Jumat, 10 Februari 2012

PERISTIWA IKADA


SAMBUTAN RAKYAT INDONESIA TERHADAP PROKLAMASI KEMERDEKAAN INDONESIA
RAPAT SAMUDRA TANGGAL 19 SEPTEMBER 1945 DI LAPANGAN IKADA
( Sub judul dalam Mahasiswa ’45 Prapatan – 10 : Pengabdiannya 1 karya dr. Soejono Martosewojo, MD/MPH dan Kawan-kawan).

disusun oleh Topan Dwiono Purbaya
Pengajar di SMA Negeri 1 Kutasari
Laporan dari mahasiswa yang dikirim ke berbagai tempat di pulau Jawa menjelaskan adanya kegiatan Jepang untuk menyerahkan kembali kekuasaan kepada Sekutu. Para bekas tawanan ditempatkan di hotel, sehinggga untuk keamanan pimpinan mahasiswa menempatkan beberapa mahasiswa bekerja sebagai pelayan dan tenaga administrasi guna mengawasi gerak gerik mereka. Kemungkinan ini dapat terlaksana, karena hotel di Jakarta telah diabil alih tenaga Indonesia sejak 3 September 1945. Tanggal 8 September 1945 Sekutu menerjunkan opsirnya di Kemayoran,
sebagai gelombang pertama mengambil alih kedudukan Jepang di Jawa. Ternyata opsir Belanda pun ikut. Dari percakapan-percakapan opsir Sekutu, sekitar tanggal 15 September 1945, yang dapat disadap oleh mahasiswa yang berhasil menyamar sebagai pelayan di hotel-hotel, diperoleh keterangan, bahwa pada tanggal 19 September 1945 pasukan sekutu akan mendarat di Tanjung Priok. Dalam rombongan sekutu akan membonceng rombongan pasukan Belanda. Mereka datang untuk meneliti keadaan para tawanan. Berhubung dengan itu, maka tanggal 15 September 1945 pimpinan mahasiswa berkumpul untuk membahas situasi tesebut (Martosewojo, 1984:137).
Tan malaka (penulis Massa Actie in Indonesia tahun 1926 setebal 129 halaman, yang beberapa pendapat para peristiwa 19 September 1945 adalah pembuktian dan praktek dari isi buku ini). sepakat dengan aksi pemuda Menteng 31. Ia mengusulkan demonstrasi yang lebih besar. Demonstrasi digelar untuk mengukur seberapa kuat rakyat mendukung proklamasi. Ide ini melecut pemuda untuk menggelar rapat akbar di Lapangan Ikada. Tan Malaka berada di balik layar. Di Jakarta, kelompok pemuda menyiapkan demontrasi pada 17 September-tepat sebulan setelah Proklamasi. Tapi unjuk rasa diundur dua hari. Ada anekdot, tanggal itu dipilih karena para pemuda jengkel di maki-maki Bung karno bulan sebelumnya. Bung Karno marah karena pemuda menggelar pawai ditaman Matraman pakai obor dua hari setelah proklamasi (dikutip dari Majalah Tempo Edisi Khusus Hari Kemerdekaan Edisi 11-17 Agustus 2008 hal 34).
Dengan kondisi yang tidak baik tersebut maka diputuskanlah untuk mengadakan rapat raksasa di Lapangan Ikada di mana Bung Karno dengan segenap anggota pemerintahan hadir dan mengadakan pidato peringatan berdirinya Republik Indonesia genap 1 bulan ialah pada tanggal 17 September 1945, untuk memperlihatkan kepada masyarakat Indonesia maupun dunia luar bahwa Republik Indonesia telah betul-betul berdiri berkuasa (Martosewojo, 1984:137).
Maka kemudian dihubungi pemuda Menteng 31 untuk merencanakan pelaksanaan rapat tanggal 17 September 1945. Hal ini disampaikan kepada kelompok lain untuk di setujui sebagai acara bersama. Kemudian diadakan pembagian tugas antara pemuda dan mahasiswa dalam rangka rapat tersebut, antara lain pengerahan massa diserahkan kepada pemuda, sedangkan pengamanan lapangan rapat dipercayakan kepada mahasiswa. Beberapa mahasiswa diutus berjumpa Bung Karno untuk meminta berbicara pada acara ini. Bung Karno kemudian mengatakan bahwa sebaiknya rapat Ikada ditunda dahulu, sebab ia akan berunding dengan kabinetnya sebelum mengambil keputusan bersama.
Utusan pemuda dan mahasiswa tetap pada pendiriannya bahwa rapat harus dilanjutkan, walaupun ada larangan pihak Sekutu. Pada tanggal 16 September 1945 pagi Jepang menyebarkan pamflet yang berisi larangan bagi pihak Republik mengadakan kegiatan demonstrasi apapun, juga larangan untuk berkumpul lebih dari lima orang. Tetapi para pemuda mengambil pamflet-pamflet itu dan memusnahkannya sebelum masyarakat mengetahui isi pamflet tersebut. Pamflet ini adalah sebuah penghinaan dari Jepang terhadap bangsa Indonesia. Hal ini semakin mengobarkan semangat untuk pengadaan rapat. Mengingat sempitnya waktu mengerahkan massa untuk berkumpul, maka rencana rapat tanggal 17 September 1945 diundurkan sampai tanggal 19 September 1945 (Martosewojo, 1984:138).
Pada waktu itu sudah tersiar kabar bahwa pihak Sekutu dalam waktu dekat akan sampai di Tanjung Priuk, sehingga rapat umum perlu diadakan secepat mungkin. Untuk itu mahasiswa kemudian menghadap kembali pada hari itu tanggal 16 September 1945 pada Bung Karno untuk mendesak agar rapat tetap dilaksanakan pada tanggal 19 September 1945 dengan acara yang sama.
Tanggal 16 September 1945 kira-kira jam 07.00 malam datang di asrama Prapatan 10, Mr. Gatot Tarunamihardja, katanya diutus Pak Husin untuk berunding dengan pimpinan mahasiswa Prapatan 10 guna membentuk Komando Angkatan Perang Republik Indonesia. Sambil menyerahkan uang Rp. 35.000.- beliau mengatakan bahwa malam itu juga harus terbentuk Komando tersebut, dan selekas mungkin mengadakan serangan terhadap 3 buah cruiser Inggris yang sedang berlabuh di Tanjung Priok. Waktu itu yang menerima kedatangan adalah Eri Soedewo, Piet Mamahit dan M. Kamal.Terjadi kecurigaan dari golongan mahasiswa, maka diputuskan:Seorang pimpinan mahasiswa Prapatan 10 bagian keamanan yaitu Soejono Joedodibroto dikirim ke Bogor untuk mengecek apakah Pak Husin itu adalah Tan Malaka dan Mr. Gatot menunggu sampai Soejono kembali (Martosewojo, 1984:139).
Soejono bertemu dengan Tan Malaka di Bogor. Pesan Tan Malaka ialah supaya pemuda dan mahasiswa jangan percaya akan janji-jnaji Sekutu, dalam hal ini orang Inggris. Lekas membetnuk kekuatan bersenjata yang tangguh untuk melawan agrees Belanda di bawah naungan Sekutu(Martosewojo, 1984:140).
Tanggal 17 September 1945 Kabinet mengadakan sidang untuk membahas keinginan para pemuda dan mahasiswa. Pada siding dibahas juga mengenai penolakan surat selebaran Gunseikanbu. Tanggal 19 September 1945 keluarlah “Statemen” Pemerintah Indonesia yang isinya menolak siaran Gunseikan dan bahwa Indonesia sudah merdeka dan tidak dapat diperintah lagi oleh pihak lain, Mengenai soal rapat di Ikada, kabinet tidak dapat menyetujuinya dan minta kepada para pemuda dan mahasisa untuk membatalkannya. Para pemuda dan mahasiswa bertekad untuk tetap meneruskan rapat. Pembagian tugas diatur lebih sempurna. Para mahasiswa diserahi penanganan kota bersama BKR yang dikepalai Moefeini Moekmin. Bekas PETA, Heiho dan Seinendan dikumpulkan untuk mengadakan persipan penjagaan diseluruh kota terutama Lapangan Ikada. Penjagaan diatur supaya tidak mencurigakan Jepang. Pada tanggal 18 September 1945 pagi jam 08.00 seorang pesuruh Mr. Roem (Ketua KNI Jakarta Raya) datang ke asrama Prapatan 10 dan minta M. Kamal (Ketua III Komite Nasonal Indonesia daerah Kramat dan Senen) untuk menemui Mr. Roem di rumah. Dalam pertemuan itu Mr. Roem menjelaskan, bahwa para mahasiswa harus mengindari clash dengan Sekutu dan disamping itu menyatakan, bahwa rapat di Ikada besok tak jadi diadakan dan telah diperintahkan oleh KNI Pusat tentang pembatalan itu kepada KNI Jakarta Raya. Kamal menyatakan para pemuda mahasiswa tak sanggup membendung kemarahan rakyat(Martosewojo, 1984:140).
Tanggal 18 September 1945 siang sekitar jam 11.00 Mr. Soebardjo (Menlu) mengadakan press release. Hal-hal yang disampaikan antara lain:
1. Meminta maaf karena keterlambatan penyampaian keterangan pemerintah.
2. Sidang cabinet tanggal 17 September 1945 berlangsung sampai sekitar jam 05.00 pagi menjelang tanggal 18 September 1945 untukmenyikap surat selebaran Gunseikan dan keputusan pemuda untuk rancangan rapat tanggal 19 September 1945.
3. Putusan pemerintah mengenai tidak adanya rapat raksasa karean takut akan terjadinya pertumpahan darah dan pemerintah tidak bernai menanggung resiko ini.
(Martosewojo, 1984:141).
Mendengar keputusan tersebut pemuda-pemuda yang berkumpul pada acara itu memaksa supaya rapat harus tetap terus dilaksanakan. Maka dianjurkan supaya Soebardjo sebagai Menlu mengusahakan adanya sidang kabinet diadakan lagi hari itu juga. Para wartawan dihimbau supaya tidak memuat putusan kabinet ini supaya jangan sampai khalayak ramai dibikin kecewa oleh putusan pemerintah.
Waktu itu Soebardjo menyerahkan kepada Hasan Basri Saanin selembar surat putusan kabinet dan olehnya dipesankan untuk dimuatkan dalam Berita Indonesia. Maka sekitar jam 12 Hasan Basri pergi ke asrama Prapatan 10 menyampaikan hasil putusan kabinet. Hasil rapat mahasiswa adalah tidak boleh dimuatnya surat tersebut dan supaya diteruskan kepada para redaksi bahwa rapat perlu diteruskan (Martosewojo, 1984:142).
Pada malam hari jam 20.00 s/d 24.00 tanggal 18 September 1945 Kabinet bersidang dengan keputusan: Tetap tidak dapat mempertanggungjawabkan diadakannya rapat raksasa. Bila perlu kabinet mengundurkan diri karena Jepang telah mengancam akan menindaknya dengan kekerasan senjata sehingga dapat berakibat banjir darah. Para mahasiswa Prapatan 10 menerima pesan pengunduran kabinet pada malam hari menjelang 19 September 1945. (Martosewojo, 1984:143).
Ancaman akan meletakkan jabatannya jika pemuda-pemuda Komite Van Aksi Menteng 31 tidak dapat membatalkan maksud rapat besar tersebut disampaikan dengan surat ke Menteng 31 dan diterima jam 2 siang (Malik, 1978:67).
Setelah berunding maka diputuskan mengirimkan utusan kepada Mendagri Wiranata Koesoemah. Wiranata Koesoemah menerangkan bahwa rapat dihadiri seluruh anggota kabinet dan dipimpin Bung Karno dengan keputusan kabinet pemerintahan RI yang dipimpin Bung Karno membubarkan diri dan tak mau bertanggung jawab atas banjir darah rakyat Indonesia, gara-gara rapat raksasa yang didesakkan pemuda dan dianggap pemerintah tak banyak/ tak berarti faedahnya (Martosewojo, 1984:143-144).
Semua percakapan ini dilaporkan Nasroen dan M. Kamal ke Eri Soedewo selaku pimpinan. Lalu diadakan pengecekan kelapangan. Terlihat rombongan berduyun-duyun pergi ke lapangan Ikada. Sebagian banyak dari mereka membawa senjata tajam dan senjata api. Secara tergesa-gesa diputuskan untuk mengirim empat mahasiswa yang dipimpin Eri Soedewo dan Mohammad Kamal (kepala bidang penerangan kelompok mahasiswa) untuk mengusahakan agar Bung Karno datang ke rapat Ikada (Martosewojo, 1984:145).
Ketika empat orang pimpinan mahasiswa Prapatan 10 datang bersepeda pagi-pagi buta dihalaman rumah Bung Karno di Pegangsaan Timur 56, mereka disambut Bung Karno dengan teriakan: “Aku tidak menerima pemuda”. “Kami adalah mahasiswa” jawab M. Kamal. “Kalau begitu masuklah”, sambut Bung Karno (Martosewojo, 1984:146).
Mahasiswa mengemukakan segara resiko jika Bung Karno itu datang dan tidak usah takut ada pertumpahan darah sebab tugas Jepang dari Sekutu adalah menjaga keamaan dan ketentraman saja. Jepang dilarang mengadakan tindakan kekerasan sebab Sekutu khawatir kalau sampai terjadi tindakan kekerasan, maka keselamatan para tawanan di kamp konsentrasi dan hotel akan terancam (Martosewojo, 1984:145).
Soekarno terlihat gelisah dan marah. Sambil mondar-mandir dan sebentar-sebentar melihat keluar dari jendela, beliau berkata dengan geram: “Apa maksud pemuda dengan rapat raksasa itu. Saya tak mau bertanggung jawab jika untuk itu terjadi banjir darah rakyat”. Kemudian Soekarno meneruskan “Carilah Presiden yang lain carilah pemimpin yang lain, menggantikan Bung Karno”. “Coba Bung Karno ulangi sekali lagi mengucapkannya, supaya dapat saya catat dan umumkan kepada rakyat”, celetuk M. Kamal, sambil mengambil kertas dan pinsil dari tas yang disandangnya. Bung Karno tertegun sebentar sambil menunjuk kepada M. Kamal, Beliau bertanya : “Siapa dia ini?”. “O, ia kepala Bagian Penerangan kami, di Prapatan 10”, jawab Eri Soedewo. “Apa maksud Saudara”, tanya Bung Karno kepada M. Kamal. Sebelum M. Kamal menjawab, Eri Soedewo bertanya apakah betul kabinet telah mengundurkan diri yang dijawab oleh Bung karno: “kalau rapat diteruskan, kabinet bubar”. Tetapi jawab eri Soedewo lagi kalau kabinet bubar Bung Karno kan masih tetap Presiden dan dapat membentuk kabinet baru karena Presiden tidak dapat begitu saja turun. Kemudian Bung Karno bertanya, “Apakah kamu berani bertanggung jawab kalau rapat diteruskan dan terjadi pertumpahan darah” (Martosewojo, 1984:146).
Para mahasiswa sanggup sebab Jepang tak akan memakai senjatanya, hanya untuk menakut-nakuti saja. Sedang rakyat sudah berani dan akan melawan. Bung karno bertanya,”Kamu sekalian berani menerima alih tugas Pemerintah” dijawab ”berani”. Bung Karno membentak: ”Edan kamu”. Lalu M. Kamal menjelaskan bahwa rakyat telah lama menunggu untuk mengenal pemerintahnya. “Kalau Bung Tak mau datang akan terjadi huru-hara dan terjadi banjir darah. Apakah Bung Karno tega rakyat menjadi korban kebuasan Kempeitai Jepang? Bukan saja pemimpin berhak atas pembelaan rakyat, sebaliknya rakyatpun berhak atas bimbingan pemimpinya, apalagi dalam keadaan genting seperti sekarang ini”. Bung Karno menjawab ”Bagaimana dengan Bung Hatta?”.
Mahasiswa menjawab: “Bung Hatta setuju pergi ke Ikada” (padahal mahasiswa belum mendapat kepastian dari Moh. Hatta). “Kalau begitu saya segera pergi”, sambut Bung Karno.
Bung Karno dan anggota Kabinet berkumpul di Gedung KNI pada pukul 09.00 dan melakukan sidang sebelum ke Ikada. Undangan melalui telepon. Selanjutnya 4 mahasiswa itu pergi ke rumah Bung Hatta. “Apa Bung Karno pergi?” tanya Hatta sesudah mendengar penjelasan mahasiswa. “Pergi”, jawab mahasiswa. “Kalau begitu saya pergi”, jawab Hatta (Martosewojo, 1984:147).
Pamflet aksi disebar dan di temple dimana-mana. Sukarnikeluar masuk kampong, menemui kepala desa, tokoh masyarakat, pemuda, hingga kiai, agar datang ke Lapangan Ikada(dikutip dari Majalah Tempo Edisi Khusus Hari Kemerdekaan Edisi 11-17 Agustus 2008 hal 34).
Pada tanggal 19 September 1945 pagi-pagi, sebelum matahari terbit, Jepang yang sudah mengambil stelling (bersiap-siap) disekitar lapangan. Beberapa tank dan mobil lapis baja berjejer di pojok-pojok lapangan, dijaga tentara Jepang dengan Yukikanju (senapan mesin) bedil dengan bayonet terhunus, juga serdadu dalam posisi tiarap ditempat-tempat strategis. Melalui radio Jepang berulang menyiarkan peringatan rapat tidak jadi. Walaupun demikian rakyat terus datang. Mereka sempat tertahan oleh serdadu jepang tapi rakyat terus menerus memasuki lapangan. Bambu runcing atau senjata tajam ada yang dapat dirampas Jepang. Mereka telah mengelilingi tank dan panser untuk bersiap bila terjadi apa-apa. Tengah hari lapangan Ikada telah penuh. Di gedung KNI dekat lapangan Banteng sudah berkumpul kabinet untuk bersidang. Yang bertindak sebagai keamanan adalah mahasiswa dan pemuda Menteng 31(Martosewojo, 1984:148).
Gunseikan pagi itu memanggil pimpinan pemerintah RI untuk pembubaran massa. Pukul 12.00 siang kabinet mengirim Soewirjo dan Mr. Roem untuk menghadap Gunseikan dan menerangkan bahwa rapat hendaknya tetap diteruskan. Gunseikan menegaskan, bahwa jika massa tidak dibubarkan, pihak Jepang terpaksa bertindak dengan jalan kekerasan. Sementara sampai pukul 15.00 di gedung KNI Pusat belum ada keputusan. Berkali-kali datang kurir yaitu Daan Jahja dan Soebianto berkendaraan sepeda motor ke sidang mengatakan supaya lekas datang, rakyat sudah mulai gelisah, hari sudah dekat senja. Dari pagi di bawah terik panas matahari khas Jakarta rakyat yang dalam kondisi tidak minum tidak makam terus menyanyikan lagu perjuangan dan yel-yel. Banyak dari mereka membawa senjata yang disembunyikan (Martosewojo, 1984:149).
Kira-kira jam 15.00 Daan Jahja dan Soebianto datang lagi tergesa-gesa sambil berteriak: “Kami tak berani bertanggung jawab lagi, pergilah kalian sendiri menenteramkan rakyat, keadaan sudah kritis”. Kebetulan Soekarni membuka pintu gedung KNI sambil melongo dan menanyakan situasi kepaa M. Kamal. Dengan kesal M. Kamal berkata: ”Nah, barusan saja datang kurir dari Ikada mengatakan keadaan sudah berbahaya terlalu lama rakyat menunggu dari pagi dibawah terik sinar matahari, ayoh, lekas stop saja rapat yang bertele-tele itu, yang takut tinggalkan saja tak usah ikut”. Soekarni masuk, tiba-tiba Bung Karno mengucapkan kata-kata yang melegakan sidang, setelah menerima surat dari Bung Hatta berasal dari Soebijanto Margono dan Daan Jahja. Surat itu memberitahukan bahwa mahasiswa menjamin keselamatan jiwa Bung Karno dan Bung Hatta. Setelah membaca surat tersebut Bung Karno mengatakan: ”Saudara-saudara Menteri, dengarkanlah putusan saya. Saya akan pergi ke Lapangan Ikada untuk menenteramkan rakyat yang sudah berjam-jam menunggu. Saya tidak akan memaksa saudara-saudara untuk ikut saya. Siapa yang mau tinggal di rumah boleh, terserah kepada saudara masing-masing”.
Waktu itu jam menunjukkan pukul 15.00, sidang berakhir. Di depan tangga sudah menunggu dua deretan mobil yang akan membawa rombongan. Bung Karno dan Hatta masuk dalam mobil nomor dua (mobil ini berwarna hijau dan merupakan mobil rampasan milk Kenpeitaicho dan dibawa oleh Soejono Joedodibroto), Bung Karno dan Hatta dikerumuni mahasiswa berbadan besar yaitu K. Soemarsono, Imam Abikoesno. Mobil pertama adalah mobil Soekarno. Menteri masuk dalam mobil yang lain. Masing-masing mobil dikawal satu mahasiswa. Rombongan dikawal dengan iringan sepeda motor yang terdiri dari mahsiswa didahului oleh Daan Jahja dan Soebianto. Keluar dari gedung KNI Pusat mobil melalui jalan Senen Raya ke Pegangsaan Timur 56 untuk memberi waktu Bung Karno ganti pakaian. Di Prapatan Senen mobil dibelokkan ke Prapatan 10 dan Bung Karno berganti pakaian. Jam 16.00 rombongan berangkat lagi ke Ikada. Mobil Kempeitaicho diisi kembali oleh Bung Karno dan Hatta, sedangkan K. Soemarsono dan Imam disamping kanan dan kiri di jok depan disamping Soejono Joedodibroto duduk. Di Jok belakang Eri soedewo dengan satu mahasiswa lagi mengapit Bung karno dan Hatta. Sedangkan Soejono Martosewojo dan T. Pattiasina duduk di depan di atas kap.
Mobil melaju melalui jalan Prapatan Kwitang masuk Menteng Raya dan di tikungan jalan Gambir Selatan sebelum masuk lapangan pada pintu kereta api Bogor-Jakarta iring-iringan mobil dihentikan oleh serdadu Kempetai yang berjaga. Kira-kira 20 meter di jalan, muka gedung Jawatan perjalanan (Sekarang gedung kedutaan Amerika) dalam posisi tiarap 3 serdadu Jepang siap tembak dengan sebuah “Yukikanju” (senapan mesin).
Di sekeliling mereka beberapa orang serdadu bersenjatakan bedil dan bayonet terhunus menghadap rakyat yang penuh sesak berdiri di pinggir jalan. Keadaan hening, kritis beberapa saat sebelum Kempeitaicho bergerak, berjalan menuju mobil paling depan, mobil Soekarno yang didalamnya duduk mahasiswa dan Akman sebagai sopir. Lantas Eri soedewo dan M. Kamal turun dan berdiri di belakang tiga orang menteri di antaranya Ali Sastroamidjojo dengan memegang kantong celana yang berisi pistol. Terdengar Dr. Bahder Djohan berbicara ”Mengapa ini”. Kempeitaico menoleh kearah suara, kemudia meneruskan pemeriksaan dengan melihat di dalam mobil Kempeitaicho yang kedua “Soekarnokah?” jelas sekali kedengaran suaranya, sambil menggelengkan kepalanya mobilnya yang sudah lebih sebulan hilang kiranya sekarang ada di depannya, kemudian berisi Presiden dan wakil Presiden RI. Kelihatan senyuman menyungging di mulutnya yang tadinya terkatup keras dan padangan muka yang bengis. Segera hilanglah suasana tegang yang mencakup khalayak ramai berdiri ditepi-tepi jalan. Kemudian meledaklah tawa waktu Bung Karno dan Hatta beserta mahasiswa yang berfungsi sebagai Body Guard keluar dari mobil hijau. Terjadi dialog antara Bung Karno dan Kempeitaicho (kepala Kempetai), dimana Kempeitaicho mengatakan, bahwa ia disuruh, menyampaikan larang menghadiri rapat di Lapangan Ikada. Bung Karno menjawab, bahwa ia harus menentramkan rakyat yang sudah sejak pagi menantikan kedatangannya bersama anggota-anggota kabinet pemerintahan RI yang Merdeka (Martosewojo, 1984:150-152).
Ada kira-kira 10 menit dan Soekarno berhasil meyakinkan Kempeitaicho. Diapit oleh para mahasiswa, Bung Karno oleh Eri Soedewo dan Imam Abikusno, serta Bung Hatta oleh Abdoel Fatah dan M. Kamal, rombongan pemerintah dan mahasiswa memasuki Lapangan Ikada. Terdengar riuh rendah rakyat bersorak melihat kedatangan para pemimpinnya (Martosewojo, 1984:153). Tibalah Bung Karno-Hatta dan lain-lain dengan di elu-elukan oleh seluruh rakyat yang dilewatinya. Untuk memasuki lapangan itu saja, perlu waktu setengah jam baru dapat sampai ke tengah-tengah lapangan (Malik, 1978 :69). Tapi Kempeitaicho coba menghalangi lagi saat Bung Karno akan menuju naik ke mimbar yang sudah tersedia di lapangan menghadap ke rakyat. Terjadi perdebatan. Bung Karno mulai keras suaranya, agak marah. Lalu dalam waktu pembicaraan terhenti, tiba-tiba terdengar suara nyeletuk: ”Engkau debat ini bertele-tele. Hentikan saja, rakyat sudah gelisah” kata-kata ini diarahkan kepada Bung Hatta dan diucapkan dalam dialek minang. Tan Malaka mengenakan baju Teluk Belanga cokelat dan pakai topi Vilt, berdiri diantara Ali Sastroamidjojo dan M. Kamal. Tak sabar melihat sikap Jepang. Dengan melihat sekelilingnya akhirnya si Jepang membiarkan Bung Karno untuk berbicara kepada rakyat yang bersorak-sorak(Martosewojo, 1984:153-154).
Beliau berkata sebagai berikut:
“ Sebenarnya Pemerintah Republik Indonesia telah memberi perintah untuk membatalkan rapat ini, tapi karena saudara-saudara memaksa, maka saya datang ke sini dengan Menteri-Menteri Pemerintah Republik Indonesia. Sekarang saya berpidato sebagai saudaramu. Saya minta saudara-saudara tinggal tenang dan mengerti akan pimpinan yang diberikan oleh pemerintah Republik Indonesia. Percayalah kepada Pemerintah Republik Indonesia kalau saudara-saudara memang percaya kepada Pemerintah Republik Indonesia yang akan mempertahankan Proklamasi kemerdekaan ini, walaupun kami akan robek karenanya, maka berikanlah kepercayaan itu kepada kami, dengan tunduk dan disiplin terhadap perintah-perintah kami. Sesudah perintah ini, marilah sekarang kita pulang dengan tenang dan teratur”. (Martosewojo, 1984:154-155).
Waktu Bung Karno naik mimbar, gegap gempitalah massa rakyat menyambutnya. Setelah Bung Karno minta supaya massa diam dan mendengarkan baik-baik apa yang akan disampaikan beliau, maka dengan spontan, segera rakyat diam. Setelah Bung Karno berpidato singkat, maka bubarlah massa rapat yang tak ada bandingannya itu. (Martosewojo, 1984:155). Jumlah massa di perkirakan 200 ribu. Salah satu yang hadir adalah Pramoedya Ananta Toer (sastrawan dan sejarawan Indonesia yang saat itu berumur 20 tahun) mengungkapkan bahwa “itulah pertama kali saya saksikan orang Indonesia tidak takut lagi pada Dai Nippon” (dikutip dari Majalah Tempo Edisi Khusus Hari Kemerdekaan Edisi 11-17 Agustus 2008 hal 34). Walaupun demikian mereka tidak langsung pulang ke rumah masing-masing, rakyat berbaris di jalan-jalan besar sambil membawa semboyan-semboyan dan bendera-bendera kecil merah putih. Arak-arakan dan demonstrasi berjalan terus sepanjang jalan sampai hari malam. Arak-arakan itu berputar-putar melalui halaman rumah Bung Karno dan bung Hatta, bukan saja untuk menunjukkan semangat mereka tetapi juga untuk memperlihatkan ketidak puasan dan kerelaan mereka berjuang dengan sepenuh kekuatan dan tenaga, untuk Proklamasi dan Republik (Malik,1978: 70).

Kepustakaan

Martosewojo, soejono., Eri Soedewo dan kawan-kawan, 1984. MAHASISWA ’45 PRAPATAN – 10 : PENGABDIANNYA 1. Bandung: Patma.
Malik, Adam. 1978. MENGABDI REPUBLIK Jilid II: Angkatan 45. Jakarta: Gunung Agung.
Edisi Khusus Hari Kemerdekaan, TEMPO, Edisi 11-17 Agustus 2008, BAPAK REPUBLIK YANG DILUPAKAN, Tan Malaka (1897-1949).

4 komentar:

  1. materi bagus kok g ada yang comment yah...wah kayaknya budaya baca kita siswa dan guru perlu ditingkatkan!!!salam jasmerah bang topan...
    mampir ke blog saya INSAN MADANIA :wartamadania.blogspot.com

    BalasHapus
  2. Materinya bagus. Ketika membaca jadi seperti ada dalam peristiwa itu. Namun lebih sempurna lagi jika disertai gambar😁 dan masih banyak kata yang tulisannya berbalik/ketuker hurufnya.
    Good Pak Topan

    BalasHapus
    Balasan
    1. Maturnuwun kak Selin Setiani, akan menjadi periksa bagi kami untuk memperbaiki materi pembelajaran sejarah supaya lebih baik lagi.

      Hapus