Rabu, 18 September 2019

SEJARAH MARITIM KERAJAAN MAJAPAHIT


SEJARAH MARITIM KERAJAAN MAJAPAHIT
(Sistem Pemerintahan, Sosial, Eknomi, dan Kebudayaan Serta Pengaruhnya Dalam Kehidupan Masyarakat Indonesia Pada Masa Kini)
Oleh Naniek Yuliyanti, S.Pd.

Kompetensi Dasar
3.1 Menganalisis kerajaan-kerajaan maritim Indonesia pada masa Hindu dan Buddha dalam sistem pemerintahan, sosial, ekonomi, dan kebudayaan serta pengaruhnya dalam kehidupan masyarakat Indonesia pada masa kini.
4.1 Menyajikan hasil analisis tentang kerajaan-kerajaan maritim Indonesia pada masa Hindu dan Buddha dalam sistem pemerintahan, sosial, ekonomi, dan kebudayaan serta pengaruhnya dalam kehidupan masyarakat Indonesia pada masa kini dalam bentuk tulisan dan/atau media lain.

Lokasi Geografis Ibu Kota
Lokasi pusat kerajaan Majapahit ada di dekat Trowulan yang letaknya kurang lebih 10 Km di sebelah Baratdaya Mojokerto sekarang. Dugaan ini dilandaskan pada banyaknya penemuan di desa-desa di situ berupa fondasi bangunan, candi, gapura, reservoir (tempat menyimpan barang-barang cadangan ) air dan umpak-umpak rumah. Hasil penemuan barang-barang  pakai, perhiasan dan patung-patung kini masih dapat dilihat di museum arkeologi Trowulan. Kerajaan ini disebelah Utaranya terhampar dataran banjir kali Brantas sedang disebelah Selatan dan Tenggaranya sejauh kurang lebih 25 Km menjulang tinggi kompleks gunung Anjasmoro, Arjuna dan Welirang dengan ketinggian antara 2000 dan 3000 m (Daldjoeni N, 1992 : 109).
Mengenai lokasi pelabuhan Majapahit hasil penelitian diperkirakan kali Surabaya (kali Mas) semula merupakan alur pelayaran yang penting karena menghubungkan Majapahit dengan daerah luar. Adapun sungai Brantas sebagai cabang kali Brantas dapat dilayari untuk mendekati pusat kerajaan, paling tidak sampai daerah Japaran. Dari titik ini untuk sampai ke pusat kerajaan tinggal ditempuh jarak 8 – 10 Km (Daldjoeni N, 1992 : 109).

Politik
Sriwijaya yang berkembang pesat di dunia Melayu ini sejalan dengan perkembangan kekuasaan politik kerajaan-kerajaan di Jawa. Kompetisi dan konflik antara Sriwijaya dan kerajaan-kerajaan di Jawa menunjukkan intensitas tinggi ketika pusat kerajaan Mataram dipindahkan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Raja Sendok (929-947), telah memindahkan istana dan ia diakui sebagai pendiri dinasti baru (Isyana) yang memerintah di Jawa Timur sampai 1222. Salah satu motif pemindahan ini adalah untuk menghindari konflik dengan Sriwijaya. Munculnya kekuatan politik di Jawa Timur memberikan dampak yang signifikan bagi perekonomian daerah di kawasan pantura Jawa bagian Timur pada khususnya dan kepulauan Indonesia pada umumnya. Berbeda dengan kerajaan Mataram di Jawa Tengah yang diyakini sangat bergantung pada ekonomi pertanian sawah, wilayah pesisir dan lembah-lembah sungai di Jawa Timur pada waktu itu belum berkembang sebagai daerah-daerah pertanian yang surplus yang dapat mendukung kekuatan politik kerajaan baru ini. Oleh karena itu, sejak periode awal raja-raja Jawa Timur memberi perhatian yang lebih terhadap perdagangan maritim. Hubungan perdagangan diselenggarakan baik dengan kawasan Timur kepulauan Indonesia (seperti Maluku) maupun dengan kawasan bagian Barat (seperti dengan orang-orang Sumatra dan Semenanjung Malaya yang pada waktu itu masih di bawah dikuasai oleh kerajaan Sriwijaya). Persaingan dan konflik militer kemaritiman antara kekuatan Jawa dan Sriwijaya memuncak pada masa Jawa berada di bawah kerajaan Majapahit sejak akhir abad ke-13. Jika pada masa kerajaan Singasari (pendahulu Majapahit) upaya untuk melakukan ekspansi maritim ke kawasan Nusantara bertujuan untuk menjadikan seluruh Nusantara di bawah lindungan Singasari untuk  menghadapi ekspansi Mongol, maka ekspansi yang dilakukan oleh Majapahit terutama ditujukan untuk menguasai sumber-sumber ekonomi maritim di Nusantara secara umum. Jika pada masa Kertanegara, Pan-Nusantara dicapai dengan jalan diplomasi yang persuasif untuk menyadarkan adanya bahaya luar, dengan cara membina hubungan spiritual, dan lewat perkawinan politis dan magis dalam rangka untuk menciptakan front antiekspansi Mongol di Asia Tenggara, maka Pan-Nusantara jaman Majapahit dilanjutkan dengan peneguhan kekuasaan secara politik dan dalam beberapa kasus juga dengan cara-cara militer. Di dalam kitab Pararaton dan Negarakertagama disebutkan sekitar 98 daerah vassal Majapahit antara lain Palembang, Jambi, Kampar, Siak, Rokan, Lamuri, Barus, Haru di Sumatra; Pahang, Kelang, Sai dan Trengganu di Semenanjung Malaya; Sampit, Kapuas, Barito, Kutai and Sedu di pulau Kalimantan; Butung, Luwuk, Banggai, Tabalong di Sulawesi; Wandan di Maluku; Seran di Irian; Sumba dan Timor di Nusatenggara.
Di samping itu juga diinformasikan mengenai negara-negara sahabat Majapahit seperti Siam, Burma, Champa, Vietnam, Cina, dan Benggala. Negara-negara sahabat ini memiliki hubungan ekonomi dengan Majapahit. Meskipun daftar kerajaan yang berada di bawah kekuasaan Majapahit itu banyak yang meragukan, namun tidak ada alasan untuk meragukan bahwa tempat tempat yang disebutkan dalam daftar itu telah dihubungkan dengan jaringan maritim lewat aktivitas perdagangan. Bahkan ekspedisi Cheng Ho antara tahun 1405 dan 1433, yaitu ketika Majapahit sudah mulai melemah, mengakui bahwa perdagangan Jawa masih kuat dan bersumber dari kemampuan pelayarannya sendiri. Bahkan misi dagang ke Cina dipandangnya bertujuan untuk mengembangkan perdagangan lokal mereka sendiri. Kampanye Majapahit untuk melakukan ekspansi ke kawasan seberang dimulai sekitar tahun 1347. Politik ekspansi ini telah diletakkan oleh Mahapatih Gajah Mada. Dalam sumber-sumber tradisional ia diceritakan telah mengucapkan sumpah untuk tidak makan buah palapa atau tidak akan menikmati kesenangan hingga seluruh wilayah Nusantara berada di bawah kekuasaan Majapahit. Sebagaimana dikatakan sebelumnya bahwa bagaimana persisnya wilayah kekuasaan kerajaan Majapahit masih merupakan kontroversi. Namun demikian hampir tidak bisa diragukan bahwa tentunya armada laut Majapahit secara periodik melakukan kunjungan ke berbagai wilayah di Nusantara untuk memperoleh pengakuan formal atau sekedar pamer kemegahan armada kerajaan sehingga mendorong penguasa lokal untuk memberikan upeti kepada Majapahit mungkin secara sukarela. Sudah barang tentu kekuatan jaringan dan armada dagang Majapahit akan mampu memberikan sanksi kepada penguasa lain yang menunjukkan sikap bermusuhan kepada Majapahit. Dalam salah satu ulasannya mengenai perkembangan kota Malaka sejak akhir abad ke-14, R.J. Wilkinson mengatakan bahwa kota ini berkembang dari sebuah desa nelayan yang dihuni oleh suku Sakai-Laut (Orang Laut) menjadi kota perdagangan yang penting adalah sebagai akibat dari ekspansi yang dilakukan oleh kerajaan Majapahit terhadap berbagai kota penting di sekitar Selat Malaka. Dia menggambarkan bahwa secara tiba-tiba Majapahit menempatkan diri sebagai bangsa penakluk di kawasan Asia Tenggara. Dengan menggunakan armadanya, Majapahit telah menyapu sisa-sisa pusat kerajaan Sriwijaya di Palembang. Selain itu armada Majapahit juga melakukan penaklukan terhadap Singapura. Demikian juga ekspedisi Majapahit juga telah menaklukkan pelabuhan penting di ujung utara Sumatra yaitu Pasai dan selanjutnya Langkasuka (Ligor). Rangkaian penaklukan terhadap kota-kota pelabuhan tersebut (antara tahun 1370-1380) menurut Wilkinson telah mendorong berkembangnya kota Malaka. Perkembangan ini berkaitan dengan migrasi para pedagang dari kota-kota itu menuju ke Malaka dan selanjutnya menjadikanya sebagai kota dagang internasional yang bersifat kosmopolitan. Jadi rangkaian penaklukan Majapahit mendorong perkembangan kota Malaka yang menurut sumber-sumber lokal juga didirikan oleh keturunan orang Majapahit dari Palembang. Ada pula yang menyangsikan apakah memang betul bahwa Majapahit merupakan kerajaan maritim mengingat ibukota majapahit itu sendiri tidak terletak di tepi pantai, tetapi berada di pedalaman. Berdasarkan catatan Ma Huan yang menyertai ekpedisi Cheng Ho pada waktu Majapahit masih berdiri dapat diketahui adanya informasi bahwa Majapahit memiliki empat kota penting yaitu Tu-Pan (Tuban), Ko-erh-his (Gresik), Su-erh-pa-ya (Surabaya), dan ibukota Man-che-po-I (Majapahit). Ma Huan juga mengambarkan berbagai tempat yang merupakan pintu gerbang menuju ibukota Majapahit. Ia mengatakan bahwa dari Surabaya kapal-kapal kecil dapat berlayar sejauh 70 hingga 80 li (sekitar sepertiga mile) hingga mencapai pelabuhan Canggu sebagai tempat berlabuh. Selanjutnya perjalanan menuju ke arah barat daya selama satu setengah hari akan mencapai ibukota Majapahit. Dari keterangan Ma Huan tersebut dapat disimpulkan bahwa memang betul ibukota Majapahit berada di pedalaman namun sebagian perjalannya masih bisa ditempuh dengan menggunakan kapal kecil. Dari segi geostrategi, letak ibukota yang demikian ini justru sangat menguntungkan mengingat bahwa ibukota kerajaan yang berada di tepi pantai akan lebih rentan terhadap serangan musuh dari laut yang sangat terbuka. Hal ini juga sama dengan Cina yang meskipun ibukotanya ada di pedalaman namun tidak selalu berarti menjauhkan diri dari aktivitas kebaharian. Selain itu Majapahit juga memiliki pelabuhan-pelabuhan penting sebagai pusat kegiatan kemaritiman seperti Tuban, Canggu, Gresik, Surabaya, dan sebagainya. Pentingnya transportasi laut dan sungai bisa diterima secara akal sehat mengingat wilayah Majapahit khususnya daerah di sekitar ibukota merupakan hutan pegunungan dengan sungai-sungai besar. Di sini peranan sungai Brantas sebagai media transportasi menjadi sangat penting. Pada waktu itu kapal-kapal laut masih bisa berlabuh di pelabuhan Canggu yang merupakan pelabuhan sungai besar yang dekat dengan ibukota Majapahit. Duarte Barbosa yang pernah singgah di Jawa pada perempatan pertama abad ke-16 mengatakan bahwa di samping memiliki jung-jung untuk pelayaran samudera, orang-orang Jawa juga memiliki kapal yang ‘well-built light vessels propelled by oars’ yang biasanya digunakan untuk aktivitas perompakan. Kemampuan armada dagang Majapahit tidak dapat diragunakan lagi untuk melayari laut-laut di Nusantara tetapi juga samudera lepas dalam perdagangan internasional. Tome Pires yang datang di Jawa pada awal abad ke-16 mengatakan bahwa seratus tahun sebelum ia datang, Jawa memiliki kekuasaan yang sangat besar di mana kapal-kapalnya berlayar hingga mencapai Aden dan Majapahit memiliki hubungan dagang utama dengan kerajaan Keling (India), Benggala, dan Pasai (Dikutip dari Jurnal Ilmiah dengan judul Paradigma Maritim dalam Membangun Indonesia : Belajar Sejarah oleh Singgih Tri Sulistiyono. https://jurnal.ugm.ac.id/lembaran-sejarah/article/download/33461/20140 diakses hari Kamis 30 Agustus 2018 Pukul 15.02 WIB).

Ekonomi
Kerajaan Majapahit berkembang bukan hanya dari basis ekonomi pertanian namun juga pengembangan kegiatan pelayaran dan perdagangan sebagai sebuah negara maritim. Perdagangan laut itu bukan hanya dilakukan antara satu daerah dengan daerah lain di Nusantara, tetapi juga perdagangan internasional dengan kawasan yang lebih luas. Pigeaud berpendapat bahwa barang-barang impor telah dikenal oleh masyarakat Majapahit hingga pedalaman seperti tekstil dari India dan barang-barang dari Cina seperti mata uang, barang-barang pecah belah dan batu mulia. Chao Ju-Kua memberikan kesaksian bahwa komoditas Cina yangdibeli oleh para pedagang Jawa mencakup emas, perak, sutera, pernis, dan porselin. Begitu berkembangnya daya beli para pedagang Jawa sehingga menyebabkan Kekaisaran Cina pernah melarang perdagangan dengan Jawa karena menyebabkan terjadinya penyedotan mata uang Cina ke Jawa melalui perdagangan rempah-rempah, khususnya lada Perlu diingat bahwa Tome Pires yang berkunjung di pelabuhan – pelabuhan di Jawa pada awal abad ke-16 mendengarkan dengan telinganya sendiri bahwa kebesaran Majapahit sudah beredar di kalangan banyak orang pada waktu itu (Dikutip dari Jurnal Ilmiah dengan judul Paradigma Maritim dalam Membangun Indonesia : Belajar Sejarah oleh Singgih Tri Sulistiyono. https://jurnal.ugm.ac.id/lembaran-sejarah/article/download/33461/20140 diakses hari Kamis 30 Agustus 2018 Pukul 15.02 WIB).
Keberadaan sungai dan pelabuhan selain digunakan sebagai pendukung faktor ekonomi juga digunakan sebagai jalur diplomasi, politik, penyebaran agama, dan kebudayaan. Kondisi tersebut sangat berpengaruh terhadap berkembangnya kota Trowulan. Dalam prasasti Canggu atau prasasti Trowulan I disebutkan bahwa terdapat 44 desa penyeberangan di tepi Sungai Brantas. Adanya desa-desa penyeberangan tersebut kemudian berkembang menjadi pelabuhan sungai yang besar seperti Canggu, Bubat, dan Terung. Persebaran desa penyeberangan di Sungai Brantas mempertegas posisi sungai tersebut sebagai sarana transportasi dan perdagangan yang  menghubungkan daerah hulu dengan daerah hilir.
Fakta menarik dari masyarakat Majapahit adalah gemar menabung. Kebiasaan ini dibuktikan dengan penemuan celengan disitus Trowulan (Darini, 2016 : 24) .


Sosial
Rakyat Majapahit kelompok masyarakatnya berdasarkan pekerjaan (profesi). Antara lain petani, pedagang dan pengrajin. Masyarakat Majapahit menghargai adanya perbedaan atau kemajemukan budaya, agama dan adat istiadat. Hal ini dibuktikan dengan banyak penduduk berasal dari Samudra Pasai, Malaka dan Cina yang tinggal di Majapahit. Ini dibuktikan dalam kita Sutasoma karangan Mpu Tantular dengan kalimat Bhineka Tunggal Ika yang memiliki arti berbeda-beda tapi tetap satu.  Toleransi beragama telah tercipta di jaman Majapahit, yang dapat terlihat dari keberadaan makam-makam Islam (makam Troloyo) di dekat pusat Kerajaan Majapahit (Fenomena Islam Pada Masa Kebesaran Kerajaan Majapahit karya Muhammad Chawari hal 190 dalam E Book berjudul Majapahit Batas Kota dan Jejak Kejayaan di Luar Kota dikutip dari  http://repositori.kemdikbud.go.id/2054/1/Buku%20Majapahit2.pdf diakses hari minggu, 15 September 2019 pukul 07.14 WIB). Ini bukti bahwa pluralisme dan multikulturalisme sesungguhnya sudah merupakan suatu keniscayaan bagi bangsa ini. Ia sudah ada sejak dulu, jauh sebelum negeri ini menjadi sebuah bangsa berdaulat. Keberadaan makam-makam Islam di tengah-tengah pemerintahan Majapahit yang bercorak Hindu Buddha adalah bukti sejarah bahwa sejak dulu nenek moyang bangsa Indoensia menghargai perbedaan. Bahwa Toleransi antar umat beragama sudah mendapat tempat dalam tatanan kehiduapan sehari-hari (Melihat Trowulan Membaca Peradaban dalam Kompas, Rabu 20 September 2006 Hal. 14).
Menurut Ma Huan ada tiga golongan warga di Majapahit yaitu Muslim yang datang sebagai pedagang dari Barat, yang kedua orang Cina dinasti Tang yang juga Muslim dan warga pribumi yang beragama Hindu Budha (Metropolitan Yang Hilang oleh Mahandis Y. Tamrin dalam majalah National Geographic Indonesia September 2012 hal. 26). Ma Huan juga melukiskan bahwa orang-orang Majapahit menggemari barang-barang Cina seperti keramik biru, kain sutra berhias benang emas, kesturi, dan manik-manik.

Kebudayaan
Sebagai negara besar di Kepulauan Nusantara, bandar-bandar Majapahit tentu ramai dengan perdagangan yang melewati jalur laut. Perahu-perahu niaga akan sibuk berlalu-lalang. Pelabuhan- pelabuhan penting pada masa Majapahit diantaranya adalah: Gresik; Sidhayu; Tuban, Surabhaya, Pasuruhan dan Canggu. Bukti- bukti keberadaan pelabuhan-pelabuhan niaga tersebut disebutkan dalam berbagai prasasti, Kitab-kitab kuno dan berita-berita yang ditulis para musafir. Namun, keberadaan pelabuhan-pelabuhan tersebut tidak serta-merta disertai dengan deskripsi yang gamblang tentang perahu-perahu pada masa itu, yang dipakai untuk berniaga di pelabuhan-pelabuhan tersebut. Indikasi samar-samar tentang jenis perahu yang dipakai orang Majapahit dapat diambil dari Kidung Sunda. Semua naskah kidung berasal dari Bali namun tidak dapat dipastikan apakah ditulis di Bali atau di Jawa. Pengarang tidak diketahui, kemungkinan ditulis sesudah tahun 1540. Meskipun Kidung Sunda adalah sepenuhnya karya sastra yang tidak bisa dijadikan pegangan sejarah, tetapi, kisah yang diceritakannya kemungkinan berasal dari fakta sejarah. Pupuh I Madhu tiba di tanah Sunda setelah berlayar selama enam hari kemudian menghadap raja Sunda. Sang raja senang, putrinya dipilih raja Majapahit yang ternama tersebut. Tetapi putri Sunda sendiri tidak banyak berkomentar. Maka Madhu kembali ke Majapahit membawa surat balasan raja Sunda dan memberi tahu kedatangan mereka. Tak lama kemudian mereka bertolak dari Sunda disertai banyak sekali iringan. Mereka berlayar dengan 200 perahu besar dengan banyak perahu-perahu kecil yang menyertai Jumlah keseluruhan perahu-perahu tersebut setidaknya 2000 buah. Namun sebelum rombongan bangsawan Sunda ini naik ke perahu, mereka melihat ada pertanda buruk. Perahu yang dinaiki Raja, Ratu dan Putri Sunda adalah sebuah “Jung Tatar, yang semenjak Perang Wijaya secara umum memang banyak dipakai (Menelusuri Rancang Bangun Perahu Pada Masa Kerajaan Majapahit Studi Persiapan Samodra
Penyebutan Jung Tatar pada kidung ini, mengindikasikan bahwa ada jenis Jung Lain atau setidaknya perahu jenis lain yang secara politik dan psikologis tidak mengingatkan orang pada konflik di awal berdirinya Kerajaan Majapahit Jung Jawa Pada Akhir Masa Kerajaan Majapahit Dari beberapa naskah, didapat sedikit penjelasan tentang bentuk dari Jung Jawa. Catatan paling utama di dapat dari orang-orang Portugis yang secara langsung terlibat konflik dengan Pasukan Ekspesidi dari jawa pada tahun 1511. Dengan demikian patut diduga bahwa pada masa Majapahit bentuk-bentuk ini tentu secara umum masih banyak dijumpai. Sampai saat ini belum ditemukan bukti bahwa bentuk lambung Perahu Borobudur, masih dipakai sampai masa Majapahit. Pada masa Majapahit, setidaknya pada periode akhir, terdapat jenis perahu yang disebut dengan Jung Jawa. Untuk menentukan bentuk dari Jung Jawa pada masa akhir Majapahit ini diperlukan penelitian lebih lanjut. Pada pupuh LXVI Nagarakrtagama dijelaskan pula sarana transportasi bergerak selain didarat adalah sarana transportasi air berupa perahu. Dijelaskan dalam Negarakrtagama : “ pada hari keenam pagi Sri Baginda bersiap mempersembahkan persajian. Pun para kesatria dan pembesar mempersembahkan rumahrumahhan yang terpikul. Dua orang pembesar mempersembahkan perahu yang melukiskan kutipan kidung. (Seperahu sungguh besarnya, diiringi gong dan bubar mengguntur menggembirakan Menelusuri Rancang Bangun Perahu Pada Masa Kerajaan Majapahit Studi Persiapan Samodra
Pada saat peresmian daerah perdikan Majapahit jenis makanan yang disediakan dalam acara tersebut. Tak diduga, cara penyajian makanan masa itu tidak jauh berbeda dengan masa sekarang. Seperti nasi tumpeng dengan lauk pauk. Lauk pauk seperti daging kerbau, kijang, babi, ayam, angsa dan berbagai jenis ikan. Lauk diolah dengan diasinkan, diasamkan, diasap, dipanggang hingga direbus. Seperti gunungan, ada sayur sayurannya. Tempat makannya memakai daun pisang (Metropolitan Yang Hilang oleh Mahandis Y. Tamrin dalam majalah National Geographic Indonesia September 2012 hal 29).



Sumber Buku
Hamid, Abd Rahman. 2015. Sejarah Maritim Indonesia. Yogyakarta : Penerbit Ombak
Daldjoeni, N. 1992. Geografi Kesejarahan II Indonesia. Bandung : Penerbit Alumni
Darini, Ririn, Ringo Rahata, Wahjudi Djaja, Mulyadi. 2016. Buku Siswa Sejarah Untuk SMA/MA Kelas XI. Klaten : Penerbit Cempaka Putih


Sumber Surat Kabar dan Majalah
Melihat Trowulan Membaca Peradaban dalam Kompas, Rabu 20 September 2006 Hal. 14
Metropolitan Yang Hilang oleh Mahandis Y. Tamrin dalam majalah National Geographic Indonesia September 2012

Sumber Jurnal Ilmiah (Internet) :
SEJARAH MARITIM INDONESIA MENELUSURI JIWA BAHARI BANGSA INDONESIA DALAM PROSES INTEGRASI BANGSA (Sejak Jaman Prasejarah Hingga Abad XVII) oleh Safri Burhanuddin, A.M. Djuliati Suroyo, Endang Susilowati, Singgih Tri Sulistyono, Agus Supriyono, Sutejo Kuat Widodo, Ahmad Najid, Dini Purbani. UNDIP https://kalamkopi.files.wordpress.com/2017/04/dep-kelautan-sejarah-maritim-indonesia.pdf diakses hari Rabu tanggal 1 Agustus 2018 pukul 12:05 WIB

Paradigma Maritim dalam Membangun Indonesia : Belajar Sejarah oleh Singgih Tri Sulistiyono. https://jurnal.ugm.ac.id/lembaran-sejarah/article/download/33461/20140 diakses hari Kamis 30 Agustus 2018 Pukul 15.02 WIB

Menelusuri Rancang Bangun Perahu Pada Masa Kerajaan Majapahit Studi Persiapan Samodra

E Book berjudul Majapahit Batas Kota dan Jejak Kejayaan di Luar Kota dikutip dari  http://repositori.kemdikbud.go.id/2054/1/Buku%20Majapahit2.pdf diakses hari minggu, 15 September 2019 pukul 07.14 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar