SEJARAH
MARITIM KERAJAAN MAJAPAHIT
(Sistem
Pemerintahan, Sosial, Eknomi, dan Kebudayaan Serta Pengaruhnya Dalam Kehidupan
Masyarakat Indonesia Pada Masa Kini)
Oleh
Naniek Yuliyanti, S.Pd.
Kompetensi Dasar
3.1 Menganalisis
kerajaan-kerajaan
maritim Indonesia pada masa Hindu dan Buddha dalam sistem pemerintahan, sosial,
ekonomi, dan kebudayaan serta pengaruhnya dalam kehidupan masyarakat Indonesia
pada masa kini.
4.1
Menyajikan hasil analisis tentang
kerajaan-kerajaan maritim Indonesia pada masa Hindu dan Buddha dalam sistem
pemerintahan, sosial, ekonomi, dan kebudayaan serta pengaruhnya dalam kehidupan
masyarakat Indonesia pada masa kini dalam bentuk tulisan dan/atau media lain.
Lokasi Geografis
Ibu Kota
Lokasi pusat
kerajaan Majapahit ada di dekat Trowulan yang letaknya kurang lebih 10 Km di
sebelah Baratdaya Mojokerto sekarang. Dugaan ini dilandaskan pada banyaknya
penemuan di desa-desa di situ berupa fondasi bangunan, candi, gapura, reservoir
(tempat
menyimpan barang-barang cadangan ) air
dan umpak-umpak rumah. Hasil penemuan barang-barang pakai, perhiasan dan patung-patung kini masih
dapat dilihat di museum arkeologi Trowulan. Kerajaan ini disebelah Utaranya
terhampar dataran banjir kali Brantas sedang disebelah Selatan dan Tenggaranya
sejauh kurang lebih 25 Km menjulang tinggi kompleks gunung Anjasmoro, Arjuna
dan Welirang dengan ketinggian antara 2000 dan 3000 m (Daldjoeni N, 1992
: 109).
Mengenai lokasi pelabuhan Majapahit
hasil penelitian diperkirakan kali Surabaya (kali Mas) semula merupakan alur
pelayaran yang penting karena menghubungkan Majapahit dengan daerah luar.
Adapun sungai Brantas sebagai cabang kali Brantas dapat dilayari untuk
mendekati pusat kerajaan, paling tidak sampai daerah Japaran. Dari titik ini
untuk sampai ke pusat kerajaan tinggal ditempuh jarak 8 – 10 Km (Daldjoeni N,
1992 : 109).
Politik
Sriwijaya yang
berkembang pesat di dunia Melayu ini sejalan dengan perkembangan kekuasaan
politik kerajaan-kerajaan di Jawa. Kompetisi dan konflik antara Sriwijaya dan
kerajaan-kerajaan di Jawa menunjukkan intensitas tinggi ketika pusat kerajaan
Mataram dipindahkan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Raja Sendok (929-947),
telah memindahkan istana dan ia diakui sebagai pendiri dinasti baru (Isyana)
yang memerintah di Jawa Timur sampai 1222. Salah satu motif pemindahan ini
adalah untuk menghindari konflik dengan Sriwijaya. Munculnya kekuatan politik
di Jawa Timur memberikan dampak yang signifikan bagi perekonomian daerah di
kawasan pantura Jawa bagian Timur pada khususnya dan kepulauan Indonesia pada
umumnya. Berbeda dengan kerajaan Mataram di Jawa Tengah yang diyakini sangat
bergantung pada ekonomi pertanian sawah, wilayah pesisir dan lembah-lembah sungai
di Jawa Timur pada waktu itu belum berkembang sebagai daerah-daerah pertanian
yang surplus yang dapat mendukung kekuatan politik kerajaan baru ini. Oleh
karena itu, sejak periode awal raja-raja Jawa Timur memberi perhatian yang
lebih terhadap perdagangan maritim. Hubungan perdagangan diselenggarakan baik
dengan kawasan Timur kepulauan Indonesia (seperti Maluku) maupun dengan kawasan
bagian Barat (seperti dengan orang-orang Sumatra dan Semenanjung Malaya yang
pada waktu itu masih di bawah dikuasai oleh kerajaan Sriwijaya). Persaingan dan
konflik militer kemaritiman antara kekuatan Jawa dan Sriwijaya memuncak pada masa
Jawa berada di bawah kerajaan Majapahit sejak akhir abad ke-13. Jika pada masa
kerajaan Singasari (pendahulu Majapahit) upaya untuk melakukan ekspansi maritim
ke kawasan Nusantara bertujuan untuk menjadikan seluruh Nusantara di bawah
lindungan Singasari untuk menghadapi
ekspansi Mongol, maka ekspansi yang dilakukan oleh Majapahit terutama ditujukan
untuk menguasai sumber-sumber ekonomi maritim di Nusantara secara umum. Jika pada masa Kertanegara, Pan-Nusantara
dicapai dengan jalan diplomasi yang persuasif untuk menyadarkan adanya bahaya
luar, dengan cara membina hubungan spiritual, dan lewat perkawinan politis dan
magis dalam rangka untuk menciptakan front antiekspansi Mongol di Asia
Tenggara, maka Pan-Nusantara jaman Majapahit dilanjutkan dengan peneguhan
kekuasaan secara politik dan dalam beberapa kasus juga dengan cara-cara
militer. Di dalam kitab Pararaton dan Negarakertagama disebutkan sekitar 98
daerah vassal Majapahit antara lain
Palembang, Jambi, Kampar, Siak, Rokan, Lamuri, Barus, Haru di Sumatra; Pahang,
Kelang, Sai dan Trengganu di Semenanjung Malaya; Sampit, Kapuas, Barito, Kutai
and Sedu di pulau Kalimantan; Butung, Luwuk, Banggai, Tabalong di Sulawesi; Wandan
di Maluku; Seran di Irian; Sumba dan Timor di Nusatenggara.
Di samping itu
juga diinformasikan mengenai negara-negara sahabat Majapahit seperti Siam,
Burma, Champa, Vietnam, Cina, dan Benggala. Negara-negara sahabat ini memiliki
hubungan ekonomi dengan Majapahit. Meskipun daftar kerajaan yang berada di
bawah kekuasaan Majapahit itu banyak yang meragukan, namun tidak ada alasan
untuk meragukan bahwa tempat tempat yang disebutkan dalam daftar itu telah
dihubungkan dengan jaringan maritim lewat aktivitas perdagangan. Bahkan
ekspedisi Cheng Ho antara tahun 1405 dan 1433, yaitu ketika Majapahit sudah
mulai melemah, mengakui bahwa perdagangan Jawa masih kuat dan bersumber dari
kemampuan pelayarannya sendiri. Bahkan misi dagang ke Cina dipandangnya
bertujuan untuk mengembangkan perdagangan lokal mereka sendiri. Kampanye Majapahit
untuk melakukan ekspansi ke kawasan seberang dimulai sekitar tahun 1347.
Politik ekspansi ini telah diletakkan oleh Mahapatih Gajah Mada. Dalam
sumber-sumber tradisional ia diceritakan telah mengucapkan sumpah untuk tidak
makan buah palapa atau tidak akan menikmati kesenangan hingga seluruh wilayah
Nusantara berada di bawah kekuasaan Majapahit. Sebagaimana dikatakan sebelumnya
bahwa bagaimana persisnya wilayah kekuasaan kerajaan Majapahit masih merupakan
kontroversi. Namun demikian hampir tidak
bisa diragukan bahwa tentunya armada laut Majapahit secara periodik melakukan
kunjungan ke berbagai wilayah di Nusantara untuk memperoleh pengakuan formal
atau sekedar pamer kemegahan armada kerajaan sehingga mendorong penguasa lokal
untuk memberikan upeti kepada Majapahit mungkin secara sukarela. Sudah
barang tentu kekuatan jaringan dan armada dagang Majapahit akan mampu
memberikan sanksi kepada penguasa lain yang menunjukkan sikap bermusuhan kepada
Majapahit. Dalam salah satu ulasannya mengenai perkembangan kota Malaka sejak
akhir abad ke-14, R.J. Wilkinson mengatakan bahwa kota ini berkembang dari
sebuah desa nelayan yang dihuni oleh suku Sakai-Laut (Orang Laut) menjadi kota
perdagangan yang penting adalah sebagai akibat dari ekspansi yang dilakukan
oleh kerajaan Majapahit terhadap berbagai kota penting di sekitar Selat Malaka.
Dia menggambarkan bahwa secara tiba-tiba Majapahit menempatkan diri sebagai
bangsa penakluk di kawasan Asia Tenggara. Dengan
menggunakan armadanya, Majapahit telah menyapu sisa-sisa pusat kerajaan
Sriwijaya di Palembang. Selain itu armada Majapahit juga melakukan penaklukan
terhadap Singapura. Demikian juga ekspedisi Majapahit juga telah menaklukkan
pelabuhan penting di ujung utara Sumatra yaitu Pasai dan selanjutnya Langkasuka
(Ligor). Rangkaian penaklukan terhadap kota-kota pelabuhan tersebut (antara
tahun 1370-1380) menurut Wilkinson telah mendorong berkembangnya kota Malaka.
Perkembangan ini berkaitan dengan migrasi para pedagang dari kota-kota itu
menuju ke Malaka dan selanjutnya menjadikanya sebagai kota dagang internasional
yang bersifat kosmopolitan. Jadi rangkaian penaklukan Majapahit mendorong
perkembangan kota Malaka yang menurut sumber-sumber lokal juga didirikan oleh
keturunan orang Majapahit dari Palembang. Ada pula yang menyangsikan apakah
memang betul bahwa Majapahit merupakan kerajaan maritim mengingat ibukota
majapahit itu sendiri tidak terletak di tepi pantai, tetapi berada di
pedalaman. Berdasarkan catatan Ma Huan yang menyertai ekpedisi Cheng Ho pada
waktu Majapahit masih berdiri dapat
diketahui adanya informasi bahwa Majapahit memiliki empat kota penting yaitu Tu-Pan
(Tuban), Ko-erh-his (Gresik), Su-erh-pa-ya (Surabaya), dan
ibukota Man-che-po-I (Majapahit). Ma Huan juga mengambarkan berbagai
tempat yang merupakan pintu gerbang menuju ibukota Majapahit. Ia mengatakan
bahwa dari Surabaya kapal-kapal kecil dapat berlayar sejauh 70 hingga 80 li (sekitar
sepertiga mile) hingga mencapai pelabuhan Canggu sebagai tempat berlabuh.
Selanjutnya perjalanan menuju ke arah barat daya selama satu setengah hari akan
mencapai ibukota Majapahit. Dari keterangan Ma Huan tersebut dapat disimpulkan bahwa memang betul ibukota
Majapahit berada di pedalaman namun sebagian perjalannya masih bisa ditempuh
dengan menggunakan kapal kecil. Dari
segi geostrategi, letak ibukota yang demikian ini justru sangat menguntungkan
mengingat bahwa ibukota kerajaan yang berada di tepi pantai akan lebih rentan
terhadap serangan musuh dari laut yang sangat terbuka. Hal ini juga sama
dengan Cina yang meskipun ibukotanya ada di pedalaman namun tidak selalu berarti
menjauhkan diri dari aktivitas kebaharian. Selain itu Majapahit juga memiliki pelabuhan-pelabuhan penting sebagai pusat
kegiatan kemaritiman seperti Tuban, Canggu, Gresik, Surabaya, dan sebagainya.
Pentingnya transportasi laut dan sungai bisa diterima secara akal sehat
mengingat wilayah Majapahit khususnya daerah di sekitar ibukota merupakan hutan
pegunungan dengan sungai-sungai besar. Di sini peranan sungai Brantas sebagai media transportasi menjadi sangat penting.
Pada waktu itu kapal-kapal laut masih bisa berlabuh di pelabuhan Canggu yang
merupakan pelabuhan sungai besar yang dekat dengan ibukota Majapahit. Duarte
Barbosa yang pernah singgah di Jawa pada perempatan pertama abad ke-16
mengatakan bahwa di samping memiliki jung-jung untuk pelayaran samudera,
orang-orang Jawa juga memiliki kapal yang ‘well-built light vessels propelled
by oars’ yang biasanya digunakan untuk aktivitas perompakan. Kemampuan armada dagang Majapahit tidak
dapat diragunakan lagi untuk melayari laut-laut di Nusantara tetapi juga
samudera lepas dalam perdagangan internasional. Tome Pires yang datang di Jawa
pada awal abad ke-16 mengatakan bahwa seratus tahun sebelum ia datang, Jawa
memiliki kekuasaan yang sangat besar di mana kapal-kapalnya berlayar hingga
mencapai Aden dan Majapahit memiliki hubungan dagang utama dengan kerajaan
Keling (India), Benggala, dan Pasai (Dikutip dari Jurnal Ilmiah dengan
judul Paradigma Maritim dalam Membangun Indonesia : Belajar Sejarah oleh
Singgih Tri Sulistiyono. https://jurnal.ugm.ac.id/lembaran-sejarah/article/download/33461/20140 diakses hari Kamis 30 Agustus 2018 Pukul 15.02
WIB).
Ekonomi
Kerajaan Majapahit berkembang bukan hanya dari basis
ekonomi pertanian namun juga pengembangan kegiatan pelayaran dan perdagangan
sebagai sebuah negara maritim. Perdagangan laut itu bukan hanya
dilakukan antara satu daerah dengan daerah lain di Nusantara, tetapi juga
perdagangan internasional dengan kawasan yang lebih luas. Pigeaud berpendapat bahwa barang-barang impor telah dikenal
oleh masyarakat Majapahit hingga pedalaman seperti tekstil dari India dan
barang-barang dari Cina seperti mata uang, barang-barang pecah belah dan batu
mulia. Chao Ju-Kua memberikan kesaksian bahwa komoditas Cina yangdibeli oleh
para pedagang Jawa mencakup emas, perak, sutera, pernis, dan porselin. Begitu
berkembangnya daya beli para pedagang Jawa sehingga menyebabkan Kekaisaran Cina
pernah melarang perdagangan dengan Jawa karena menyebabkan terjadinya
penyedotan mata uang Cina ke Jawa melalui perdagangan rempah-rempah, khususnya
lada Perlu diingat bahwa Tome Pires yang berkunjung di pelabuhan – pelabuhan di
Jawa pada awal abad ke-16 mendengarkan dengan telinganya sendiri bahwa
kebesaran Majapahit sudah beredar di kalangan banyak orang pada waktu itu (Dikutip
dari Jurnal Ilmiah dengan judul Paradigma Maritim dalam Membangun Indonesia :
Belajar Sejarah oleh Singgih Tri Sulistiyono. https://jurnal.ugm.ac.id/lembaran-sejarah/article/download/33461/20140 diakses hari Kamis 30 Agustus 2018 Pukul 15.02
WIB).
Keberadaan
sungai dan pelabuhan selain digunakan sebagai pendukung faktor ekonomi juga
digunakan sebagai jalur diplomasi, politik, penyebaran agama, dan kebudayaan.
Kondisi tersebut sangat berpengaruh terhadap berkembangnya kota Trowulan. Dalam
prasasti Canggu atau prasasti Trowulan I disebutkan bahwa terdapat 44 desa
penyeberangan di tepi Sungai Brantas. Adanya desa-desa penyeberangan tersebut kemudian
berkembang menjadi pelabuhan sungai yang besar seperti Canggu, Bubat, dan
Terung. Persebaran desa penyeberangan di Sungai Brantas mempertegas posisi sungai
tersebut sebagai sarana transportasi dan perdagangan yang menghubungkan daerah hulu dengan daerah hilir.
Fakta
menarik dari masyarakat Majapahit adalah gemar menabung. Kebiasaan ini
dibuktikan dengan penemuan celengan disitus Trowulan (Darini, 2016 : 24) .
Sosial
Rakyat
Majapahit kelompok masyarakatnya berdasarkan pekerjaan (profesi). Antara lain
petani, pedagang dan pengrajin. Masyarakat Majapahit menghargai adanya
perbedaan atau kemajemukan budaya, agama dan adat istiadat. Hal ini dibuktikan
dengan banyak penduduk berasal dari Samudra Pasai, Malaka dan Cina yang tinggal
di Majapahit. Ini dibuktikan dalam kita Sutasoma karangan Mpu Tantular dengan
kalimat Bhineka Tunggal Ika yang memiliki arti berbeda-beda tapi tetap
satu. Toleransi
beragama telah tercipta di jaman Majapahit, yang dapat terlihat dari keberadaan
makam-makam Islam (makam Troloyo) di dekat pusat Kerajaan Majapahit (Fenomena Islam Pada Masa Kebesaran Kerajaan
Majapahit karya Muhammad
Chawari hal 190 dalam E Book berjudul Majapahit Batas Kota dan Jejak Kejayaan di Luar Kota dikutip
dari http://repositori.kemdikbud.go.id/2054/1/Buku%20Majapahit2.pdf diakses hari minggu, 15 September 2019
pukul 07.14 WIB). Ini bukti bahwa pluralisme
dan multikulturalisme sesungguhnya sudah merupakan suatu keniscayaan bagi
bangsa ini. Ia sudah ada sejak dulu, jauh sebelum negeri ini menjadi sebuah bangsa
berdaulat. Keberadaan makam-makam Islam di tengah-tengah pemerintahan Majapahit
yang bercorak Hindu Buddha adalah bukti sejarah bahwa sejak dulu nenek moyang
bangsa Indoensia menghargai perbedaan. Bahwa Toleransi antar umat beragama
sudah mendapat tempat dalam tatanan kehiduapan sehari-hari (Melihat Trowulan Membaca Peradaban dalam
Kompas, Rabu 20 September 2006 Hal. 14).
Menurut Ma Huan ada tiga golongan warga di Majapahit yaitu
Muslim yang datang sebagai pedagang dari Barat, yang kedua orang Cina dinasti
Tang yang juga Muslim dan warga pribumi yang beragama Hindu Budha (Metropolitan
Yang Hilang oleh Mahandis Y. Tamrin dalam majalah National Geographic Indonesia
September 2012 hal. 26). Ma Huan juga melukiskan bahwa orang-orang Majapahit
menggemari barang-barang Cina seperti keramik biru, kain sutra berhias benang
emas, kesturi, dan manik-manik.
Kebudayaan
Sebagai negara besar di Kepulauan
Nusantara, bandar-bandar Majapahit tentu ramai dengan perdagangan yang melewati
jalur laut. Perahu-perahu niaga akan sibuk berlalu-lalang. Pelabuhan- pelabuhan
penting pada masa Majapahit diantaranya adalah: Gresik; Sidhayu; Tuban,
Surabhaya, Pasuruhan dan Canggu. Bukti- bukti keberadaan pelabuhan-pelabuhan
niaga tersebut disebutkan dalam berbagai prasasti, Kitab-kitab kuno dan berita-berita
yang ditulis para musafir. Namun, keberadaan pelabuhan-pelabuhan tersebut tidak
serta-merta disertai dengan deskripsi yang gamblang tentang perahu-perahu pada
masa itu, yang dipakai untuk berniaga di pelabuhan-pelabuhan tersebut. Indikasi
samar-samar tentang jenis perahu yang dipakai orang Majapahit dapat diambil
dari Kidung Sunda. Semua naskah kidung berasal dari Bali namun tidak dapat
dipastikan apakah ditulis di Bali atau di Jawa. Pengarang tidak diketahui,
kemungkinan ditulis sesudah tahun 1540. Meskipun Kidung Sunda adalah sepenuhnya
karya sastra yang tidak bisa dijadikan pegangan sejarah, tetapi, kisah yang
diceritakannya kemungkinan berasal dari fakta sejarah. Pupuh I Madhu tiba di
tanah Sunda setelah berlayar selama enam hari kemudian menghadap raja Sunda.
Sang raja senang, putrinya dipilih raja Majapahit yang ternama tersebut. Tetapi
putri Sunda sendiri tidak banyak berkomentar. Maka Madhu kembali ke Majapahit
membawa surat balasan raja Sunda dan memberi tahu kedatangan mereka. Tak lama
kemudian mereka bertolak dari Sunda disertai banyak sekali iringan. Mereka
berlayar dengan 200 perahu besar dengan banyak perahu-perahu kecil yang menyertai
Jumlah keseluruhan perahu-perahu tersebut setidaknya 2000 buah. Namun sebelum
rombongan bangsawan Sunda ini naik ke perahu, mereka melihat ada pertanda
buruk. Perahu yang dinaiki Raja, Ratu dan Putri Sunda adalah sebuah “Jung
Tatar, yang semenjak Perang Wijaya secara umum memang banyak dipakai (Menelusuri
Rancang Bangun Perahu Pada Masa Kerajaan Majapahit Studi Persiapan Samodra
http://www.pskbpi.its.ac.id/wp-content/uploads/FGD_PSKBPI_2_Menelusuri-Bentuk-Perahu-Majapahit.pdf diakses hari
Minggu, 15 September 2019 pukul 07:07 WIB)
Penyebutan Jung Tatar pada kidung
ini, mengindikasikan bahwa ada jenis Jung Lain atau setidaknya perahu jenis
lain yang secara politik dan psikologis tidak mengingatkan orang pada konflik
di awal berdirinya Kerajaan Majapahit Jung Jawa Pada Akhir Masa Kerajaan
Majapahit Dari beberapa naskah, didapat sedikit penjelasan tentang bentuk dari
Jung Jawa. Catatan paling utama di dapat dari orang-orang Portugis yang secara
langsung terlibat konflik dengan Pasukan Ekspesidi dari jawa pada tahun 1511.
Dengan demikian patut diduga bahwa pada masa Majapahit bentuk-bentuk ini tentu
secara umum masih banyak dijumpai. Sampai saat ini belum ditemukan bukti bahwa
bentuk lambung Perahu Borobudur, masih dipakai sampai masa Majapahit. Pada masa
Majapahit, setidaknya pada periode akhir, terdapat jenis perahu yang disebut
dengan Jung Jawa. Untuk menentukan bentuk dari Jung Jawa pada masa akhir
Majapahit ini diperlukan penelitian lebih lanjut. Pada pupuh LXVI
Nagarakrtagama dijelaskan pula sarana transportasi bergerak selain didarat
adalah sarana transportasi air berupa perahu. Dijelaskan dalam Negarakrtagama :
“ pada hari keenam pagi Sri Baginda bersiap mempersembahkan persajian. Pun para
kesatria dan pembesar mempersembahkan rumahrumahhan yang terpikul. Dua orang
pembesar mempersembahkan perahu yang melukiskan kutipan kidung. (Seperahu
sungguh besarnya, diiringi gong dan bubar mengguntur menggembirakan Menelusuri
Rancang Bangun Perahu Pada Masa Kerajaan Majapahit Studi Persiapan Samodra
http://www.pskbpi.its.ac.id/wp-content/uploads/FGD_PSKBPI_2_Menelusuri-Bentuk-Perahu-Majapahit.pdf diakses hari
Minggu, 15 September 2019 pukul 07:07 WIB).
Pada saat peresmian daerah perdikan
Majapahit jenis makanan yang disediakan dalam acara tersebut. Tak diduga, cara
penyajian makanan masa itu tidak jauh berbeda dengan masa sekarang. Seperti
nasi tumpeng dengan lauk pauk. Lauk pauk seperti daging kerbau, kijang, babi,
ayam, angsa dan berbagai jenis ikan. Lauk diolah dengan diasinkan, diasamkan,
diasap, dipanggang hingga direbus. Seperti gunungan, ada sayur sayurannya. Tempat
makannya memakai daun pisang (Metropolitan Yang Hilang oleh Mahandis
Y. Tamrin dalam majalah National Geographic Indonesia September 2012 hal 29).
Sumber Buku
Hamid,
Abd Rahman. 2015. Sejarah Maritim
Indonesia. Yogyakarta : Penerbit Ombak
Daldjoeni, N. 1992. Geografi Kesejarahan II
Indonesia. Bandung : Penerbit Alumni
Darini, Ririn, Ringo Rahata, Wahjudi Djaja, Mulyadi.
2016. Buku Siswa Sejarah Untuk SMA/MA Kelas XI. Klaten : Penerbit
Cempaka Putih
Sumber
Surat Kabar dan Majalah
Melihat Trowulan Membaca Peradaban dalam Kompas,
Rabu 20 September 2006 Hal. 14
Metropolitan Yang Hilang oleh Mahandis Y. Tamrin dalam majalah
National Geographic Indonesia September 2012
Sumber
Jurnal Ilmiah (Internet) :
SEJARAH MARITIM INDONESIA MENELUSURI JIWA BAHARI
BANGSA INDONESIA DALAM PROSES INTEGRASI BANGSA (Sejak Jaman Prasejarah Hingga
Abad XVII) oleh Safri Burhanuddin, A.M. Djuliati Suroyo, Endang Susilowati,
Singgih Tri Sulistyono, Agus Supriyono, Sutejo Kuat Widodo, Ahmad Najid, Dini
Purbani. UNDIP https://kalamkopi.files.wordpress.com/2017/04/dep-kelautan-sejarah-maritim-indonesia.pdf diakses hari Rabu tanggal 1 Agustus 2018 pukul 12:05 WIB
Paradigma
Maritim dalam Membangun Indonesia : Belajar Sejarah oleh Singgih Tri
Sulistiyono. https://jurnal.ugm.ac.id/lembaran-sejarah/article/download/33461/20140 diakses hari Kamis 30 Agustus 2018 Pukul 15.02 WIB
Menelusuri
Rancang Bangun Perahu Pada Masa Kerajaan Majapahit Studi Persiapan Samodra
http://www.pskbpi.its.ac.id/wp-content/uploads/FGD_PSKBPI_2_Menelusuri-Bentuk-Perahu-Majapahit.pdf diakses hari
Minggu, 15 September 2019 pukul 07:07 WIB
E Book berjudul Majapahit Batas Kota dan
Jejak Kejayaan di Luar Kota dikutip dari
http://repositori.kemdikbud.go.id/2054/1/Buku%20Majapahit2.pdf diakses hari minggu, 15 September 2019
pukul 07.14 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar