PEMILU PERTAMA DI INDONESIA
Disusun Oleh :
Topan Dwiono Purbaya
Gambaran tentang pemilu 1 tahun 1955:
Persiapan Pemilu, Sebagai salah satu
resiko dari peristiwa 17 Oktober 1952 pemilu menjadi persoalan pemilu yang
terpenting. Konflik ini terus berlanjut dan berimbas. Tetapi pihak yang terkait
baik yang menentang ataupun yang menyokongnya, ditantang untuk menyatakan
dukungan pada penyelenggaraan PEMILU secepat mungkin. Kabinet Wilopo
menjalankan kebijakan untuk mengadapi situasi itu. Pertama, segala upaya
ditempuh untuk menemukan kompromi dalam penyelsaian masalah angkatan darat.
Kedua, terus mendesak untuk mengadakan pemilihanumum secepat mungkin sebagai
penyelesaian jangka panjang. Maka pada November 1952 kabinet Wilopo mengajukan
rancangan Undang undang pemilihan umum baru, dengan dukungan berbagai kalangan
yang vocal secara politis, Dalam bentukyang sudah diubah di sana sini,
rancangan itu menjadi undang undang empat setengah bulan kemudian (Herbert
Feith, 1999: 4-5).
Belajar dari pemilu Yogyakarta
dan pemilu di India
maka Wilopo memutuskan bahwa pemilihan umum secara langsung. Selain itu, akan
diadakan bukan satu, tetapi dua pemilihan umum. Gagasan awal adalah bahwa suatu
Badan Pekerja Parlemen akan dibentuk oleh suatu Majelis Konstituante hasil
pemilu. Akan tetapi gagal demil terlaksanakannya pemilihan umum dua badan yang
berbeda, yaitu Parlemen dan Majelis Konstituante (Herbert Feith, 1999: 5).
Sistem perwakilan proporsional
disetujui. Undang-Undang Pemilihan Umum
membagi Indonesia
menjadi 16 daerah pemilihan, salah satu diantaranya Irian Barat. Setiap daerah
pemilihan mendapat sejumlah kursi berdasarkan jumlah penduduknya, dengan
ketentuan setiap daerah berhak memperoleh jatah minimum enam kursi di
Konstituante dan tiga di Parlemen. Disetiap daerah pemilihan, kursi diberikan
kepada partai partai dan calon calon anggota lainnya sesuai dengan jumlah suara
yang mereka peroleh. Sisa suara bisa digabungkan, baik antara berbagai partai
di dalam suatu daerah pemilihan (kalau partai partai bersangkutan sebelumnya
telah menyatakan sepakat untuk menggabungkan sisa suara), maupun digabungkan
untuk satu partai di tingkat nasional. Organisasi penyelenggaraan pemilihan
umum menjadi tanggung jawab bersama kementerian kehakiman dan kementerian dalam
negeri, tetapi kekuasaan bersar diberikan kepada panitia pemilihan Indonesia
yang multi partai, yang dipercaya dalam pembuatan peraturan (Herbert Feith, 1999:
5-6).
Untuk tingkat Kabupaten dan
kecamatan terdapat hubungan kerja dengan jajaran pamong praja.Bupati menjadi
ketua Panitia Pemilihan kabupaten dan Camat menjadi ketua Panitia Pemungutan
Suara Kecamatan. Di bawah kecamatan terdapat Panitia Pendaftaran Pemilihan yang
diketuai oleh kepala desa dan Panitia Penyelenggara Pemungutan Suara. Keduanya
juga beranggotakan wakil wakil partai politik Herbert Feith, 1999: 6).
Partai, Organisasi, perkumpulan
pemilih, dan perorangan berhak mengajukan diri sebagai calon anggota Parlemen
dan KOnstituante, tetapi setiap calon harus didukung dengan tanda tangan
pemilih yang terdaftar, 200 tanda tangan untuk calon pertama dalam suatu daftar
dan 25 untuk setiap calon lainnya. Tidak ada larangan bagi anggota panitia
pemilihan untuk menjadi calon. Setiap organisasi yang mengajukan calon harus
menyerahkan tanda gambar. Yang buta hurug akan memberikan suara dengan menusuk
dalam segi empat yang mengapit tanda gambar pilihannya pada kertas suara. Yang
bisa baca tulis bebas melakukan hal ini atau menuliskan diatas kertas suara
nama caoln yang dipilihnyadari daftar calon (Herbert Feith, 1999: 6-7).
Pungutan suara dan perhitungan
suara dilakukan ditempat pemungutan suara. Anggota masyarakat berhak
menyampaikan protes lisan atas tindakan panitia pemungutan suara. Panitia wajin mengambil putusan atas protes
tersebut. Pengawasan oleh masyarkat umum dan sifat panitia yang multi partai
akan dapat mencegah terjadinya kecurangan. Rancangan Undang Undang ini disahkan
tapi Wilopo gagal dalam membentuk Panitia Pemilihan Umum Pusat, karena adanya
ketidak sepakatan dari koalisi cabinet Wilopo mengenai susunannya(Herbert
Feith, 1999: 7).
Barulah pada Desember 1953
Panitia Pemilihan Ind onesia terbentuk.
Dalam badan ini tidak ada wakil dari partai partai yang beroposisi terhadap
cabinet pimpinan Ali Sastroamidjojo. Pendaftaran pemilihan dimulai pada Mei
1954 dan selesai November. Saat itu tercatat 43.104.464 orang pemilih yang
memenuhi syarat. Desember 1954 partai partai sudah boleh mengajukan daftar
calon masing masing. April 1955, Panitia Pemilihan Indonesia mengumumkan bahwa
pemiliihan umum untuk anggota Parlemen dan anggota Konstituante akan
dilaksanakan masing masing pada 29 September dan 15 Desember 1955(Herbert
Feith, 1999: 8).
Tahapan Kampanye: Tanggal 4 April 1953, ketika rancangan
undang-undang pemilihan umum disahkan menjadi undang undang, dapat dianggap
sebagai awal kampanye tahap pertama. Sedangkan tahap kedua dapat dikatakan
tanggal 31 Mei 1954, ketika tanda gambar
partai disahkan oleh Panitia Pemilihan Indonesia (Herbert Feith, 1999: 10).
Pemilihan Umum
pertama di Indonesia
diselenggarakan pada tanggal 29 Sepetember 1955. Satu setengah bulan setelah
terbentuknya kabinet Burhanuddin Harahab. Sebagai ketua Lembaga Pemilihan Umum adalah Menteri Dalam Negeri waktu itu
yaitu Mr. Sunaryo yang berasaskan Langsung, umum, bebas dan rahasia alias
LUBER. Yang paling menarik dari Pemilihan Umum saat itu, semua kontestan
ikut duduk dalam kepanitiaan Pemilu, mulai tingkat pusat samapai ke PPD, PPS
bahkan sampai ke KPPS. Bisa dikatakan yang menjadi Panitia Pemilihan Umum waktu
itu adalah Pemerintah bersama Parpol. Sehingga karena Parpol yang menjadi
konstestan pemilu, duduk juga dalam kepanitiaan, maka keadilan dan keberhasilan
jalannya pemilu lebih terjamin sesuai dengan asas LUBER. Sehingga kepanitiaan
yang mana kontestan ikut terlibat di dalamnya lebih baik. Sebab bila seorang
anggota panitia mau curang takut dan segan kepada panitia lainnya (Suprapto,
1985:168).
Disamping berhasil
melaksanakan pemilihan umum untuk anggota DPR, Kabinet Burhanuddin Harahab juga
berhasil melaksanakan pemilihan umum untuk anggota Konstituante. Konstituante
adalah suatu lembaga (Badan) yang bertugas membuat Undang Undang Dasar (Konstitusi). Pemilihan Umum untuk
anggota Konstituante ini dilaksanakan pada tangal 15 Desember 1955 berdasarkan
Undang-undang No. 7 tahun 1953 (Suprapto, 1985:172).
Lapangan Banteng pada bulan September 1955. Juru kampanye
Partai Komunis Indonesia
sudah sedari tadi membakar pengikutnya di alun-alun Jakarta Pusat itu. Saatnya
untuk menyerang partai lawan. Jika Masyumi menang, Lapangan Banteng ini akan
diubah jadi lapangan Onta, ujar dia. Pada siang yang lain, di alun-alun yang
sama Partai Masyumi yang berhaluan Islam membalas ejekan PKI. Jika PKI menang,
Lapangan Banteng akan diubah jadi Lapangan Merah, Kremlin, di Moskow, ujar juru
kampanye Masyumi. Masyumi juga meledek Nahdatul Ulama.
Antar partai mereka saling cerca
dan itu pun hanya terjadi sebagai perang kata-kata di panggung. Tapi suasana
tetap aman dan meriah( dikutip dari Edisi Khusus Hari Kemerdekaan TEMPO, Edisi 13 – 19 Agustus 2007, Pergulatan
Demokrasi Liberal 1950-1959: Zaman Emas atau Hitam. Sub Judul : Nasi Uduk di Lapangan Kremlin
halaman 38).
Soekarno sebagai
presiden RI menjelang pemilu memberikan pidato-pidatonya, salah satunya adalah
pidato pada tanggal 25 September 1955 di hadapan ribuan warga Surabaya , Jawa Timur. Beliau berpidato tetang
arti Pancasila dan Panca Darma. Soekarno menyatakan harapannya agar Pancasila
tetap menjadi asas UUD yang nantinya akan ditetapkan Konstituante. Dalam rapat raksasa yang diselenggarakan “Kongres Rakyat
Jawa Timur” itu, Soekarno memanjatkan doa agar Indonesia
tetap berdasarkan Pancasila dan bendera Indonesia tetap Merah putih. “Wadah
yang bernama Negara Republik Indonesia yang terdiri dari berbagai agama, suku,
adat istiadat ini supaya utuh tidak retak”, kata Soekarno (Sumber
“Merdeka”, 26 September 1955, Riset Bahan: Myrna, dikutip dalam HISTORIA, PIDATO SOEKARNO JELANG PEMILU, Kompas, Senin,
12 Januari 2009 Hal : 3).
Pesan untuk
berdemokrasi dalam pemilu pertama ini terlihat juga pada pidato Wakil Presiden
RI Moh Hatta satu hari menjelang Pemilihan Umum legislatif tahun 1955. Hal ini
dikutip dalam berita surat
kabar sebagai berikut:
“Djangan mau ditakut-takuti,
Datanglah memilih dengan hati jang tenang. Tusuk tanda gambar jang saudara
sukai dan djangan katakan pada orang lain”.
Menurut Hatta, untuk pertama
kalinya dalam sejarah Indonesia
akan memilih parlemen yang dipilih
rakyat. Hatta menyebut pemilu 1955 sebagai langkah tegas kea rah penyempurnaan demokrasi Indonesia . Pemerintah demokrasi, kata Hatta berarti pemerintahan
rakyat. Rakyat memerintah dirinya dengan perantara DPR yang dipilihnya. “Memilih
itu bukanlah kewajiban yang ditempakan kepada saudara, melainkan hak saudara,
hak ikut serta menetukan nasib sendiri sebagai warga bangsa yang berdaulat.
Tetapi dengan hak itu, saudara ikut memilkul tanggung jawab tentang buruk atau
baiknya nasib kita sebagai bangsa”, ujar Hatta (Sumber : “Indonesia
Raya”, 29 September 1955 teks oleh Myrna dikutip dalam HISTORIA, INTIMIDASI
SEBELUM PEMILU, Kompas, Jumat, 9 Januari 2009 Hal: 3).
Inilah
pemilu dengan partai yang cukup banyak. Pada pemilu pertama di seluruh Indonesia
terdapat 190 macam tanda gambar dari partai-partai politik, organisasi,
kumpulan-kumpulan memilih (kiexkring),
dan calon-calon perseorangan. Saat itu sebanyak 43.104.464 orang dari
77.987.879 warga negara Indonesia
berhak memberikan suaranya pada pemilu pertama pada tanggal 29 September 1955.
Mereka akan memilih 240 anggota Dewan perwakilan Rakyat. Warga yang berhak
memilih itu adalah warga yang terdaftar sebagai pemilih di 15 daerah pemilihan.
Sebanyak 93.532 tempat pemungutan suara disiapkan di 208 Kabupaten. Namun
menurut Panitia Pemilihan Umum Indonesia (PPI), dari 208 Kabupaten, mereka yang
tegas sanggup mengadakan pemungutan suara pada 29 September 1955 itu hanya 126
Kabupaten (Sumber: “Mestika”, 27 September 1955, Riset Bahan Agus Hermawan
dikutip dalam HISTORIA, 190 MACAM TANDA GAMBAR, Kompas, Jumat 16 Januari 2009
hal 3).
Ternyata
kondisi perekonomian pada tahun dilaksanakannya Pemilu pertama tahun 1955 tidak
sebaik sekarang. Hal ini terlihat dalam pemberitaan surat kabar “Merdeka” yang terbit tanggal 7
September 1955, memberitahukan :
“ Rakjat antre garam berdjamdjam lamanja.
Sudah berdiri 6 djam belum tentu djuga.
Dapat tukang tjatut meradjalela”
Berita ini menyebutkan harga
garam yang biasanya Rp. 0,50 per bata di masa kabinet Ali Sastroamidjojo I (30
Juli 1953 – 12 Agustus 1955) meningkat tajam sekitar 400 persen sampai 500 persen pada pemerintahan kabinet Burhanudin
Harahap - 12 Agustus 1955 s/d 1 Maret 1956 (Sumber : “Merdeka”, 7 September
1955, Teks Myrna dikutip dalam HISTORIA, RAKYAT ANTRE JELANG PEMILU, Kompas,
Senin 5 Januari 2009 hal : 3).
Sebelum
pelaksanaan pemilu 1955, diadakanlah uji coba pemungutan suara. Permasalahan salah
mencoblos sudah terjadi saat uji coba. Seperti terjadi di Medan . Saat itu sebanyak 30 persen dari
sekitar 100 calon pemilu melakukan kesalahan mencoblos saat uji coba di kota praja Medan ,
4 September 1955. Banyak diantara calon pemilih melakukan salah coblos atau salah
tusuk. Kesalahan lainnya adalah mereka tidak menunjukkan surat suara kepada petugas sebelum
memasukkannya ke kotak suara (Sumber: “Mestika”, 5 September 1955, Riset Bahan
Agus Hermawan dikutip dalam HISTORIA, SALAH MENCOBLOS, Kompas 28 Januari 2009
hal: 3).
Sehari menjelang
pemilu 1955, Surat Kabar “Indonesia Raya” memberitakan bahwa kesalahan dan
kekacauan administrasi banyak terjadi termasuk ”Pemberian surat-surat
pemberitahuan jang memungkinkan timbulnja ketjurangan-ketjurangan dalam
pemberian suara atau hilangnja suara orang-orang jang berhak memilih”.
Sedangkan soal bagaimana menandai pemilih yang telah memberi suaranya, panitia pemilu
tahun 1955 menginstruksikan tangan pemilih diberi tanda coretan dengan tinta (Sumber
: “Indonesia Raya”, 29 September 1955 teks: Myrna dikutip dalam HISTORIA, BURUKNYA
ANDMINISTRASI PEMILU, Kompas, Rabu, 7 Januari 2009 hal: 3).
Sedangkan warga Indonesia
yang ternyata tidak mendapatkan kesempatan memilih dijelaskan oleh Menteri
Dalam Negeri Sunario. Sunario mengungkapkan beberapa ribu orang yang berhak
memberikan suara tidak dapat mempergunakan haknya kerena berbagai sebab. Mereka
adalah jemaah haji yang sedang dalam perjalanan pulang ke Indonesia serta
transmigran dan pegawai negeri yang tak dapat memberikan hak suaranya karena
pindah sesudah tanggal 29 Agustus (“Mestika, 27 September 1955 riset bahan :
Agus Hermawan, dikutip dalam HISTORIA, TIDAK DAPAT MEMILIH, Kompas, Rabu, 21
Januarti 2009 Hal : 3).
Pemasalahan tentang warga Negara
tidak bepergian tetapi tidak dapat memilih juga terjadi. Seorang pemilih datang
membawa surat
panggilan memilih, tetapi ketika di cek di daftar pemilihan namanya tidak ada. Juga diberitakan, dalam
sebuah keluarga tidak seluruh anggota keluarga mendapat panggilan memilih. Si
suami mendapat surat
panggilan memilih, sedangkan sang istri tidak (Sumber “ Mestika, 30 September
1955, Riset Bahan Agus Hermawan dikutip dalam HISTORIA, TIDAK TERDAFTAR SEBAGAI
PEMILIH, Kompas, Senin 9 Februari 2009 hal 3).
Tidak Cuma itu,
Walaupun dalam Undang-Undang Pemilihan Umum Anggota Konstituante dan anggota DPR
Irian Barat (Pada tahun 1955 Irian Barat masih diduduki Belanda dan disebut Netherlands New Guinea) tercantum
sebagai daerah pemilihan ke 16, tidak seorang pendudukpun dari Provinsi
tersebut dapat memberikan suaranya, terdaftar sebagai pemilih. Di daerah
pemilihan Irian Barat tersebut tidak diadakan pemungutan suara. Selain itu,
sebanyak 16 Kabupaten sudah tegas menyatakan juga tidak dapat melakukan
pemungutan suara pada hari H pemilu, yakni 29 september 1955. Pemungutan suara
di Kabupaten – Kabupaten tersebut baru bisa dilaksanakan setelah tanggal itu.
Pemungutan suara di Kabupaten tersebut tidak dapat diselenggarakan karena
kurang tenaga penyelenggara (Sumber Mestika, 27 September 1955, Riset Bahan :
Agus Hermawan dikutip dalam HISTORIA, PENDUDUK IRIAN TIDAK DAPAT MEMILIH,
Kompas, Senin, 19 Januari 2009 Hal : 3).
Beda dengan
Irian Barat, beda pula dengan masyarakat Samin. Para
pemeluk kepercayaan Samin (Nama Samin diambil dari nama seorang Tokoh
masyarakat setempat, Samin, yang merupakan penganut ilmu kebatinan. Samin
ditangkap Belanda karena mengadakan perlawanan dan meninggal di pembuangan)
yang bertempat tinggal di sekitar Blora,
tidak mau memberikan hak suaranya pada pemilu 1955. Saat itu pemerintah
sempat mengirimkan sekelompok ahli kebudayaan dari “Jawatan Kebudayaan Jawa
Tengah” untuk menyelidiki sikap hidup masyarakat tersebut (Sumber:”Merdeka”, 27
September 1955 Riset Bahan: Agus Hermawan, dikutip dalam HISTORIA, WARGA SAMIN
TAK MAU IKUT PEMILU, Kompas, 2 Ferburari 2009, Hal : 5).
Lain warga Samin
lain juga Banjarmasin .
Warga Banjarmasin boleh berbangga karena dalam pemilihan umum pertama tahun
1955, hampir 80 persen warganya menggunakan hak pilihnya. Bukan hanya itu,
pelaksanaan pemilu di Banjarmasinpun berlangsung damai dan tertib. Sementara
itu, di sejumlah tempat di Indonesia
pelaksanaan pemungutan suara tertunda karena faktor keamanan dan sulitnya akses
menuju tempat pemilihan. Bahkan di Sampit, pelaksanaan pemilu disabot dengan
dibakarnya sejumlah tempat pemungutan suara. Wali kota
Banjarmasin saat itu, Sinaga mengatakan Banjarmasin jauh lebih
maju dibandingkan dengan pemilu di negara-negara luar yang maksimal hanya
dikikuti 60 persen warganya. Banjarmasin, tulis harian pagi “Indonesia
Berdjuang” bisa dijadikan contoh bukan saja oleh kota-kota lain di Indonesia,
tetapi juga kota-kota lain di luar negeri (Sumber: “Indonesia Berdjuang”, 1
Oktober 1955 Riset Bahan Myrna Ratna, dikutip dalam HISTORIA, BANJARMASIN
PALING MAJU, Kompas, Rabu 14 Januari 2009 hal 3).
Pemilu pertama
bukan cuma dominasi kaum laki-laki saja. Peran perempuan sebenarnya sudah
dicoba diberdayakan dalam pemilu 1955. Disetiap penyelenggaraan pemilihan Umum
saat itu selalu ditempatkan seorang perempuan diantara 7 panitia yang lain.
Menurut pemberitaan media saat itu, penempatan perempuan pada kepanitiaan
pemilu tersebut juga untuk meladeni pemilih-pemilih yang terdiri dari kaum ibu
(Sumber: “Mestika”, 5 September 1955, Riset Bahan Agus Hermawan dikutip dalam
HISTORIA, PERWAKILAN PEREMPUAN, Kompas, Jumat 30 Januari 2009 hal 3).
Kebersamaan dan
kesamaan sebagai warga Negara Indonesia
terlihat betul saat pemilu pertama ini. Diberitakan bahwa Presiden Soekarno pun
memberikan suara di kantor kementerian Penerangan di jalan Merdeka Barat dengan
berjalan kaki dari istana. Demikian juga para gubernur. Gubernur Sumatera Utara
Amin dan para pejabat lainnya memberikan suara di TPS Jalan Samanhudi, Medan,
Mereka berbaris dan mengantre seperti rakyat pemilih lainnya “Mereka berbaris menanti giliran sehingga
dengan tjara demikian tidak ada tempat istimewa-istimewaan”(Sumber:
“Mestika, 30 September 1955, Riset Bahan Agus Hermawan dikutip dalam HISTORIA,
GUBERNUR ANTRE PRESIDEN BERJALAN KAKI, Kompas, Jumat 6 Februari 2009 hal 3).
Pemilu 1 memang sukses besar,
berlangsung damai, tingkat partisipasi warga begitu tinggi. Suara sah pada pemilu ini sekitar 88 % dari jumlah pemilih sebanyak 43 juta orang. Padahal menggelar
acara demokrasi dengan biaya Rp
500 juta ini tidak mudah. Pemungutan
suara dilakukan di 16 wilayah pemilihan di seantero Tanah Air. Ini mencakup 208 kabupaten, 3141 kecamatan,
serta 42.092 desa. Dan ini bukan pesta sekali rampung. Ada dua pemilihan yang harus dilakukan: untuk memilih 260 anggota DPR pada 29 September yang diikuti 118 partai
politik, gabungan organisasi, serta perorangan, plus memilih 520 anggota Dewan
Konstituante pada 15 Desember yang diikuti 91 peserta. Walau di Bandung ada
ancaman dari para pemberontak (Darul Islam), namun pesta terus berlangsung. Menurut Herbert Feith (ahli dari
Australisa) ada faktor- faktor yang menyebabkan pemilu 1955 suksek: Perbedaan,
Kompetisi, Sirkulasi kekuasaan (siap menjadi pemenang dan pecundang), Kemampuan
mengolah konflik dan kompromi, Kematangan menyikapi haluan politik, semuanya
sudah menjadi tradisi.
Walau demikian kecuranganpun dan
adu fisikpun tak pelak terjadi. Partai menguasai media massa . Halaman depan Koran menjadi palagan
partai yang sengit. Harian Rakyat, misalnya selalu menulis kemenangan PKI di
halaman satu. Harian Suluh Indonesia
menuliskan kejayaan PNI. Masyumi selalu unggul di Koran Abadi. Partai Murba
menguasai Berita Indonesia
dan Baperki mengendalikan Sin Po. Begitu juga gesekan fisik. Masyumi pernah
dibikin gerah PKI saat mereka berkampanye di Tanjung Priok, Jakarta Utara.
Pengeras suara mereka beberapa kali mati, konon, karena disabotase pendukung
PKI. Priok memang dikuasai PKI, musuh besar Masyumi.Rebutan pengaruhpun
terjadi. Keluarga pamong praja ketika itu dianjurkan mencoblos PNI yang disebut
sebagai partainya pemerintah dan Bung Karno. Tapi itu Cuma anjuran tanpa
sanksi.
Golongan Putih atau golput tidak
jadi soal. Seperti pengakuan dari Muhamad Sunjaya yang merasa tidak diutak atik
walau dia golput. Suasana damai juga terjadi di Surabaya . Seperti contoh dalam sebuah tempat
pemungutan suara. Pemegang hak pilih yang berjumlah 100 orang ternyata hadir
semua.
Penghitungan suara selesai pukul satu
siang. Tidak ada laporan kerusuhan apapun. Permasalahan teknis tetap ada. Warga harus memilih satu dari 100 tanda
gambar partai untuk DPR dan 82 tanda untuk Konstituante; termasuk tujuh nama serta tanda gambar PSI
yang berlainan di beberapa daerah. Betapa sulitnya mereka mencoblos. Apalagi di Jakarta Raya, hampir 80 persen
warganya masih buta huruf. Maka, saat pencoblosan, kerap terdengar teriakan
minta tolong dari dalam bilik suara, seperti: “Gambar Masyumi yang mana nih?”.
Di seluruh Surabaya , pengitungan suara selesai seiring
terbenamnya matahari. Demikian pula di wilayah lain di Indonesia. Hasil-hasil
penghitungan suara saat itu disampaikan melalui telepon di kantor pusat. Mereka
sangat percaya kepada panitia pemilu. Pokoknya tak ada yang berbuat curang.
Akhirnya seluruh suara terkumpul di Jakarta .
Tercatat lima besar pemenang pemilu ini,
berturut-turut: PNI, Masyumi, Nahdlatul Ulama, PKI dan Partai Syarikat Islam Indonesia .
Pemilu ini menyisakan dana Rp 5 juta,
yang kemudian dipakai membiayai pembangunan gedung Panitia Pemilihan Indonesia
di jalan Matraman Raya 40 Jakarta Pusat ( dikutip dari Edisi Khusus Hari
Kemerdekaan TEMPO, Edisi 13 – 19 Agustus
2007, Pergulatan Demokrasi Liberal 1950-1959: Zaman Emas atau Hitam. Sub Judul : Nasi Uduk di Lapangan Kremlin
halaman 38-39).
Hasil Pemilu pertama:
PARTAI
|
SUARA SAH
|
% SUARA
SAH
|
KURSI DI
PARLEMEN
|
% KURSI DI
PARLEMEN
|
PNI
|
8.434.653
|
22,3
|
57
|
22,2
|
MASYUMI
|
7.903.886
|
20,9
|
57
|
22,2
|
NU
|
6.955.141
|
18,4
|
45
|
17,5
|
PKI
|
6.176.914
|
16,4
|
39
|
15,2
|
PSII
|
1.091.160
|
2,9
|
8
|
3,1
|
PARKINDO
|
1.003.325
|
2,6
|
8
|
3,1
|
PARTAI
KATOLIK
|
770.740
|
2,0
|
6
|
2,3
|
PSI
|
753.191
|
2,0
|
5
|
1,9
|
MURBA
|
199.588
|
0,5
|
2
|
0,8
|
LAIN-LAIN
|
4.496.701
|
12,0
|
30
|
11,7
|
JUMLAH
|
37.785.299
|
100,0
|
257
|
100,0
|
(Ricklefs, 2005: 377).
Dari hasil pemilu pertama,
gambaran persebaran suara adalah: Masyumi benar-benar merupakan partai yang
terkuat di luar Jawa, memenangkan antar seperempat dan separoh jumlah
keseluruhan suara di semua wilayah kecuali Bali
dan daerah-daerah Kristen, dan tiga perempat jumlah suara di Aceh: partai ini
merupakan partai yang terbesar di Jawa Barat yang kuat Islamnya. Di Jawa Tengah
dan Jawa Timur, keadaan antara PNI, NU, dan PKI kira-kira seimbang (Ricklefs,
2005: 377-378). Yang cukup mengejutkan adalah posisi PKI yang cukup banyak
mendapatkan suara. Peningkatan jumlah anggota dan simpatisan dijelaskan di
bawah ini:
Pada Kabinet Ali, ketika partai ini bebas dari
penindasan perkembangannya sangat menakjubkan. Antara bulan Maret dan November
1954 dinyatakan bahwa jumlah anggota partai ini meningkat tiga kali lipat dari
165.206 menjadi 500.000, dan pada akhir tahun
1955 mencapai jumlah satu juta. PKI mulai melakukan usaha yang serius
untuk menerima para petani sebagai anggota. Barisan Tani Indonesia (BTI), satu
organisasi PKI, menyatakan mempunyai 360.000 anggota pada bulan September 1953
tetapi jumlah tersebut mencapai lebih dari sembilan kali lipat (3,3 juta) pada
akhir tahun 1955: hampir 90 % anggotanya berada di Jawa dan hampir 70 % di Jawa
Tengah dan Jawa Timur. Jumlah anggota Pemuda Rakyat meningkat tiga kali lipat
dari 202.605 pada Juli 1954 menjadi 616.605 orang pada akhir tahun 1955; 80%
anggotanya adalah para pemuda tani dan sebagian besar berada di Jawa. Oplah
surat kabar PKI, Harian Rakyat, meningkat lebih dari tiga kali lipat antara
bulan Februari 1954 (15.000 eksemplar) dan Januari 1956 menjadi 55.000
eksemplar.
Kepustakaan
Ricklefs, M.C. 2005. SEJARAH
INDONESIA
MODERN. Yogyakarta: Gadjah
Mada University
Press.
Suprapto, Bibit. 1985. PERKEMBANGAN
KABINET DAN PEMERINTAHAN DI INDONESIA .
Jakarta : Ghalia Indonesia .
Feith, Herbert . 1999: PEMILU 1955
Sumber “Merdeka”,
26 September 1955, Riset Bahan: Myrna, dikutip dalam HISTORIA, PIDATO SOEKARNO JELANG PEMILU,
Kompas, Senin, 12 Januari 2009.
Sumber
: “Indonesia Raya”, 29 September 1955 teks oleh Myrna dikutip dalam HISTORIA, INTIMIDASI
SEBELUM PEMILU, Kompas, Jumat, 9 Januari 2009.
Sumber
: “Indonesia Raya”, 29 September 1955 teks: Myrna dikutip dalam HISTORIA, BURUKNYA
ANDMINISTRASI PEMILU, Kompas, Rabu, 7 Januari 2009.
Sumber:
“Mestika, 27 September 1955 riset bahan : Agus Hermawan, dikutip dalam
HISTORIA, TIDAK DAPAT MEMILIH, Kompas, Rabu, 21 Januarti 2009.
Sumber:
“Mestika”, 27 September 1955, Riset Bahan : Agus Hermawan dikutip dalam
HISTORIA, PENDUDUK IRIAN TIDAK DAPAT MEMILIH, Kompas, Senin, 19 Januari
2009.
Sumber:
”Merdeka”, 27 September 1955 Riset Bahan: Agus Hermawan, dikutip dalam
HISTORIA, WARGA SAMIN TAK MAU IKUT PEMILU, Kompas, 2 Ferburari 2009.
Sumber:
“Indonesia Berdjuang”, 1 Oktober 1955 Riset Bahan Myrna Ratna, dikutip dalam
HISTORIA, BANJARMASIN PALING MAJU, Kompas, Rabu 14 Januari 2009.
Sumber:
“Mestika”, 27 September 1955, Riset Bahan Agus Hermawan dikutip dalam HISTORIA,
190
MACAM TANDA GAMBAR, Kompas, Jumat 16 Januari 2009.
Sumber
: “Merdeka”, 7 September 1955, Teks Myrna dikutip dalam HISTORIA, RAKYAT
ANTRE JELANG PEMILU, Kompas, Senin 5 Januari 2009.
Sumber:
“Mestika”, 5 September 1955, Riset Bahan Agus Hermawan dikutip dalam HISTORIA, SALAH
MENCOBLOS, Kompas 28 Januari 2009.
Sumber:
“Mestika”, 5 September 1955, Riset Bahan Agus Hermawan dikutip dalam HISTORIA, PERWAKILAN
PEREMPUAN, Kompas, Jumat 30 Januari 2009.
Sumber:
“Mestika, 30 September 1955, Riset Bahan Agus Hermawan dikutip dalam HISTORIA, GUBERNUR
ANTRE PRESIDEN BERJALAN KAKI, Kompas, Jumat 6 Februari 2009.
Sumber
“ Mestika, 30 September 1955, Riset Bahan Agus Hermawan dikutip dalam HISTORIA,
TIDAK
TERDAFTAR SEBAGAI PEMILIH, Kompas, Senin 9 Februari 2009.
Sumber
50 TAHUN KAPAL SELAM “Mengabdi dalam Kesunyian”, Kompas, Rabu 9 September 2009.
Edisi Khusus Hari Kemerdekaan, TEMPO, Edisi 13 – 19 Agustus 2007,
PERGULATAN DEMOKRASI LIBERAL 1950 – 1959 : ZAMAN EMAS ATAU HITAM.