Jumat, 05 Juni 2020
Senin, 01 Juni 2020
METODE PENELITIAN SEJARAH MENURUT KUNTOWIJOYO
METODE PENELITIAN
SEJARAH MENURUT KUNTOWIJOYO
Oleh : Topan
Penelitian
sejarah mempunyai lima tahap, yaitu (1) pemeilihan topic, (2) pengumpulan
sumber, (3) verifikasi (kritik sejarah, keabsahan sumber), (4) interpretasi :
analisis dan sintesis, dan (5) penulisan (Kuntowijoyo, 2013 : 69).
PEMILIHAN TOPIK
Hampir
semua masalah merupakan hal baru yang belum ditulis orang. Tantangan lain bahwa
anda harus menulis sejarah bukan sosiologi, antropologi, atau politik. Oleh
karena itu topikpun harus topik sejarah, yang dapat diteliti sejarahnya. Topik
yang “workable”(bisa diterapkan)
dapat dikerjakan dalam waktu yang tersedia. Tidak terlalu luas sehingga
melampaui waktu. Kalau anda harus menulis skripsi S-1, jangan memilih topik seolah-olah
anda mau menulis disertasi. Sebaliknya, kalau anda harus menulis skripsi, jangan merencanakan menulis paper, sebab topik yang hanya cocok
untuk sebuah paper jangan diolor-olor
untuk sebuah skripsi. Topik sebaiknya dipilih berdasarkan : (1) kedekatan
emosional dan (2) kedekatan intelektual. Dua syarat itu, subjektif dan objektif, sangat penting,
karena orang hanya akan bekerja dengan baik kalau dia senang dan mampu. Setelah
topik ditentukan biasanya kita membuat (3) rencana penelitian (Kuntowijoyo,
2013 : 70).
Kedekatan
Emosional
Kalau
kebetulan anda dari desa, dan ingin berbakti pada desa tempat kita lahir,
menulis tentang desa sendiri adalah paling strategis. Diupayakan anda punya
hubungan baik dengan orang dalam supaya mudah mendapat keterangan lisan serta
arsip yang dimiliki oleh desa. Yang perlu diyakini adalah tulisan itu berharga.
Mungkin yang anda tulis adalah sebuah desa, namun demikian desa yang berlokasi
begitu kecil ternyata cukup banyak mempunyai persoalan. Ada masalah pertanahan,
ekonomi, politik, demografi, mobilitas sosial, kriminalitas, dan sebagainya (Kuntowijoyo,
2013 : 70-71).
Dari
batasan geografis maka muncul pertanyaan “where”,
yaitu daerah mana yang menjadi objek penelitian. Kemudian kita harus menetapkan
batas waktu dalam artian sumber tertulis maupun lisan yang masih tersedia. Ini
berarti kita memunculkan pertanyaan “When”.
Selanjutnya siapa saja yang terlibat di dalamnya, itu pertanyaan tentang “who”. Kemudian perlu diketahui apa yang
dikerjakan oleh setiap orang, ini pertanyaan “what”. Dapat pula ditanyakan tentang motivasi dari tiap-tiap
perbuatan, ini pertanyaan tentang “why”.
Kemudian dapat ditanyakan secara umum, apa yang terjadi dalam permalahan dan
bagaimana terjadi. Ini berarti kita harus membagi bagi peristiwa, periodisasi,
ke dalam babakan waktu. Nah proses kearah itulah yang jadi pertanyaan “how”, bagaimana terjadinya (Kuntowijoyo,
2013 : 71).
Kedekatan
Intelektual
Apabila
seorang peneliti tertarik dengan masalah pedesaan pasti buku apa saja yang
berkaitan dengan rural, petani, tanah, geografi pedesaan , ekonomi pedesaan,
dan sebagainya sudah di bacanya. Dengan demikian dia dapat menempatkan desanya
dalam “peta” persoalan pedesaan (Kuntowijoyo, 2013 : 71). Bahwa lain dari
seseorang yang terlibat secara emosional ialah pertimbangan intelektualnya akan
dipengaruhi oleh emosi sehingga sejarah berubah menjadi pengadilan. Padahal,
sejarah adalah ilmu empiris yang
harus menghindari penilaian subjektif.
Kedekatan emosional itu harus diakui secara jujur supaya orang dapat membuka
jarak (Kuntowijoyo, 2013 : 72).
Rencana
Penelitian
Biasanya
kita harus membuat perencanaan yang berisi : (1) permasalahan, (2)
historiografi, (3) sumber sejarah, dan (4) garis besar. Masih ada lagi yaitu
pendanaan dan skedul waktu.
Dalam
permasalahan
perlu dikemukakan subject matter dan
tujuan penelitian, luasan dan batas penelitian dalam tempat dan wakktu, serta
teori dan konsep yang dipakai.
Dalam
historiografi,
perlu dikemukakan sejarah penulisan dalam bidang yang akan diteliti. Kalau kita
mengambil soal tanah, maka penelitian sejarah tentang tanah harus kita review. Dengan review, kita memberitahukan apa kekurangan para peneliti terdahulu
dan apa yang masih perlu diteliti. Dalam
hal penelitian kita sangat orisinal, dan tidak ada historiografinya, kadang
kadang historiografi diganti dengan bibliografi. Isinya sama dengan historiografi (Kuntowijoyo, 2013 : 72).
Sebelum
ke lapangan orang harus tahu sumber
sejarah yang akan dicari, bagimana mencari, dan mana dicari. Ini bisa
dilakukan dengan cara membaca sumber tertulis ataupun dengan melalui sumber
lisan kepada orang-orang yang bersangkutan (Kuntowijoyo, 2013 : 72-73).
Tentang garis
besar,
harus segera tampak. Lebih baik garis besar itu terurai sehingga dengan mudah
orang membacanya. Yang perlu diingat bahwa garis besar itu dapat berubah. Garis
besar sementara itu akan sangat berguna dalam proses penelitian, sebab setiap
data dapat kita masukkan dalam bab-babnya (Kuntowijoyo, 2013 : 73).
PENGUMPULAN
SUMBER
Sumber
(sumber sejarah disebut juga data sejarah; data - dari bahasa Inggris datum bentuk tunggal atau data bentuk jamak, bahasa latin datum berarti “pemberian”) yang
dikumpulkan harus sesuai dengan jenis sejarah yang akan ditulis. Sumber itu,
menurut bahannya dapat dibagi menjadi dua yaitu tertulis dan tidak tertulis,
atau dokumen dan artifact (artifact).
Selain itu, karena kita akan menulis hal-hal baru, pastilah ingatan orang akan
peristiwa-peristiwa masih dapat direkam. Apabila kita meneliti masalah-masalah
sekarang, sumber lisan itu bukan saja ada, tetapi harus dicari dengan sejarah
lisan. Demikian juga, karena yang akan kita teliti kadang terkait dengan
angka-angka maka sumber yan berupa angka-anka pasti tersedia. Dengan kata lain
sejarah kuantitatif sangat perlu.
Kita hanya akan membicarakan sumber primer, meskipun dalam kelangkaannya,
sumber-sumber tertulis yang berupa koran, buku-buku, dan penerbitan lain amat
menentukan (Kuntowijoyo, 2013 : 73).
Dokumen Tertulis
Kalau
kita sudah menentukan subject matter
yang akan ditulis dan lokasinya, kemudian luasan waktu. Ambil satu permulaan
waktu dan tentukan waktu akhir untuk batas waktunya. Hal ini dengan harapan
kita bisa melihat perubahan yang terjadi dari generasi ke generasi. Dengan
harapan itulah kita mulai sumber sejarah. Dalam tingkat ini, sebelum memulai
keabsahan dari interpretasi maka
masih kita sebut dengan data sejarah, belum menjadi fakta sejarah. Dokumen
(dari bahasa latin “docere” yang
berarti “mengajar”) tertulis dapat berupa surat, notulen rapat, kontrak kerja,
bon-bon, dan sebagainya. Surat-surat dapat berupa surat pribadi, surat dinas
kepada pribadi dan sebaliknya, serta surat antar dinas. Surat semacam itu dapat
ditemukan di lemari pribadi atau dinas. Notulen rapat dinas dapat kita temukan
di kantor, dan notulen rapat ormas dapat kita temukan di kantor ormas. Adapun
kontrak kerja dan bon-bon sama saja tempatnya, di pribadi, perusahaan ataupun
dinas. Tetapi kita khawatir bahwa dokumen tertulis sudah tidak ada, sehingga
kita hanya tergantung kepada artifact,
sumber lisan dan sumber kuantitatif (Kuntowijoyo,
2013 : 74).
Artifact
Artifact dapat berupa
foto-foto, bangunan, atau alat-alat. Foto sangat mungkin dimiliki oleh
keluarga. Foto dari setiap generasi akan menunjukkan perubahan sosial antar
keluarga dan antar generasi. Latar belakang foto akan menunjukkan gaya hidup
tiap keluarga. Demikian juga data lain tentang perabot rumah, pakaian,
kendaraan, “klangenan”, mungkin
terungkap lewat foto. Yang masih besar kemungkinan adanya adalah bangunan. Sedapat
mungkin temukan bangunan yang masih asli (Kuntowijoyo, 2013 : 74-75).
Menurut
urutan penyampaiannya, sumber itu dapat dibagi ke dalam sumber primer dan
sekunder. Sumber sejarah disebut primer bila disampaikan oleh saksi mata. Misalnya
catatan rapat, daftar anggota organisasi, dan arsip-arsip laporan seorang
asisten residen abad ke 19. Seorang sejarawan harus berusaha mendapatkan sumber
primer. Apa yang disebut sumber primer oleh sejarawan misalnya arsip-arsip
kelurahan, sering disebut sebagai sumber sekunder dalam penelitian ilmu sosial.
Hal ini terjadi, karena yang dianggap sumber primer dalam ilmu sosial ialah
wawancara langsung dengan responden. Adapun
dalam ilmu sejarah, sumber sekunder ialah yang disampaikan oleh bukan saksi
mata. Misalnya kebanyakan buku hanya mengandung sumber sekunder. Sejarawan tidak mempersoalkan sumber primer
atau sekunder kalau hanya terdapat satu sumber. Misalnya, data sejarah tentang
jual beli tanah atau jumlah murid sekolah pada abad ke 19, sejarah hanya
tergantung pada laporan tercetak. Sejarawan wajib menuliskan darimana data itu
diperoleh, baik primer maupun sekunder (Kuntowijoyo, 2013 : 75).
Sumber Lisan
Bila
terjadi perubahan secara fisik perlulah dicermati perubahan apa yang terjadi. Ini
lebih baik ditanyakan sebab apa yang kita lihat belum tentu mewakilinya. Sebelum
kita bertanya sesuatu ada baiknya kita sudah banyak membaca (Kuntowijoyo, 2013 :
75). Ada dua syarat yang harus dipenuhi sebelum melakukan interviu. Pertama, harus dikuasai sungguh-sungguh bagaimana
mengoperasikan tape recorder. Ada cara-cara
tertentu bagaimana supaya suara-suara diluar tidak terdengar, bagaimana supaya
suara lebih keras atau lebih lunak, bagaimana interviu di dalam atau diluar, bagaimana mengatur supaya tape tidak mengganggu, bagimana mengatur
intervieu bersama sama. Ada interviu tunggal dan ada interviu simultan; soal keluarga
biasanya suami istri menemui pewawancara bersama-sama atau beberapa keluarga
menjadi satu. Akan sangat memalukan, kalau sekedar mengoperasikan tape saja kita tidak bisa. Kedua, sebelum
pergi, belajarlah sebanyak-banyaknya. Itu akan membuat kita yakin diri. Jangan terlalu
banyak bertanya, tetapi juga jangan kehilangan bahan pertanyaan. Jangan ada
kesan memaksa, kita harus siap menjadi pendengar. Kita harus menyiapkan
pertanyaan terurai, setidaknya ada daftar pertanyaan berupa check list. Sesampai di rumah, tape harus kita dengarkan kembali dan
kita transkrip, lalu kita mintakan
tanda tangan. Untuk mengormati hak interviu,
kita harus menanyakan apa semuanya bisa
didengar orang. Ada juga interviu
yang bersifat “rahasia”, baru boleh dibuka setelah dia meninggal, interviu semacam itu, yang sifatnya confidential, biasanya kita simpan di
tempat aman, misalnya arsip nasional. Masalah hukum juga penting ditetahui
pewawancara (Kuntowijoyo, 2013 : 76).
Sumber
Kuantitatif
Sumber
kuantitatif, baik berupa pajak, akunting, atau catatan lain. Yang perlu
diyakinkan adalah keingintahuan sejarawan itu aman, semata-mata untuk
kepentingan ilmu. Angka-angka yang dikira urusan pribadi itu, ternyata mempunyai
makna sosial, social significance,
yang andakata tidak ada sejarawan pastilah hanya berupa catatan-catatan
pribadi. Untuk mengetahui perkembangan kekayaan antargenerasi, sumbangan kepada
lingkungan sosial, keagamaan, politik, pendidikan, kebudayaan, dan sebagainya,
perlu diketahui angka-angka itu (Kuntowijoyo, 2013 : 76-77).
VERIFIKASI
Setelah
kita mengetahui secara persis topik kita dan sumber sudah kita kumpulkan, tahap
yang berikutnya ialah verifikasi,
atau kritik sejarah, atau keabsahan sumber. Verifikasi
itu ada dua macam : autentisitas,
atau keaslian sumber atau kritik ekstern,
dan kredibilitas, atau kebiasaan dipercayai atau kritik intern (Kuntowijoyo, 2013 : 77).
Autentisitas
Saat
kita menemukan surat, notulen rapat dan daftar tertentu. Kertanya sudah
menguning, baik surat, notulen atau daftar. Baru menemukan dokumen saja sudah
suatu prestasi, rasanya tidak sampai hati untuk tidak memercayainya. Untuk membuktikan
keaslian sumber, rasanya terlalu mengada-ada, sebab untuk apa orang memalsukan
dokumen ? surat, notulen, dan daftar itu harus kita teliti : kertasnya,
tintanya, gaya tulisannya, bahasannya, kalimatnya, ungkapannya, kata katanya,
hurufnya, dan semua penampilan luarnya, guna mengetahui autentisitasnya. Selain pada dokumen tertulis, juga pada artifact, sumber lisan, dan sumber kuantitatif, kita harus membuktikan
keasliannya (Kuntowijoyo, 2013 : 77).
Kredibilitas
Setelah
kita tentukan bahwa dokumen itu autentik,
kita akan meneliti apakah dokumen itu bisa dipercaya. Kita contohkan kita akan
meneliti surat pengangkatan sebagai ketua koperasi batik. Harus kita buktikan
apakah benar Sarekat Islam punya
koperasi batik, tahun itu ketua koperasinya lowong, orang itu adalah
anggota Sarekat Islam, dan kredibilitas
foto – misalnya foto ucapan selamat dalam upacara penyumpahan – itu akan tampak
dalam pertanyaan, apakah waktu itu sudah lazim ada ucapan selamat atas
pengangkatan seseorang ? kalau semuanya positif, tidak ada cara lain kecuali
mengakui bahwa dokumen itu credible (Kuntowijoyo,
2013 : 77-78).
INTERPRETASI
Interpretasi atau penafsiran
sering disebut sebagai biang subjektivitas.
Benar tapi juga salah. Benar, karena tanpa penafsiran sejarawan, data tidak
bisa berbicara. Sejarawan yang jujur akan mencantumkan data dan keterangan dari
mana data itu diperoleh. Orang lain dapat melihat kembali dan menafsirkan
ulang. Itulah sebabnya, subjektivitas
penulisan sejarah diakui, tetapi untuk dihindari. Interpretasi itu dua macam yaitu analisis dan sintesis (Kuntowijoyo,
2013 : 78).
Analisis
Analisis berarti
menguraikan. Kadang sebuah sumber mengandung beberapa kemungkinan. Misalnya
kita temukan daftar pengurus suatu ormas di kota. Dari kelompok sosialnya, kita
baca disitu ada petani bertanah, pedagang, pegawai negeri, petani tak bertanah,
orang swasta, guru, tukang, mandor. Kita dapat menyimpulkan bahwa ormas itu
terbuka untuk semua orang. Jadi, bukan khusus untuk petani bertanah, tetapi
untuk petani tak bertanah, pedagang, pegawai negeri, dan sebagainya. Setelah
analisis itu kita temukan fakta (dari bahasa Inggris fact atau factum- bentuk
tunggal, facts atau facta – bentuk jamak; bahasa Latin factus dari facere, yang berarti “mengerjakan”) bahwa pada tahun itu ormas
tertentu bersifat terbuka, berdasarkan data yang kita peroleh dan kita
cantumkan. Melalui analisis statistik, atau melalui persentase biasa, kita
temukan fakta bahwa harga tanah naik. Dalam demografi
kita dapat menemukan bahwa secara total terjadi integrasi (Kuntowijoyo, 2013 : 78-79).
Sintesis
Sintensis berari
menyatukan. Setelah ada data tentang pertempuran, rapat-rapat, mobilisasi
massa, penggantian pejabat, pembunuhan, orang-orang mengungsi, penurunan dan
pengibaran bendera, kita temukan fakta bahwa telah terjadi revolusi. Jadi,
revolusi adalah hasil interpretasi
kita setelah data-data kita kelompokkan menjadi satu. “Mengelompokkan” data itu
hanya mungkin kalau kita punya konsep. Revolusi
adalah generalisasi konseptual yang
kita peroleh dari pembacaan. Dalam interpretasi
– baik analisis maupun sintesis orang bisa berbeda pendapat. Perbedaan
interpretasi itu sah, meskipun datanya
sama (Kuntowijoyo, 2013 : 79).
Kadang
perbedaan antara analisis dan sintesis itu dapat kita lupakan,
sekalipun dua hal itu penting untuk proses berpikir. Kita menyebutnya dengan interpretasi, atau analisis sejarah, tidak pernah kita dengar “sintesis sejarah”. Sama halnya, kita selalu mengatakan analisis statistik untuk analisis dan sintesis. Kadang antara data dan fakta hanya ada perbedaan
bertingkat, jadi tidak perbedaan kategoris. Seperti dalam pekerjaan detektif,
kalau yang dicari adalah kematian, data tentang pisau yang berdarah sudah
sangat dekat dengan fakta. Kalau keingintahuan itu dilanjukan dengan pertanyaan
: siapa pembunuhnya ? apa motifnya ? Jika yang dicari semua sudah tersedia,
itulah fakta yang dapat disidangkan. Demikan juga bagi sejarawan, kalau yang
dicari adanya rapat dan bukan revolusi, maka data berupa notulen rapat sudah
sangat dekat dengan fakta (Kuntowijoyo, 2013 : 80).
PENULISAN
Dalam
penulisan sejarah, aspek kronologi sangat penting. Dalam sejarah perubahan
sosial, hal itu akan diurutkan kronologinya (Kuntowijoyo, 2013 : 80). Penyajian
penelitian dalam bentuk tulisan mempunyai tiga bagian : (1) pengantar, (2) hasil
penelitian, dan (3) simpulan.
Pengantar
Selain
yang ditentukan oleh formalitas, dalam pengantar harus dikemukakan permasalahan
latar belakang (berupa lintasan sejarah), historiografi dan pendapat kita
tentang tulisan orang lain, pertanyaan-pertanyaan
yang akan dijawab melalui penelitian, teori dan konsep yang dipakai, dan
sumber-sumber sejarah. Jangan lupa, orang akan melihat apakah “yang dijanjikan”
dalam pertanyaan itu telah dijawab (Kuntowijoyo, 2013 : 81).
Hasil Penelitian
Dalam
bab-bab inilah ditunjukkan kebolehan penulis dalam melakukan penelitian dan
penyajian. Profesionalisme penulis tampak dalam pertanggungjawaban. Tanggung jawab
itu terletak dalam catatan dan lampiran. Setiap fakta yang ditulis harus
disertai data yang mendukung (Kuntowijoyo, 2013 : 81).
Simpulan
Dalam
simpulanlah kita mengemukakan generalization
dari yang telah diuraikan dalam bab-bab sebelumnya dan sosial significance penelitian kita (Kuntowijoyo, 2013 : 81). Dalam
generalisasi itu akan tampak apakah kita melanjutkan, menerima, memberi catatan
atau menolak generalisasi yang sudah ada (Kuntowijoyo, 2013 : 82).
.
Penelitan
sejarah masa lalu akan membuat orang lebih arif, sehingga kesalahan-kesalahan
yang dahulu tidak terulang lagi (Kuntowijoyo, 2013 : 82).
Sumber
Kuntowijoyo.
2013. PENGANTAR ILMU SEJARAH.
Yogyakarta : Penerbit Tiara Wacana
Langganan:
Postingan (Atom)