Minggu, 27 Januari 2013

VOC


VOC
(VEREENIGDE OOST INDISCHE COMPAGNIE)
Tahun 1595 ekspedisi Belanda yang pertama siap berlayar ke Hindia Timur. 4 kapal dengan 249 awak kapal, 64 meriam berangkat dengan pimpinan Cornelis de Houtman. Karena peselisihan dan penyakit, hanya 3 kapal, 89 awak kapal saja yang kembali ke Belanda, lebih dari 2 tahun kemudian. Pada bulan Juni 1596 kapal-kapal Cornelis De Houtman tiba di Banten. Pada akhir 1597 sisa ekspedisi kembali ke Belanda membawa cukup banyak rempah-rempah (Riclefs, 2005:38).
Mulailah zaman yang dikenal dengan zaman pelayaran liar atau tidak teratur (Wilde Vaart), yaitu ketika perusahaan-perusahaan ekspedisi Belanda yang saling bersaing berjuang keras untuk memperoleh bagian dari rempah-rempah Indonesia. Pada tahun 1598 dua puluh dua buah kapal milik lima perusahaan yang berbeda mengadakan pelayaran, 14 diantaranya akhirnya kembali. Armada yang berada di bawah pimpinan Jacob Van Neck lah yang pertama tiba di kepulauan rempah-rempah Maluku pada bulan Maret 1599, rombongan diterima dengan baik. Kapal kembali tahun1599-1600 dengan rempah-rempah yang keuntungannya 400% tahun 1601, empat belas ekspedisi yang berbeda berangkat melakukan pelayaran dari Belanda.
Terjadi persaingan kurang lebih empat perwakilan dagang di Banten, hal ini menyebabkan semakin kecilnya keuntungan yang diperoleh. Tahun 1598 Parlemen Belanda (Staten Generaal) mengajukan usulan untuk penggabungan kepentingan. Butuh waktu empat tahun untuk menyadarkan perseroan-perseroan itu untuk bersatu (Ricklefs, 2005:39).
            Proses perubahan dari sekedar gabungan atau liga pedagang menjadi organisasi yang tetap VOC cukup rumit. Di bawah ini sekedar garis besarnya:
Ketika itu Nederland terdiri dari 17 propinsi, termasuk Belgia, sedang terlibat Perang 80 tahun (1566-1648) melawan Spanyol. Pokok sengketa adalah tindakan Spanyol yang beragama Katolik di bawah Philip II terhadap Nederland yang memulai pindah ke agama Kristen Protestan (Calvinis), dianggap sangat sewenang-wenang. Pada 1580, ketika Philip II juga menjadi raja bagi Portugis, para pedagang Belanda mulai dilarang melakukan transaksi yang biasa di Lisbon dan pelabuhan Portugis yang lain. Pelayaran yang dipimpin Cornelis de Houtman ke Nusantara merupakan salah satu pecobaan Belanda menerobos ketidakpastian akibat politik Philip II itu. Demikianlah kejadiannya maka pelayaran Belanda yang pertama ke Nusantara hanya merupakan percobaan. Dalam lima tahun setelah de Houtman kebali ke Nederlands, terhitung tak kurang dari 65 kapal dagang yang dikirim ke Nusantara. Selama itu berbagai kota dagang di Nederlands yang ikut dalam upaya pelayaran tersebut terlibat saling persaingan yang sengit. Setiap wilayah seperti Friesland, Holland Utara, Holland Selatan, memberangkatkan rombongan kapal sendiri Nederland bagian udik, yang berbatasan dengan Jerman menolak ikut. Untuk mencegah perkelahian antar kelompok dan kerugian dagang, maka dibentulkah organisasi perdagangan yang tetap untuk Nusantara yaitu VOC (Simbolon, 1995: 423).
Pada Maret 1602 tepatnya tanggal 20 Maret 1602  lahirlah Perserikatan Maskapai Hindia Timur, VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie). Kepentingan yang bersaing itu diwakili oleh Sistem Majelis (Kamer) untuk enam wilayah di negeri Belanda. Setiap majelis mempunyai sejumlah direktur yang telah disetujui, yang seluruhnya berjumlah 17 orang dan disebut sebagai Heeren XVII (Tuan Tujuh Belas). Amsterdam berperan besar. Maka wilayah ini diberi jatah delapan orang. Markas besar berada di Amsterdam (Ricklefs, 2005 : 39).
Dalam mukadimah anggaran dasarnya (Octrooi) yang dirumuskan oleh Parlemen (Staten Generaal), hal itu dengan jelas tertulis:
Dikatakan, VOC dibentuk untuk mencegah kerugian, kesulitan dan bahaya yang muncul dari persaingan antara kelompok dagang Zeeland, Maas, Holland dan Friesland Barat, dalam upaya melaksanakan pelayaran yang baik dan terhormat, perdagangan dan perkapalan ke Nusantara.
            Oktrooi VOC berlaku selama 21 tahun dan sesudah itu diperbaharui. Terdapat 46 pasal dalam Octrooi itu, dua diantaranya (pasal 34 dan 35) secara eksplisit menetapkan hak monopoli VOC. Ditetapkan:
1.      kecuali VOC, siapapun juga dilarang melayari lautan antara Tanjung Pengharapan (Cape de bonne Esperance, Kaap de Goode Hoop) ke sebelah  Timur sampai selat Magelhaens (Srate van Magellanes), dengan ancaman seluruh muatan dan kapalnya disita untuk VOC atas nama Parlemen Nederlans.
2.      VOC diberi kekuasaan mengikat hubungan dan mengadakan perjanjian dengan semua penguasa.
3.      Mendirikan benteng.
4.      Memelihara angkatan bersenjata.
5.      Melaksanakan pemerintahan.
Pasal-pasal lain, khususnya yang lebih awal menetapkan pemegang sahamVOC terdiri dari enam kamar dagang, yaitu: Amsterdam, Zeeland (Middelburg), Maas (Rotterdam dan Delft), Holland Utara dan Friesland Barat (Hoorn dan Enkhuizen). Separoh saham ditanggung oleh Amsterdam, seperempat oleh Zealand, dan seperdelapan masing masing oleh Maas dan Holland Utara-Friesland Barat. Keenam kamar dagang itu diwakili oleh 17 orang. Terdiri dari 8 orang untuk Amsterdam, 4 orang untuk Zeeland, 2 masing-masing untuk Maas dan Holland Utara-Friesland Barat, serta seorang secara bergilir dari Zeeland, Maas, Holland Utara-Frisland Barat. Masyarakat luas boleh ikut menanam saham lewat tiga jenis saham yaitu:
1.      Peserta Kepala (Hoofd-participanten). Peserta kepala punya hak suara.
2.      Peserta Biasa (Participanten). Peserta biasa di wakili oleh peserta kepala.
3.      Peserta Lelang (Anticipatiepenningen). Peserta lelang hanya menanam uang sampai barang yang dibeli dengan uang itu dilelang (Simbolon, 1995: 424-425).
Usaha-usaha VOC antara lain:
1.      Pada tahun 1605, VOC bersekutu dengan Hitu dan bersiap menyerang pertahanan Portugis di Ambon. Portugis menyerah, VOC menduduki benteng Potugis di Ambon, memberinya nama baru VICTORIA, mengusir Misionaris Katolik dan mendorong penduduk beragama Calvinisme.
2.      Pada tahun 1610 diciptakan jabatan Gubernur Jenderal. Untuk mencegah kemungkinan kekuasaan Gubernur Jenderal yang bersifat Despotis, dibentuklah Dewan Hindia (Raad Van Indie) yang bertugas menasihati dan mengawasi.
3.      VOC berpusat di Ambon (1610-1619) dalam 3 orang Gubernur Jenderal, walau pusat rempah-rempah, tapi Ambon bukan jalur perdagangan.
4.      Karena persaingan Inggris – Belanda, VOC berusaha memaksakan perjanjian-perjanjian  monopoli kepada para penguasa kepulauan penghasil rempah-rempah ini dan mereka marah terhadap apa yang mereka namakan sebagai “Komplotan Penyelundup” Inggris di Maluku (Ricklefs, 2005: 40-42).
Pada tahun 1614, Parlemen Nederland menyatakan berakhirnya perjanjian Antwerpen (1609-perdamaian Belanda –Spanyol). Parlemen menyetujui naiknya bantuan tahunan bagi VOC di Nusantara menjadi 200.000 gulden berikut lima lagi kapal tempur. Sampai 1617, VOC memiliki kurang lebih 20 benteng dari Coromandel ke Maluku yang dihubungkan 40 kapal. Kapal-kapal itulah yang setiap kapiten kapal melakukan transaksi ekonomi tanpa pengawasan malah bersaing keras sesama mereka (Simbolon, 1995: 425-426). Di Maluku VOC mencapai kemajuan dalam menuju cita-citanya memonopoli rempah-rempah. Di wilayah ini penduduk setempat hampir tidak dapat melawan keunggulan angkatan laut VOC. Akhirnya satu-satuya bentuk perlawanan yang dapat mereka lakukan hanyalah melakukan penyelundupan. Dalam rangka menguasai satu sumber penyelundupan ini maka VOC membuang, mengusir atau membantai seluruh penduduk pulau Banda pada tahun 1620-an dan berusaha mengganti dengan orang-orang Belanda pendatang yang mempekerjakan tenaga kerja kaum budak. Cara  pembukuan VOC tidak memungkinkan dilakukannya perhitungan yang tegas mengenai rugi dan laba yang berhubungan dengan kegiatan–kegiatan VOC di wilayah Maluku pada waktu itu. Orang-orang Belanda di Banten, termasuk Jan Pieterzoon Coen, Direktur Jenderal, jadi orang kedua setelah Gubernur Jenderal, tidak disukai oleh pembesar-pembesar Banten. De Heeren XVII menyadari bahwa kalau mau bertahan, VOC harus memiliki pangkalan tetap (Rendez-vous) bagi kapal-kapalnya (Simbolon, 1995: 32-33). VOC sejak tahun 1611 telah memiliki sebuah pos di Jayakarta (Sekarang Jakarta), Coen lebih meyukai Jayakarta untuk dijadikan sebagai markas besar VOC yang tepat. Tempat ini memiliki pelabuhan yang sangat bagus, dan Coen berfikir bahwa VOC dapat berkuasa sepenuhnya di sana.
Pada tahun 1619 Jan Pieterzoon Coen menjadi Gubernur Jenderal (1619-1923, 1627-1629), dialah yang menempatkan VOC pada suatu tempat berpijak yang kokoh. Coen tidak memiliki perasaan segan sama sekali. Tahun 1614 Coen memberitahu Tuan-Tuan XVII “bahwa mereka tidak dapat menguasai perdagangan tanpa adanya perang atau melakukan perang tanpa adanya perdagangan”. Sejak zaman Coen inilah VOC di Asia benar-benar meyadari bahwa hanya ada satu cara untuk memperkokoh kekusaanya, dengan menghancurkan semua yang merintanginya (Ricklefs, 2005:43).
Bila kita tilik dari pengaruh penguasaan VOC di Indonesia terhadap perubahan sosial, politik dan ekonomi, VOC telah merubahnya dengan pelan tapi pasti. Seperti yang dijelaskan dibawah ini:
Tujuan VOC adalah memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya dalam perdagangan. Untuk merealisasikan tujuan ini, dirasa perlu untuk memonopoli ekspor dan impor. VOC yang mula-mula mengarahkan perhatiannya kepada rempah-rempah dari Maluku ini, segera tertarik kepada perdagangan yang sudah mapan dan luas yang berpusat di Jawa. Di pulau tersebut, VOC memperoleh hak-hak istimewa yang mula-mula bersifat terbatas dari kaum pribumi yang memegang kekuasaaan politik. VOC sedikit demi sedikit melihat pentingnya campur tangan politik yang semakin menentukan di daerah yang makin luas di Jawa. Untung bagi Belanda, karena pada abad 17 dan 18 Jawa secara politis tidak bersatu. Mataram, kerajaan terbesar di Jawa hampir sepanjang periode sangat lemah karena perang saudara. Semula, hanya dengan mengadu domba kesultanan Banten dengan Mataram, orang-orang Belanda dapat mempertahankan kedudukan perdagangannya di Batavia. Ini penting, karena kerajaaan-kerajaan besar di Jawa menjadi terpecah belah dan bermusuhan sehingga dengan mengadu domba satu kerajaan dengan kerajaan lainnya orang Belanda dapat mengusai pulau ini seluruhnya. Antara 1677 dan 1777 VOC memperluas kekuasan politik dan ekonominya atas 2/3 pulau Jawa, sementara itu VOC juga  menguasai  hampir seluruh kehidupan ekonomi di 1/3 bagian lainnya, yaitu kerajaan Mataram. Perdagangan sangat tertekan, para pedagang dan pembuat kapal, kehilangan pekerjaan, empang-empang dan hutan-hutan tidak dapat lagi memberi keuntungan. Orang Jawa menjadi bangsa penggarap, dan nilai ekonomi kehidupan sosialnya menjadi “Kerdil”. VOC dengan alasan ekonomi menggunakan sistem pemerintahan tidak langsung. Inti dari sistem tersebut adalah pendayagunaan struktur kekuasaan pribumi untuk kepentingan VOC. Kekuasaan ningrat ini diperkuat kekuasaan militer Belanda guna melawan rakyat Jawa (selama ningrat pro terhadap VOC). Kaum tani tidak lagi dapat mengekang perlakuan sewenang-wenang dari kaum elite ningrat. Hal ini para ningrat memiliki kekuasaan yuridis sangat kuat tapi dalam hubungan militer asing, penguasa pribumi makin tidak merdeka.
Terciptanya sistem kekuasaaan yang hirarki terpadu yang sifatnya sangat otoriter (sistem yang feodal). Hirarki tersebut adalah:
1.      VOC.
2.      Kaum ningrat pribumi yang ditunjuk VOC atau Orang-orang Cina yang diajak kerjasama oleh VOC.
3.      Kepala desa berkuasa atas Desa atas nama atasannya.
Berfungsinya unsur ningrat pribumi dalam penghisapan ekonomi VOC, mengharuskan pemberian kekuasaan luas yang tidak pernah didapat terhadap petani dalam ekonomi. Penduduk desa dipaksa untuk menyerahkan sebagian besar panennya dan kerja paksa di luar pertanian secara besar-besaran. Secara teoritis hanya upeti yang wajib diserahkan, tapi kenyataannya hasil yang diserahkan bertambah besar untuk pemenuhan pajak upeti yang bermacam-macam. Desa-desa hanya diijinkan menyimpan hasi panen secukupnya saja agar penduduk dapat diberi tugas kerja paksa.
Keuntungan diperoleh VOC dan ningrat. Ningrat mendapat kekuatan kekuasaan dan peningkatan keuntungan ekonomi. Para bangsawan memiliki kewenangan menambah jumlah upeti. Jadi tuntutan VOC akan hasil bumi diperberat oleh bangsawan Indonesia. Dengan penguasaan VOC di Jawa, lingkup kegiatan Cina bertambah luas. Hal ini seperti tertuang dari penyataan J.P. Coen:
“Tak seorangpun di dunia ini yang mengabdi kepada kita dengan lebih baik ketimbang orang Cina, terlalu banyak dari mereka yang tidak dapat dibawa ke Batavia”.
Perdagangan eceran diserahkan kepada orang Cina, jadi peranan orang Cina berubah dari perantara antara pedagang besar dari negara Cina dengan penduduk Jawa menjadi perantara VOC dengan penduduk Jawa.
Lama kelamaan orang Cina ikut dalam mengumpulkan produksi penduduk pribumi untuk diekspor oleh VOC. Dalam hal ini, orang Cina mulai menduduki suatu kedudukan yang sangat penting sambil menguasai lebih banyak kedudukan yang semula hanya diperuntukan bagi para bangsawan Indonesia. Sebenarnya hubungan orang Cina dengan VOC atau penguasa tradisioanl adalah kontrak untuk penguasaan di desa / distrik. Tapi hubungan orang cina dengan rakyat adalah bersifat feodal. Praktek lintah darat pun dilakukan orang Cina. Beberapa kasus di Banten petani sampai menyerahkan tanahnya karena tidak mampu membayar hutang.  Menjelang akhir abad kedelapan belas, diwilayah keuasaan VOC dipantai Utara Jawa saja, 1.134 desa (dari seluruhnya desa di Jawa yang seluruh nya berjumlah kurang lebih 16.000 buah) disewakan kepada orang Cina. Tidak hanya desa-desa, tapi 3 distrik seluruhnya telah disewakan oleh VOC kepada orang Cina yang segera memegang kedudukan yang sama dengan Bupati ditempat lain. Disamping daerah-daerah yang disewakan, VOC menyerahkan berbagai macam monopoli untuk dijalankan oleh orang Cina, seperti hak menarik pajak jalan, memungut pajak pasar, menyelenggarakan penjualan garam, bahkan hak untuk mengumpulkan bea cukai (kahin, 1995: 1-12).
Abdi atau penguasa VOC tersebut di atas dapat dibagi dalam empat golongan pokok yaitu(Soekiman, 2011: 71) :
1.      Pegawai niaga, mulai dari jabatan opperkoopman (pedagang kepala) sampai asisten (para pembantu atau juru tulis). Kelompok ini memegang peran yang terpenting. Mereka bertugas sebagai birokrat yang mengerjakan administrasi. Kelompok ini lebih berperan setelah VOC berkembang dari organisasi perdagangan menjadi penguasa territorial yang meliputi seluruh wilayah Indonesia, Srilangka dan Afrika Selatan.
2.      Personel militer dan maritim yang terdiri atas berbagai tingkat kepangkatan dan jumlahnya pun yang paling banyak. Status kelompok ini lebih rendah dari kelompok pengawai niaga.
3.      Personel kerohanian yang terdiri dari pendeta Calvinis (predikanten) yang cerdik pandai sampai petugas pengunjung orang sakit yang disebut zienkentrooster atau penghibur orang sakit.
4.      Kelompok terendah, yaitu terdiri dari para tukang dan para pengrajin, yang secara kolektif dikenal dengan ambahtheden. Meskipun demikian, para tukang dan pengrajin ini ada yang ganjinya lebih tinggi dibandingkan dengan gaji serdadu atau kelasi.
Masa Akhir VOC
VOC pernah mengalami kebesaran namun juga mengalami masa kemunduran. Korupsi yang merajalela di sektor pemerintahan di kepulauan Hindia dan kebijakan keuangan yang ceroboh dalam membayar para pemegang saham rata-rata 18 persen setahun antara tahun 1602 dan 1800, menyebabkan runtuhnya VOC. Yang terjadi dalam tubuh VOC adalah gaji-gaji yang dibayarkan kepada pegawainya begitu rendah sehingga VOC gagal mempekerjakan orang-orang jujur. Perdagangan gelap dengan bangsa Arab dan bangsa Inggris begitu maju pada tahun-tahun terakhir abad ke 18 sehingga di Batavia lebih banyak dijual tekstil dari negara-negara asing dibandingkan dengan yang berasal dari Belanda (Kahin, 1995: 12).
Pada sumber yang lain dijelaskan tentang kebangkrutan VOC sebagai berikut:
Sebagai kekuasaan dagang, VOC tak bisa lagi menutupi parahnya keadaan keuangannya. Setelah pemegang anticipatepenningen panik pada 6 Februari 1781, pemerintah Belanda segera turun tangan. Pinjaman baru diberikan lewat penerbitan obligasi, sehingga VOC memikul utang sebesar 55 juta gulden. Ada sementara pihak yang menuntut pembubaran VOC, tapi umum belum bisa membayangkan pengadaan barang dari Nusantara tanpa perusahaan ini.
    Sementara itu, perang di Eropa makin meluas. Prancis bersekutu dengan Belanda melawan Inggris. Untuk keperluan dagang dan pertahanan di Nusantara, dari 1781 sampai 1795 VOC terpaksa menambah utang dari 55 juta jadi 137 juta gulden. Dibandingkan dengan korupsi seorang Gubernur Jenderal sebesar 10 juta gulden (ada 33 gubernur jenderal sampai VOC dinyatakan bangkrut), jumlah ini tampak belum seberapa. Tapi dibandingkan dengan modal kerja VOC yang f 6.424.588, maka jumlah ini benar-benar skandal perusahaan. Dibandingkan dengan total produksi Hindia Belanda (Jawa Madura) ketika itu, yang jumlahnya bisa sama, utang ini benar-benar skandal politik yang tak ada duanya.
    Agaknya, Willem V yang mengungsi ke Inggris memandang tidak masuk akal lagi mempertahankan VOC sebagaimana dikehendaki oleh beberapa pihak di Belanda. Maka berdasarkan pasal 249 UUD Republik Bataaf (Belanda) 17 Maret 1799, dibentuklah suatu badan umtuk mengambil alih semua tanggung jawab atas milik dan hutang VOC. Badan itu bernama Dewan Penyantun Hak Milik Belanda di Asia(de Raad van Aziatische Bezittingen en Etabilisementen). Pengambilalihan itu resmi diumumkan di Batavia pada 8 Agustus 1799. Pada 31 Desember 1799, VOC resmi dinyatakan bangkrut dan seluruh miliknya berada di bawah kekuasaan negara Belanda (Simbolon1995: 72-73).