TAMAN SISWA DAN PERLAWANAN TERHADAP UU SEKOLAH LIAR
Oleh
: Topan
Sejarah Taman
Siswa adalah sejarah kebangsaan Indonesia. Taman Siswa lahir pada tanggal 3
Juli 1922. Bapak gerakan ini adalah R.M. Suwardi Surjaningrat (Notosusanto,
1992: 244). Karena aktivitasnya dalam mengkritik kebijakan Belanda, beliau
dibuang di negeri Belanda. Dalam masa pembuangan tersebut ia memakai kesempatan
untuk mempelajari masalah-masalah pendidikan dan berhasil merumuskan pernyataan
azas pengajaran nasional. Pernyataan azas Taman Siswa tahun 1992 berisi 7 pasal
yaitu : Pasal ke 1 dan 2
mengandung dasar kemerdekaan bagi tiap-tiap orang untuk mengatur dirinya
sendiri. Dalam pasal 1 termasuk juga dasar kodrat alam yang lebih dikenal
dengan evolusi (Notosusanto, 1992:
245). Dasar ini mewujudkan sistem among yang salah satu seginya ialah
mewajibkan guru sebagai pemimpin yang berdiri di belakang tetapi mempengaruhi
dengan memberikesempatan kepada anak didik untuk berjalan sendiri. Inilah yang
disebut dengan semboyan Tut Wuri
Handayani. Di samping itu sudah barang tentu guru diharapkan dapat
membangkitkan pikiran murid, bila berada
di tengah-tengah murid-murid dan memberi contoh bila di depan mereka. Pasal 3
menyinggung kepentingan-kepentingan sosal, ekonomi dan politik yang mengarah
pada dasar budaya. Pasal ke 4 mengandung dasar kerakyatan, yang terealisasi
dengan perluasan pendidikan. Pasal ke 5 merupakan azas yang sangat penting bagi
semua orang yang ingin mengejar kemerdekaan hidup yang sepenuhnya (kepercayaan
kepada kekuatan sendiri). Pasal ke 6 berisi persyaratan dalam negejar
kemerdekaan diri dengan jalan keharusan untuk membelanjai sediri segala usaha (selfbedruipings system). Pasal ke 7
mengharuskan adanya keikhlasan lahir batin bagi guru-guru yang mendekati anak
didiknya ( Notosusanto, 1992: 246).
Tentang azas
tersebut diatas adalah merupakan lanjutan dari cita-cita Suwardi Surjaningrat
dan kawan-kawannya yang tergabung dalam Gerombolan Selasa Kliwon, sebagai anak
rohani gerakan politik Nationaal Indische Partij (1919 – 1921)
dan gerakan kebatinan yang menganjurkan kebebasan. Gerombolan itu terdiri dari
Ki Hadjar Dewantara, R.M Sutatmo Surjokusumo, R.M.H. Soorjo Poetro dan Ki
Pronowidigdo yang dibawah pimpinan pangeran Surjomataram mempelajari soal soal
kebatinan. Setelah Taman Siswa berdiri, maka mereka membubarkan diri, karena
berpendapat dengan ahirnya Taman Siswa itu terwujudlah sudah cita cita mereka (Notosusanto,
1992: 247).
Sesungguhnyalah pernyataan azas tersebut merupakan
perpaduan pengalaman dan pengetahuan Suwardi Surjaningrat tentang aliran
pendidikan Barat dan aliran kebatinan yang mengusahakan “kebahagiaan diri, bangsa
dan kemanusiaan”. Selama delapan tahun sejak berdirinya, maka Ki Hadjar
Dewantara dan pembantu-pembantunya bekerja secara diam-diam, dalam arti tidak
melayani kritik-kritik dari masyarakat kita sendiri maupun dari pihak Belanda
yang bernada meremehkan usaha pendidik itu. Namun secara teratur gagasan dan
usaha pendidikan yang hidup itu
dijelaskan melalui majalah pendidikan umum yang diterbitkan, yaitu Wasita.
Banyak sekolah yang telah berdiri menyerahkan sekolahnya kepada Taman Siswa (Notosusanto,
1992: 247).
Taman Siswa dan Perjuangan melawan Ordonansi Sekolah Liar:
Sebagai salah satu kebijakan
Gubernur Jenderal Mr. B.C. De Jonge, pemerintah jajahan mengeluarkan Ordonansi
Sekolah Liar (Wilde Scholen Ordonnatie – WSO) pada 17 September 1932 (Stbl:
No. 494/1932). Ordonansi itu mulai berlaku pada 1 Oktober 1932. Sampai 1 April
1933 pemerintah masih memberi kesempatan bagi sekolah swasta tak bersubsidi
untuk memenuhi persyaratan. Sesudah itu akan diambil tindakan terhadap semua
sekolah sejenis yang tidak memenuhi syarat. Menghadapi tindakan pemerintah itu,
Majelis Luhur Taman siswa bersidang pada 29 September 1932. Keputusannya, Taman
Siswa akan melawan sekuat tenaga sampai ordonansi tersebut dihapuskan.
Perlawanan akan dilakukan berdasarkan prinsip tanpa kekerasan. Pada tanggal 1
Oktober, perlawanan dimulai dengan dikirimnya telegram kepada Gubernur Jenderal
oleh ki Hajar Dewantara. Yang berbunyi:
Gubernur Jenderal Bogor
Yang mulia ordonansi yang dikeluarkan dengan
paksa dipersiapkan dengan tergesa-gesa serta mengenai seluruh sendi hidup
masyarakat setelah ditolaknya anggaran pendidikan (sehubungan dengan keputusan
Volksraad yang terlalu jauh mengenai penghematan) memberi kesan adanya
kecemasan dan kebingunan di pihak pemerintah berdasarkan salah pengertian
terhadap kepentingan rakyat stop bolehlah saya memperingatkan bahwa pihak yang
tak berdaya sekalipun mempunyai naluri mempertahankan diri dan begitu juga kami
boleh jadi karena terpaksa akan melakukan perlawanan yang gigih tapi yang
bersifat tanpa kekerasan.
Pada tanggal 3 Oktober 1932, Ki Hadjar Dewantara mengirim juga surat
kepada semua organisasi pergerakan nasional. Ki Hadjar menjelaskan bahaya
ordonansi tersebut bagi kehidupan seluruh bangsa Indonesia, dan memaparkan
sikap dan keputusan Taman Siswa. Semua organisasi nasional tanpa kecuali
mendukung sikap dan perjuangan Taman Siswa. Selain itu, juga ikut mendukung
berbagai organisasi masyarakat Cina dan Arab. Setiap organisasi mengeluarkan
protes. Ratusan orang menyatakan cara masing-masing untuk melawan, seperti bertirakat dan bernazar. Seluruh jajaran pers perjuangan menyiarkan kegiatan
perlawanan terhadap ordonansi tersebut. Pemerintah mengeluarkan edaran kepada
para pejabat agar bersikap lentur dalam pelaksanaan ordonansi. Taktik ini
ternyata tidak mempan. Rakyat terus menyatakan protes gelombang demi gelombang.
Pertengahan Oktober 1932 pemerintah mengutus Kiewiet de Jonge, wakil pemerintah di Volksraad untuk berunding
dengan Ki Hadjar Dewantara. Pertemuan ini gagal. Pada 8 Desember 1932 sidang
Volksraad membicarakan ordonansi itu atas pertanyaan salah seorang anggotanya,
P.A.A. Wiranatakoesoemah. Diusulkannya agar sekolah swasta cukup
memberitahukan, tidak perlu meminta izin, mengenai pembentukannya. Lagi-lagi pemerintah
berkeras untuk tidak mengubah ordonansinya. Akibatnya Ki Hadjar mengumumkan
rencana perlawanan baru. Dianjurkannya agar setiap rumah dijadikan perguruan, dengan
tiap orang menjadi pengajar. Rencananya itu diberi nama yang sangat
menggetarkan pemerintah, “Timbulnya
Perguruan Nasional Diatas Kuburan Sistem Sekolah Kolonial”. Dalam pertemuan
para pemimpin pergerakan di Yogyakarta, 31 desember 1932, rencana lanjutan
sesuai dengan prakarsa Ki Hadjar dibicarakan dan disepakati. Wiranatakoesoemah
mengajurkan usul agar pemerintah membuat UU baru tentang sekolah swasta tak
bersubsidi berdasarkan tiga prinsip (Parakitri T. Simbolon1995 : 732 – 735).
Pemerintah menarik kembali ordonansi sekolah liar.
1.
Dalam satu tahun pemerintah akan memberlakukan kembali ordonansi yang baru.
2.
Dibentuk suatu komisi penyusunan kembali UU sejenis.
Dikeluarkan juga suatu pernyataan, jika ordonansi tersebut tidak di tarik sebelum 31 Maret 1933, maka semua
anggota BO dan Pasundan yang duduk dalam dewan-dewan perwakilan akan keluar.
Pada 7 Februari 1933 usul Wiranatkoesoemah diterima dengan perubahan. Pada hari
itu ordonansi yang secara resmi
ditarik untuk sementara. Ki Hadjar mengumumkan juga permintaan agar perlawanan
tanpa kekerasan dihentikan. Diingatkan bahwa pekerjaan sebenarnya belum
selesai. Setiap orang Indonesia masih terus harus bekerja mengawasi jangan
sampai timbul lagi kebijakan serupa itu (Parakitri T. Simbolon1995 : 732 – 735).
KEPUSTAKAAN
Notosusanto, Nugroho dan Marwati Djoened Poesponegoro. 1992. SEJARAH NASIONAL INDONESIA V.
Jakarta: Balai Pustaka.
Parakitri T. Simbolon. 1995.
Menjadi Indonesia. Jakarta : Kompas