menteri Kehakiman Wongsonegoro pada
bulan Februari 1951 tidak segera di bicarakan ( Moedjanto,1988: 82).
4.
Palang pertama telah dipasang oleh Parlemen ketika
pemerintah mengeluarkan Undang-Undang
Darurat Tentang Pajak Penghasilan Perusahaan. Meski dengan UU darurat itu
pemerintah diuntungkan sehingga 1/3 defisit Anggaran Belanja dapat ditutup,
tetapi banyak anggota Parlemen menyatakan bahwa UU itu akan menakutkan para
penanam modal mendirikan usaha di Indonesia. Hal ini telah mendorong Ny. Rasuna
Said (non partai) dengan bantuan sejumlah anggota lain mendesak agar pemerintah
menarik UU darurat tentang pajak penghasilan perusahaan tersebut (Moedjanto,
1988: 82).
5.
Kabinet Natsir tidak begitu mendapat dukungan karena
merupakan kabinet kualisi dan bukan kabinet nasional. Kabinet ini berisikan
orang-orang Masyumi dan PSI yang pandai dalam bidang politik tapi tidak begitu
memiliki akar masa yang cukup kuat. Apalagi di tubuh Masyumi yang merupakan
partai asal M. Natsir terpecah menjadi dua yaitu kelompok Dr. Sukiman dan Muh.
Natsir sendiri. Sukiman yang moderat lebih suka bekerja sama dengan PNI dan
Natsir tidak begitu sepakat beliau lebih suka berkoalisi dengan PSI. Selain itu
dalam Masyumi terdapat unsur NU yang oleh Natsir cs, dikesampingkan dalam
kancah politik (Suprapto, 1985: 130-131).
6.
Program yang belum sempat dilaksanakan:
a.
Belum berhasil melaksanakan PEMILU.
b.
Belum berhasil mengembalikan Irian barat. Tanggal 22
Desember 1950 M. Natsir menawarkan kepada Belanda, negeri ini akan mendapatkan
hak-hak luar biasa di Iran Barat di bidang ekonomi. Belanda menolak(Suprapto,
1985: 131).
7.
Terjadi beberapa pengunduran beberapa menteri yaitu:
a.
Menteri
Pertahanan Dr. Abdul Halim mengundurkan diri tanggal
17 Desember 1950. Jabatan Menteri Pertahanan langsung dirangkap oleh Perdana
Menteri Muhammad Natsir.
b.
Menteri Negara Harsono Cokroaminoto mengundurkan diri.
Jabatan Menteri Negara ditiadakan sampai kabinet ini dibubarkan (Suprapto,
1985: 132).
c.
Penarikan diri dua orang menteri dari PIR yaitu Mr.
Wongsonegoro dan Prof. Ir. Johannes Suprapto, 1985: 133).
8.
Tentang urusan Irian Barat, sikap Kabinet Natsir
terhadap Belanda adalah bersifat perjuangan lunak dengan mengharapkan bantuan internasional terutama Amerika Serikat.
Sedapat mungkin kabinet Natsir berkeinginan agar Irian Jaya dapat dipersatukan
dengan tanpa jalan konfrontasi. Hal ini berbeda dengan golongan penganjur
persatuan yang lebih mengarah ke perjuangan dengan cara revolusioner. Hal ini
menciptakan kedekatan Soekarno dengan pihak PNI, yang otomatis memperkuat
golongan oposisi dalam kasus perebutan Irian Barat (Moedjanto, 1988: 83).
Berakhirnya kabinet Natsir.
Pada bulan
Januari 1951 terdapat mosi dari S. Hadikusumo
dari Partai Nasional. Mosi ini tentang pencabutan Peraturan
Pemerintah No. 39 Tahun 1950 mengenai pembekuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(Suprapto,1985: 133).Anggota S. Hadikusumo dan kawan-kawan dalam mosinya
menyatakan tutuntutan kepada pemerintah sebagai berikut:
1.
Selekas-lekasnya mencabut PP no. 39 tahun 1950.
2.
Mengganti peraturan tersebut dengan Undang-Undang
Pemilihan yang demokratis.
3.
Membubarkan DPRD-DPRD yang telahterbentuk menurut pp
tersebut (Soebagijo, 1985: 185).
Apa isi PP No. 29 Th, 1950,
dijelaskan dibawah ini:
Pada waktu
RIS masih berdiri, Negara bagian RI telah mengeluarkan suatu peraturan tentang
perwakilan daerah, yaitu Peraturan Pemerintah
RI (Negara bagian) No. 39 Th.
1950. Menurut peraturan ini DPRD tidak di bentuk lewat pemilihan umum yang
bersifat langsung, tetapi lewat badan pemilih yang anggotanya berasal dari
organisasi massa atau kemasyarakatan, seperti partai politik, serikat buruh,
serikat tani, perkumpulan wanita, pemuda, ulama atau perkumpulan sosial
lainnya. Untuk DPRD Kabupaten atau kotamadya para anggotanya akan dipilih oleh
badan pemilih yang anggotanya merupakan utusan dari organisasi massa yang ada di
kecamatan-kecamatan. Sedangkan untuk DPRD propinsi anggota yang akan dipilih
oleh badan pemilih yang angotanya merupakan utusan dari organisasi massa yang ada di kabupaten dan kotamadya. Organisasi massa
berhak mengirim utusan (pemilih) kalau ia mempunyai cabang paling tidak di 3
kabupaten dalam satu propinsi dan telah mulai aktif di kecamatan paling tidak sejak 30 Juni 1950(Moedjanto,
1988: 83-84).
Kalau peraturan ini dilaksanakan,
maka Masyumi akan memperoleh keuntungan paling besar, karena paling teratur (punya
struktur sampai desa). Berbagai partai, termasuk partai pendukung kabinet
Natsir, mendesak kabinet untuk mencabut peraturan itu (Moedjanto, 1988: 83-84).
Dalam rapat pleno, pemerintah
yang diwakili Menteri Dalam Negeri Mr. Assaat menyatakan setuju pp NO. 39 dicabut,
setelah ada gantinya yang sempurna, dan menunggu terbentuknya DPRD pemilihan
Umum (Soebagijo, 1985: 185).
Setelah diadakan pemungutan suara
dalam rapat pleno DPR, ternyata menghasilkan
perbandingan suara dengan 76 suara setuju dan 48 menolak(Soebagijo,
1985: 185).
Berarti Menteri Dalam Negeri Mr.
Assaat pada waktu itu tidak menyetujui mosi tersebut dan karena kabinet
sependirian dengan Menteri Assat maka terpaksa kabinet mengundurkan diri.
Akhirnya kabinet Natsir dimissioner
tanggal 21 Maret 1951. Tetapi kabinet yang dimissioner
ini masih terus menjalankan tugasnya selama 37 hari, sampai tanggal 27 April
1951 dengan terbentuknya Kabinet Sukiman-Suwiryo (Suprapto,1985: 133).
KABINET SUKIMAN
Pada tanggal 21 Maret 1951
Presiden menunjuk kepada Mr. Sartono
pemimpin PNI untuk membentuk kabinet atas dasar “Koalisi luas”. Usaha Sartono tidak berhasil. Kemudian Soekarno
menunjuk kepada Dr. Sukiman Wiryosanjoyo dari Masyumi dan Dr. Suwiryo dari PNI
untuk membentuk kabinet. Usaha kedua orang formatir ini berhasil sehingga
terbentuklah kabinet baru dengan Perdana Menteri Dr. Sukiman dan Wakil Perdana
Menteri Dr. Suwiryo. Kabinet ini terbentuk tanggal 27 April 1951 sesuai dengan
keputusan Presiden No. 80 Tahun 1951 (Suprapto,1985: 134 - 135).
Susunan Kabinet adalah sebagai berikut (Suprapto,1985: 135-136):
1. Perdana Menteri : Dr. Sukiman wiyosanjoyo
(Masyumi).
2. Wakil Perdana Menteri :
Dr. Suwiryo (PNI).
3. Menteri Luar Negeri : Mr. Ahmad Subarjo (Masyumi).
4. Menteri Dalam Negeri :
Mr. Ishak Cokroadisuryo (PNI).
5. Menteri Kehakiman : Prof. Mr. Muh. Yamin.
6. Menteri Pertahanan : Sewaka (PIR).
7. Menteri Penerangan : Arnold Mononutu (PNI).
8. Menteri Pertanian :
Ir. Suwarto (PKRI).
9. Menteri Keuangan :
Mr. Yusuf Wibisono (Masyumi).
10. Menteri Perdagangan / Perindustrian :
Mr. Suyono Hadinoto (PNI).
11. Menteri Perhubungan : Ir. Juanda.
12. Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga :
Ir. Ukar Bratakusuma (PNI).
13. Menteri Perburuhan : Ir. Tejakusuma (Partai Buruh).
14. Menteri SOsial :
Mr. Syamsuddin (Masyumi).
15. Menteri PP & K : Mr. Wongsosuseno (PIR).
16. Menteri Agama : K.H. Wahid Hasyim (Masyumi).
17. Menteri Kesehatan : Dr. J. Leimena (Parkindo).
18. Menteri Urusan Umum :
M.A. Pellaupesy (Demokrat).
19. Menteri Urusan Pegawai :
Surono (Parindra).
20. Menteri Urusan Agraria :
Mr. Gondokusumo (PIR)
Perubahan dalam Kabinet (Suprapto,1985: 136-137):
1. Menteri Pertahanan, sebenarnya Mr. Sunaryo Kolopaking
tapi diganti oleh Sewaka rekan dalam PIR dan mulai menjabat tanggal 9 Mei 1951.
2. Mr. Muh. Yamin berhenti dari Menteri Kehakiman diganti M.A. Pellaupesy sebagai Menteri Kehakiman
ad. Interim mulai tanggal 14 Juni 1951 s.d tanggal 20 November 1951. Sejak
tanggl 17 November 1951 bedasarkan keputusan Presiden No. 229/1951 diangkatlah
menteri Kehakiman yang baru yaitu Mr. Muhammad Nasrun.
3. Tanggal 19 Mei 1951 Departemen Perdagangan
Perindustrian diganti nama Departemen (Kementerian) Perekonomian. Menteri dari
Kementerian tersebut tanggal 16 Juli 1951 mengundurkan diri yaitu Suyono
Hadinoto dan diganti Mr. Wilopo (PNI).
4. Tanggal 13 Desember 1951 Ir. Ukar Bratakusuma diangkat
sebagai Menteri Perhubungan ad Interim selama Ir. Juanda berada di Luar Negeri.
5. Mr. Gondokusumo diangkat sebagai Menteri Urusan
Agraria sejak 20 November 1951.
Program Kerja Kabinet (Suprapto,1985:
137-138):
1. Menjalankan tindakan-tindakan yang tegas sebagai
Negara hukum untuk menjamin keamanan dan ketentraman. Menyempurnakan alat-alat
Negara.
2. Membuat dan melaksanakan rencana kemakmuran nasional
dalam jangka pendek untuk mempertinggi kehidupan sosial ekonomi rakyat.
Membaharui hukum agraria dengan kepentingan petani.
3. Mempercepat usaha penempatan bekas pejuang dalam
lapangan pembangunan.
4. Menyelesaikan persiapan pemilihan umum untuk membentuk
konstituante dan menyelenggarakan pemilihan umum itu dalam waktu yang singkat.
Mempercepat terlaksananya otonomi daerah.
5. Menyiapkan undang-undang tentang:
a. Pengakuan Serikat Buruh.
b. Perjanjian kerja sama (Collective arbeidsoverenkomst).
c.
Penetapan upah
minimum.
d. Penyelesaian pertikaian perburuhan.
6. Menjalankan politik luar negeri yang bebas aktif dan
yang menuju perdamaian. Menyelenggarakan hubungan Indonesia Belanda. Atas dasar
uni status menjadi hubungan berdasarkan perjanjian internasional biasa,
mempercepat peninjauan kembali lain-lain hasil KMB dan meniadakan
perjanjian-perjanjian yang nyata merugikan rakyat dan Negara.
7. Memasukkan Irian Barat ke dalam wilayah Republik Indonesia
secepat-cepatnya.
Hubungan antara cabinet dengan Presiden
sangat baik dan komunikasi dapat berjalan lancar sehingga cabinet ini berumur
agak panjang.
Permasalahan dan Ketidak berhasilan Kabinet:
Program yang belum dapat
dilaksanakan adalah:
1.
Memperjuangkan pembebasan Irian Barat dari tangan
Belanda.
2.
Melaksanakan Pemilihan Umum.
Selain itu masih terjadi
perlawanan dari DI/TII. Tanggal 17 Agustus 1951 di Sulawesi Selatan muncul
DI/TII pimpinan Kahar Muzakar (Suprapto,1985: 138).
Jatuhnya Kabinet Sukiman Suwiryo:
Oposisi terhadap Kabinet Sukiman
dari intern partai Masyumi/Natsir yang bekerjasama dengan Syahrir antara lain (Suprapto,1985:
140):
1.
Masalah perjalanan Haji tahun 1951 yang terhalang karena
belum terkoordinirnya secara insentif hubungan aparatur pemerintah di luar
Departemen Agama di satu pihak dengan WHO berhubung berita-berita wabah
penyakit menular di Arab Saudi. Menteri agama RI. KH Wahid Hasyim harus
berhadapan dengan interpelasi teman separtainya yaitu Amelz. Peristiwa tersebut
terjadi pada tanggal 17 Oktober 1951.
2.
Kesulitan sekitar penandatanganan kerja sama keamanan Indonesia
– Amerika yaitu MSA ( Mutual Security
Aids). Kliek Masyumi Natsir – PSI/Syarir berhasil mendiskriditkan Menteri
Luar Negeri Mr. Ahmad Subarjo (Masyumi kelompok Sukiman). Sehingga timbul
interpelasi dari Mr. Jodi Gondokusumo tentang masalah tersebut yang dapat
menjatuhkan Sukiman tanggal 23 Februari 1952).
Karena ada interpelasi tersebut
maka kabinet Sukiman dimissioner. Tanggal 23 Februari 1952 Sukiman menyerahkan
mandatnya. Pengunduran ini dikukuhkan oleh keputusan Presiden No. 58 tahun 1952
tertanggal 25 Februari 1952 (Suprapto,1985: 140).
KABINET WILOPO
Setelah kabinet Sukiman jatuh
maka Presiden menunjuk Mr. Wilopo sebagai Formatir Kabinet. Wilopo dan
kawan-kawannya adalah orang PNI yang beraliran Liberal. Tanggal 30 Maret 1952 Wilopo sebagai formatir, berhasil
membentuk kabinet yang anggotanya kebanyakan beberapa orang PNI yang berjiwa liberal dan mau bekerja sama dengan PSI
dan Masyumi (Suprapto,1985: 141).
Kabinet Wilopo terbentuk tanggal
30 Maret 1952 dan disahkan oleh Presiden berdasarkan keputusan Presiden No. 85
Tahun 1952 tertanggal 1 April 1952 yang berlaku mulai 3 April 1952. Kabinet ini
dilantik tanggal 3 April 1952 (Suprapto,1985: 142).
Susunan Kabinet sebagai berikut (Suprapto,1985: 142-143):
1. Perdana Menteri : Mr. Wilopo (PNI).
2. Wakil Perdana Menteri : Prawoto Mangkusasmito (Masyumi).
3. Menteri Luar Negeri (ad Interim) : Mr.
Wilopo (PNI)- sejak tanggal 29 April 1952 diganti Mukarto(PNI).
4. Menteri Pertahanan :
Sultan Hamengku Buwono IX, Tanggal 2
Januari 1953 beliau mundur dengan kemauan sendiri dan digantikan oleh Mr.
Wilopo sebagai Menteri Pertahanan ad. Interim,
berdasarkan keputusan Presiden Nomor 20 Tahun 1953 tertanggal 31 Januari 1953.
5. Menteri Dalam Negeri : Mr. Muh. Rum
(Masyumi).
6. Menteri Kehakiman : Mr. Lukman Wiriadinata (PSI).
7. Menteri Penerangan : Arnold Mononutu (PNI).
8. Menteri Keuangan : Prof. Dr. Sumitro Joyohadikusumo
(PSI).
9. Menteri Pertanian : Muhammad Sarjan (Masyumi).
10. Menteri Perekonomian : Mr. Sumanang (PNI).
11. Menteri Perhubungan : Ir. Juanda.
12. Menteri Pekerjaan Umum dan Tenag a : Ir, Suwarto (PKRI).
13. Menteri Perburuhan : Ir. Tejasukmana (Partai
Buruh).
14. Menteri Sosial :
H. Anwar Cokroaminoto (PSII), Pada tanggal 9 Mei 1953 Anwar Cokroaminoto
mengundurkan diri sebagai Menteri Sosial, terhitung mulai tanggal 11 Mei 1953.
Pada hari yang sama Menteri Urusan Pegawai Suroso diberhentikan dengan hormat
sebagai Menteri Sosial menggantikan Anwar Cokroaminoto. Berarti sejak itu
jabatan Menteri Urusan Pegawai (Menteri Negara Non Departemental) ditiadakan.
15. Menteri PP & K : Prof. Dr. Bahder Johan.
16. Menteri Agama : K.H.Faqih Usman (Masyumi).
17. Menteri Kesehatan : Dr. J. Leimena (Parkindo).
18. Menteri Urusan
Pegawai : Suroso (Parindra).
Program Kabinet Wilopo adalah (Suprapto,1985: 143-144):
1.
Organisasi Negara:
a.
Menjalankan Pemilihan Umum untuk Konstituante dan Dewan
daerah.
b.
Menyelesaikan penyelenggarakan dan mengisi otonomi
daerah.
c.
Menyederhanakan organisasi pemerintah pusat.
2.
Kemakmuran:
a.
Memajukan tingkat penghidupan rakyat dengan
mempertinggi produksi nasional terutama bahan makanan rakyat.
b.
Melanjutkan usaha perubahan agraria.
3.
Keamanan: Menjalankan segala sesuatu untuk mengatasi
masalah keamanan dengan kebijaksanaan sebagai Negara hukum dan menyempurnakan
organisasi alat-alat kekuasaan Negara memperkembangkan tenaga masyarakat untuk
menjamin keamanan dan ketenteraman.
4.
Perburuhan: Memperlengkapkan undang-undang perburuhan
untuk meninggikan derajat kaum buruh guna menjamin proses Produksi nasional.
5.
Pendidikan dan Pengajaran: Mempercepat usaha-usaha
perbaikan untuk pembaharuan pendidikan dan pengajaran.
6.
Luar negeri:
a.
Mengisi politik luar negeri yang bebas dengan actifiteit yang sesuai dengan kewajiban
kita dalam kekeluargaan bangsa dan dengan kepentingan nasional menuju
perdamaian dunia.
b.
Menyelesaikan peneyelenggaraan perhubungan Indonesia Belanda
atas dasar Uni Statuut menjadi
hubungan berdasarkan perjanjian Internasional biasa yang menghilangkan hasil
hasil KMB yang merugikan rakyat dan Negara.
c.
Meneruskan perjuangan memasukkan Irian Barat dalam
wilayah Indonesia
secepat-cepatnya.
Masa pemerintahan kabinet Wilopo:
Dalam tubuh Masyumi terdapat
keretakan kembali. Keluarnya NU dari Masyumi sebenarnya sudah ada benih-benih
sejak tahun 1947 yaitu sejak munculnya kabinet Amir Syarifudin I. Masyumi tidak
mau bekerjasama dengan Amir, sehingga tidak duduk dalam kabinet. Tetapi PSII
dan Perti memboikot tindakan Masyumi tersebut dan menyatakan keluar dari
Masyumi membentuk partai sendiri. Waktu itu NU masih tetap dalam tubuh Masyumi,
bertahan walau bagaimana beratnya. Sebenarnya NU sudah lama tidak puas terhadap
perilaku tokoh-tokoh Masyumi yang selalu mendiskreditkan peranan Ulama dalam
Politik. Supaya Alim Ulama kembali mengurusi Pondok Pesantren saja sedangkan
masalah Politik biar diurusi oleh politisi-pokitisi didikan Barat saja. NU
kurang setuju sebab Ulama adalah tulang punggung NU. Ketidak puasan NU tersebut
nyata dalam Masyumi, sedangkan dalam
sejarah Masyumi yang mendirikan adalah K.H. Hasyim Asy’ari yang juga sebelumnya
sebagai pendiri dan sesepuh NU sejak 1926.
Ketidakpuasan NU tersebut adalah
tidak adanya keseimbangan dari unsur NU yang anggotanya banyak sekali baik
dalam kepengurusan Masyumi ataupun dalam kursi Parlemen. Selain itu terdapat
suatu ketimpangan dalam tubuh Masyumi, sampai-sampai Menteri Agama dalam kabinet
Sukiman yaitu K.H. Wahid Hasyim mendapatkan interpelasi
secara terbuka dalam sidang parlemen yang diinterpelasikan oleh Almez kawan
separtainya di Masyumi tanggal 16 Oktober 1951 tentang perjalanan Haji yang
mengalami kesulitan teknis. Ketidak puasan ini terus berlanjut terutama dalam kabinet
Wilopo ini, menteri dari Masyumi tidak ada seorangpun dari unsur NU. Berarti
secara terang-terangan NU didiskreditkan
dalam Masyumi. Maka sebagai akhirnya dalam Muktamar NU ke 19 di
Palembang tanggal 1 Mei 1952 NU memproklamasikan diri keluar dari Masyumi dan
menjadikan dirinya sebagai Partai Politik. Dan dalam Muktamar tersebut diundang
juga Dr. Sukiman ketua umum Masyumi agar mengetahui statement NU tersebut (Suprapto,1985: 145-147).
Peristiwa Tanjung Morawa. Kejadian ini sebenarnya ada hubungannya
dengan posisi modal asing di Indonesia. Di daerah Sumatera Timur terdapat tanah
yang cukup luas yang oleh pemerintah kolonial dulu sebelum perang dunia II
disewakan kepada Deli Planters Vereniging
(DPV), tetapi selama pedudukan tentara Jepang dan semasa revolusi fisik
tanah itu tidak digarap dan oleh penduduk setempat dimanfaatkan. Pemerintah Indonesia
setelah pengakuan kedaulatan – untuk menciptakan iklim yang memadai bagi
penanaman modal asing – ingin agar hak-hak perusahaan-perusahaan asing,
kebanyakan milik Belanda dikembalikan kepada yang berhak. Pada tahun 1951,
Menteri Dalam Negeri dalam Kabinet Sukiman, Iskaq Tjokroadisurjo dari PNI,
telah mencapai suatu kompromi dengan DPV
untuk menyelesaikan persoalan tanah tersebut. DPV bersedia mengembalikan tanah seluas 130.000 ha dari 255.000 ha
tanah yang menjadi konsesinya,
asalkan Pemerintah Indonesia memberikan izin sewa tanah sisanya seluas 125.000
ha untuk jangka waktu 30 tahun, dengan pengertian bahwa Pemerintah Indonesia
bertanggung jawab atas pemindahan sejumlah 62.000 penduduk yang betempat
tinggal di tanah sisanya itu dan menurut kenyataannya sudah menggarap tanah
tersebut sejak zaman pendudukan Jepang dan masa revolusi fiisik. Lokasi tanah seluas 125.000 ha itu berada di
daerah Sumatera Timur. Setelah tercapainya persetujuan seperti dikemukakan
diatas, pemerintah Sukiman tidak lekas melaksanakan apa yang telah diputuskan.
Sampai kabinet ini jatuh. Kabinet Wilopo mengambil tindakan untuk mewujudkan
apa yang sudah dicapai oleh kabinet sebelumnya.
Usaha pemerintahan Wilopo ini menemui tentangan kuat dari para petani
yang menggarap tanah yang terdiri dari orang CIna dan orang Indonesia (pribumi) yang terletak di kecamatan
Tanjung Morawa, dekat Medan.
Hal ini terjadi pada tanggal 16 Maret 1953. Karena mengadapi hamabatan berupa
tantangan tersebut, Pemerintah menggunakan alat-alat kekuasaan Negara untuk
memindahkan penduduk dari daerah tersebut. Atas perintah Gubernur Sumatera
Timur tanah garapan itu ditraktor oleh polisi yang mendapat perlawanan dari
para petani. Dalam insiden ini telah jatuh korban yakni lima orang mati, empat diantaranya petani
Cina. Sedang penangkapan-penangkapan kemudian menyusul(Soebagijo, 1979:
142-143).
Bagaimana reaksi Parlemen
terhadap Peristiwa Tanjung Morawa ini? Pada pertengahan bulan Mei, kebijaksanaan
Menteri Dalam Negeri mengenai bidang pertanahan ini menjadi dasar bagi
diajukannya mosi tidak percaya oleh Sarekat Tani Indonesia (SAKTI), yang
dikenal dengan mosi Sidik Kertapati. Dalam mosi itu dinyatakan tuntutan kepada pemerintah
untuk menghentikan sama sekali usaha pengosongan tanah yang diberikan kepada DPV sesuai dengan keputusan Pemerintah
Sukiman dan semua tahanan yang ada sangkut pautnya dengan peristiwa Tanjung Morawa
itu segera dibebaskan. Pada tanggal 26 Mei diadakan pertemuan antara
wakil-wakil Masyumi dan PNI. Tanggal 1 Juni kembali kedua partai
mengadakan perundingan dengan maksud
yang sama, maka menurut Wilopo, keadaan sudah berobah. Pada saat itu PNI dari
Sumatera Utara mengancam akan keluar dari PNI bila fraksi PNI dalam DPR tidak
mau mendukung mosi Kertapati. Sebagian besar anggota DPP PNI mendukung
keputusan agar Gubernur A. Hakim meletakkan jabatannya. Pada tanggal 2 Juni 1953, sebelum parlemen
mengadakan pemungutan suara terhadap mosi Sidik Kertapati, Kabinet memutuskan
untuk membubarkan diri (Soebagijo, 1979: 143-144).
KABINET ALI I
Moh. Rum dan Sarmidi
Mangunsarkoro sebagai formatur cabinet gagal membentuk cabinet. Selanjutnya
Presiden menunjuk Mukarto sebagai formatir tunggal dalam pembentukan cabinet. Mukarto pun tidak
berhasil. Hal itupun terjadi pada Mr. Burhanuddin. Soekarno beralih pada Mr.
Wongsonegor pada tanggal 20 Juli 1953, dan berhasil. Terbentuklah cabinet yaitu
cabinet Ali – Wongso – Arifin tanggal 30 Juli 1953 , dengan keputusan Presiden
No. 132 tahun 1953. Kabinet ini mulai menjalankan tugasnya tanggal 1 Agustus
1953. Ini adalah cabinet koalisi dengan tulang punggung partai PNI, NU, PIR.
Komposisi Kabinet:[1]
1. Perdana Menteri : Mr. Ali
Sastroamijoyo (PNI).
2. Wakil Perdana Menteri I :
Mr. Wongsonegoro (PIR).
3. Wakil Perdana Menteri II :
K.H. Zainul Arifin (NU).
4. Menteri Luar Negeri : Mr. Sunaryo (PNI)
5. Menteri Dalam Negeri : Prof. Mr. Dr.
Hazairin (PIR).
6. Menteri Perekonomian : Ir. Ishak Cokroadisuryo
(PNI).
7. Menteri Keuangan : Dr. Oang Eng
Die (PNI).
8. Menteri Pertahanan : Mr. Iwa Kusuma
Sumantri (Progresif).
9. Menteri Kehakiman : Mr. Jodi
Gondokusumo (PRN).
10. Menteri Penerangan : Dr. F.L.
Tobing (SKI)
11. Menteri Perhubungan : Abikusno Cokrosuyoso (PSII).
12. Menteri Pekerjaan Umum : Prof. Ir.
Rooseno (PIR).
13. Menteri PP & K : Mr. Muh Yamin.
14. Menteri Perburuhan : S.M Abidin
(Partai Buruh).
15. Menteri Pertanian : sajarwo (BTI)
16. Menteri Agama : K.H. Masuur
(NU)
17. Menteri Kesehatan a.i. :
Dr. F.L. Tobing (SKI)
18. Menteri Sosial : R. Panji
Suroso (Parindra).
19. Menteri Negara Urusan Kesejahteraan Umum :
Sudibyo (PSII).
20. Menteri Negara Urusan Agraria : Muhammad Hanafiah
(NU).
Program Kerja Kabinet[2]:
1. Keamanan:
a. Memperbaharui politik pengembalian keamanan sehingga
memungkinkan tindakan-tindakan yang tegas serta membangkitkan tenaga rakyat.
b. Menyempurnakan hubungan antara alat-alat kekuasaan
Negara.
2. Pemilu
3. Kemakmuran dan Keuangan:
a. Menitikberatkan politik pembangunan kepada segala usaha
untuk kepentingan rakyat jelata.
b. Memperbaharui perundangan udangan agrarian sesuai
dengan kepentingan petani dan rakyat kota.
c.
Mempercepat usaha
penempatan bekas pejuang dan kaum pengangguran terlantar dalam lapangan
pembangunan.
d. Memperbaiki pengawasan antas pemakaian uang Negara.
4. Organisasi Negara:
a. Memperbaharui politik desentralisasi dengan jalan
menyempurnakan perundang undangannya dan mengusahakan pembentukan daerah
otonomi sampai ke tingkat yang paling bawah.
b. Menysyn aparatu Pemerintahan yangefisien serta
pembagian tenaga yang rasionil dengan mengusahkan perbaikan penghidupan
pegawai.
c.
Pemberantasan
korupsi dan birokrasi.
5. Perburuhan, dengan melengkapi prundang undangan
perburuhan untuk mencapai kegembiraan kerja sebesar besarnya.
6. Perundang undangan: Mempercepat terbentuknya
perundangan undangan nasional terutama di lapangan keamanan, kemakmuran,
keuangan dan kewarganegaraan.
7. Masalah Irian Barat: dengan mengusahakan kembalinya
Irian Barat ke dalam kekuasaan wilayah RI secepatnya.
8. Politik luar negeri:
a. Menjalankan
politik luar negeri yang bebas aktif dan yang menuju perdamaian dunia.
b. Merubah hubungan Indonesia – Belanda atas dasar Status
Uni menjadi hubungan Internasional biasa.
c.
Mempercepat
peninjauan kembali lain-lain perjanjian KMB dan menghapuskan perjanjian perjanjian yang merugikan ekonomi.
9. Kebijakan pemerintah, mengusahkan penyelesaian segala
perselisihan politik yang tidak dapat diselesaikan dalam cabinet dengan
menyerahkan keputusannya pada parlemen.
Keberhasilan Kabinet:[3]
1.
Mengadakan perundingan dengan Belanda untuk mengapuskan
Uni Indonesia – Belanda. Perundingan
diadakan tanggal 29 Juli 1954. Indonesia diwakili oleh Mr. Sunaryo dan delegasi
Belanda oleh Yoseph Luns. Penghapusan Uni Indonesia Belanda tanggal 10 Agustus
1954.
2.
Menyelenggarakan KAA di Bandung tanggal 18 April – 24
April 1955.
3.
Membentuk Panitia Pemilihan Umum Indonesia. PPI ini
dibentuk Presiden Soekarno tanggal 28 Oktober 1953 yang terdiri dari : Ketua :
S. Hadikusumo (PNI) dan wakil ketua yaitu Sutan Palindih (PRN), Suryaningpraja
(NU), Sudibyo (PSII), Hartono (BTI), Sudarnadi (PIR), H. Sufyan Siroj (Perti),
Sumarto (Parkindo), dan Asroruddin (Partai Buruh).
4.
Pembagian wilayah pemilihan menjadi 16 daerah pemilihan
sesuai dengan Undang-Undang Pemilihan Umum.
5.
Dalam bidang keamanan dapat dikatakan pada masa cabinet
ini tidak terdapat suatu gejolak yang berarti.
6.
Kabinet yang paling lama memerintah pada masa cabinet
parlementer pada demokrasi liberal yaitu selama 2 tahun lebih dari 30 Juli s.d.
12 Agustus 1955 [4]
Tantangan dalam kabinet[5]
1.
Keretakan pada partai pendukung kabinet terutama dalam
PIR yaitu partai dari wakil perdana menteri Mr. Wongsonegoro.
2.
Terjadinya perpecahan pada PIR yang berakibat pada
mundurnya Mr. Wongsonegoro dari kabinet pada tanggal 17 November 1954. Maka
terjadilah reshuffle kabinet. Maka kabinet
yang tandinya dikenal dengan kabinet Ali – wongso – Arifin menjadi Ali – Arifin
(Kabinet AA).
Jatuhnya Kabinet Ali Arifin[6]
Peristiwa yang
menjatuhkan cabinet ini adalah peristiwa di angkatan darat. Peristiwa ini
dikenal dengan peristiwa 27 Juni 1955. Sebuah peristiwa perlawanan dari
Zulkifli Lubis yang memboikot pelantikan Bambang Utoyo menjadi KSAD
menggantikan Bambang Sugeng. Boikot ini dikarena Zulkifli Lubis yang saat itu
menjadi wakil kasad merasa berhak menggantikan Bambang Sugeng namun yang
dilantik menjadi KSAD adalah orang lain yaitu Bambang Utoyo. Akibat gagalnya
pelantikan inilah yang akhirnya menjatuhkan cabinet Ali Arifin. Kabinet ini
dimissioneer pada 24 Juli 1955 dan berakhir
pada 12 Agustus 1955 saat Kabinet Burhanudin Harahap dilantik.
KABINET BURHANUDIN HARAHAP
Wakil presiden Moh. Hatta menunjuk Mr. Burhanudin Harahab sebagai
formaitr cabinet(soekarno sedang naik Haji). Kabinet ini terbentuk pada tanggal
11 Agustus 1955,berdasarkan keputusan presiden nomor 141 Tahun 1955 tertanggal
11 Agustus 1955 dan mulai bekerja setelah pelantikan tanggal 12 Agustus 1955[7].
Susunan Kabinet[8]
1. Perdana Menteri :
Mr. Burhanuddin Harahab (Masyumi).
2. Wakil Perdana Menteri I : R. Janu Permadi (PIR
Hazairin).
3. Wakil Perdana Menteri II :
Harsono Cokroaminoto (PSII).
4. Menteri Luar Negeri : Mr. Anak Agung Gede Agung
(Demokrat).
5. Menteri Dalam Negeri : Mr. Sunaryo (NU).
6. Menteri Pertahanan : Mr. Burhanuddin Harahab
(Masyumi).
7. Menteri Keuangan : Prof. Dr. Sumitro
Joyohadikusumo (PSI).
8. Menteri Perekonomian : I.J. Kasimo (PKRI).
9. Menteri Pertanian : Muhammad Sarjan (Masyumi).
10. Menteri Perhubungan :
F. Laoh (PRN).
11. Menteri Muda Perhubungan : Asroruddin (Partai Buruh).
12. Menteri Agraria : Mr. Gunawan (PRN).
13. Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga :
R. Panji Suroso (Parindra).
14. Menteri Kehakiman :
Mr. Lukman Wariadinata (PSI).
15. Menteri Perburuhan :
Iskandar Tejakusuma (Partai Buruh).
16. Menteri Sosial : Sudibyo (PSII).
17. Menteri Agama : K.H. Muhammad Ilyas (NU).
18. Menteri PP & K : Prof. Ir. Suwandi (Parindra).
19. Menteri Kesehatan :
Dr. J. Leimena (Parkindo).
20. Menteri Penerangan :
Syamsuddin Sutan Makmur
21. Menteri Negara :
Abdul Halim (Masyumi).
22. Menteri Negara : Sutomo / Bung Tomo ( PRI).
23. Menteri Negara : Drs. Comala Ajaib Nur (PRI
Hazairin).
Program Kerja[9]
1.
Mengembalikan kewibawaan moril pemerintah Cq
kepercayaan Angkatan Darat dan Masyarakat kepada pemerintah.
2.
Melaksanakan Pemilihan Umum menurut rencana yang sudah
ditetapkan dan menyegerakan terbentuknya parlemen baru.
3.
Menyelesaikan perundang undangan desentralisasi sedapat
dapatnya dalam tahun 1955 ini juga.
4.
Menghilangkan factor factor yang menimbulkan inflasi.
5.
Memberantas korupsi.
6.
Meneruskan perjuangan mengembalikan Irian Barat ke
dalam wilayah RI.
7.
Memperkembangkan politik kerja sama Afrika – Asia berdasarkan politik bebas aktif menuju perdamaian.
Program yang berhasil[10]
Program perbaikan ekonomi
terbilang berhasil, yaitu berhasil dalam mengendalikan harga, menjaga tidak
terjadinya inflasi. Kehidupan rakyat semasa cabinet termasuk makmur, harga
barang tidak melonjak naik. Kabinet ini juga berhasil dalam mengembalikan
kewibawaan pemerintah terhadap angkatan darat. Dalam bidang politik, cabinet
ini berhasil mengadakan pemilu, seperti di jelaskan di bawah ini.
PEMILU PERTAMA DI INDONESIA
Gambaran tentang pemilu 1 tahun 1955:
Persiapan Pemilu, Sebagai salah satu
resiko dari peristiwa 17 Oktober 1952 pemilu menjadi persoalan pemilu yang
terpenting. Konflik ini terus berlanjut dan berimbas. Tetapi pihak yang terkait
baik yang menentang ataupun yang menyokongnya, ditantang untuk menyatakan
dukungan pada penyelenggaraan PEMILU secepat mungkin. Kabinet Wilopo
menjalankan kebijakan untuk mengadapi situasi itu. Pertama, segala upaya
ditempuh untuk menemukan kompromi dalam penyelsaian masalah angkatan darat.
Kedua, terus mendesak untuk mengadakan pemilihanumum secepat mungkin sebagai
penyelesaian jangka panjang. Maka pada November 1952 kabinet Wilopo mengajukan
rancangan Undang undang pemilihan umum baru, dengan dukungan berbagai kalangan
yang vocal secara politis, Dalam bentukyang sudah diubah di sana sini,
rancangan itu menjadi undang undang empat setengah bulan kemudian (Herbert
Feith, 199: 4-5).
Belajar dari pemilu Yogyakarta
dan pemilu di India
maka Wilopo memutuskan bahwa pemilihan umum secara langsung. Selain itu, akan
diadakan bukan satu, tetapi dua pemilihan umum. Gagasan awal adalah bahwa suatu
Badan Pekerja Parlemen akan dibentuk oleh suatu Majelis Konstituante hasil
pemilu. Akan tetapi gagal demil terlaksanakannya pemilihan umum dua badan yang
berbeda, yaitu Parlemen dan Majelis Konstituante (Herbert Feith, 199: 5).
Sistem perwakilan proporsional
disetujui. Undang-Undang Pemilihan Umum
membagi Indonesia
menjadi 16 daerah pemilihan, salah satu diantaranya Irian Barat. Setiap daerah
pemilihan mendapat sejumlah kursi berdasarkan jumlah penduduknya, dengan
ketentuan setiap daerah berhak memperoleh jatah minimum enam kursi di
Konstituante dan tiga di Parlemen. Disetiap daerah pemilihan, kursi diberikan
kepada partai partai dan calon calon anggota lainnya sesuai dengan jumlah suara
yang mereka peroleh. Sisa suara bisa digabungkan, baik antara berbagai partai
di dalam suatu daerah pemilihan (kalau partai partai bersangkutan sebelumnya
telah menyatakan sepakat untuk menggabungkan sisa suara), maupun digabungkan
untuk satu partai di tingkat nasional. Organisasi penyelenggaraan pemilihan
umum menjadi tanggung jawab bersama kementerian kehakiman dan kementerian dalam
negeri, tetapi kekuasaan bersar diberikan kepada panitia pemilihan Indonesia
yang multi partai, yang dipercaya dalam pembuatan peraturan (Herbert Feith,
199: 5-6).
Untuk tingkat Kabupaten dan
kecamatan terdapat hubungan kerja dengan jajaran pamong praja.Bupati menjadi
ketua Panitia Pemilihan kabupaten dan Camat menjadi ketua Panitia Pemungutan
Suara Kecamatan. Di bawah kecamatan terdapat Panitia Pendaftaran Pemilihan yang
diketuai oleh kepala desa dan Panitia Penyelenggara Pemungutan Suara. Keduanya
juga beranggotakan wakil wakil partai politik Herbert Feith, 199: 6).
Partai, Organisasi, perkumpulan
pemilih, dan perorangan berhak mengajukan diri sebagai calon anggota Parlemen
dan KOnstituante, tetapi setiap calon harus didukung dengan tanda tangan
pemilih yang terdaftar, 200 tanda tangan untuk calon pertama dalam suatu daftar
dan 25 untuk setiap calon lainnya. Tidak ada larangan bagi anggota panitia
pemilihan untuk menjadi calon. Setiap organisasi yang mengajukan calon harus
menyerahkan tanda gambar. Yang buta hurug akan memberikan suara dengan menusuk
dalam segi empat yang mengapit tanda gambar pilihannya pada kertas suara. Yang
bisa baca tulis bebas melakukan hal ini atau menuliskan diatas kertas suara
nama caoln yang dipilihnyadari daftar calon (Herbert Feith, 199: 6-7).
Pungutan suara dan perhitungan
suara dilakukan ditempat pemungutan suara. Anggota masyarakat berhak
menyampaikan protes lisan atas tindakan panitia pemungutan suara. Panitia wajin mengambil putusan atas protes
tersebut. Pengawasan oleh masyarkat umum dan sifat panitia yang multi partai
akan dapat mencegah terjadinya kecurangan. Rancangan Undang Undang ini disahkan
tapi Wilopo gagal dalam membentuk Panitia Pemilihan Umum Pusat, karena adanya
ketidak sepakatan dari koalisi cabinet Wilopo mengenai susunannya(Herbert
Feith, 199: 7).
Barulah pada Desember 1953
Panitia Pemilihan Indonesia terbentuk.
Dalam badan ini tidak ada wakil dari partai partai yang beroposisi terhadap
cabinet pimpinan Ali Sastroamidjojo. Pendaftaran pemilihan dimulai pada Mei
1954 dan selesai November. Saat itu tercatat 43.104.464 orang pemilih yang
memenuhi syarat. Desember 1954 partai partai sudah boleh mengajukan daftar
calon masing masing. April 1955, Panitia Pemilihan Indonesia
mengumumkan bahwa pemiliihan umum untuk anggota Parlemen dan anggota
Konstituante akan dilaksanakan masing masing pada 29 September dan 15 Desember
1955(Herbert Feith, 199: 8).
Tahapan Kampanye: Tanggal 4 April 1953, ketika rancangan
undang-undang pemilihan umum disahkan menjadi undang undang, dapat dianggap
sebagai awal kampanye tahap pertama. Sedangkan
tahap kedua dapat dikatakan tanggal 31 Mei
1954, ketika tanda gambar partai disahkan oleh Panitia Pemilihan Indonesia(Herbert
Feith, 199: 10).
Pemilihan Umum
pertama di Indonesia
diselenggarakan pada tanggal 29 Sepetember 1955. Satu setengah bulan setelah terbentuknya
kabinet Burhanuddin Harahab. Sebagai ketua
Lembaga Pemilihan Umum adalah Menteri Dalam Negeri waktu itu yaitu Mr. Sunaryo yang berasaskan Langsung, umum, bebas dan rahasia alias
LUBER. Yang paling menarik dari Pemilihan Umum saat itu, semua kontestan
ikut duduk dalam kepanitiaan Pemilu, mulai tingkat pusat samapai ke PPD, PPS
bahkan sampai ke KPPS. Bisa dikatakan yang menjadi Panitia Pemilihan Umum waktu
itu adalah Pemerintah bersama Parpol. Sehingga karena Parpol yang menjadi
konstestan pemilu, duduk juga dalam kepanitiaan, maka keadilan dan keberhasilan
jalannya pemilu lebih terjamin sesuai dengan asas LUBER. Sehingga kepanitiaan
yang mana kontestan ikut terlibat di dalamnya lebih baik. Sebab bila seorang
anggota panitia mau curang takut dan segan kepada panitia lainnya (Suprapto,
1985:168).
Disamping
berhasil melaksanakan pemilihan umum untuk anggota DPR, Kabinet Burhanuddin
Harahab juga berhasil melaksanakan pemilihan umum untuk anggota Konstituante.
Konstituante adalah suatu lembaga (Badan) yang bertugas membuat Undang Undang
Dasar (Konstitusi). Pemilihan Umum
untuk anggota Konstituante ini dilaksanakan pada tangal 15 Desember 1955
berdasarkan Undang-undang No. 7 tahun 1953 (Suprapto, 1985:172).
Lapangan Banteng pada bulan September 1955. Juru kampanye
Partai Komunis Indonesia
sudah sedari tadi membakar pengikutnya di alun-alun Jakarta Pusat itu. Saatnya
untuk menyerang partai lawan. Jika Masyumi menang, Lapangan Banteng ini akan
diubah jadi lapangan Onta, ujar dia. Pada siang yang lain, di alun-alun yang
sama Partai Masyumi yang berhaluan Islam membalas ejekan PKI. Jika PKI menang,
Lapangan Banteng akan diubah jadi Lapangan Merah, Kremlin, di Moskow, ujar juru
kampanye Masyumi. Masyumi juga meledek Nahdatul Ulama.
Antar partai mereka saling cerca
dan itu pun hanya terjadi sebagai perang kata-kata di panggung. Tapi suasana
tetap aman dan meriah( dikutip dari Edisi Khusus Hari Kemerdekaan TEMPO, Edisi 13 – 19 Agustus 2007, Pergulatan
Demokrasi Liberal 1950-1959: Zaman Emas atau Hitam. Sub Judul : Nasi Uduk di Lapangan Kremlin
halaman 38).
Soekarno
sebagai presiden RI menjelang pemilu memberikan pidato-pidatonya, salah satunya
adalah pidato pada tanggal 25 September 1955 di hadapan ribuan warga Surabaya, Jawa Timur.
Beliau berpidato tetang arti Pancasila dan Panca Darma. Soekarno menyatakan
harapannya agar Pancasila tetap menjadi asas UUD yang nantinya akan ditetapkan Konstituante. Dalam rapat raksasa yang
diselenggarakan “Kongres Rakyat Jawa Timur” itu, Soekarno memanjatkan doa agar Indonesia tetap berdasarkan Pancasila dan
bendera Indonesia
tetap Merah putih. “Wadah yang bernama Negara Republik Indonesia yang terdiri dari
berbagai agama, suku, adat istiadat ini supaya utuh tidak retak”, kata
Soekarno (Sumber “Merdeka”, 26 September 1955, Riset Bahan: Myrna, dikutip dalam
HISTORIA, PIDATO SOEKARNO JELANG PEMILU,
Kompas, Senin, 12 Januari 2009 Hal : 3).
Pesan untuk
berdemokrasi dalam pemilu pertama ini terlihat juga pada pidato Wakil Presiden
RI Moh Hatta satu hari menjelang Pemilihan Umum legislatif tahun 1955. Hal ini
dikutip dalam berita surat
kabar sebagai berikut:
“Djangan mau ditakut-takuti,
Datanglah memilih dengan hati jang tenang. Tusuk tanda gambar jang saudara
sukai dan djangan katakan pada orang lain”.
Menurut Hatta, untuk pertama kalinya
dalam sejarah Indonesia
akan memilih parlemen yang dipilih
rakyat. Hatta menyebut pemilu 1955 sebagai langkah tegas kea rah penyempurnaan demokrasi Indonesia. Pemerintah demokrasi, kata Hatta berarti pemerintahan
rakyat. Rakyat memerintah dirinya dengan perantara DPR yang dipilihnya. “Memilih
itu bukanlah kewajiban yang ditempakan kepada saudara, melainkan hak saudara,
hak ikut serta menetukan nasib sendiri sebagai warga bangsa yang berdaulat.
Tetapi dengan hak itu, saudara ikut memilkul tanggung jawab tentang buruk atau
baiknya nasib kita sebagai bangsa”, ujar Hatta (Sumber : “Indonesia
Raya”, 29 September 1955 teks oleh Myrna dikutip dalam HISTORIA, INTIMIDASI
SEBELUM PEMILU, Kompas, Jumat, 9 Januari 2009 Hal: 3).
Inilah
pemilu dengan partai yang cukup banyak. Pada pemilu pertama di seluruh Indonesia
terdapat 190 macam tanda gambar dari partai-partai politik, organisasi,
kumpulan-kumpulan memilih (kiexkring),
dan calon-calon perseorangan. Saat itu sebanyak 43.104.464 orang dari
77.987.879 warga negara Indonesia
berhak memberikan suaranya pada pemilu pertama pada tanggal 29 September 1955.
Mereka akan memilih 240 anggota Dewan perwakilan Rakyat. Warga yang berhak
memilih itu adalah warga yang terdaftar sebagai pemilih di 15 daerah pemilihan.
Sebanyak 93.532 tempat pemungutan suara disiapkan di 208 Kabupaten. Namun
menurut Panitia Pemilihan Umum Indonesia (PPI), dari 208 Kabupaten, mereka yang
tegas sanggup mengadakan pemungutan suara pada 29 September 1955 itu hanya 126
Kabupaten (Sumber: “Mestika”, 27 September 1955, Riset Bahan Agus Hermawan
dikutip dalam HISTORIA, 190 MACAM TANDA GAMBAR, Kompas, Jumat 16 Januari 2009
hal 3).
Ternyata
kondisi perekonomian pada tahun dilaksanakannya Pemilu pertama tahun 1955 tidak
sebaik sekarang. Hal ini terlihat dalam pemberitaan surat kabar “Merdeka” yang terbit tanggal 7
September 1955, memberitahukan :
“ Rakjat antre garam berdjamdjam lamanja.
Sudah berdiri 6 djam belum tentu djuga.
Dapat tukang tjatut meradjalela”
Berita ini menyebutkan harga
garam yang biasanya Rp. 0,50 per bata di masa kabinet Ali Sastroamidjojo I (30
Juli 1953 – 12 Agustus 1955) meningkat tajam sekitar 400 persen sampai 500 persen pada pemerintahan kabinet Burhanudin
Harahap - 12 Agustus 1955 s/d 1 Maret 1956 (Sumber : “Merdeka”, 7 September 1955,
Teks Myrna dikutip dalam HISTORIA, RAKYAT ANTRE JELANG PEMILU, Kompas, Senin 5
Januari 2009 hal : 3).
Sebelum
pelaksanaan pemilu 1955, diadakanlah uji coba pemungutan suara. Permasalahan salah
mencoblos sudah terjadi saat uji coba. Seperti terjadi di Medan. Saat itu sebanyak 30 persen dari
sekitar 100 calon pemilu melakukan kesalahan mencoblos saat uji coba di kota praja Medan,
4 September 1955. Banyak diantara calon pemilih melakukan salah coblos atau
salah tusuk. Kesalahan lainnya adalah mereka tidak menunjukkan surat suara kepada petugas
sebelum memasukkannya ke kotak suara (Sumber: “Mestika”, 5 September 1955,
Riset Bahan Agus Hermawan dikutip dalam HISTORIA, SALAH MENCOBLOS, Kompas 28
Januari 2009 hal: 3).
Sehari
menjelang pemilu 1955, Surat Kabar “Indonesia Raya” memberitakan bahwa
kesalahan dan kekacauan administrasi banyak terjadi termasuk ”Pemberian
surat-surat pemberitahuan jang memungkinkan timbulnja ketjurangan-ketjurangan
dalam pemberian suara atau hilangnja suara orang-orang jang berhak memilih”.
Sedangkan soal bagaimana menandai pemilih yang telah memberi suaranya, panitia pemilu
tahun 1955 menginstruksikan tangan pemilih diberi tanda coretan dengan tinta (Sumber
: “Indonesia Raya”, 29 September 1955 teks: Myrna dikutip dalam HISTORIA, BURUKNYA
ANDMINISTRASI PEMILU, Kompas, Rabu, 7 Januari 2009 hal: 3).
Sedangkan warga Indonesia
yang ternyata tidak mendapatkan kesempatan memilih dijelaskan oleh Menteri
Dalam Negeri Sunario. Sunario mengungkapkan beberapa ribu orang yang berhak
memberikan suara tidak dapat mempergunakan haknya kerena berbagai sebab. Mereka
adalah jemaah haji yang sedang dalam perjalanan pulang ke Indonesia serta
transmigran dan pegawai negeri yang tak dapat memberikan hak suaranya karena
pindah sesudah tanggal 29 Agustus (“Mestika, 27 September 1955 riset bahan :
Agus Hermawan, dikutip dalam HISTORIA, TIDAK DAPAT MEMILIH, Kompas, Rabu, 21
Januarti 2009 Hal : 3).
Pemasalahan tentang warga Negara
tidak bepergian tetapi tidak dapat memilih juga terjadi. Seorang pemilih datang
membawa surat
panggilan memilih, tetapi ketika di cek di daftar pemilihan namanya tidak ada. Juga diberitakan, dalam
sebuah keluarga tidak seluruh anggota keluarga mendapat panggilan memilih. Si
suami mendapat surat
panggilan memilih, sedangkan sang istri tidak (Sumber “ Mestika, 30 September
1955, Riset Bahan Agus Hermawan dikutip dalam HISTORIA, TIDAK TERDAFTAR SEBAGAI
PEMILIH, Kompas, Senin 9 Februari 2009 hal 3).
Tidak Cuma
itu, Walaupun dalam Undang-Undang Pemilihan Umum Anggota Konstituante dan
anggota DPR Irian Barat (Pada tahun 1955 Irian Barat masih diduduki Belanda dan
disebut Netherlands New Guinea)
tercantum sebagai daerah pemilihan ke 16, tidak seorang pendudukpun dari Provinsi
tersebut dapat memberikan suaranya, terdaftar sebagai pemilih. Di daerah
pemilihan Irian Barat tersebut tidak diadakan pemungutan suara. Selain itu,
sebanyak 16 Kabupaten sudah tegas menyatakan juga tidak dapat melakukan
pemungutan suara pada hari H pemilu, yakni 29 september 1955. Pemungutan suara
di Kabupaten – Kabupaten tersebut baru bisa dilaksanakan setelah tanggal itu.
Pemungutan suara di Kabupaten tersebut tidak dapat diselenggarakan karena
kurang tenaga penyelenggara (Sumber Mestika, 27 September 1955, Riset Bahan :
Agus Hermawan dikutip dalam HISTORIA, PENDUDUK IRIAN TIDAK DAPAT MEMILIH,
Kompas, Senin, 19 Januari 2009 Hal : 3).
Beda dengan
Irian Barat, beda pula dengan masyarakat Samin. Para
pemeluk kepercayaan Samin (Nama Samin diambil dari nama seorang Tokoh
masyarakat setempat, Samin, yang merupakan penganut ilmu kebatinan. Samin
ditangkap Belanda karena mengadakan perlawanan dan meninggal di pembuangan)
yang bertempat tinggal di sekitar Blora,
tidak mau memberikan hak suaranya pada pemilu 1955. Saat itu pemerintah
sempat mengirimkan sekelompok ahli kebudayaan dari “Jawatan Kebudayaan Jawa
Tengah” untuk menyelidiki sikap hidup masyarakat tersebut (Sumber:”Merdeka”, 27
September 1955 Riset Bahan: Agus Hermawan, dikutip dalam HISTORIA, WARGA SAMIN
TAK MAU IKUT PEMILU, Kompas, 2 Ferburari 2009, Hal : 5).
Lain warga Samin
lain juga Banjarmasin.
Warga Banjarmasin boleh berbangga karena dalam pemilihan umum pertama tahun
1955, hampir 80 persen warganya menggunakan hak pilihnya. Bukan hanya itu,
pelaksanaan pemilu di Banjarmasinpun berlangsung damai dan tertib. Sementara itu,
di sejumlah tempat di Indonesia
pelaksanaan pemungutan suara tertunda karena faktor keamanan dan sulitnya akses
menuju tempat pemilihan. Bahkan di Sampit, pelaksanaan pemilu disabot dengan
dibakarnya sejumlah tempat pemungutan suara. Wali kota
Banjarmasin saat itu, Sinaga mengatakan Banjarmasin jauh lebih
maju dibandingkan dengan pemilu di negara-negara luar yang maksimal hanya
dikikuti 60 persen warganya. Banjarmasin, tulis harian pagi “Indonesia
Berdjuang” bisa dijadikan contoh bukan saja oleh kota-kota lain di Indonesia,
tetapi juga kota-kota lain di luar negeri (Sumber: “Indonesia Berdjuang”, 1
Oktober 1955 Riset Bahan Myrna Ratna, dikutip dalam HISTORIA, BANJARMASIN
PALING MAJU, Kompas, Rabu 14 Januari 2009 hal 3).
Pemilu pertama
bukan cuma dominasi kaum laki-laki saja. Peran perempuan sebenarnya sudah
dicoba diberdayakan dalam pemilu 1955. Disetiap penyelenggaraan pemilihan Umum
saat itu selalu ditempatkan seorang perempuan diantara 7 panitia yang lain.
Menurut pemberitaan media saat itu, penempatan perempuan pada kepanitiaan
pemilu tersebut juga untuk meladeni pemilih-pemilih yang terdiri dari kaum ibu
(Sumber: “Mestika”, 5 September 1955, Riset Bahan Agus Hermawan dikutip dalam
HISTORIA, PERWAKILAN PEREMPUAN, Kompas, Jumat 30 Januari 2009 hal 3).
Kebersamaan
dan kesamaan sebagai warga Negara Indonesia terlihat betul saat
pemilu pertama ini. Diberitakan bahwa Presiden Soekarno pun memberikan suara di
kantor kementerian Penerangan di jalan Merdeka Barat dengan berjalan kaki dari
istana. Demikian juga para gubernur. Gubernur Sumatera Utara Amin dan para
pejabat lainnya memberikan suara di TPS Jalan Samanhudi, Medan, Mereka berbaris
dan mengantre seperti rakyat pemilih lainnya “Mereka berbaris menanti giliran sehingga dengan tjara demikian tidak
ada tempat istimewa-istimewaan”(Sumber: “Mestika, 30 September 1955, Riset
Bahan Agus Hermawan dikutip dalam HISTORIA, GUBERNUR ANTRE PRESIDEN BERJALAN
KAKI, Kompas, Jumat 6 Februari 2009 hal 3).
Pemilu 1 memang sukses
besar, berlangsung damai, tingkat partisipasi warga begitu tinggi. Suara sah pada pemilu ini sekitar 88 % dari jumlah pemilih sebanyak 43 juta orang.
Padahal menggelar acara demokrasi dengan biaya Rp 500 juta ini tidak
mudah. Pemungutan suara dilakukan di 16
wilayah pemilihan di seantero Tanah Air. Ini mencakup 208 kabupaten, 3141 kecamatan, serta 42.092 desa. Dan
ini bukan pesta sekali rampung. Ada dua
pemilihan yang harus dilakukan: untuk
memilih 260 anggota DPR pada 29 September yang diikuti 118 partai politik,
gabungan organisasi, serta perorangan, plus memilih 520 anggota Dewan Konstituante
pada 15 Desember yang diikuti 91 peserta. Walau di Bandung ada ancaman dari
para pemberontak (Darul Islam), namun pesta terus berlangsung. Menurut Herbert Feith (ahli dari
Australisa) ada faktor- faktor yang menyebabkan pemilu 1955 suksek: Perbedaan,
Kompetisi, Sirkulasi kekuasaan (siap menjadi pemenang dan pecundang), Kemampuan
mengolah konflik dan kompromi, Kematangan menyikapi haluan politik, semuanya
sudah menjadi tradisi.
Walau demikian kecuranganpun dan
adu fisikpun tak pelak terjadi. Partai menguasai media massa. Halaman depan Koran menjadi palagan
partai yang sengit. Harian Rakyat, misalnya selalu menulis kemenangan PKI di
halaman satu. Harian Suluh Indonesia
menuliskan kejayaan PNI. Masyumi selalu unggul di Koran Abadi. Partai Murba
menguasai Berita Indonesia
dan Baperki mengendalikan Sin Po. Begitu juga gesekan fisik. Masyumi pernah
dibikin gerah PKI saat mereka berkampanye di Tanjung Priok, Jakarta Utara.
Pengeras suara mereka beberapa kali mati, konon, karena disabotase pendukung
PKI. Priok memang dikuasai PKI, musuh besar Masyumi.Rebutan pengaruhpun
terjadi. Keluarga pamong praja ketika itu dianjurkan mencoblos PNI yang disebut
sebagai partainya pemerintah dan Bung Karno. Tapi itu Cuma anjuran tanpa
sanksi.
Golongan Putih atau golput tidak
jadi soal. Seperti pengakuan dari Muhamad Sunjaya yang merasa tidak diutak atik
walau dia golput. Suasana damai juga terjadi di Surabaya. Seperti contoh dalam sebuah tempat
pemungutan suara. Pemegang hak pilih yang berjumlah 100 orang ternyata hadir
semua.
Penghitungan suara selesai pukul satu
siang. Tidak ada laporan kerusuhan apapun. Permasalahan teknis tetap ada. Warga harus memilih satu dari 100 tanda
gambar partai untuk DPR dan 82 tanda untuk Konstituante; termasuk tujuh nama serta tanda gambar PSI
yang berlainan di beberapa daerah. Betapa sulitnya mereka mencoblos. Apalagi di Jakarta Raya, hampir 80 persen
warganya masih buta huruf. Maka, saat pencoblosan, kerap terdengar teriakan
minta tolong dari dalam bilik suara, seperti: “Gambar Masyumi yang mana nih?”.
Di seluruh Surabaya, pengitungan suara selesai seiring
terbenamnya matahari. Demikian pula di wilayah lain di Indonesia. Hasil-hasil
penghitungan suara saat itu disampaikan melalui telepon di kantor pusat. Mereka
sangat percaya kepada panitia pemilu. Pokoknya tak ada yang berbuat curang.
Akhirnya seluruh suara terkumpul di Jakarta.
Tercatat lima besar pemenang pemilu ini,
berturut-turut: PNI, Masyumi, Nahdlatul Ulama, PKI dan Partai Syarikat Islam Indonesia.
Pemilu ini menyisakan dana Rp 5 juta,
yang kemudian dipakai membiayai pembangunan gedung Panitia Pemilihan Indonesia
di jalan Matraman Raya 40 Jakarta Pusat ( dikutip dari Edisi Khusus Hari
Kemerdekaan TEMPO, Edisi 13 – 19 Agustus
2007, Pergulatan Demokrasi Liberal 1950-1959: Zaman Emas atau Hitam. Sub Judul : Nasi Uduk di Lapangan Kremlin
halaman 38-39).
Hasil Pemilu pertama:
PARTAI
|
SUARA SAH
|
% SUARA
SAH
|
KURSI DI
PARLEMEN
|
% KURSI DI
PARLEMEN
|
PNI
|
8.434.653
|
22,3
|
57
|
22,2
|
MASYUMI
|
7.903.886
|
20,9
|
57
|
22,2
|
NU
|
6.955.141
|
18,4
|
45
|
17,5
|
PKI
|
6.176.914
|
16,4
|
39
|
15,2
|
PSII
|
1.091.160
|
2,9
|
8
|
3,1
|
PARKINDO
|
1.003.325
|
2,6
|
8
|
3,1
|
PARTAI
KATOLIK
|
770.740
|
2,0
|
6
|
2,3
|
PSI
|
753.191
|
2,0
|
5
|
1,9
|
MURBA
|
199.588
|
0,5
|
2
|
0,8
|
LAIN-LAIN
|
4.496.701
|
12,0
|
30
|
11,7
|
JUMLAH
|
37.785.299
|
100,0
|
257
|
100,0
|
(Ricklefs, 2005: 377).
Dari hasil pemilu pertama, gambaran
persebaran suara adalah: Masyumi benar-benar merupakan partai yang terkuat di
luar Jawa, memenangkan antar seperempat dan separoh jumlah keseluruhan suara di
semua wilayah kecuali Bali dan daerah-daerah
Kristen, dan tiga perempat jumlah suara di Aceh: partai ini merupakan partai
yang terbesar di Jawa Barat yang kuat Islamnya. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur,
keadaan antara PNI, NU, dan PKI kira-kira seimbang (Ricklefs, 2005: 377-378).
Yang cukup mengejutkan adalah posisi PKI yang cukup banyak mendapatkan suara.
Peningkatan jumlah anggota dan simpatisan dijelaskan di bawah ini:
Pada Kabinet Ali, ketika partai ini bebas dari
penindasan perkembangannya sangat menakjubkan. Antara bulan Maret dan November
1954 dinyatakan bahwa jumlah anggota partai ini meningkat tiga kali lipat dari
165.206 menjadi 500.000, dan pada akhir tahun
1955 mencapai jumlah satu juta. PKI mulai melakukan usaha yang serius
untuk menerima para petani sebagai anggota. Barisan Tani Indonesia (BTI), satu
organisasi PKI, menyatakan mempunyai 360.000 anggota pada bulan September 1953
tetapi jumlah tersebut mencapai lebih dari sembilan kali lipat (3,3 juta) pada
akhir tahun 1955: hampir 90 % anggotanya berada di Jawa dan hampir 70 % di Jawa
Tengah dan Jawa Timur. Jumlah anggota Pemuda Rakyat meningkat tiga kali lipat
dari 202.605 pada Juli 1954 menjadi 616.605 orang pada akhir tahun 1955; 80%
anggotanya adalah para pemuda tani dan sebagian besar berada di Jawa. Oplah
surat kabar PKI, Harian Rakyat, meningkat lebih dari tiga kali lipat antara bulan
Februari 1954 (15.000 eksemplar) dan Januari 1956 menjadi 55.000 eksemplar.
Surat kabar tersebut merupakan surat
kabar dengan oplah yang terbesar di antara surat kabar-surat kabar manapun yang berafiliasi dengan partai. PKI juga
merupakan partai yang paling kaya diantar partai-partai politik dengan
penerimaan dari iuran anggota (akan tetapi pungutan iuran sering kali kurang
teratur), dari gerakan-gerakan pemungutan dana, dan sumber sumber lainnya.
Sebagian besar uangnya mungkin berasal dari komunitas dagang Cina, yang
memberikannya dengan senang hati atau
melalui tekanan dari keduataan besar Cina. Banyak petani yang miskin bergabung
karena PKI berjanji akan membela kepentingan mereka, tetapi banyak petani yang
bergabung karena alasan-alasan lain. Tim-tim PKI memperbaiki jembatan-jembatan,
sekolah-sekolah, rumah-rumah, bendungan-bendungan, WC dan kamar mandi umum,
saluran-saluran air, dan jalan-jalan; mereka memberantas hama dan mengadakan kursus-kursus
pemberantasan buta huruf, mengorganisasi kelompok-kelompok olah raga dan musik
desa, dan memberikan bantuan kepada anggota pada saat-saat sulit. Di desa-desa,
partai ini sering kali dipimpin oleh guru-guru, kepala desa, para petani
menengah dan kaya, dan berapa tuan tanah (Ricklefs, 2005: 374-375).
Seperti di katakan diatas tentang
pengembalian kewibawaan pemerintah terutama terhadap permasalahan Angkatan
Darat adalah dengan mengangkat Abdul Haris Nasution sebagai KASAD pada tanggal
7 November 1955 dengan pangkat Jenderal Mayor. Dengan pengangkatan ini Kabinet
mendapatkan simpati dari rakyat dan angkatan darat sendiri[11].
Selesai di Angkatan Darat, tapi
terjadi permasalahan di Angkatan Udara.
Pada tanggal 14 Desember 1955 saat Menteri Pertahanan akan melantik
Komodor Muda Udara Hubertus Soyono sebagai wakil KSAU, terjadi demonstrasi oleh prajurit dan perwira AU yang tidak
setuju pelantikan itu, sehingga pelantikan gagal[12].
Jatuhnya Kabinet
Setelah hasil pemungutan suara
diumumkan dan pembagian kursi di DPR diumumkan, maka tanggal 2 Maret 1956 pukul
10.00 siang Kabinet Burhanudin Harahab mengundurkan diri, dengan menyerahkan mandat
kepada Presiden, untuk pembentukan kabinet baru berdasarkan pemilu 1955[13].
Sebuah kesadaran politik yang
luar biasa, setelah tugas telah selesai dilaksanakan, kabinet menyerahkan mandatnya
kembali ke presiden.
KABINET ALI II
Pada tanggal 8 Maret 1956 Presiden menunjuk Mr. Ali Sastroamijoyo
sebagai formatir cabinet. Ali berhasil menyelesaikan tugasnya dan pada tanggal
16 Maret 1956 Ali melaporkan hasil kerjanya kepada presiden. Presiden tidak
langsung menerima, masih meneliti nama nama yang belum dikenalnya[14].
Pembentukan cabinet ini tidaklah lancar seperti di jelaskan di bawah ini:
Penyusunan kabinet hasil Pemilu 1955 berlangsung alot.
Sukarno mendesak agar unsur PKI masuk dalam kabinet, yang disebutnya sebagai
Kabinet Kaki Empat (PNI, Masyumi, NU, PKI). Namun, Ali Sastroamidjojo (PNI),
Mohammad Roem (Masyumi), dan Idham Chalid (NU) menolak dengan keras usul
Sukarno itu. Setelah setengah bulan, Sukarno akhirnya menerima susunan kabinet
yang diajukan Ali. Namun, Sukarno tak bersedia memimpin pengambilan sumpah
menteri kabinet. Presiden hanya menyaksikan setiap menteri membaca teks sumpah
sendiri-sendiri, hal yang tak pernah terjadi sebelumnya. Idham menanyakan
keganjilan itu pada Ali. “Kalau Sukarno tidak senang, memang begitu,” kata Ali
seperti dikutip Asro Kamal Rokan dalam “KH Idham Chalid Kini” (Dikutip dari
Politisi Air Yang Tak Lagi Mengalir, tulisan dari Hendri F. Isnaeni pada http://www.majalah-historia.com/majalah/historia/berita-272-politisi-air-yang-tak-lagi-mengalir.html
diakses tanggal 18 November 2010).
Walau dengan sedikit keanehan
politik, saat pelantikan, Pada tanggal 24 Maret 1956 kabinet tersebut resmi
menjalankan tugas dengan keputusan Presiden RI No. 85 Tahun 1956 tangggal 24
Maret 1956[15].
Susunan Kabinet[16]:
1. Perdana Menteri : Mr. Ali Sastroamijoyo (PNI).
2. Wakil Perdana Menteri I :
Mr. Muh. Rum (Masyumi).
3. Wakil Perdana Menteri II :
K.H. Dr. Idham Khalid (NU).
4. Menteri Luar Negeri : Dr. Ruslan
Abdul Gani (PNI)
5. Menteri Dalam Negeri : Mr. R. Sunaryo (NU).
6. Menteri Keuangan : Mr. Yusuf
Wibisono (Masyumi).
7. Menteri Perekonomian : Mr. Burhanuddin (NU)
8. Menteri Perekonomian Muda : Umbas (Parkindo)
9. Menteri Pertahanan (a.i.) :
Mr. Ali Sastroamijoyo (PNI)
10. Menteri Agama : K.H. Muhammad Ilyas (NU).
11. Menteri Pertanian : Eni Karim
(PNI)
12. Menteri Pertanian Muda : Syeh Marhaban
(PSII)
13. Menteri Kesehatan :
Dr. H. Sinaga (Parkindo)
14. Menteri Perhubungan : Sukijar Tejasukmana (Masyumi)
15. Menteri Perhubungan Muda : A. Rosari (Katholik)
16. Menteri Kehakiman : Mr. Mulyatno
(Masyumi)
17. Menteri Perburuhan : Sabilal Rosyad
(PNI)
18. Menteri PP & K : Sarino Mangunpranoto (PNI)
19. Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga :
Ir. Pangeran Nur (Masyumi)
20. Menteri Penerangan : Sudibyo (PSII)
21. Menteri Agraria :
Prof. Mr. Suhadi (Katholik)
22. Menteri Urusan Umum :
K.H. Rusli Abd. Wahid (Perti)
23. Menteri Urusan Pejuang : Dahlan Ibrahim
(PKI)
24. Menteri Sosial :
K.H. Fattah Yasin (NU)
25. Menteri Urusan Planing :
Ir. Juanda
Program Kerja[17]
1.
Menyelesaikan program pembatalan KMB.
2.
Meneruskan perjuangan perebutan Irian Barat, dengan
mewujudkan kekuasaan de facto atas Irian Barat dengan kekuatan rakyat dan anti
kolonialisme di internasional.
3.
Mendirikan provinsi Irian Barat.
4.
Memulihkan keamanan dalam negeri.
5.
Menyempurnakan koordinasi antara alat-alat kekuasaan
Negara terutama dalam tindakan pemulihan keamanan.
6.
Memulai pembangunan secara teratur dan menurut rencana
berjangka waktu tertentu.
7.
Berusaha mengganti ekonomi kolonial menjadi ekonomi
Nasional berdasar kepentingan rakyat jelata dan pengutamaan kebutuhan primer.
8.
Mempergiat perkembangan koperasi.
9.
memajukan Transmigrasi.
10. Menyehatkan
keuangan Negara sehingga tercapai imbangan Anggaran Belanja biasa yang baik
untuk kelanjutan pembangunan.
11. Dalam
usaha menyempurnakan keuangan Negara menambah sumber keuangan baru harus di
utamakan.
12. Memperbaiki
pengawasan atas pemakaian uang Negara.
13. Perkreditan
pemerintah yang tepat dan lancar untuk melindungi usaha ekonomi nasional
terhadap persaingan asing.
14. Melanjutkan
berdirinya industri nasional supaya
selekas mungkin RI dapat menjamin kebutuhan sendiri, dan melindungi industri
Nasional terhadap persaingan asing.
15. Perbaikan
tingkat hidup petani dengan jalan : intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian,
mempergiat koperasi tani dan bank tani, memajukan kesehatan dan pendidikan dan pengajaran tani, dan juga melipatgandakan
hasil peternakan dan perikanan.
16. Perbaikan
alat transport dan mengutamakan rehabilitasi jalan di luar Jawa.
17. Memajukan
dan mengawasi pelayaran Nasional serta melindungi terhadap persaingan asing.
18. Memperbaharui
perundang undangan agrarian dengan berdasarkan atas kepentingan petani dan
rakyat kota.
19. Melaksanakan
pembentukan daerah daerah otonom.
20. Menetapkan
dengan UU perimbangan keuangan antara pusat dan daerah.
21. Menyegerakan
adanya pemilihan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
22. Menyusun
aparatur pemerintahan yang efisien dan usaha perbaikan pengidupan pegawai.
23. Memberantas
korupsi secara obyektif tanpa pandang bulu berdasarkan hukum.
24. Melancarkan
tercapainya stabilitas keuangan Negara.
25. Mengadakan
kewajiban milisi
26. Memperbaiki
nilai nilai teknis pendidikan rohani dan jasmani militer dari Angkatan Perang RI,
sehingga nilai perjuangan dipertinggi.
27. Memperhatikan
bidang perburuhan dengan memberi bantuan stimulant bagi pertumbuhan organisasi
kaum buruh.
28. Memperluas
dan mempertinggi mutu pendidikan rakyat di sekolah dan diluar sekolah.
29. Menyalurkan
tenaga veteran kearah usaha usaha produktif.
30. Menjalankan
politik luar negeri yang bebas dan aktif.
31. Meneruskan
kerja sama di Asia Afrika dan melaksanakan keputusan KAA.
Keberhasilan[18]
1.
Pembatalan KMB, dengan UU No 13 tahun 1956 tanggal 3
Mei 1956.
2.
Perjuangan kemerdekaan Irian Barat. Membentuk propinsi
Irian Barat tanggal 17 Agustus 1956 dengan wilayah irian, Tidore, Oba, Weda,
Batani serta Wasile di Maluku Utara. Ibu kota
di Soa Siu di kepulauan Halmaher. Gubernurnya adalah Sultan Tidore Zainal
Abidin Syah.
3.
Pengiriman pasukan garuda I ke Mesir. Pasukan Garuda
tergabung dalam United Nations Emergency Forces (UNEF). Diberangkatkan tanggal
1 Januari 1957 di bawah komandan Letkol Suadi.
Tantangan Kabinet:
- Pengunduran Dr. Muhammad hatta dari jabatan Wakil Presiden pada 1 Desember 1956.
- Menculnya pengambilalihan di beberapa daerah yang berkembang pada sparatisme terutama PRRI dan PERMESTA.
Jatuhnya Kabinet[19]
1.
Kondisi politik dan pergolakan daerah yang cukup
memanas.
2.
Munculnya Konsepsi Presiden 21 Februari 1957:
a.
Sistem Demokrasi Parlementer sudah tidak cocok, harus
diganti Demokrasi Terpimpin.
b.
Untuk melaksanakan Demokrasi Terpimpin harus dibentuk
Kabinet Gotong Royong yang diawali dengan adanya cabinet kaki empat yang
didukung empat besar : PNI, Masyumi, NU dan PKI.
c.
Pembentukan Dewan Nasional yang beranggotakan golongan
fungsionil sebagai penasihat cabinet.
3.
Konsepsi Presiden diatas ditentang oleh kekuatan
politik seperti Masyumi, NU, PSII, Partai Katholik dan PRI, mengapa mereka
menentang, hal ini berdasar pada pendapat bahwa perubahan politik
ketetanegaraan secara radikal tersebut adalah wewenang Konstituante bukan
Presiden.
4.
Karena ketegangan politik ini banyak menteri dari
parpol menarik diri dari cabinet. Hal ini semakin menggoyahkan cabinet.
5.
Kabinet ini jatuh pada tanggal 14 Maret 1957, PM ali
menyerahkan mandatnya kepada Presiden, yang dilanjutkan dengan pernyataan
Presiden tentang keadaan bahaya (SOB) untuk seluruh Indonesia.
KABINET DJUANDA (KABINET KERJA)
Presiden berhasil membentuk kabinet
Ekstra Parlementer dengan perdana menterinya adalah Ir. Juanda. Seorang dari Non Partai Politik. Kabinet
Juanda terbentuk berdasarkan Surat Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 1957 dan
terlantik pada tanggal 9 April 1957. [20]
Kabinet ini biasa disebut sebagai
Zakent Kabinet atau Kabinet Ahli. Hal
ini dikarenakan kementeriannya tidak berdasarkan partai politik dalam
pengangkatannya, tapi berdasarkan keahliaanya.[21]
Komposisi Menter dalam Kabineti
adalah sebagai berikut:[22]
1. Perdana Menteri : Ir. juanda
2. Wakil PM I : Mr. Hardi
3. Wakil PM II : K.H. Idam Khalid
4. Wakil PM III : Dr. J. Leimena
5. Menteri Luar Negeri : Dr. Subandrio
6. Menteri Dalam Negeri : R.Muh.Sanusi Harjadinata
7. Menteri Kehakiman : G.A. Maengkom
8. Menteri Penerangan :
Sudibyo
9. Menteri Keuangan : Mr. Sutikno Slamet
10. Menteri Perindustrian : Ir.
Ingkiriwang
11. Menteri Perdagangan : Prof. Drs.
Sunaryo
12. Menteri Pertanian : Mr. Sujarwo
13. Menteri Perhubungan : Mr. A.
Sukardan
14. Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga :
Ir. Pangeran Muhammad Nur
15. Menteri Pelayaran : Komodor L. Muh. Nazir
16. Menteri Agraria : Prof. Mr.
Sunaryo
17. Menteri Pertahanan : Ir. Juanda
18. Menteri Perburuhan :
Ir. Samyono
19. Menteri Sosial : H.M Mulyadi
Joyomartono
20. Menteri PP & K : Prof. Dr.
Priyono
21. Menteri Agama : K.H. Muhammad
Ilyas
22. Menteri Kesehatan : Kol. Dr. Azis
Saleh
23. Menteri Urusan Pengerhan Tenaga Rakyat dan Pembangunan
: A.M. Hanafi.
24. MenteriNegara Veteran
: Dr. Khaerul Saleh
25. Menteri Negara Urusan Hubungan Antar Daerah : Dr. F.L. Tobing
26. Menteri Negara Urusan Stabilisasi Ekonomi : Kolonel Suprayogi
27. Menteri Negara Urusan Kerjasama Sipil militer : K.H. Wahid Wahab
28. Menteri Negara Urusan Transmigrasi : Dr. F.L. Tobing
29. Menteri Negara
: A.M. Hanafi
30. Menteri Negara : Prof. Mr. Muh Yamin.
Program Kerja Kabinet:[23]
1.
membentuk Dewan Nasional
2.
Normalisasi keadaan Republik Indonesia
3.
Melanjutkan Pembatalan KMB
4.
Perjuang Irian Barat
5.
Mempergiat Pembangunan
Tantangan dalam Kabinet:[24]
1.
Peristiwa Cikini, sebuah usaha pembunuhan terhadap
Presiden Sukarno tanggal 30 November 1957, sewaktu Sukarno menghadiri pesta Sekolah SD Cikini Jakarta. Para
pelaku berhasil di tangkap dan dihukum. Diantara dari mereka adalah Yusuf
Ismail, Saadon bin Muhammad, Tasrif bin husein, dan Tassin bin Abu Bakar.
2.
Pemberontakan PRRI / Permesta
3.
Perbedaan pendapat yang meruncing dalam konstituante. Ada kekuatan yang berbeda
antara golongan Islam, Nasionalis dan Komunis. Hal ini yang mengakibatkan Badan
Konstituante tidak pernah bisa menghasilkan UUD baru. Presiden pada tanggal 22
April 1959 di muka siding Konstituante mengharapkan agar kembali kepada UUD
1945.
Jatuhnya Kabinet
Sebagai akhir kemelut yang
terjadi di Negara RI maka Presiden mengeluarkan Dekrit
Presiden 5 Juli 1959.
HUKUM DAN PEMBERANTASAN KORUPSI DI MASA DEMOKRASI LIBERAL DI INDONESIA
Setelah penyerahan
kedaulatan pada 1949, langkah-langkah menuju rechstaat seharusnya bisa dilakukan. Tapi RIS, yang menganut sistem
federal, membuat badan penuntutan dan
pengadilan harus ditata ulang. Lembaga-lembaga hukum ini relative mulai stabil setelah pembubaran RIS tahun 1950. Itu pun
baru terasa pada masa Kabinet Burhanudin Harahap. Membuat polisi, jaksa dan
hakim akur dalam sebuah sistem peradilan bukan perkara gampang. Karena, belum-belum
misalnya, hakim memprotes aturan gaji jaksa yang kelewat tinggi berdasarkan aturan
1951. Hakim menuntut gaji yang lebih tinggi karena merasa posisi mereka secara
hukum dan sosial diatas jaksa. “Kerja
hakim juga lebih berat, Karena harus menyidang banyak perkara”. Dibutuhkan
waktu tiga tahun dari 1953 s/d 1956 untuk menyelesaikan perkara ini. Wakil dari
Ikatan Hakim dan wakil Persatuan Djaksa terpasksa dipanggil dan didengar
keterangannya oleh Menteri Kehakiman, Parlemen dan Badan Kepegawaian. Keputusan
berakhir dengan kemenangan jaksa dan dibalas dengan pemogokan hakim pada 1
Maret 1953, yang kemudian dibatalkan oleh Ikatan Hakim sendiri dua hari
kemudian ( dikutip dari Edisi Khusus Hari Kemerdekaan TEMPO, Edisi 13 – 19
Austus 2007, Pergulatan Demokrasi Liberal 1950-1959: Zaman Emas atau
Hitam. Sub Judul: Tak Pasti Karena si
Bung, Hal : 55).
Pada tanggal 20 Agustus 1955, Kabinet
Burhanudin Harahap menggulirkan Rencana Undang-Unang Darurat Anti Korupsi.
Menteri kehakiman Lukman Wiriadinata menyatakan undang undang ini akan menganut
prinsip pembuktian terbalik dan berlaku surut. Sejumlah pengadilan husus
antikorupsi juga akan dibentuk di Jakarta, Surabaya,
Medan dan Makassar.
Tapi aturan baru ini ditolak Presiden
Soekarno. Paska pemilu 1955 usaha membangun independensi pengadilan dan penanganan perkara mulai jadi
perhatian. Para jaksa dihadapkan pada setumpuk
berkas. Dalam sehari berkas itu beres. Bahkan jaksa agung Suprapto menyidik
sendiri Sultan Hamid dan menuntutnya sendiri di Mahkamah Agung pada tahun 1953.
Pada tahun 1955 jumlah Jaksa di Indonesia ketika itu hanya 700 orang. Padahal Indonesia membutuhkan seribu lebih jaksa. Akibatnya ada
jaksa berumur 75 tahun masih bekerja di Jawa Tengah. Beliau bernama
Mangunsoedarmo ( dikutip dari Edisi Khusus Hari Kemerdekaan TEMPO, Edisi 13 –
19 Austus 2007, Pergulatan Demokrasi Liberal 1950-1959: Zaman Emas atau
Hitam. Sub Judul: Tak Pasti Karena si
Bung, Hal : 55).
Periode
1955 s/d Dekrit Presiden sangat menarik. Lima hari setelah menghadiri Resepsi
Kongres Persadja di Balai Kota Semarang pada 7 Agustus 1955, yang dihadiri
ketua Parlemen Sartono, Jaksa Agung Soeprapto dan Menteri Kehakiman demisioner Djodi Gondokusumo, jaksa menangkap Djodi. Tuduhan untuk
Ketua Partai Rakyat Nasional ini adalah menerima
suap dalam pengurusan visa Bong Kim Tjong. Kasus ini dilaporkan oleh Tan Po
Goan, seorang advokat yang juga
anggota Partai Sosialis Indonesia ( dikutip dari Edisi Khusus Hari Kemerdekaan
TEMPO, Edisi 13 – 19 Austus 2007, Pergulatan Demokrasi Liberal 1950-1959: Zaman
Emas atau Hitam. Sub Judul: Tak Pasti
Karena si Bung, Hal : 55). Djodi Gondokusumo pada tanggal 12 Agustus 1955 pukul
empat seperempat dijemput truk Powerwagon
berlambang Korps Polisi Militer di rumahnya, jalan Teuku Umar 44, Menteng,
Jakarta Pusat. Djodi ditangkap dengan tuduhan korupsi. Dalam penangkapan itu Djodi
mengenakan jas wol dan berdasi. Kejaksaan bergerak cepat. Beberapa jam setelah
penagkapan itu, kejaksaan menggeledah sebuah rumah di jalan Kenari 22, Jakarta, yang sering
dikunjungi Djodi. Dalam brankas di rumah itu, ditemukan uang kertas Rp. 135
ribu (jumlah yang tak sedikit kala itu). Keesokan harinya, penangkapan
dilanjutkan. Satu demi satu, kaki tangan Djodi di kantor Jawatan Imigrasi,
Partai Rakyat Nasional dan Kementerian Kehakiman diambil kejaksaan. Tak kurang
dari sepuluh orang ditangkap di hari kedua, termasuk dua jaksa yang bekerja di Biro
Pengawasan Orang Asing Jawatan Imigrasi. Dua pekan kemudian rekening Bank Djodi
dibekukan. Keluarga Gondokusumo pada tanggal 29 Agustus 1955, istrinya menemui
Jaksa Agung dan Wakil Kepala Staf Angkatan Darat Kolonel Zulkifli Lubis,
meminta Djodi diberi status tahanan luar. Permintaan ini ditolak hari itu juga.
Setelah Djodi, ada empat mantan menteri yang diperiksa atas tuduhan yang sama.
Sepekan kemudian setelah penangkapan Djodi, kasus pidana ini mulai jelas. Kejaksaan
Agung mengaku memiliki bukti bahwa Djodi menyalahgunakan kedudukannya sebagai
menteri dengan menerima suap dari orang asing yang mengurus visa kunjungan ke Indonesia.
Hal ini berawal dari laporan anggota parlemen dari PSI Tan Po Goan. September
1954, dia mengkritik keras tindakan Menteri Kehakiman yang mengusir Tjong Hoen Njie,
aktivis Kuo Min Tang. Goan yang juga
advokat mengaku dihalang-halangi saat berusaha melihat dokumen keimigrasian
Njie. Dari Pengusiran Njie, Goan bergerak. Dari seorang kawan, dia berkenalan
dengan Ie Van Tjhong, serorang calo di Kementerian Kehakiman dan Kejaksan
Agung. Dari dia dapatlah informasi adanya perpanjangan visa tidak wajar untuk seorang
Tionghoa bernama Bon Kim Tjong dengan imbalan Rp. 40 ribu. Informasi itu tidak
gratis. Goan harus merogoh koceknya sendiri untuk membeli semua dokumen soal
skandal Djodi dengan harga Rp. 6.000. Kemudian dokumen tersebut digandakan dan
diserahkan pada harian Keng Po dan Kejasaan
Agung. Dari sanalah aparat hukum mulai mengendus jejak korupsi Djodi. Selain
bukti disposisi dari Menteri DJodi yang menyetujui perpanjangan visa Bong Kim
Tjong, ada kuitansi senilai Rp. 20 ribu yang menegaskan uang Bong telah diterima
sebagai sokongan untuk Partai Rakyat Nasional. Uang tersebut dibayar pada
Desember 1954 dan diterima calo kementrian kehakiman bernama Notopuro. Calo ini
lalu menyetor duit suap itu kepada Subagio, anggota staf khusus Menteri Djodi,
yang juga pengurus PRN. Kurang dari dua bulan setelah penangkapan, 3 Oktober
1955, sidang Djodi di Mahkamah Agung dimulai. Mengacu pada UUD sementara 1950,
pengadilan untuk pejabat tinggi negara dilakukan di MA. Pengadilan ini
dipimpin ketua majelis hakim Satochid
kartanegara. Pada Januari 1956 hakim
Satochid menjatuhkan vonis satu tahun penjara untuk Djodi. Setahun lebih
ringan dari tuntutan jaksa. Lima
bulan kemudian, Presiden Soekarno mengurangi separuh hukumannya. September 1956
setelah enam bulan dipenjara, Djodi keluar dari penjara Cipinang ( dikutip dari
Edisi Khusus Hari Kemerdekaan TEMPO, Edisi 13 – 19 Austus 2007, Pergulatan
Demokrasi Liberal 1950-1959: Zaman Emas atau Hitam. Sub Judul: Menghalau Korupsi di Awal
Republik, Hal : 58 - 59).
Perkara
lain adalah Perkara Menteri Luar Negeri Roeslan Abdulgani, yang juga dituduh
menerima uang Rp. 1,5 juta dari Wakil Direktur Percetakan Negara, Lie Hok Thay.
Roelan ditangkap dengan surat
perintah Kolonel Kawilarang Panglima Tentara Teritorium III Siliwangi, 13
Agustus 1956. Padahal saat itu Roeslan ada tugas dari Perdana Menteri untuk
mengikuti konferensi di London dan harus berangkat pagi itu ( dikutip dari
Edisi Khusus Hari Kemerdekaan TEMPO, Edisi 13 – 19 Austus 2007, Pergulatan
Demokrasi Liberal 1950-1959: Zaman Emas atau Hitam. Sub Judul: Tak Pasti Karena si Bung, Hal :
56). Kasus tersebut terceritakan seperti
ini: Sekitar pukul 6 pagi, 13 Agustus 1956, sesuatu yang tak biasa terjadi di
rumah Menlu Roeslan Abdulgani, di jalan Diponegoro, Jakarta. Roeslan tengah bersiap ke Bandara
Kemayoran. Dia akan memimpin kontingen Indonesia
mengikuti konferensi internasional tentang suez
di London.
Tiba-tiba sebuah jip yang dikendarai dua tentara masuk ke halanan rumahnya.
Mereka membawa surat
perintah Kolonel Kawilarang Panglima Tentara Teritorium III Siliwangi untuk
menangkap Roeslan. Tuduhannya karena dia terlibat korupsi di Percetakan Negara.
Wakl Direktur Percetakan Negara Lie Hok Thay yang lebih dulu ditangkap, mengaku
memberikan uang haram sejumlah Rp. 1,5 juta kepada Roeslan. Dalam situasi yang
mencekam itu Nyonya Roeslan teringat untuk menghubungi Perdana Menteri Ali
Sastroamidjojo. Ali terkejut, lalu minta bicara dengan tentara yang bertugas.
Dia memerintahkan agar penangkapan dibatalkan, tapi si petugas menolak. Baru
setelah Ali menghubungi Komandan Satuan Angkatan Darat (KSAD) Jenderal A.H.
Nasution, kedua orang itu mundur Roeslan akhirnya berangkat ke London. Kasus korupsi di
Percetakan Negara bermula dari laporan kepala urusan pegawai Kementerian Penerangan
kepada menteri Sudibyo pada pertengahan 1955. Isinya: telah terjadi kekacauan dalam pengelolaan percetakan negara: ada
indikasi korupsi dan suasana kerja yang amburadul akibat cekcok antara Direktur
Pieter de Queljoc dan HOk Thay. Laporan tersebut menyarankan Menteri
memecat dua pejabat itu. Sudibyo tidak mengambil tindakan. Hal ini membuat para
pemuda marah. Mereka menculik Hok Thay dan menyerahkannya kepada polisi pada 17
Juli. Dalam pemeriksaan polisi yang dipimpin langsung oleh kepala kepolisian
Jakarta Komisaris Besar Djen Mohamad itulah Hok Thay mengaku bahwa berberapa
pejabat, termasuk Roeslan, ikut menikmati hasil korupsinya. Untuk kasus ini
pemerintah kemudian membentuk komisi khusus di bawah pimpinan Mohamad Roem
untuk klarifikasi korupsi Roeslan. Salah satu anggotanya adalah Jaksa Agung. Hasilnya
tak ditemukan bukti Roeslan terlibat korupsi. Pada bulan Desember jaksa Agung memeriksa
Mochtar Lubis. Mochtar didakwa telah menghina dan menyatakan perasaan kebencian
kepada pejabat pemerintah.Yang dimaksud adalah berita-berita mengenai Roeslan
di Indonesia Raja. Di Pengadilan,
mochtar menunjukkan fotokopi dokumen pemeriksaan polisi atas Hok Thay yang
berisi pengakuan bahwa Roeslan menerima sejumlah uang darinya. Mochtar
dibebaskan pada 30 Juli 1957. Fakta lain yang terungkap dalam pengadilan:
Roeslan pernah menerima uang US$ 11 ribu dari Hok Thay saat mengikuti Presiden
Soekarno melawat ke Washington
pada Mei 1956. Soeprapto menelusuri kasus ini dan membawanya ke Mahkamah Agung
dengan dakwaan Roeslan telah membawa dolar ke luar negeri tanpa izin dari
Lembaga Alat Alat Pembayaran Luar Negeri. Roeslan disidangkan di Mahkamah
Agung. Sidang berakhir pada 13 April 1957, Majelis Hakim Agung pimpinan R.S.
Kartanegara memvonis Roeslan bersalah.
Hukumannya adalah denda Rp. 5.000 ( dikutip dari Edisi Khusus Hari
Kemerdekaan TEMPO, Edisi 13 – 19 Austus 2007, Pergulatan Demokrasi Liberal
1950-1959: Zaman Emas atau Hitam. Sub
Judul: Menjerat dengan Aturan Devisa hal : 60-61).
[1]
Suprapto, 1985:152-153
[2] Ibid hal
153 - 155
[3] Ibid,
hal 155 - 159
[4] Ibid,
hal 162 - 163
[5] Ibid,
hal 159 - 161
[6] Ibid,
hal 162 - 163
[7] Ibid,
hal 164 - 165
[8] Ibid, hal
166 - 167
[9] Ibid,
hal 167 - 168
[10] Ibid,
hal 168
[11] Ibid,
hal 174
[12] Ibid,
hal 174
[13] Ibid,
hal 175
[14] Ibid,
hal 176 - 177
[15] Ibid,
hal 177
[16] Ibid,
hal 177 - 178
[17] Ibid,
hal 180 - 183
[18] Ibid,
hal 183-187
[19] Ibid,
hal 187-188
[20] Ibid,
Hal 189 - 190
[21] Ibid,
Hal 193
[22] Ibid,
Hal 190 – 191
[23] Ibid,
Hal 192
[24] Ibid,
Hal 194 - 200