Purbalingga, hari Senin, tanggal 30 Maret 2020
Hai kawan-kawan
peserta didik kelas XI IPS SMA Negeri 1 Kutasari, apa kabar kalian. Semoga
selalu sehat dan dalam lindungan Tuhan Yang Maha Esa. Masih tetap di rumah kan?
kami berharap kalian masih tetap belajar, bermain dan beraktifitas di rumah
sesuai anjuran pemerintah untuk memotong laju persebaran covid 19.
Baik, kompetensi
dasar 3.10 dan 4.10 sudah kita selesaikan pada minggu yang lalu dengan membaca
materi tentang Indische Partij dan
Taman Siswa ataupun membaca jurnal ilmiah yang lain dengan tema perjuangan
kooperatif dan nonkooperatif sebagai strategi organisasi pergerakan nasional
melawan penguasaan Hindia Belanda. Terima kasih kalian yang telah mengerjakan
tugas cerita sejarah dengan menganalisis strategi organisasi pergerakan
nasional. Bagi kalian yang telah mengirim otomatis kalian telah mendapatkan
nilai kompetensi dasar 3.10 dan 4.10. Namun bagi yang belum mengerjakan tugas, berarti
nilai kompetensi dasar tersebut masihlah kosong.
Kita pada akhir
Maret dan Awal April ini memasuki kompetensi dasar 3.11 : menganalisis
kehidupan bangsa Indonesia di bidang sosial, ekonomi, budaya, militer, dan
pendidikan pada zaman Jepang, 4.11 :
menyusun cerita sejarah tentang kehidupan bangsa Indonesia di bidang sosial,
ekonomi, budaya, militer, dan pendidikan pada zaman pendudukan Jepang. Secara
berkala kami akan memberikan materi ke blog
dengan alamat belajarsejarahuntukkemanusiaan.blogspot.com . Pada minggu ini
kami unggah materi tentang “Armada Jepang Masuk Indonesia”. Pada akhir materi “PENDUDUKAN
JEPANG DI INDONESIA” akan ada penugasan untuk penilaian KD 3.11 dan 4.11. Ikuti
terus blog kami.
Selamat membaca.
PENDUDUKAN
JEPANG DI INDONESIA
Oleh : Topan
Armada Jepang
Masuk Indonesia
“Apabila
anda mengenal diri sendiri dan mengenal musuh, anda bisa memenangkan
pertempuran. Mengalahkan musuh secara psikologis merupakan strategi unggul.
Mengalahkan musuh secara militer merupakan strategi yang asor” (Sun Tzu) - (Wanhar, 2014 : 67).
Ping
Fa
(seni perang) yang ditulis Sun Tzu menjadi dasar-dasar teknik intelijen Jepang.
Menurut Richard Deacon (pakar intelijen dunia), Jepang mempelajari sebuah
gagasan dan melakukan perbaikan atasnya. Spionase ala Jepang mencakup semua
bidang yang biasa dikenal dengan total intelijen. Jadi setelah menyempurnakan
teknik Sun Tzu, Jepang menjalankan spionase militer, ekonomi, industri, ilmu
dan teknologi, kebudayaan, selera konsumen, kotak saran, tingkah laku manusia,
ekologi, dan seterusnya (Wanhar, 2014 : 66). Ada dua watak nasional Jepang yang
mendasari motivasi dinas rahasia Jepang : pertama, semangat berdiri di atas kaki
sendiri dan individualisme yang kuat menyebabkan Jepang selama berabad abad memisahkan
diri dari dunia luar. Kedua hasrat yang mendalam terhadap segala macam ilmu
pengetahuan, yakni rasa ingin tahu yang telah menjadi pembawaan bangsa itu
sejak lahir (Wanhar, 2014 : 67).
Spion-spion Jepang
melakukan banyak penyamaran. Ada yang menjadi wartawan, nelayan, tukang potret,
kuli, penunggu toko kelontong, mengoperasikan rumah pelacuran, hingga menjadi
bintang film. Gerakan dinas rahasia Jepang menyebar keseluruh dunia. Sejarah
emigrasi Jepang dimulai pertama kali dengan memberangkatkan kapal ke Hawaii,
Amerika Serikat pada tahun 1868. Saat pertama berakhirnya Sakoku (isolasi nasional) pada tahun 1853 karena digertak Amerika
dan ditandai dengan penandatanganan Townsend
Harris, Jepang membuka pintu kepada orang Tiongkok, Korea dan Belanda. Ini
yang menarik, mengapa Belanda? Agaknya ada kesepakatan antara dua negera
tersebut dimana Jepang memperbolehkan orang Belanda masuk negerinya dan Belanda
memberi bangsa Jepang kedudukan yang sama dengan bangsa kulit putih di wilayah
koloninya, Hindia Belanda (Wanhar, 2014 : 67-68). Menurut ketentuan hukum yang
berlaku di Hindia Belanda sejak tahun 1898 orang Jepang dikatagorikan sama
dengan bangsa Eropa. Sehingga orang Jepang dapat bergerak sangat leluasa dalam
perdagangan dan dilindungi pemerintah Hindia Belanda (Wanhar, 2014 : 68).
Pada bulan April 1932, menteri urusan
Perang Jepang Jenderal Araki menulis artikel berjudul “The Call of Japan in the Showa Period” (Seruan Jepang pada masa Showa).
Artikel ini menyerukan misi suci bangsa Jepang untuk mengikuti jalan kaisar (Imperial Way) untuk mengangkat bangsa
Yamato dan menyelamatkan Asia Timur serta dunia. Jenderal Araki menegaskan
bahwa kekaisaran Jepang adalah pemimpin Asia Timur, makanya Jepang tidak boleh
tinggal diam melihat negeri-negeri Asia
ditindas bangsa Eropa. Sepak terjang Jepang mulai terlihat pada tahun
1931 dengan mengambil alih Manchuria dan membentuk negara Manchukuo setahun
kemudian (Wanhar, 2014 : 69). Jepang dituduh melakukan kejahatan oleh LBB, hal
ini berakibat Jepang keluar dari LBB. Setelah itu Jepang melepaskan diri dari
perjanjian Washington (1921-1922) yang mengatur tonase armada angkatan laut
(5-5-3 antara Negara Amerika-Inggris-Jepang). Walau sempat diperbaharui pada
akhir 1935 di London, namun tuntutan Jepang ditolak, Jepang pun mengundurkan
diri dari Konferensi Tonase Angkatan Laut ini (Wanhar, 2014 : 70). Jepangpun
semakin gencar mengirimkan intelijennya ke Selatan.
Pada awal 1930, Jepang mengutus satu tim
opsir kesehatan ke Jawa untuk mengamati kondisi-kondisi sanitasi serta
statistik penyakit. Laporan dibuat sangat teliti dan terinci. Laporan inilah
yang digunakan penguasa Jepang untuk merencanakan bagaimana menghindari
timbulnya penyakit diantara pasukan mereka ketika penyerbuan kelak. Yang
menarik dari temuan tim sensus kesehatan tersebut adalah, rupanya sejumlah
besar orang Jawa golongan atas yang bekerja dalam pemerintahan Belanda suka
mendatangi rumah pelacuran. Informasi ini dimanfaatkan Jepang untuk membuka
sejumlah rumah pelacuran di Jawa. Tujuannya untuk memancing dan merekrut
orang-orang Jawa yang bekerja dalam pemerintahan menjadi mata-mata. Berdasarkan
pendapat Deacon, banyak orang Jawa berhasil direkrut dan aktif menjadi agen
Jepang di dalam lingkungan pemerintahan Hindia Belanda (Wanhar, 2014 :
71).
Dalam perang di dunia modern, negara
manapun juga tidak akan bisa menang tanpa angkatan laut yang superior. Tapi angkatan laut itu tidak
berguna bila tidak dilindungi dan disertai angkatan udara yang superior pula. Pernyataan ini benar
terbukti adanya dalam Perang Dunia II bahwa pesawat tempur merupakan sebuah
ancaman. Peristiwa Pearl Harbor pada hari Minggu tanggal 8 Desember 1941, 360
pesawat terbang Jepang, pembom dan pemburu sukses menenggelamkan dan merusakkan
hebat delapan kapal tempur Angkatan Laut Amerika (Ojong, 2008: 1). Kapal tempur
Amerika di Pearl Harbor dikaramkan oleh pesawat udara Jepang, ketika sedang
berlabuh (“sitting ducks” seperti
bebek yang lagi duduk). Dengan satu pukulan Jepang melenyapkan superioritas armada Sekutu Inggris –
Amerika di semua samudera di dunia ini, kecuali di Samudera Atlantik. Sesudah
Pearl Harbor, maka Filipina, Malaya, Indonesia ( yang waktu itu masih Hindia
Belanda), Australia, New Zeland terbuka bagi serangan Jepang (Ojong, 2008: 2).
Pertempuran di Singapura, pada tanggal 9
Desember 1941 dua kapal raksasa kepunyaan Inggris yaitu Prince of Wales dan Repulse
meninggalkan Singapura untuk mencegah pendaratan tentara Jepang di Malaya Timur
dan Utara. Jepang menerapkan strategi yang cerdik dengan mengadakan pendaratan
sekaligus di tiga tempat, Jepang memancing semua kekuatan udara Sekutu yang ada
di daratan, sehingga tidak bisa melindungi Prince
of Wales. Laksamana Inggris Sir Tom Philips yang berkedudukan di Prince of Wales masuk perangkap. Pada
tanggal 10 Desember 1941 kira-kira 50 pesawat pembom-torpedo milik Jepang
menenggelamkan kedua kapal raksasa itu. Laksamana Sir Tom Philips turut
tenggelam. Prince of Wales dan Repulse ditenggelamkan selagi berlayar.
Sebuah pelajaran yang traumatis bagi angkatan laut Inggris ataupun Sekutu
secara umumnya (Ojong, 2008: 2).
Kondisi ini diawali dari pihak Sekutu
yang memandang rendah kemampuan pilot-pilot Jepang di udara. Tadinya kalangan
Sekutu juga mengira kalau Jepang tidak bisa menyerang lebih dari satu tujuan
sekaligus. Padahal setelah Pearl Harbor, Jepang hampir bersamaan waktunya
mendarat di Filipina, Hongkong, Kalimantan Utara, Malaya, dan Guam. Semua
berhasil (Ojong, 2008: 3). Sukses gilang-gemilang dari pihak Jepang ini membuat
Sekutu kecil hati dan bingung. Jenderal Douglas MacArthur memutuskan
meninggalkan kota Manila (Filipina) pada tanggal 25 Desember 1941. MacArthur
memindahkan markas besarnya ke Bataan-Corregidor. Pada tanggal 15 Januari 1942
dibentuklah komando bersama ABDA (Amerika, Inggris, Belanda, Australia), dengan
Jenderal Sir Archibald Wavell sebagai panglima tertinggi, Laksamana Hart
sebagai panglima angkatan laut, dan Letjen Belanda Hein Ter Poorten sebagai
panglima di darat. Tim yang tidak pernah bekerja bersama dan bukanlah tim
dengan kerja tim yang baik. Apabila dibandingkan dengan pihak Jepang di bawah
pucuk pimpinan Laksamana Isoroku Yamamoto dengan tenang dapat berlatih dan
menentukan siasat mereka jauh sebelum tanggal 8 Desember 1941 (Ojong, 2008: 5-6).
Salah satu laksamana Jepang yang
memimpin pendaratan-pendaratan tentara Jepang di Asia Tenggara ialah Laksamana
Takeo Kurita. Nama yang menarik apalagi kalau dilihat bahwa serangan Jepang
dari Laut Tiongkok Selatan dan serangan dari Davao (Filipina) pada bulan
Januari-Februari 1942 adalah seperti gerakan gurita. Ini yang biasa dikenal
dengan Western Octopus dan Eastern Octopus (gurita). Tujuan kedua
gurita ini untuk mengepung pulau Jawa, benteng Sekutu terakhir di Pasifik
Barat. Namun sebelum memasuki Laut Jawa, Jepang terlebih dahulu menghadapi
pertempuran malam di laut dekat Balikpapan (Ojong, 2008: 6).
Tujuan Jepang ke Indonesia ialah minyak
dan karet. Dalam satu hari angkatan perang Jepang yang berangkat dari Cavao
(Filipina) berhasil merebut Tarakan. Karena keberhasilan ini pihak Jepang
memutuskan untuk turun ke Balikpapan yang merupakan pusat minyak yang penting.
Jepang menggunakan kapal pengangkut tentara pendaratan yang dilindungi oleh
kapal penjelajah (cruiser), kapal
perusak (destroyer) dan sebagainya
(Ojong, 2008: 7-8). Tugas menghadapi Jepang di Balikpapan di bebankan pada
armada perang Amerika Serikat yang berkedudukan di Teluk Kupang (Timor).
Commander Poul Talbot dengan empat kapal perusak model kuno (model 1919-1920) Ford, Pope, Parrott dan Paul Jones, yang terkenal dengan four pipers lantaran empat cerobong
asapnya, meninggalkan Kupang dan melewati selat di antara Flores dan Sumbawa,
Selat Makasar, lalu menuju ke Balikpapan. Waktu itu tanggal 23 Januari 1942
lewat pukul 19.30 ketika mendekati pantai Kalimantan, perintah terakhir dari
Laksamana Hart (Laksamana Amerika yang berkedudukan di Indonesia) berbunyi
“Serang”. Belanda yang telah meninggalkan Balikpapan telah mengalirkan minyak
dan membomnya dari udara dengan pembom Lockheed
Hudsons dan Brewster model kuno.
Minyak ini menyala dan merupakan api raksasa. Di laut Balikpapan sedang
berlabuh kira-kira 12 kapal pengangkut Jepang siap mendaratkan tentaranya. pelindung
mereka ialah kapal patrol dan satu skadron kapal perusak (Ojong, 2008: 8).
Kondisi sangat ideal bagi kapal perusak
Amerika sebab di daratan api raksasa sedang menyala dan menciptakan silhouette kapal-kapal Jepang. Perusak Parrott mulai menyerang dengan torpedo
namun tidak ada yang mengenai. Kenapa tidak mengenai sasaran, karena kapal
perusak ini berlayar terlampau cepat sehingga sasaran sangat sulit dikenai.
Baru pada pukul 03.00 tanggal 24 Januari 1942 setelah kapal perusak Ford dan Paul Jones turut menyerang, kapal pengangkut Sumanura Maru (3.500 ton) meledak dan tenggelam. Jepang tidak
menggunakan kapal terbang karena dikira bahwa pihak musuh menggunakan kapal
selam. Ini membuat tindakan selanjutnya adalah kekeliruan besar dari Laksamana
Shoji Nishimura. Laksamana Jepang ini memerintahkan kapal-kapal perusaknya
meninggalkan medan pertempuran dan mencari kapal selam (yang tidak ada) di
selat makasar. Dengan begitu kapal pengangkut dibiarkan tanpa pelindung. Namun sayang
kapal perusak Amerika tidak dapat memanfaatkan kondisi ini. Pada kira-kira
pukul 04.00 pagi, kapal-kapal perusak Amerika meninggalkan medan pertempuran,
Cuma satu dari tiga kapal patrol dan cuma empat dari dua belas kapal pengangkut
Jepang ditenggelamkan : Tsuruga Maru,
Tatsukami Maru, Kuretaku Maru dan Sumanura
Maru. Dari pihak penyerang hanya satu kapal perusak yang kena tembakan
terbakar tapi bisa dipadamkan (Ojong, 2008: 9). Mengapa armada Amerika tidak
dapat secara tenang menghancurkan armada Jepang ? Traumatis tenggelamnya kapal Prince of Wales dan Repulse masih terus terbayang. Kapal-kapal perusak Amerika tidak
dilindungi pesawat terbang. Setiap saat pesawat terbang Jepang bisa datang dan
menghancurkan armada laut mereka. Inilah yang ditakuti oleh komandan kapal
perusak Amerika. Selain itu, torpedo-torpedo Amerika beberapa tidak dapat
meledak. Beda dengan torpedo milik Jepang yang dapat dipercaya dan sangat
ditakuti Sekutu. Sekutu tidak berhasil menggagalkan pendaratan pasukan Jepang
di Balikpapan (Ojong, 2008: 10). Pada tanggal 15 Februari 1942 Singapura dan
Palembang jatuh ke tangan Jepang. Kini medan perang berpindah ke Laut Jawa
(Ojong, 2008: 11).
Tempat pertempuran di sekitar Pulau
Bawean, dekat Surabaya di sebelah Utara Tuban. Dari perbandingan kekuatan kedua
belah pihak ini, nyata bahwa superioritas
Jepang bedanya tidak banyak. Tapi di pihak Sekutu masih terbayang nasib malang Prince of Wales dan Repulse. Kekuatan Sekutu dipimpin oleh Karel Doorman. Ia tidak tahu
berapa kekuatan angkatan udara Jepang yang bisa menyerang dia, tapi ia tahu
bahwa ia tidak mempunyai pesawat terbang yang berarti. Semua kapal perang
Jepang satu sama lain sudah kenal baik dalam latihan, tapi tidak demikian
dengan empat macam kekuatan laut Sekutu itu (Ojong, 2008: 12-13).
Semua kapal Jepang menggunakan satu
bahasa dan satu kode. Namun ABDA tidak pernah menggunakan satu kode yang
seragam. Akibatnya mereka tidak pernah saling mengerti antara Doorman dengan kapal-kapal
Inggris, Amerika. Kode Doorman dari De
Ruyter, setibanya di Houston
harus diterjemahkan dahulu dan baru diteruskan kepada kapal perusak Amerika yang
kadang menerimanya tidak dalam urutan yang sebenarnya sehingga mengacaukan dan
membingungkan. Apalagi digunakan dua bahasa : Belanda dan Inggris. Semua kapal
Jepang mempunyai torpedo, sedangkan kapal Sekutu hanya beberapa yang memiliki
torpedo. Di tambah lagi spotter planes,
pesawat terbang selama pertempuran dilepaskan Jepang untuk memeriksa apakah
tembakan meriam mereka kena atau tidak. Pesawat tidak dimiliki oleh pihak
Sekutu karena armada udara Belanda sebagian besar telah hancur di medan
pertempuran Malaya (Ojong, 2008: 13-14).
Lemahnya kekuatan laut Sekutu terlihat
pula karena kesalahan strategi dari Laksamana Muda Doorman. Laksamana Muda
Doorman telah memberangkatkan armada lautnya sejak magrib dari pangkalan di
Surabaya pada tanggal 15 Februari 1942 untuk mencari kontak dengan musuh yang
masih jauh. Karena letihnya anak buah armada laut, maka diputuskan pulang ke
Surabaya dahulu untuk beristirahat. Tapi justru pukul 10.00 pagi hari ia
menerima perintah berikut dari Laksama Helfrich (berkedudukan di Bandung) : “Tanpa
memperdulikan serangan udara, Tuan harus menuju ke jurusan timur untuk mencari
dan menyerang musuh”. Doorman tetap meneruskan pulang ke Surabaya, namun pukul
15.00 Doorman kembal mendapat perintah dari Helfrich untuk menyerang Jepang di
Timur Bawean. Kini Karel Doorman memutar haluannya menuju ke Pulau Bawean tanpa
bisa beristirahat dahulu(Ojong, 2008: 14).
Pada pukul 16.16 pada tanggal 27
Februari 1942 kapal penjelajah berat Haguro
dan Nachi menembaki Exeter dan Houston. Pertempuran Laut Jawa telah dimulai (Ojong, 2008: 14).
Pertempuran Laut Jawa ini berlangsung sangat lama, lebih dari tujuh jam yaitu
pukul 16.16 sd 23.30. Laksamana Muda Karel Doorman tenggelam di Laut Jawa
bersama dengan kapal kapalnya : De Ruyter,
Java, dan tiga kapal perusak Jupiter, Electra dan Kortenaer. Nasib kapal Sekutu yang lain,
penjelajah berat Exeter mendapat
kerusakan berat namun bisa kembali ke Surabaya. Tapi pada 28 Februari 1942
dikaramkan oleh kapal perang Jepang dekat Surabaya. Houston dan Perth ditenggelamkan
kemudian oleh Jepang di Selat Sunda. Begitu juga kapal perusak Evertsen karam disitu. Kapal Witte de With sedang direparasi tanggal 2 Maret 1942 di Surabaya diledakkan, Encounter ditenggelamkan Jepang dekat
Surabaya pada tanggal 28 Februari 1942. Pope
menyusul ditenggelamkan tanggal 1 Maret 1942. Kapal perusak Amerika Aldem berhasil melarikan diri ke
Australia. Begitu pula kapal-kapal Amerika lain seperti Ford, P. Jones dan J. Edwards.
Sedangkan kapal Jepang dalam pertempuran Laut Jawa ini tidak ada yang tenggelam
hanya satu kapal perusak yang mengalami kerusakan (Ojong, 2008: 13).
Bersambung………
DAFTAR PUSTAKA
Ojong,
P.K. 2008. Perang Pasifik. Jakarta :
Kompas
Wanhar,
Wenri. 2014. JEJAK INTEL JEPANG Kisah
Pembelotan Tomegoro Yoshizumi. Jakarta : Kompas