SEJARAH SEBAGAI PERISTIWA, KISAH, ILMU, DAN SENI
Oleh : TOpan
A. Sejarah Sebagai Peristiwa
Secara singkat, sejarah sebagai peristiwa merupakan kejadian yang sungguh-sungguh terjadi di masa lampau. Untuk dapat dikatakan sungguh-sungguh terjadi, harus ada bukti-bukti yang mampu menunjukkan adanya peristiwa tersebut. Bukti-bukti yang mampu menunjukkan adanya peristiwa tersebut. Bukti-bukti itu harus nyata (empiris) dan dapat diterima oleh akal sehat (rasio) manusia. Nyata dalam konteks ini adalah dapat dirasakan keberadaan bukti itu oleh indera manusia. Dipihak lain, diterima akal sehat maksudnya sesuai dengan kebenaran umum (common sense) (Purwanta, 2019 : 9).
Meskipun dapat dibuktikan dengan indera dan sesuai dengan common sense, apabila dicermati secara lebih mendalam, tidak semua kejadian dapat dianggap sebagai peristiwa sejarah. Paling tidak ada dua persyaratan lain yang harus dipenuhi, yaitu berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan penting bagi masyarakat. Dikatakan sebagai peristiwa sejarah apabila kejadiannya berhubungan dengan peri kehidupan manusia, seperti berdirinya Budi Utomo, proklamasi kemerdekaan, Pemilu atau pemberontakan. Sebaliknya, gerhana bulan, gerhana matahari atau jatuhnya meteror tidak dapat dikatakan sebagai peristiwa sejarah, selama tidak ada hubungannya dengan perkembangan hidup masyarakat. Peristiwa alam akan menjadi bagian dari suatu peristiwa sejarah apabila mengakibatkan perubahan besar kehidupan manusia, misalnya hilangnya peradaban Mataram kuno akibat letusan gunung merapi (Purwanta, 2019 : 10-11).
Persyaratan ke dua adalah penting. Perjalanan kita ke kampus tidak dapat disebut sebagai sejarah, karena biasa dan dilakukan oleh banyak orang suatu kejadian dikatakan sebagai peristiwa sejarah apabila penting, baik secara intern maupun ekstern. Penting secara intern adalah apabila peristiwa itu menjadi penyebab utama peristiwa sejarah lain. Sebagai contoh berdirinya Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908 merupakan peristiwa sejarah, karena selain menjadi headline berbagai surat kabar saat itu, berdirinya Budi Utomo juga menjadi penyebab utama berdirinya Commissie voor de Inlandsche School en Volkslectuur (komisi bacaan rakyat) pada 14 September 1908. Komisi itu didirikan untuk menerbitkan dan mengawasi penerbitan bacaan untuk sekolah, agar pemikiran yang berlawanan dengan pemerintah tidak berkembang di kalangan pribumi (Purwanta, 2019 : 11).
Penting secara ekstern adalah bahwa suatu peristiwa di masa lampau memiliki makna yang besar atau sangat bernilai bagi masyarakat sekarang. Berdirinya Budi Utomo dianggap penting bagi masyarakat Indonesia sekarang, karena dipandang sebagai penanda bangkitnya kesadaran untuk bebas dari penjajahan Belanda, sehingga tanggal berdirinya, yaitu 20 Mei, diperingati sebagai hari kebangkitan nasional (Purwanta, 2019 : 11).
B. Sejarah Sebagai Kisah
Sejarah sebagai kisah atau dikenal sebagai historiografi adalah cerita yang mengisahkan peristiwa masa lampau. Di kelas, guru sejarah menceritakan bagaimana Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Cerita yang sama juga dapat kita temukan pada buku teks dan berbagai sumber belajar sejarah lainnya. Apakah semua yang diceritakan benar-benar terjadi? Dijamin 100 % kisah sejarah menceritakan peristiwa yang benar-benar terjadi di masa lampau (Purwanta, 2019 : 11-12). Ini yang membedakan kisah sejarah dengan legenda, fabel maupun karya sastra lainnya. Cerita si kancil yang cerdik tidak pernah sungguh-sungguh terjadi dalam kehidupan nyata. Si kancil merupakan tokoh rekaan oleh pengarang yang terinspirasi oleh binatang kancil (Purwanta, 2019 : 12).
Pertanyaannya yang sulit dijawab adalah apakah sejarah yang dikisahkan sama persis dengan peristiwanya ? sulit atau bahkan tidak mampu dijawab, karena tidak mungkin membandingkan antara sejarah sebagai kisah dengan sejarah sebagai peristiwa. Ketidakmungkinan itu disebabkan peristiwa sejarah telah hilang saat telah terjadi dan tidak ada yang mampu menghadirkan kembali (Purwanta, 2019 : 12).
Peristiwa sejarah sebagai kejadian, peristiwa sejarah memiliki sifat 100 % lengkap dan obyektif. Oleh karena telah terjadi, maka peristiwa sejarah sudah tidak ada lagi atau hilang ditelan masa. Siapapun tidak akan pernah mengalami peristiwa tersebut di lain waktu maupun di lain tempat, sifat demikan disebut sekali terjadi atau einmallig (Purwanta, 2019 :12). Ketika sebuah peristiwa sejarah terjadi dan kemudian hilang yang tertinggal adalah bekas-bekas dari peristiwa itu, baik berupa kenangan yang ada diingatkan para pelaku dan saksi, foto, video, laporan pihak berwenang, maupun berita media massa. Semua itu secara bersama-sama dinamakan sebagai jejak sejarah (Purwanta, 2019 :12). Jadi jejak sejarah adalah semua hal yang menunjukkan bahwa suatu peristiwa sejarah pernah terjadi (Purwanta, 2019 :13).
Jumlah jejak sejarah yang ditinggalkan tentu tidak selengkap peristiwanya dan berkurang seiring berjalannya waktu, baik karena lapuk ataupun tidak diketahui rimbanya. Ada ungkapan bahwa sebanyak apapun jejak sejarah dapat detemukan tidak akan mungkin selengkap peristiwanya. Dari sudut pandang ini jejak yang ditemukan oleh sejarawan hanya sebagian dari peristiwa sejarah. Menggunakan kalimat dari R. Moh. Ali menjelaskan bahwa tidak setiap kejadian, tidak setiap peristiwa, dan setiap perubahan meninggalkan bekas atau kesan. Sebagian besar, mungkin yang terbesar, dari jumlah kejadian, peristiwa dan perubahan tidak ada bekasnya, tidak ada kesannya. Maka jelaslah bahwa pengetahuan tentang masa lampau, tentang kejadian-kejadiannya tidak mungkin lengkap atau sempurna. Jejak sejarah secara keilmuan disebut sebagai sumber, karena di dalamnya mengandung fakta-fakta yang digunakan sebagai acuan untuk menyusun kisah sejarah (Purwanta, 2019 :13).
Sejarawan adalah manusia jaman sekarang yang berusaha untuk menyusun kembali peristiwa sejarah. Berbeda dengan ahli ilmu-ilmu alam yang dapat membawa obyek penelitian ke laboratorium, sejarawan tidak dapat membawa atau menghadirkan “peristiwa sejarah” yang telah hilang. Oleh karena itu, untuk mengetahui dan memahami apa yang sebenarnya terjadi pada suatu peristiwa sejarah, sejarawan kemudian melakukan penelitian lapangan. Agar hasilnya mendekati dengan kenyataan saat peristiwa sejarah terjadi, sejarawan dengan sangat ketat melaksanakan langkah-langkah penelitan yang dikenal sebagai metode sejarah (Purwanta, 2019 :14).
Historiografi, merupakan hasil kerja sejarawan dalam usaha menyusun kembali peristiwa sejarah. Alun Munslow dalam buknya yang berjudul Deconstructing History membagi historiografi menjadi tiga macam model (Purwanta, 2019 :16) : (1) Konstruksi yaitu uraian tentang peristiwa sejarah yang berusaha menjelaskan mengapa peristiwa itu terjadi dan bagaimana proses peristiwa itu berlangsung. Hasil uraiannya dikenal sebagai bersifat deskriptif-analitis, deskriptifnya terletak pada uraian tentang bagaimana proses berlangsung. Di pihak lain, aspek analitis dari model konstruksi terletak pada penjelasan mengapa suatu peristiwa terjadi dengan menerapkan teori dari ilmu-ilmu sosial. Contoh : untuk menjelaskan aspek ekonomi dari peristiwa sejarah, kita harus meminjam teori yang dikembangkan oleh ilmu ekonomi (Purwanta, 2019 :16). (2) Rekonstruksi adalah jenis historiografi yang berusaha untuk menjawab bagaimana suatu peristiwa terjadi. Fokusnya tentang apa yang terjadi, dimana, kapan, siapa saja yang terlibat dan bagaimana prosesnya. Untuk menyusun kisah sejarah jenis rekonstruksi, kita semata-mata berdasar fakta yang berhasil dikumpulkan, tidak menggunakan teori sosial seperti pada model konstruksi (Purwanta, 2019 :18). (3) Dekonstruksi adalah jenis historiografi yang berusaha mengkritisi hasil penyusunan kembali peristiwa sejarah, baik model konstruksi maupun rekonstruksi. Asumsi dasarnya adalah bahwa seobjektif apapun tulisan, akan selalu mengandung subyektifitas. Oleh karena itu, dengan menggunakan pendekatan kebahasaan, seperti pemilihan kata atau diksi, kalimat, frasa dan gambar/foto akan dapat diketahui kepentingan-kepentingan dari penyusun kisah sejarah. Kepentingan yang dikritisi terutama terkait dengan kekuasaan (Purwanta, 2019 :17).
Meskipun jejak sejarah tidak mungkin selengkap peristiwa sejarah, sejarawan berusaha untuk menghasilkan historiografi yang mendekati kenyataan dimana historiografi yang memiliki sifat tidak berpihak (a politis) dan bebas nilai (value free). Jadi permasalahan yang dihadapi sejarawan adalah subjektifitas. Ibn Khaldun menjelaskan bahwa historiografi yang dihasilkan akan semakin jauh dari peristiwa sejarah apabila terdapat faktor-faktor sebagai berikut (Purwanta, 2019 :17-18). (a) sikap pemihakan sejarawan kepada aliran tertentu, (b) sejarawan terlalu percaya kepada pihak penukil berita, (c) sejarawan gagal menangkap maksud-maksud apa yang dilihat dan didengar serta menurunkan laporan atas dasar pengkapan yang keliru, (d) sejarawan memberikan asumsi yang tidak beralasan terhadap sumber berita, (e) ketidaktahuan sejarawan dalam mencocokkan keadaan dengan kejadian yang sebenarnya, (f) kecenderungan sejarawan untuk mendekatkan diri kepada penguasa atau orang berpengaruh, (g) sejarawan tidak mengetahui watak berbagai kondisi yang muncul dalam peradaban (Purwanta, 2019 :18 mengutip dari Abdurahman, 2007 : 17 - 18).
.
C. Sejarah Sebagai Ilmu
Sejarah itu empiris
Sebagai ilmu, sejarah termasuk ilmu empiris (dari bahasa Yunani empeiria yang berarti “pengalaman”). Sejarah sangat tergantung pada pengalaman manusia. Pengalaman-pengalaman manusia tersebut direkam dalam dokumen-dokumen. Dokumen-dokumen tersebutlah yang diteliti oleh sejarawan untuk menentukan fakta. Fakta inilah yang diinterpretasikan. Dari interpretasi atas fakta inilah baru muncul tulisan sejarah (Kuntowijoyo, 2013 : 46). Sejarah hanya sekali terjadi dan tidak dapat diulang-ulang. Sejarah meninggalkan dokumen. Selain itu, fakta sejarah adalah fakta manusia. Manusia adalah hidup, berpikir dan berkesadaran, maka di sejarah akan menghasilkan generalisasi yang tidak pasti (Kuntowijoyo, 2013 : 46).
Sejarah itu hanya mempunyai objek
“Objek” berasal dari bahasa latin objectus yang memiliki arti “yang dihadapan, sasaran, tujuan”. Sejarah biasanya dimasukkan dalam ilmu kemanusiaan karena objeknya adalah manusia. Lebih dari segalanya, objek dari sejarah ialah waktu. Jadi, sejarah mempunyai objek sendiri yang tidak dimiliki ilmu lain secara khusus, karena sejarah membicarakan waktu manusia. Waktu dalam pandangan sejarah tidak pernah lepas dari manusia. Karena itu soal asal mula selalu menjadi bahasa utama, dan sejarawan hanya mengurusi penjelasannya saja (Kuntowijoyo, 2013 : 46-47).
Sejarah itu mempunyai teori
“teori” dari bahasa Yunani theoria yang berarti “renungan”. Sejarah memiliki teori pengetahuan (sering disebut filsafat sejarah kritis). Teori pada umumnya berisi satu kumpulan tentang kaidah pokok suatu ilmu. Dalam filsafat disebut epistemology (dari bahasa Yunani episteme yang berarti pengetahuan dan logos yang berarti wacana). Sejarah memiliki objeknya sendiri yaitu manusia dan waktu (Kuntowijoyo, 2013 : 47). Meskipun sama-sama pengetahuan tentang waktu, sejarah juga membedakan dirinya dengan mitos. Mitos tidak menjelaskan tentang kapan sesuatu terjadi, sedangkan bagi sejarah penjelasan tetang waktu itu penting (Kuntowijoyo, 2013 : 47).
Sejarah itu mempunyai generalisasi
Generalisasi dari bahasa latin generalis yang berarti “umum”. Sejarah juga menarik kesimpulan- kesimpulan umum. Sejarah itu pada dasarnya bersifat ideografis (sejarah berusaha menuliskan hal-hal yang khas – idiografis dari bahasa Yunani idio berarti “ciri-ciri seseorang”, dan bahasa Yunani graphein berarti “menulis”; sering juga disebut ideografis, bahasa Yunani idea berarti “pikiran” dan graphein, sebab sejarah ialah ilmu yang menuliskan pikiran pelaku). Kesimpulan-kesimpulan umum yang berlaku di mana-mana dan dapat dianggap sebagai kebenaran umum belum tentu benar dalam sejarah (Kuntowijoyo, 2013 : 48).
Sejarah itu mempunyai metode
Metode dari bahasa Yunani methodos yang berarti “cara”. Untuk penelitian, sejarah mempunyai metode tersendiri yang menggunakan pengamatan. Kalau ternyata suatu pernyataan tidak didukung oleh bukti-bukti sejarah, maka pernyataan itu ditolak (Kuntowijoyo, 2013 : 48). Metode sejarah itu bersifat terbuka dan hanya tunduk pada fakta (Kuntowijoyo, 2013 : 49). Metode sejarah mengharuskan orang untuk berhati-hati. Dengan metode sejarah, orang tidak boleh menarik kesimpulan yang terlalu berani (Kuntowijoyo, 2013 : 49).
Dalam penulisan sejarah rupanya perlu profesionalisme. Ada bedanya orang yang mengetahui dan yang tidak mengetahui. Sejarah itu seperti ilmu-ilmu, perlu riset. Topik riset tidak sekadar yang sudah dialami atau diketahui, bisa jadi penulis belum tahu apa-apa mengenai topiknya. Seorang sejarawan yang terdidik itu ibarat prajurit komando. Ia dapat diterjunkan di mana saja (Kuntowijoyo, 2013 : 50). Dalam sejarah lebih menghormati fakta, jadi lebih mengarah pada substansi daripada retorika. Diharapkan bahwa kekayaan substantif jauh lebih menarik daripada keindahan retorika. Lagipula, keindahan sejarah tidak terletak pada gaya bahasa tetapi pada presisinya. Pada sejarah kuantitatif yang banyak menggunakan statistik, keindahan justru terletak pada angka-angka. Tidak ada yang lebih indah dari pada kebenaran (Kuntowijoyo, 2013 : 50). Ada memang masanya ketika sejarah dipengaruhi oleh sastra, tetapi sekarang sejarah hanya memerlukan penulisan yang baik dari penalaran dan sistematiknya. Kalau tulisan yang baik, penalaran yang teratur, dan sistematis yang runtut itulah yang dimaksud retorika, pastilah tidak ada sejarah yang kering (Kuntowijoyo, 2013 : 50). Memang bahasa dalam sejarah adalah bahasa yang sederhana dan langsung, persis seperti bahasa dalam sastra modern. Tidak ada bahasa yang berbunga bunga (Kuntowijoyo, 2013 : 50). Bahasa sejarah adalah bahasa sehari-hari (Kuntowijoyo, 2013 : 51).
Karena sejarah pada umumnya memakai bahasa sehari-sehari, ia memerlukan sumbangan berupa konsep (Kuntowijoyo, 2013 : 51). Disini ada observational concept sesuatu yang dapat diamati dan intellectual concept karena hanya bisa dimengerti dan dipikirkan (Kuntowijoyo, 2013 : 51). Sejarah itu pada dasarnya ialah ilmu diakronis, yang memanjang dalam waktu, tetapi dalam ruang yang sempit. Ketika sejarah bersentuhan dengan ilmu sosial, sejarah menjadi ilmu yang juga sinkronis. Artinya, selain memanjang dalam waktu, sejarah lalu juga melebar dalam ruang. Jadi dengan sumbangan ilmu, sejarah ilmu diakronis adalah juga ilmu sinkronis. Maka lengkaplah sejarah (Kuntowijoyo, 2013 : 51). Dengan sumbangan ilmu, tema-tema baru yang bersifat sinkronis dapat ditulis. Misalnya, tentang kriminalitas, sistem sekolah, percukongan. Sejarah kota adalah contoh yang jelas ihwal bagaimana sejarah yang sifatnya diakronis telah diperkaya oleh ilmu sinkronis (Kuntowijoyo, 2013 : 52).
D. Sejarah Sebagai Seni
Sejarah memerlukan intuisi
Dalam memilih topik, sejarawan sering tidak bisa mengandalkan ilmu yang dimiliki. Ia akan memerlukan ilmu sosial dalam menentukan sumber apa saja yang harus dicari, demikian pula dalam interpretasi data. Akan tetapi, sejarawan juga memerlukan intuisi atau ilham, yaitu pemahaman langsung dan instingtif selama masa penelitian berlangsung. Setiap langkah memerlukan kepandaian sejarawan dalam memutuskan apa yang harus di kerjakan. Sering terjadi untuk memilih suatu penjelasaan, bukan peralatan ilmu yang berjalan tetapi intuisi. Dalam hal ini, cara kerja sejarawan sama seperti seniman (Kuntowijoyo, 2013 : 52).
Sering sejarawan merasa tidak lagi sanggup melanjutkan tulisannya, terutama kalau itu berupa deskripsi atau penggambaran peristiwa. Dalam keadaan tidak tahu itu, sebenarnya yang diperlukan adalah intuisi. Untuk mendapatkan intuisi, sejarawan harus bekerja keras dengan data-data (data dari bahasa latin datum yang berarti pemberian) yang ada, apa yang bisa dikerjakan. Disinilah beda intuisi sejarawan dengan intuisi pengarang (Kuntowijoyo, 2013 : 52). Mungkin pengarang akan berjalan-jalan sambil melamun, tatapi sejarawan harus tetap ingat data datanya (Kuntowijoyo, 2013 : 53).
Sejarah memerlukan imajinasi
Dalam pekerjaannya, sejarawan harus dapat membayangkan apa yang sebenarnya, apa yang sedang terjadi, dan apa yang terjadi sesudah itu. Sejarawan harus bisa mengimajinasi kondisi tempat peristiwa terjadi (Kuntowijoyo, 2013 : 53).
Sejarah memerlukan emosi
Pada penulisan sejarah zaman Romantik, yaitu pada akhir abad ke 18 dan awal abad ke 19, sejarah dianggap sebagai cabang sastra. Akibatnya, menulis sejarah disamakan dengan menulis sastra, artinya menulis sejarah harus dengan keterlibatan emosional. Orang yang membaca sejarah harus dibuat seolah-olah hadir dan menyaksikan sendiri peristiwa itu. Penulisannya harus berempati (dari bahasa Yunani empatheia, yang berarti “perasaan”), menyatukan perasaan dengan objeknya (Kuntowijoyo, 2013 : 53). Diharapkan sejarawan dapat menghadirkan objeknya seeolah-olah pembacanya mengalami sendiri peristiwa itu. Untuk sejarah kebudayaan, menghadirkan itu sangat penting. Penulisan sejarah dengan emosi tetapi setia pada fakta, sangat penting untuk pewarisan nilai (Kuntowijoyo, 2013 : 52).
Sejarah memerlukan gaya bahasa
Gaya bahasa yang baik tidak berarti gaya bahasa yang penuh bunga-bunga. Kadang-kadang bahasa yang luas lebih menarik. Gaya yang berbelit-belit dan tidak sestematis jelas merupakan bahasa yang jelek. Dalam tulisan sejarah, deskripsi itu seperti melukis yang naturalistis. Yang diperlukan ialah kemampuan untuk menuliskan detail. Untuk sejarah yang masih mungkin menggunakan metode sejarah lisan, detail itu dapat diciptakan. Melalui pertanyaan, sumber sejarah dapat diminta bercerita menurut keinginan sejarawan. Dengan bertanya pada sebanyak-banyaknya kesaksian orang untuk hal hal yang detail, sejarawan dapat terhindar dari kesalahan (Kuntowijoyo, 2013 : 54)
Ketepatan atau accuracy dari objektivitas sangat perlu dalam penulisan sejarah. Ketepatan yaitu kesesuaian antara fakta dan tulisan sejarah, dan objektivitas, yaitu tidak adanya pandangan yang individual, adalah dua hal yang menimbulkan kepercayaan orang pada sejarawan. Kedua hal itu dapat dikesankan oleh penguasaan sejarawan atas detail dan tulisan sejarah yang terasa teknis. Akan tetapi, kesan keberadaan dua hal itu akan hilang jika sejarah menjadi seni. Seni itu imajinasi, sedangkan sejarah berdasarkan fakta (Kuntowijoyo, 2013 : 54 – 55).
Pemujaan yang berlebih pada fakta memang sudah amat mendalam sehingga fakta merupakan tumpuan sejarah. Sejarawan dianggap hafal fakta-fakta sejarah di luar kepala. Padahal menghafal fakta bukanlah tugas utama sejarawan. Memang sejarawan harus tahu fakta-fakta yang relevan dengan penelitiaanya, tetapi tugas utama sejarawan ialah melakukan rekonstruksi. Sejarah yang terlalu dekat dengan seni dapat dianggap telah memalsukan fakta. Sejarah akan kehilangan ketepatan dan objektivitas (Kuntowijoyo, 2013 : 55).
Hanya sejarah tertentu yang dihasilkan bila sejarah dianggap hasil seni. Tema-tema sejarah yang penting seperti sejarah ekonomi dan sejarah kuantitatif yang menyuguhkan angka-angka dan analisis tidak ditulis dengan sejarah sebagai seni (Kuntowijoyo, 2013 : 55). Sejarah akan terbatas pada yang dapat dideskripsikan. Tulisan sejarah akan penuh dengan gambaran tentang perang dan biografi yang penuh sanjungan (Kuntowijoyo, 2013 : 55).
Seni sastra dapat menyumbangkan miliknya yang berupa karakterisasi pada biografi (Kuntowijoyo, 2013 : 55). Dengan melukiskan tentang watak orang-orang dalam peristiwa, dengan kata lain dengan biografi kolektif, akan lengkaplah sejarah kita (Kuntowijoyo, 2013 : 56).
Kebanyakan sejarawan tidak menyadari pentingnya struktur atau plot atau alur dalam tulisannya. Sekalipun alur dalam sastra berbeda dengan alur pada sejarah, tetapi ada persamaannya. Alur dalam novel dapat dibagi dalam tiga tahap : pengenalan, krisis, dan solusi. Sejarawan sering tergesa-gesa menulis mengenai krisis dan solusinya tanpa memperkenalkan pendahuluannya (Kuntowijoyo, 2013 : 56). Sejarawan mengerjakan itu dengan cara naluriah. Setiap kali ia akan menuliskan sebuah peristiwa, ia selalu mulai dengan melukiskan latar belakang peristiwa itu. Sedikit saja sejarawan yang sadar bahwa teknik itu adalah teknik sastra yang disebut foreshadowing atau pelukisan sebelum sebuah peristiwa (Kuntowijoyo, 2013 : 56).
DAFTAR PUSTAKA
Kuntowijoyo. 2013. PENGANTAR ILMU SEJARAH. Yogyakarta : Tiara Wacana
Purwanta, Hieronymus. 2019. HAKEKAT PENDIDIKAN SEJARAH. Surakarta : CHERS dan UNS Press
Tidak ada komentar:
Posting Komentar