VOC
(VEREENIGDE OOST
INDISCHE COMPAGNIE)
Tahun 1595 ekspedisi Belanda yang pertama siap berlayar ke Hindia
Timur. 4 kapal dengan 249 awak kapal, 64 meriam berangkat dengan pimpinan Cornelis de Houtman. Karena peselisihan
dan penyakit, hanya 3 kapal, 89 awak kapal saja yang kembali ke Belanda, lebih
dari 2 tahun kemudian. Pada bulan Juni 1596 kapal-kapal Cornelis De Houtman
tiba di Banten. Pada akhir 1597 sisa ekspedisi kembali ke Belanda membawa cukup
banyak rempah-rempah (Riclefs, 2005:38).
Mulailah zaman yang
dikenal dengan zaman pelayaran liar atau tidak
teratur (Wilde Vaart), yaitu ketika perusahaan-perusahaan ekspedisi
Belanda yang saling bersaing berjuang keras untuk memperoleh bagian dari rempah-rempah
Indonesia.
Pada tahun 1598 dua puluh dua buah kapal milik lima perusahaan yang berbeda mengadakan
pelayaran, 14 diantaranya akhirnya kembali. Armada yang berada di bawah pimpinan
Jacob Van Neck lah yang pertama tiba
di kepulauan rempah-rempah Maluku pada bulan Maret 1599, rombongan diterima
dengan baik. Kapal kembali tahun1599-1600 dengan rempah-rempah yang
keuntungannya 400% tahun 1601, empat belas ekspedisi yang berbeda berangkat
melakukan pelayaran dari Belanda.
Terjadi
persaingan kurang lebih empat perwakilan dagang di Banten, hal ini menyebabkan
semakin kecilnya keuntungan yang diperoleh. Tahun 1598 Parlemen Belanda (Staten Generaal) mengajukan usulan untuk
penggabungan kepentingan. Butuh waktu empat tahun untuk menyadarkan perseroan-perseroan itu untuk bersatu (Ricklefs,
2005:39).
Proses perubahan dari sekedar
gabungan atau liga pedagang menjadi organisasi yang tetap VOC cukup rumit. Di bawah ini sekedar garis besarnya:
Ketika itu Nederland terdiri dari 17
propinsi, termasuk Belgia, sedang terlibat Perang 80 tahun (1566-1648) melawan
Spanyol. Pokok sengketa adalah tindakan Spanyol yang beragama Katolik di bawah
Philip II terhadap Nederland
yang memulai pindah ke agama Kristen Protestan (Calvinis), dianggap sangat sewenang-wenang. Pada 1580, ketika
Philip II juga menjadi raja bagi Portugis, para pedagang Belanda mulai dilarang
melakukan transaksi yang biasa di Lisbon
dan pelabuhan Portugis yang lain. Pelayaran yang dipimpin Cornelis de Houtman ke Nusantara merupakan salah satu pecobaan
Belanda menerobos ketidakpastian akibat politik Philip II itu. Demikianlah
kejadiannya maka pelayaran Belanda yang pertama ke Nusantara hanya merupakan
percobaan. Dalam lima
tahun setelah de Houtman kebali ke Nederlands, terhitung tak kurang dari 65
kapal dagang yang dikirim ke Nusantara. Selama itu berbagai kota dagang di Nederlands yang ikut dalam
upaya pelayaran tersebut terlibat saling persaingan yang sengit. Setiap wilayah
seperti Friesland, Holland Utara, Holland Selatan, memberangkatkan rombongan
kapal sendiri Nederland bagian udik, yang berbatasan dengan Jerman menolak
ikut. Untuk mencegah perkelahian antar kelompok dan kerugian dagang, maka
dibentulkah organisasi perdagangan yang tetap untuk Nusantara yaitu VOC (Simbolon,
1995: 423).
Pada Maret 1602 tepatnya tanggal 20 Maret 1602 lahirlah Perserikatan Maskapai Hindia Timur, VOC
(Vereenigde
Oost Indische Compagnie). Kepentingan yang bersaing itu diwakili oleh
Sistem Majelis (Kamer) untuk enam wilayah di negeri Belanda. Setiap majelis
mempunyai sejumlah direktur yang telah disetujui, yang seluruhnya berjumlah 17
orang dan disebut sebagai Heeren XVII (Tuan Tujuh Belas). Amsterdam berperan besar. Maka wilayah ini diberi jatah delapan orang. Markas besar berada di Amsterdam
(Ricklefs, 2005 : 39).
Dalam mukadimah anggaran dasarnya (Octrooi) yang dirumuskan
oleh Parlemen (Staten Generaal), hal itu dengan jelas tertulis:
Dikatakan, VOC dibentuk untuk mencegah
kerugian, kesulitan dan bahaya yang muncul dari persaingan antara kelompok
dagang Zeeland, Maas, Holland dan Friesland Barat, dalam upaya melaksanakan
pelayaran yang baik dan terhormat, perdagangan dan perkapalan ke Nusantara.
Oktrooi
VOC berlaku selama 21 tahun dan sesudah itu diperbaharui. Terdapat 46 pasal
dalam Octrooi itu, dua diantaranya (pasal 34 dan 35) secara eksplisit
menetapkan hak monopoli VOC. Ditetapkan:
1.
kecuali VOC,
siapapun juga dilarang melayari lautan antara Tanjung Pengharapan (Cape de bonne Esperance, Kaap de Goode Hoop)
ke sebelah Timur sampai selat Magelhaens
(Srate
van Magellanes), dengan ancaman seluruh muatan dan kapalnya disita
untuk VOC atas nama Parlemen Nederlans.
2.
VOC diberi
kekuasaan mengikat hubungan dan mengadakan perjanjian dengan semua penguasa.
3.
Mendirikan
benteng.
4.
Memelihara
angkatan bersenjata.
5.
Melaksanakan
pemerintahan.
Pasal-pasal
lain, khususnya yang lebih awal menetapkan pemegang sahamVOC terdiri dari enam kamar dagang,
yaitu: Amsterdam, Zeeland (Middelburg), Maas (Rotterdam dan Delft), Holland Utara dan Friesland Barat (Hoorn dan Enkhuizen). Separoh saham ditanggung oleh Amsterdam,
seperempat oleh Zealand, dan seperdelapan masing masing oleh Maas dan Holland
Utara-Friesland Barat. Keenam kamar dagang itu diwakili oleh 17 orang.
Terdiri dari 8 orang untuk Amsterdam, 4 orang untuk Zeeland, 2 masing-masing
untuk Maas dan Holland Utara-Friesland Barat, serta seorang secara bergilir
dari Zeeland, Maas, Holland Utara-Frisland Barat. Masyarakat luas boleh ikut menanam saham lewat tiga jenis saham yaitu:
1.
Peserta Kepala
(Hoofd-participanten). Peserta kepala
punya hak suara.
2.
Peserta
Biasa (Participanten). Peserta biasa
di wakili oleh peserta kepala.
3.
Peserta
Lelang (Anticipatiepenningen). Peserta
lelang hanya menanam uang sampai barang yang dibeli dengan uang itu dilelang (Simbolon,
1995: 424-425).
Usaha-usaha VOC antara lain:
1.
Pada tahun
1605, VOC bersekutu dengan Hitu dan bersiap menyerang pertahanan Portugis di
Ambon. Portugis menyerah, VOC menduduki benteng Potugis di Ambon, memberinya
nama baru VICTORIA,
mengusir Misionaris Katolik dan
mendorong penduduk beragama Calvinisme.
2.
Pada tahun
1610 diciptakan jabatan Gubernur Jenderal.
Untuk mencegah kemungkinan kekuasaan Gubernur Jenderal yang bersifat Despotis, dibentuklah Dewan Hindia (Raad Van Indie) yang bertugas menasihati
dan mengawasi.
3.
VOC
berpusat di Ambon (1610-1619) dalam 3 orang Gubernur Jenderal, walau pusat
rempah-rempah, tapi Ambon bukan jalur
perdagangan.
4.
Karena
persaingan Inggris – Belanda, VOC berusaha memaksakan perjanjian-perjanjian monopoli kepada para penguasa kepulauan penghasil
rempah-rempah ini dan mereka marah terhadap apa yang mereka namakan sebagai “Komplotan Penyelundup” Inggris di
Maluku (Ricklefs, 2005: 40-42).
Pada tahun 1614,
Parlemen Nederland menyatakan berakhirnya perjanjian Antwerpen (1609-perdamaian Belanda –Spanyol). Parlemen menyetujui
naiknya bantuan tahunan bagi VOC di Nusantara menjadi 200.000 gulden berikut lima lagi kapal tempur.
Sampai 1617, VOC memiliki kurang lebih 20 benteng dari Coromandel ke Maluku
yang dihubungkan 40 kapal. Kapal-kapal itulah yang setiap kapiten kapal
melakukan transaksi ekonomi tanpa pengawasan malah bersaing keras sesama mereka
(Simbolon, 1995: 425-426). Di Maluku VOC mencapai kemajuan dalam menuju
cita-citanya memonopoli rempah-rempah. Di wilayah ini penduduk setempat hampir
tidak dapat melawan keunggulan angkatan laut VOC. Akhirnya satu-satuya bentuk
perlawanan yang dapat mereka lakukan hanyalah melakukan penyelundupan. Dalam
rangka menguasai satu sumber penyelundupan ini maka VOC membuang, mengusir atau
membantai seluruh penduduk pulau Banda pada tahun 1620-an dan berusaha
mengganti dengan orang-orang Belanda pendatang yang mempekerjakan tenaga kerja
kaum budak. Cara pembukuan VOC tidak
memungkinkan dilakukannya perhitungan yang tegas mengenai rugi dan laba yang
berhubungan dengan kegiatan–kegiatan VOC di wilayah Maluku pada waktu itu.
Orang-orang Belanda di Banten, termasuk Jan Pieterzoon Coen, Direktur Jenderal,
jadi orang kedua setelah Gubernur Jenderal, tidak disukai oleh
pembesar-pembesar Banten. De Heeren XVII
menyadari bahwa kalau mau bertahan, VOC harus memiliki pangkalan tetap (Rendez-vous) bagi kapal-kapalnya
(Simbolon, 1995: 32-33). VOC sejak tahun 1611 telah memiliki sebuah
pos di Jayakarta (Sekarang Jakarta), Coen lebih meyukai Jayakarta untuk
dijadikan sebagai markas besar VOC yang tepat. Tempat ini memiliki pelabuhan
yang sangat bagus, dan Coen berfikir bahwa VOC dapat berkuasa sepenuhnya di sana.
Pada tahun 1619
Jan Pieterzoon Coen menjadi Gubernur Jenderal (1619-1923, 1627-1629), dialah
yang menempatkan VOC pada suatu tempat berpijak yang kokoh. Coen tidak memiliki
perasaan segan sama sekali. Tahun 1614 Coen memberitahu Tuan-Tuan XVII “bahwa mereka tidak dapat menguasai
perdagangan tanpa adanya perang atau melakukan perang tanpa adanya perdagangan”.
Sejak zaman Coen inilah VOC di Asia benar-benar meyadari bahwa hanya ada satu
cara untuk memperkokoh kekusaanya, dengan menghancurkan semua yang
merintanginya (Ricklefs, 2005:43).
Bila kita tilik dari pengaruh penguasaan VOC di
Indonesia terhadap perubahan sosial, politik dan ekonomi, VOC telah merubahnya
dengan pelan tapi pasti. Seperti yang dijelaskan dibawah ini:
Tujuan VOC
adalah memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya dalam perdagangan. Untuk
merealisasikan tujuan ini, dirasa perlu untuk memonopoli ekspor dan impor. VOC
yang mula-mula mengarahkan perhatiannya kepada rempah-rempah dari Maluku ini,
segera tertarik kepada perdagangan yang sudah mapan dan luas yang berpusat di
Jawa. Di pulau tersebut, VOC memperoleh hak-hak istimewa yang mula-mula
bersifat terbatas dari kaum pribumi yang memegang kekuasaaan politik. VOC sedikit
demi sedikit melihat pentingnya campur tangan politik yang semakin menentukan
di daerah yang makin luas di Jawa. Untung bagi Belanda, karena pada abad 17 dan
18 Jawa secara politis tidak bersatu. Mataram, kerajaan terbesar di Jawa hampir
sepanjang periode sangat lemah karena perang saudara. Semula, hanya dengan
mengadu domba kesultanan Banten dengan Mataram, orang-orang Belanda dapat
mempertahankan kedudukan perdagangannya di Batavia. Ini penting, karena
kerajaaan-kerajaan besar di Jawa menjadi terpecah belah dan bermusuhan sehingga
dengan mengadu domba satu kerajaan dengan kerajaan lainnya orang Belanda dapat
mengusai pulau ini seluruhnya. Antara 1677 dan 1777 VOC memperluas kekuasan
politik dan ekonominya atas 2/3 pulau Jawa, sementara itu VOC juga menguasai
hampir seluruh kehidupan ekonomi di 1/3 bagian lainnya, yaitu kerajaan
Mataram. Perdagangan sangat tertekan, para pedagang dan pembuat kapal,
kehilangan pekerjaan, empang-empang dan hutan-hutan tidak dapat lagi memberi
keuntungan. Orang Jawa menjadi bangsa penggarap, dan nilai ekonomi kehidupan
sosialnya menjadi “Kerdil”. VOC
dengan alasan ekonomi menggunakan sistem pemerintahan tidak langsung. Inti dari
sistem tersebut adalah pendayagunaan struktur kekuasaan pribumi untuk
kepentingan VOC. Kekuasaan ningrat ini diperkuat kekuasaan militer
Belanda guna melawan rakyat Jawa (selama ningrat pro terhadap VOC). Kaum tani tidak lagi dapat mengekang perlakuan
sewenang-wenang dari kaum elite ningrat. Hal ini para ningrat memiliki
kekuasaan yuridis sangat kuat tapi dalam
hubungan militer asing, penguasa pribumi makin tidak merdeka.
Terciptanya sistem kekuasaaan yang hirarki terpadu yang sifatnya sangat otoriter (sistem yang feodal). Hirarki tersebut adalah:
1.
VOC.
2.
Kaum
ningrat pribumi yang ditunjuk VOC atau Orang-orang Cina yang diajak kerjasama
oleh VOC.
3.
Kepala
desa berkuasa atas Desa atas nama atasannya.
Berfungsinya unsur
ningrat pribumi dalam penghisapan ekonomi VOC, mengharuskan pemberian kekuasaan
luas yang tidak pernah didapat terhadap petani dalam ekonomi. Penduduk desa
dipaksa untuk menyerahkan sebagian besar panennya dan kerja paksa di luar
pertanian secara besar-besaran. Secara teoritis hanya upeti yang wajib
diserahkan, tapi kenyataannya hasil yang diserahkan bertambah besar untuk
pemenuhan pajak upeti yang bermacam-macam. Desa-desa hanya diijinkan menyimpan
hasi panen secukupnya saja agar penduduk dapat diberi tugas kerja paksa.
Keuntungan
diperoleh VOC dan ningrat. Ningrat mendapat kekuatan kekuasaan dan peningkatan
keuntungan ekonomi. Para bangsawan memiliki
kewenangan menambah jumlah upeti. Jadi tuntutan VOC akan hasil bumi diperberat
oleh bangsawan Indonesia. Dengan penguasaan VOC di Jawa, lingkup kegiatan
Cina bertambah luas. Hal ini seperti
tertuang dari penyataan J.P. Coen:
“Tak seorangpun di dunia ini yang mengabdi kepada kita dengan lebih
baik ketimbang orang Cina, terlalu banyak dari mereka yang tidak dapat dibawa
ke Batavia”.
Perdagangan
eceran diserahkan kepada orang Cina, jadi peranan orang Cina berubah dari perantara
antara pedagang besar dari negara Cina dengan penduduk Jawa menjadi perantara
VOC dengan penduduk Jawa.
Lama kelamaan
orang Cina ikut dalam mengumpulkan produksi penduduk pribumi untuk diekspor
oleh VOC. Dalam hal ini, orang Cina mulai menduduki suatu kedudukan yang sangat
penting sambil menguasai lebih banyak kedudukan yang semula hanya diperuntukan
bagi para bangsawan Indonesia. Sebenarnya hubungan orang Cina dengan VOC atau penguasa
tradisioanl adalah kontrak untuk penguasaan di desa / distrik. Tapi hubungan orang cina dengan rakyat adalah bersifat feodal. Praktek lintah darat pun
dilakukan orang Cina. Beberapa kasus di Banten petani sampai menyerahkan tanahnya
karena tidak mampu membayar hutang.
Menjelang akhir abad kedelapan belas, diwilayah keuasaan VOC dipantai
Utara Jawa saja, 1.134 desa (dari seluruhnya desa di Jawa yang seluruh nya
berjumlah kurang lebih 16.000 buah) disewakan kepada orang Cina. Tidak hanya
desa-desa, tapi 3 distrik seluruhnya
telah disewakan oleh VOC kepada orang Cina yang segera memegang kedudukan yang
sama dengan Bupati ditempat lain. Disamping daerah-daerah yang disewakan, VOC
menyerahkan berbagai macam monopoli untuk dijalankan oleh orang Cina, seperti
hak menarik pajak jalan, memungut pajak pasar, menyelenggarakan penjualan
garam, bahkan hak untuk mengumpulkan bea cukai (kahin, 1995: 1-12).
Abdi atau
penguasa VOC tersebut di atas dapat dibagi dalam empat golongan pokok yaitu(Soekiman,
2011: 71) :
1.
Pegawai
niaga, mulai dari jabatan opperkoopman
(pedagang kepala) sampai asisten (para pembantu atau juru tulis). Kelompok ini
memegang peran yang terpenting. Mereka bertugas sebagai birokrat yang
mengerjakan administrasi. Kelompok ini lebih berperan setelah VOC berkembang
dari organisasi perdagangan menjadi penguasa territorial yang meliputi seluruh
wilayah Indonesia,
Srilangka dan Afrika Selatan.
2.
Personel
militer dan maritim yang terdiri atas berbagai tingkat kepangkatan dan jumlahnya
pun yang paling banyak. Status kelompok ini lebih rendah dari kelompok pengawai
niaga.
3.
Personel
kerohanian yang terdiri dari pendeta Calvinis (predikanten) yang cerdik pandai
sampai petugas pengunjung orang sakit yang disebut zienkentrooster atau penghibur orang sakit.
4.
Kelompok
terendah, yaitu terdiri dari para tukang dan para pengrajin, yang secara
kolektif dikenal dengan ambahtheden.
Meskipun demikian, para tukang dan pengrajin ini ada yang ganjinya lebih tinggi
dibandingkan dengan gaji serdadu atau kelasi.
Masa Akhir VOC
VOC pernah
mengalami kebesaran namun juga mengalami masa kemunduran. Korupsi yang
merajalela di sektor pemerintahan di kepulauan Hindia dan kebijakan keuangan
yang ceroboh dalam membayar para pemegang saham rata-rata 18 persen setahun
antara tahun 1602 dan 1800, menyebabkan runtuhnya VOC. Yang terjadi dalam tubuh
VOC adalah gaji-gaji yang dibayarkan kepada pegawainya begitu rendah sehingga
VOC gagal mempekerjakan orang-orang jujur. Perdagangan gelap dengan bangsa Arab
dan bangsa Inggris begitu maju pada tahun-tahun terakhir abad ke 18 sehingga di
Batavia lebih banyak dijual tekstil dari negara-negara asing dibandingkan
dengan yang berasal dari Belanda (Kahin, 1995: 12).
Pada sumber yang
lain dijelaskan tentang kebangkrutan VOC sebagai berikut:
Sebagai kekuasaan dagang, VOC
tak bisa lagi menutupi parahnya keadaan keuangannya. Setelah pemegang anticipatepenningen
panik pada 6 Februari 1781, pemerintah Belanda segera turun tangan. Pinjaman
baru diberikan lewat penerbitan obligasi, sehingga VOC memikul utang sebesar 55
juta gulden. Ada
sementara pihak yang menuntut pembubaran VOC, tapi umum belum bisa membayangkan
pengadaan barang dari Nusantara tanpa perusahaan ini.
Sementara itu, perang di Eropa makin meluas. Prancis bersekutu
dengan Belanda melawan Inggris. Untuk keperluan dagang dan pertahanan di
Nusantara, dari 1781 sampai 1795 VOC terpaksa menambah utang dari 55 juta jadi
137 juta gulden. Dibandingkan dengan korupsi seorang Gubernur Jenderal sebesar
10 juta gulden (ada 33 gubernur jenderal sampai VOC dinyatakan bangkrut),
jumlah ini tampak belum seberapa. Tapi dibandingkan dengan modal kerja VOC yang
f 6.424.588, maka jumlah ini benar-benar skandal perusahaan. Dibandingkan
dengan total produksi Hindia Belanda (Jawa Madura) ketika itu, yang jumlahnya
bisa sama, utang ini benar-benar skandal politik yang tak ada duanya.
Agaknya, Willem V yang mengungsi ke Inggris memandang tidak masuk
akal lagi mempertahankan VOC sebagaimana dikehendaki oleh beberapa pihak di
Belanda. Maka berdasarkan pasal 249 UUD Republik Bataaf (Belanda) 17 Maret
1799, dibentuklah suatu badan umtuk mengambil alih semua tanggung jawab atas
milik dan hutang VOC. Badan itu bernama Dewan Penyantun Hak Milik Belanda di Asia(de Raad van Aziatische Bezittingen en
Etabilisementen). Pengambilalihan itu resmi diumumkan di Batavia pada 8 Agustus 1799. Pada 31 Desember
1799, VOC resmi dinyatakan bangkrut dan seluruh miliknya berada di bawah kekuasaan
negara Belanda (Simbolon1995: 72-73).